Kamis, 13 Juni 2013

Langkah-Langkah Cerdas Dalam Berdakwah



Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (An-Nahl: 125)

Ayat ini berisi panduan khusus mengenai bagaimana berdakwah yang cerdas. Sekalipun dakwah kepada Allah merupakan amal shalih, tetapi seorang aktivis dakwah dalam mengerjakan tugasnya tidak boleh asal-asalan. Sekadar bermodal keyakinan bahwa Allah pasti menolongnya. Tidak, tidak demikian seharusnya seorang aktivis dakwah. Aktivis dakwah harus cerdas dalam menjalankan tugasnya. Sebab, kerja dakwah bukan pekerjaan biasa. Ia pekerjaan yang sangat mulia, menuntut perhatian khusus dan cara-cara penyampaian yang kreatif. Jika tidak, dakwah akan berjalan di tempat. Namanya saja disebut dakwah, sementara pengaruhnya sangat tumpul.
Benar, berdakwah kepada Allah merupakan pekerjaan yang sangat mulia. Sebab, yang memerintahkannya adalah Allah yang Maha Agung. Perhatikan kata ud’u ilaa sabiili rabbika (serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu), ini menunjukkan bahwa tugas dakwah datang langsung dari Allah swt. sebagai bukti pentingnya tugas tersebut. Rasulullah saw. yang menerima tugas ini telah melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Seluruh hidupnya bila kita pelajari secara mendalam, tidak lebih dari cerminan dakwah kepada Allah. Setelah Rasulullah wafat tugas dakwah ini secara otomatis dioper alih kepada umatnya. Karenanya Allah berfirman, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Ali Imran:110)
Tidak bisa dipungkiri bahwa berdakwah di jalan Allah pasti akan berhadapan dengan tantangan yang sangat berat. Renungkan kata ilaa sabiili rabbika, di sini Anda akan mendapatkan kesan bahwa tugas utama manusia sebenarnya adalah mengikuti jalan Allah swt. Tetapi karena setan bekerja keras untuk membuat manusia tergelincir, akhirnya banyak dari manusia yang keluar dari jalan Allah. Seorang aktivis dakwah yang cerdas hendaknya senantiasa berusaha untuk mengembalikan mereka ke jalan yang benar. Tentu saja di sini maksudnya bukan hanya orang kafir, melainkan banyak juga orang-orang Islam yang lemah iman ikut juga tergelincir. Karenanya, fokus utama dakwah selain mengislamkan orang-orang kafir, juga mengembalikan orang-orang Islam ke porosnya yang benar. Untuk ini sangat dibutuhkan langkah-langkah cerdas. Al-Qur’an –sebagaimana pada ayat di atas– mengajarkan tiga langkah, dengannya dakwah akan menjadi efektif di manapun disampaikan:
Berdakwah Dengan Hikmah
Hikmah menurut banyak ahli tafsir adalah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil. Di dalam kata hikmah terkandung makna kokoh. Allah berfirman: kitaabun uhkimat aayaatuhu. Dikatakan kepada sebuah bangunan yang kokoh: al binaa’ul muhkam. Bila kata hikmah digandengkan dengan dakwah maksudnya di sini adalah bahwa dakwah tersebut dilakukan dengan sungguh-sungguh, tidak pernah kandas di tengah jalan. Ia terus berjalan dalam kondisi apapun. Aktivisnya tidak pernah kenal lelah. Segala kemungkinan yang bisa diterobos demi tegaknya kebenaran ditempuhnya dengan lapang dada.
Di dalam kata hikmah juga terkandung makna bijak (wisdom). Dakwah yang bijak menurut Ustadz Sayyid Quthub adalah yang memperhatikan situasi dan kondisi dari para mad’u (objek dakwah). Sejauh mana kemampuan daya serap yang mereka miliki. Jangan sampai tugas-tugas yang diberikan di luar kemampuan si mad’u. Sebab, kesiapan jiwa masing-masing mad’u berbeda. Diupayakan setiap satuan tugas yang diberikan sejalan dengan kapasitas intelektual dan spiritual mereka (lihat fii dzilaalil Qur’an, Sayyid Quthub vol.4, hal.2202). Perhatikan bagaimana Allah menurunkan Al-Qur’an tidak sekaligus, melainkan secara bertahap dalam berbagai situasi dan kondisi: pertama kali mengenai ayat-ayat keimanan. Karenanya surat-surat periode Makkah lebih terkonsentrasi kepada masalah keimanan. Baru setelah hijrah ke Madinah, di mana iman para sahabat telah kokoh, Allah turunkan ayat-ayat tentang syariat.
Siti A’isyah r.a. pernah mengomentari masalah ini dengan sangat mengagumkan, bahwa sesungguhnya yang pertama kali Allah turunkan adalah ayat-ayat mengenai iman kepada Allah swt. Baru setelah iman para sahabat kuat, diturunkan ayat-ayat tentang halal-haram. Lalu Aisyah berkata: Seandainya yang pertama kali Allah turunkan adalah larangan: jangan kau minum khamer, niscaya mereka akan menjawab: kami tidak akan meninggalkan khamer selamanya. Dan seandainya yang pertama kali Allah turunkan adalah larangan: jangan kau berzina, niscaya mereka akan menjawab: kami tidak akan meninggalkan zina selamanya (HR. Bukhari, no. 4609).
