Selasa, 11 Juni 2013

Ketaatan pada Pemimpin


“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS An-Nisa: 59).

“Dunia saat ini memiliki banyak pemimpin, tapi mereka berada di bawah bayang-bayang selebritis. Pemimpin dikenal karena prestasinya, sementara selebritis dikenal lantaran ketenarannya. Pemimpin mencerminkan hakikat-hakikat manusia, sedang selebritis mencerminkan kemungkinan-kemungkinan pers dan media massa. Pemimpin adalah orang yang membuat sejarah, sedangkan selebritis adalah orang-orang yang membuat berita" (Daniel Boorstin, Majalah Parade, 6 Agustus 1995).

Ungkapan Boorstin patut menjadi renungan seluruh pemimpin dunia, termasuk para pemimpin di negeri ini. Pemimpin dunia saat ini, menurutnya, tak ubahnya seperti selebritis. Mereka berpikir dan bersikap seperti selebritis yang haus sensasi dan popularitas. Tentu saja kritik Boorstin bukan tanpa alasan. Kita banyak menyaksikan para pemimpin hanya pandai membuat wacana dan berita saja. mereka sering dan gemar mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang hanya cocok untuk menghiasi halaman media massa. Sementara solusi konkrit yang diharapkan masyarakat untuk keluar dari krisis yang berkepanjangan, tak kunjung tiba. Bahkan pemimpin yang pernah tampil di negeri ini, tak satu pun yang berhasil mengukir sejarah dengan tinta emas. Yang ada, akhir dari sejarah mereka dipenuhi tinta merah sebagai tanda buruknya prestasi.

Saat ini, hakikat kepemimpinan digantikan oleh baju selebritis yang sarat dengan basa-basi, akting, dan kamuflase. Sehingga untuk tampil menjadi seorang pemimpin, sepertinya tidak perlu memiliki kelebihan atau keistimewaan. Kalau seseorang terkenal lantaran dipopulerkan media massa dengan kemasan tertentu, maka ia layak tampil atau ditampilkan menjadi pemimpin. Soal apakah ia memiliki kemampuan leadership atau tidak itu urusan lain. Toh ia dapat mengangkat orang-orang pandai menjadi pembantunya.

Kesan ini dapat ditangkap dari fenomena partai-partai politik yang ada saat ini, dimana Setiap partai berlomba-lomba mencalonkan orang terkenal di partainya masing-masing. Bahkan, saking kurang percaya diri, ada partai yang menjaring calon anggota legislatifnya dari kalangan selebritis. Tak peduli apakah ia memiliki visi kepemimpinan atau tidak, memiliki kredibilitas moral atau tidak. Yang penting sang calon adalah orang terkenal dan memiliki “modal” untuk dipopulerkan. Itulah sekilas gambaran kepemimpinan saat ini di sebagian besar negara di dunia, tak terkecuali Indonesia.

Islam memiliki pandangan yang mendasar tentang kepemimpinan. Sebagian besar manusia memandang kepemimpinan sebagai sebuah kemuliaan (takrim). Mereka mengidentikkan kepemimpinan dengan kekuasaan, sehingga kepemimpinan dijadikan alat untuk mengeksploitasi rakyat. Padahal Islam memandang kepemimpinan sebagai sebuah beban (taklif) dan amanah, sehingga orang yang diberikan amanah kepemimpinan, dia harus mengedepankan pelayanan kepada masyarakat. Karena pemimpin adalah khadimul ummah (pelayan masyarakat).

Kebanyakan manusia memperebutkan kursi kepemimpinan untuk mencari popularitas dan keuntungan pribadi atau kelompoknya sendiri, sementara Islam mewajibkan para pemimpin untuk membina (mentarbiyah) para pemimpin di bawahnya, mengatur kehidupan intra umat Islam dan antara umat Islam dengan umat lainnya demi mewujudkan kesejahteraan bersama di bawah naungan ridha Allah Swt.

Oleh karena itu, menurut Dr. Sayid al-Wakil, seorang pemimpin harus memiliki sekurang-kurangnya lima syarat, yaitu Muslim, berilmu, adil, memiliki kemampuan memimpin (skill kepemimpinan), dan sehat jasmani sehingga dapat menjalankan tugas-tugas kepemimpinannya.

Dalam kitabnya “Al-Qiyadah wal Jundiyah fil Islam”, beliau juga menjelaskan bahwa al-qiyadah dalam konteks Al-Qur`an, Sunnah, dan Tarikh Islam memiliki empat pengertian.

Pertama, ro’i. Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan,

“Setiap kalian adalah pemimpin (ro’i) dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah pemimpin (ro’i) dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang suami (rojul) adalah pemimpin terhadap keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang pembantu (khadim) adalah pemimpin terhadap harta majikannya, dan akan dimintai pertanggungjawabaannya. Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya.”

Kepemimpinan dalam terminologi ro’i mencakup kepemimpinan negara, masyarakat, rumahtangga, kepemimpinan moral, yang mencakup juga kepemimpinan laki-laki maupun wanita. Oleh karena itu, tak seorang pun di dunia ini lepas dari tanggung jawab kepemimpinan, minimal terhadap dirinya sendiri. Setiap orang mengemban amanah, dan setiap amanah pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.

