Sabtu, 19 Juli 2014

Budaya Saling Menasihati Sesama Kader Dakwah









السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله، الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه ووالاه، أما بعد:

     Sendi stabilitas dunia ada empat: Keberdayaan ulama (dengan ilmunya), keadilan para penguasa, kedermawanan orang-orang kaya dan doa para fuqara. Bila salah satu sendi tak berfungsi sebagaimana mestinya, maka akan  terjadi  instabilitas dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Ulama secara etimologis adalah jama’ dari kata ‘alim’ yang artinya orang yang memiliki ilmu yang membawanya takut hanya kepada Allah.(QS Al Fathir: 28.) Dari sini berarti pengertian ulama tidak hanya terbatas pada orang-orang yang memiliki kafa’ah syar’iyah saja, tapi juga mencakup semua ahli dalam bidang keilmuan apapun yang bermanfaat, dengan syarat ilmu yang dikuasainya membawa dirinya menjadi orang yang memiliki rasa khasyyah (rasa takut) kepada Allah. Rasa khasyyah inilah yang mendorong para ulama untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Karenanya dalam pengertian ini para kader dakwah adalah para ulama yang  berperan sebagai ‘waratsatul anbiya’ (pewaris para nabi) yang selalu melakukan tawashau bil haqqi dan tawashau bis shabri (saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran).
Ada beberapa hal yang menuntut para kader dakwah untuk melakukan tawashau bil haqqi dan tawashau bis shabri:
1. Khairiyyatul haadzihil ummah (kebaikan umat ini) terletak pada konsistensi pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi munkar. Bila amar-ma’ruf dan nahi munkar tidak dilaksanakan maka akan hilanglah salah satu ciri kebaikan umat Islam ini. (QS Ali Imran: 110)
2. Kader dakwah adalah stabilisator umat yang menjadi tumpuan  utama masyarakat.  Ciri utama  kader yang menjadi stabilisator umat adalah senantiasa melakukan ‘ishlah’ (perbaikan). Seorang kader tidak cukup hanya menjadi seorang yang shalih saja tapi harus menjadi seorang ‘mushlih’ (men’shalih’kan orang lain). Orang-orang yang shalih saja tidak cukup untuk menjadi penyelamat umat dari kehancuran. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah pernah ditanya, “Apakah kita akan dihancurkan walaupun di antara kita terdapat orang-orang sholihin”? Rasulullah menjawab, “Ya”, bila terdapat banyak kebobrokan/keburukan. Allah SWT menegaskan dalam surat  Huud ayat 117 yang artinya: Dan Tuhanmu  sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zhalim  sedang penduduknya orang-orang yang melakukan ishlah (perbaikan).
3. Di antara ciri manusia yang tidak akan merugi adalah sebagaimana yang diungkap dalam surat Al-Ashr, yaitu senantiasa saling menasihati dengan kebenaran (saling menasihati untuk melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah) dan saling menasihati dengan kesabaran (maksudnya saling menasihati untuk bersabar menanggung musibah atau ujian). Surat ini amat penting sehingga ada riwayat dari Imam At-Thabrani dari Ubaidillah bin Hafsh yang menyatakan bahwa  dua orang sahabat nabi  bila bertemu, maka tidak berpisah kecuali membaca  surat Al-Ashr, kemudian mengucapkan salam untuk perpisahan. Imam As-Syafi’i pernah mengatakan, “Seandainya manusia mau merenungi kandungan surat Al-Ashr,  pasti cukuplah itu bagi kehidupan mereka”. (lihat Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, Juz III hal 674) 
4. Di antara hak seorang muslim dengan muslim lainnya adalah  bila dimintai nasihat oleh saudaranya tentang sesuatu maka ia harus memberinya, dalam artian ia harus  menjelaskan kepada saudaranya itu apa yang baik dan benar. Dalam sebuah hadits disebutkan:

اذا استنصح أحدكم أخاه فلينصح له

Artinya: Bila salah seorang dari kamu meminta nasihat kepada saudaranya maka hendaknya (yang diminta) memberi nasihat.  (HR Bukhari)
Dalam hadits lain disebutkan:

الدين النصيحة لله ولرسوله ولأئمة المسلمين و عامتهم

Artinya: Agama adalah nasihat bagi Allah, bagi Rasul-Nya, untuk para pemimpin umat Islam dan untuk para  orang awamnya. ( H.R Bukhari)
Maksud hadits di atas adalah:
1.      Agama adalah nasihat, maksudnya bahwa sendi dan tiang tegaknya agama adalah nasihat. Tanpa saling menasihati antara umat Islam maka agama tidak akan tegak.
2.      Agama adalah nasihat bagi Allah artinya: Sendi agama adalah beriman kepada-Nya, tunduk dan berserah diri kepada-Nya lahir dan batin, mencintai-Nya dengan beramal shalih dan mentaati-Nya, menjauhi semua larangan-Nya serta berusaha untuk mengembalikan orang-orang yang durhaka agar bertaubat dan kembali kepada-Nya.
3.      Agama adalah nasihat bagi Rasulullah SWT, maksudnya: sendi tegaknya agama adalah dengan meyakini kebenaran risalahnya, mengimani semua ajarannya, mengagungkannya, mendukung agamanya  menghidupkan sunnah-sunnahnya dengan mempelajarinya dan mengajarkannya, berakhlaq dengan akhlaqnya, mencintai keluarganya, sahabatnya  dan para pengikutnya.
4.      Agama adalah nasihat bagi para pemimpin umat Islam, maksudnya adalah bahwa tegaknya agama dengan mendukung dan mentaati mereka dalam kebenaran,  mengingatkan mereka  dengan kelembutan bila lalai/lengah, meluruskan mereka bila salah
5.      Agama adalah nasihat bagi orang awam dari umat Islam (rakyat biasa bukan pemimpin), maksudnya bahwa tegaknya agama hanyalah dengan memberikan kasih sayang kepada orang-orang kecil, memperhatikan kepentingan mereka, mengajari apa-apa yang bermanfaat bagi mereka  dan menjauhkan semua hal yang membahayakan mereka dsb.
Saling menasihati di antara kader adalah kewajiban. Karena di satu sisi bangkit dengan kebenaran adalah sangat sulit sementara di sisi lain hambatan-hambatan untuk menegakkannya sangat banyak, misalnya: hawa nafsu, logika kepentingan, tirani thaghut, dan tekanan kezhaliman. Pemberian nasihat merupakan pengingatan, dorongan dan  pemberitahuan bahwa kita satu sasaran  dan satu tujuan akhir.  Semua kader senantiasa bersama-sama  dalam menanggung beban dan mengusung amanat. Bila saling menasihati ini kita lakukan bersama-sama, dimana berbagai kecenderungan individu bertemu dan saling berinteraksi, maka akan menjadi berlipat gandalah kekuatan kita untuk menegakkan kebenaran. Masyarakat Islam tidak akan tegak kecuali dijaga oleh sekelompok kader yang saling tolong menolong, saling menasihati  dan memiliki solidaritas yang tinggi.   
Para salafus shalih telah memberikan contoh luar biasa dalam hal saling menasihati. Sebagai contoh adalah Umar bin Al Khatab ra,  pada suatu kesempatan ketika banyak pembesar sahabat yang mengelilinginya tiba-tiba salah seorang sahabat berkata: Ittaqillaha ya Umar.(Bertaqwalah kepada Allah wahai Umar!) Para sahabat yang mengetahui kedudukan keislaman Umar marah kepadanya, namun Umar r.a mencegah kemarahan sahabat-sahabatnya seraya berkata: Biarkanlah dia berkata demikian, sesungguhnya tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak mau mengatakannya, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak mau mendengarnya.”
Itulah Umar  yang termasuk dalam golongan sepuluh orang yang mendapat kabar gembira dijamin masuk surga, beliau sangat perhatian terhadap setiap nasihat yang benar yang ditujukan kepadanya.

Kita sebagai kader dakwah yang menjadi stabilisator umat, harus saling menasihati dan saling menerima berbagai nasihat yang baik dengan lapang dada, bahkan harus berterima kasih kepada yang mau memberi nasihat. Wallahu a’lam.

Selasa, 15 Juli 2014

I’TIKAF

DEFINISI I’TIKAF


                     Menurut bahasa I’tikaf berarti tinggal dan berdiam diri disuatu tempat.
Sedangkan menurut istilah  Syara’ I’tikaf adalah : tinggal didalam masjid dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT disertai dengan niat dan cara yang telah ditentukan oleh Rasulullah SAW.
                                

DALIL DISYARIATKANNYA


                     Dalil disyariatkannya I’tikaf ialah firman Allah SWT (QS Al Baqarah : 125 )
                    
“ Dan telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail : “ Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang I’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.”

Adapun dalil dari Assunah, diantaranya adalah hadits Aisyah RA :

“ Dari Aisyah RA, ia berkata : Rasulullah SAW, melakukan I’tikaf pada sepuluh malam yang terakhir di bulan Ramadlan, sampai saat ia dipanggil Allah SAW.”