Dalam rangka ini pula ayat-ayat mengenai larangan minum khamer tidak langsung sekaligus, melainkan melalui empat tahap: Tahap pertama Allah memberikan isyarat bahwa barang-barang yang memabukkan itu bukan rezki yang baik: “Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.” (An-Nahl: 67). Pada tahap kedua, Allah berfirman: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir. (Al-Baqarah: 219) Di sini Allah menerangkan bahwa khamer itu sebenarnya berbahaya besar. Kalaupun ada manfaatnya, itu hanya dari segi perdagangan saja, sementara bagi kesehatan ia sangat membahayakan.
Tahap Ketiga, Allah melarang seseorang yang mabuk karena khamer untuk melakukan shalat, tetapi minum khamernya masih belum dilarang. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (An-Nisa’: 43). Di dalam ayat ini secara tidak langsung terkandung pengharaman minum khamer. Tetapi masih belum ditegaskan. Baru setelah tahapan itu semua, pada tahap keempat, Allah menegaskan bahwa khamer haram hukumnya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Al-Maidah: 90-91)
Jelas sekali bahwa metodologi Al-Qur’an dalam mengembalikan manusia ke titik fitrahnya sungguh sangat bijak. Demikian juga seorang aktivis dakwah yang cerdas, dia selalu berjalan sebagaimana tuntunan Al-Qur’an. Maka ia tidak memaksakan kehendak dengan cara mencaci-maki dan menjelek-jelekkan orang lain yang tidak mau bergerak dalam satu fikrah (baca: visi dan misi perjuangan). Dia selalu tenang, sekalipun dicaci-maki atau dijelek-jelekan. Baginya berdakwah di jalan Allah adalah kemuliaan. Tetapi dengan syarat ilmu yang ia dakwahkan harus benar (baca: bashirah), bukan asal dakwah. Sebab di antara makna hikmah –menurut Ibn Abbas– adalah ilmu tentang Al-Qur’an (lihat mufradat alfadzil Qur’an, Ar Raghib Al Ashfahani, h.250). Jadi, tidak cukup jika hanya bermodal semangat, sementara pemikiran yang dianutnya salah. Karenanya Allah berfirman: “Katakanlah: Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108). Jadi, tidak disebut hikmah –sekalipun ia tenang dan bijak– jika ia mengajak kepada kesesatan dan permusuhan terhadap umat Islam yang lain.
Berdakwah Dengan Mau’idzah Hasanah
Kata wa’dz lebih dekat pengertiannya kepada makna memberikan nasihat atau pelajaran. Imam Al-Asfahani menerangkan bahwa wa’dz bermakna zajrun muqatrinun bit takhawiif (peringatan digabung dengan kabar penakut). Pengertian lain menjelaskan bahwa wa’dz juga bermakna peringatan dengan kebaikan yang bisa menyentuh hati. Dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menggunakan kata wa’zd untuk makna tersebut, di antaranya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu (ya’idzukum) agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90). Dalam surat Yunus 57: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran (mau’idzah) dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” Dalam surat Ali Imran 138: (Al-Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran (mau’idzah) bagi orang-orang yang bertakwa.
Ketika digabung dengan sifat hasanah, maka makna mau’idzah hasanah menjadi pelajaran atau nasihat yang baik. Nasihat yang menyentuh hati dan melembutkannya. Seorang aktivis dakwah yang cerdas selalu menyampaikan apa yang di hatinya. Tidak dibuat-buat, dan tidak pula membuat orang-orang semakin bingung dan ketakutan. Banyak sekali contoh-contoh yang menunjukkan bahwa berdakwah dari hati ke hati sangat besar pengaruhnya terhadap orang lain. Sebuah ungkapan terkenal menarik untuk dikutip di sini bahwa: “apa yang datang dari hati akan sampai ke hati” (maa jaa’a minal qalbi yashilu ilal qalbi).