Ro’i berasal dari kata ro’a-yar’a-ro’yan-ri’ayatan. Kepemimpinan dalam terminologi ro’i menyiratkan pentingnya makna ri’ayah yang artinya menggembala, memelihara, mengarahkan, dan memberdayakan orang-orang yang ada dipimpinnya (ra’iyah). Kata rakyat dalam bahasa Indonesia berasal dari kata ra’iyah.

Kedua, imam. Artinya pemimpin yang selalu berada di depan. Kata imam seakar dengan kata amam (di depan). Sehingga dalam terminologi ini, imam adalah pemimpin yang berfungsi sebagai teladan dan sosok panutan yang membimbing orang-orang yang dipimpinnya. Dalam kajian Ibnul Qoyim, kata imam juga berarti ma`mum. Dengan pengertian ini, maka seorang pemimpin selain siap untuk menjadi imam, ia juga harus siap untuk menjadi ma`mum. Imam, selain bertugas mengarahkan ma’mum, pada saat yang sama ia pun harus siap dikritik dan diingatkan oleh ma’mum. Dalam shalat berjamaah, ketika imam melakukan kesalahan, ma`mum wajib mengingatkannya dengan ucapan subhanallah. Dan imam harus siap mendengarkan peringatan ma`mum.

Ketiga, khalifah. Secara terminologi artinya pengganti kepemimpinan Rasulullah Saw. Menurut Ibnu Khaldun, kepemimpinan dalam terminologi khalifah juga berarti menyiapkan kepemimpinan berikutnya sesuai dengan aturan syari’ah demi tercapainya maslahat duniawi dan ukhrowi. Kata khalifah seakar dengan kata khalfun (belakang). Ini artinya, seorang pemimpin bukan saja harus mempersiapkan generasi pemimpin penggantinya, ia juga harus siap melanjutkan kepemimpinan sebelumnya.

Keempat, amir. Artinya pemerintah. Dalam hadits riwayat Bukhari, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad, kita wajib menaati seorang pemimpin (amir) apapun warna kulitnya, bentuk rupanya, kaya atau miskin, selama pemimpin itu berada dalam bimbingan wahyu Allah Swt. Kata amir juga berarti ma`mur (yang diperintah). Ini artinya, seorang pemimpin selain menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, ia juga harus siap diperintah oleh rakyatnya dalam hal yang mengandung kemaslahatan untuk semua.

Keempat tipe kepemimpinan di atas esensinya terlihat jelas dalam pola kepemimpinan Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin yang selalu mengedepankan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan. Hakikat kepemimpinan dalam Islam adalah mengemban amanah rakyat untuk mencapai keselamatan hidup di dunia dan di akhirat.

Ketaatan kepada Pemimpin
Ketaatan adalah satu pilar pemerintahan dalam Islam. Umar bin Khaththab berkata, “Tidak ada arti Islam tanpa jamaah, tidak ada arti jamaah tanpa amir (pemimpin), dan tidak ada arti amir tanpa kepatuhan.” Seorang pemimpin memang harus memiliki keistimewaan, cerdas, berakhlak mulia, dan bermental baja. Namun, itu semua tidak ada artinya tanpa adanya loyalitas dari rakyatnya.

Meskipun Islam mewajibkan umatnya agar taat kepada pemimpin, namun ketaatan itu tidak bersifat mutlak. Ketaatan rakyat kepada pemimpin dibatasi oleh beberapa persyaratan.

Pertama, pemimpin dimaksud memiliki komitmen kepada syari’at Islam dengan menerapkannya dalam kehidupan. Ali bin Abi Thalib berkata, “Wajib bagi imam (pemimpin) memerintah dengan aturan yang diturunkan Allah Swt. dan menyampaikan amanah. Apabila ia melaksanakan demikian, maka wajib bagi rakyat menaatinya.”

Kedua, pemimpin dimaksud harus adil. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS An-Nisa`: 58).

Ketiga, pemimpin dimaksud tidak menyuruh manusia melakukan maksiat. Islam menyuruh kita melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Maka ketika ada pemimpin mengajak dan membiarkan kemaksiatan merajalela, seperti minuman keras, zina, riba, korupsi, dan bentuk kejahatan lainnya, maka kita tidak boleh menaatinya. Sebaliknya, kita harus meluruskannya. Laa thaa’ata limakhluuqin fii ma’shiyatil khaliq (tidak ada ketaatan kepada pemimpin yang mengajak maksiat kepada Allah Swt.).

Di masyarakat kita yang paternalistik ini, kadang masyarakat kurang bisa mengaktualisasikan ketaatan mereka kepada pemimpinnya. Sekelompok orang menindas, menganiaya, dan meneror kelompok lain atas perintah pemimpinnya. Harus ada gerakan yang mengingatkan pemimpin zalim seperti itu, dan menyadarkan pengikutnya agar tidak menaati kemaksiatan yang diperintahkan oleh pemimpinnya. Wallahu a’lam bishshawab.

0 komentar:

Posting Komentar