HIKMAH DISYARIATKANNYA.

                     Diantara hikmah disyariatkannya I’tikaf adalah sebagai berikut :

1.            Mengosongkan hati dari segala urusan duniawi dan menggantikannya dengan kesibukan ibadah dan berdzikir kepada Allah dengan sepenuh hati.

2.            Berserah diri kepada Allah SWT dengan menyerahkan segala urusannya kepadaNya dengan bersimpuh dihadapan pintu anugerah dan rahmatnya.


3.            Memohon perlindungan kepada Allah SWT yang maha kuasa dan maha tinggi, untuk selalu dilindungi dari gemerlapan dunia dan senantiasa mendapatkan hidayah dan inayahNya dalam mengarungi  gelombang samudera dunia.

 

 

SYARAT-SYARAT I’TIKAF


                     Diantara syarat  sah dari pelaksanaan  I’tikaf adalah sebagai berikut :

a.       Orang yang beri’tikaf harus muslim, karena Allah SWt tidak akan menerima ibadah yang dilakukan oleh orang yang tidak Islam.

b.      Orang yang beri’tikaf hendaklah suci dari badan, pakaian, tidak dalam kondisi junub, haidh dan nifas.


c.       Orang yang beri’tikaf haruslah orang yang sudah mumayyiz ( yang dapat membedakan antara yang benar dan yang salah ) atau ia sudah baligh.

d. Orang yang beri’tikaf haruslah memiliki niat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, tidak karena urusan dunia atau yang lainnya. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al Bayyinah ayat 5 ;

“Dan tidaklah diperintahkan kalian semua untuk ibadah kepada Allah kecuali dengan niat ikhlas.”

e. I’tikaf haruslah dilakukan di masjid. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT ( QS : Al Baqarah ; 187 )

“Dan janganlah kalian menggauli mereka ( wanita ) sedang kalian dalam keaadan I’tikaf “

Ulama berbeda pendapat tentang masjid yang dibolehkan didalamnya untuk melaksanakan I’tikaf. Berikut penjelasannya :
 
Menurut pendapat Imam Hanafi dan Ahmad, masjid yang dibolehkan didalamnya untuk melaksanakan I’tikaf adalah yang didirikan didalamnya shalat berjamaah. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang artinya :  “ Setiap masjid yang memilki imam dan muadzin maka sah dan boleh dilakukan I’tilaf didalamnya.” HR Daruquthni .
                    
                     Persyaratan ini, yang di maksud bila ynag melakukan I’tikaf itu laki-laki.
Adapun untuk wanita, maka boleh saja ia beri’tikaf dirumah dalam mushalla yang sengaja dibuat untuk shalat. Bahkan dalam madzhab ini , wanita yang beri’tikaf di masjid yang biasa untuk berjamaah sebagaimana termaksud diatas, hukumnya makruh. Begitu pula tidak sah bila ia beri’tikaf pada selain tempat yang biasa dia gunakan untuk shalat setiap hari.

Menurut pendapat Imam Malik dan Syafi’I dan Dawud Addzahiri, boleh melakukan I’tikaf di setiap masjid, tidak diharuskan di dalamnya didirikan shalat berjamaah, karena tidak nash atau dalil yang sharih ( langsung ) atau secara khusus tentang yang menyatakan tentang hal tersebut. Akan tetapi lebih diutamakan I’tikaf dilakukan di masjid jami’ karena Rasulullah SAW telah beri’tikaf di masjid jami’

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN I’TIKAF

                     Diantara hal-hal yang dapat membuat rusaknya ibadah I’tikaf kita adalah sebagai berikut :

1.            Bersetubuh ( Jima’) sekalipun tidak ssmpai mengeluarkan mani. Karena Allah SWT telah berfirman ( QS : Al Baqarah : 187 )

“Janganlah kamu mencampuri mereka ( istri-istrimu ) ketika kamu beri’tikaf dalam masjid.”

Namun demikian, menurut Madzhab Syafi’I, kalau persetubuhan itu terjadi karena lupa, maka tidak membatalkan I’tikaf.

2.            Hal-hal yang mendorong terjadinya persetubuhan. Seperti mencium dengan syahwat atau mencumbu dan sebagainya bila menyebabkan keluar air mani. Tapi kalau tidak sampai demikian ,maka tidak membatalkan I’tikaf.