Bila kita telusuri secara mendalam, Al-Qur’an selalu menggunakan cara ini dalam menyampaikan kebenaran. Hal yang sangat jelas adalah kisah-kisah yang disampaikan Al-Qur’an mengenai umat terdahulu selalu memberikan pelajaran yang sangat mahal bagi umat manusia. Allah swt. tidak pernah bosan mengulang-ulang kisah kaum ‘Aad, Tsamud, dan Fir’un, supaya manusia yang hidup sesudahnya tidak mengikuti perbuatan mereka. Tidak hanya itu, mengenai hari kiamat, surga, dan neraka, selalu Allah ulang-ulang dalam setiap surat-surat Al-Qur’an. Itu tidak lain agar manusia terketuk hatinya lalu bergerak mengisi usianya dengan amal shalih. Perhatikan bagaimana cara ini telah demikian jauh menukik ke dalam hati manusia dari masa ke masa, sehingga banyak dari mereka yang tersadarkan lalu bertaubat dan kembali ke jalan yang benar.
Silakan baca hadits-hadits Rasulullah saw., Anda akan mendapatkan banyak contoh mengenai mau’idzah hasanah yang beliau sampaikan. Bahkan, bisa dikatakan bahwa semua hadits-hadits Rasulullah saw. adalah mau’idzah hasanah. Rasulullah saw. tidak pernah berpesan kecuali kebaikan dan kebenaran yang mengajak kepada keimanan kepada Allah dan ketaatan kepadaNya, menjauhi segala laranganNya dan senantiasa menegakkan akhlak mulia dalam kehidupan bermasyarakat “wamaa yanthiqu ‘anal hawaa in huwa illaa wahyun yuuhaa (dan tiadalah yang diucapkannya itu –Al-Qur’an– menurut kemauan hawa nafsunya) (An-Najm: 3).
Berdialog Dengan Cara Yang Lebih Baik
Langkah berikutnya adalah wajaadilhum billatii hiya ahsan. Kata wajadilhum (bantahlah) menunjukkan agar seorang aktivis dakwah senantiasa meluruskan pandangan yang salah, dan menolak setiap pendapat yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tetapi cara menolaknya harus dengan cara yang cerdas, dalam arti lebih baik dari cara mereka billatii hiya ahsan. Sebab jika tidak, penolakan itu akan menjadi tidak berguna. Bahkan, tidak mustahil akan menyebabkan mereka semakin kokoh dengan kebatilan yang mereka tawarkan.
Simaklah perintah Allah swt. kepada Nabi Musa dan Nabi Harun, ketika hendak menghadapi Fir’aun. Di sini Allah swt mengajarkan sebuah cara yang sangat baik. Allah berfirman: “Pergilah kamu berdua kepada Fir`aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 42-43). Di sini nampak bahwa di antara cara efektif untuk meluruskan pemahaman orang lain, adalah tidak cukup dengan hanya hujjah-hujjah yang kuat, melainkan lebih dari itu harus ditopang dengan cara penyampaian yang lembut, tidak menghina dan mencerca. Bahkan tidak sedikit kebenaran yang ditolak hanya karena penyampaiannya tidak menarik. Dan berapa banyak kebatilan yang diterima hanya karena disampaikan dengan tenang, memukau, meyakinkan, dan menarik hati.
Di antara makna billatii hiya ahsan adalah ia menjauhi pembicaraan yang merendahkan orang lain. Sebab baginya maksud utama bukan menjatuhkan atau mengalahkan lawan, melainkan mengantarkannya kepada kebenaran. Perhatikan Rasulullah saw. ketika suatu hari datang seorang anak muda berkata: “Wahai Nabi izinkan aku berzina?” (orang-orang ketika itu berteriak. Tetapi Rasulullah saw. minta agar anak muda tersebut mendekat, sampai duduk di sampingnya). Lalu Rasulullah bertanya, “Jika ada orang mau berzina dengan ibumu, kamu terima?” “Tidak, bahkan aku siap mati karenanya,” jawab anak muda. Rasulullah menjawab, “Demikian juga orang lain. Tidak ada yang rela jika ibunya dizinai. Bagaimana jika ada orang mau berzina dengan saudarimu, kamu terima?” “Tidak, bahkan aku siap mati karenanya,” jawab anak muda. Rasulullah menjawab, “Demikian juga orang lain. Tidak ada yang rela jika saudarinya dizinai.” Lalu Rasulullah meletakkan tangannya ke dada anak muda itu, dan berdo’a, “Ya Allah, sucikanlah hatinya, ampunilah dosanya, jagalah kemaluannya.” Maka sejak itu tidak ada yang lebih dibenci oleh anak muda tersebut selain perzinaan.
Supaya para aktivis dakwah selalu tenang dan tidak emosional dalam menghadapi berbagai tantangan, Allah swt. menutup ayat di atas dengan penegasan: “Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” Maksudnya, Allah sebenarnya mengetahui siapa yang sesat dan siapa yang mendapatkan petunjuk, adapun berdialog dengan mereka itu hanyalah sebuah usaha manusiawi, siapa tahu cara tersebut beirama dengan ketentuan-Nya. Toh kalaupun ternyata segala cara yang paling cerdas kita tempuh secara maksimal, tetapi ternyata masih juga belum tercapai target yang diinginkan, segeralah kembali kepada ayat: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al-Qashash: 56). Dalam surat Al-Baqarah ayat 272: Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya.

0 komentar:

Posting Komentar