3.            Pingsan dan gila, baik karena mabuk atau lainnya.

4.            Keluarnya haidh dan nifas bagi wanita.

5.            Murtad dari Islam. Berdasarakan firman Allah SWT ( QS : Az Zumar )
“Jika kalian syirik kepada Allah, maka terhapuslah amal kalian”

6.            Keluar dari masjid ,yang tidak ada kepentingan atau keperluan  yang syar’i. Karena diantara syarat sahnya I’tikaf adalah harus di masjid.

HAL-HAL YANG BOLEH DILAKUKAN KETIKA BERI’TIKAF

                     Ada beberapa hal yang di mana mu’takif (orang yang I’tikaf) boleh melakukannya tanpa mempengaruhi hukum I’tikaf atau membatalkannya. Hal ini adalah sebagai berikut;

q  Keluar dari masjid untuk mengantarkan keluarganya. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh shofiyah bahwa Rasulullah SAW pernah mengantarkannya ketika dia menjenguk atau menengoknya  dimalam hari. Dan pada saat itu shofiyah berada atau tinggal di rumah Usamah bin zaid.

q  Menyisir rambut, mencukur rambut, memotong kuku, dan membersihkan badan dari kotoran yang melekat di badannya. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Saw. Berkata Aisyah Ra bahwasanya Rasulullah SAW menyuruh saya untuk menyisirkan rambutnya dengan mengeluarkan kepalanya ke jendela kamar, serta saya membersihkannya. HR. Bukhori Muslim.

q  Keluar dari dari masjid karena da keperluan atau kebutuhan. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah RA. Bahwasannya Rasulullah Saw tidak masuk kerumahnya kecuali ada keperluan atau kebutuhan yang sangat penting. ( HR Bukhori Muslim )

q  Makan dan minum di dalam masjid serta tidur didalamnya, dengan menjaga kebersihan dan kesucian masjid. 



Senin, 14 Juli 2014

Hak Dan Kewajiban Rakyat Atas Pemerintahan Dan Masa Depan Perjuangan Islam


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله، الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه ووالاه، أما بعد:

Hak dan kewajiban umat atas pemerintahan

            Rakyat dan pemerintahan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.  Mustahil sebuah pemerintahan berdiri tegak tanpa ada rakyat atau umat yang ada di dalamnya. Sebab, kekuasaan pemerintahan seperti itu adalah kekuasaan yang kosong dan tidak memiliki kekuatan apa-apa. 
Rakyat atau umat tidak mungkin juga dapat hidup tanpa pemerintahan yang mengaturnya karena keadaan akan menjadi kacau akibat adanya kehendak-kehendak yang berbeda-beda dan saling memaksa. Hanya umat atau rakyat yang semuanya terdiri dari orang-orang bijak bestari yang tidak memerlukan pemerintahan.  Tetapi, umat yang memiliki karakter seperti ini hanya ada dalam alam mimpi atau alam utopi.
            Oleh karena itu, keberadaan sebuah negara yang terdiri dari pemerintahan dan rakyat adalah sebuah keniscayaan dalam ajaran Islam. Firman Allah SWT dalam Surah An-Nisaa’ ayat 58-59, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu.  Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.  Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu.  Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).”
            Ibnu Taimiyah dengan tegas menyatakan, “Barang siapa yang tidak bisa diluruskan dengan Al-Qur’an maka diluruskan dengan kekuatan.  Oleh karena itu agama ditegakkan dengan Al-Qur’an dan senjata.”  Sedangkan Imam Al-Ghazali mengatakan, “Dunia adalah ladang akhirat.  Agama tidak akan sempurna kecuali dengan dunia.  Kekuasaan dan agama adalah kembaran yang tidak dapat dipisahkan.  Agama adalah tiang, sementara penguasa adalah penjaga.  Bangunan tanpa tiang akan rubuh dan apa yang tidak dijaga akan hilang.  Keteraturan dan kedisiplinan tidak akan terwujud kecuali dengan penguasa.”
            Kewajiban pemerintahan kepada rakyatnya sangat jelas, yakni menyampaikan amanat dan menetapkan hukum secara berkeadilan.  Sedangkan kewajiban rakyat juga sangat jelas, yaitu tunduk dan taat kepada pemerintah dalam mengelola dan menjaga negaranya.  Amanat dan hukum yang harus dijalankan pemerintah dengan adil mencakup seluruh bidang kehidupan, mulai dari ekonomi, hukum, sosial, budaya, politik dan lainnya.  Rasulullah SAW menyatakan, “Saya lebih utama bagi setiap Muslim ketimbang dirinya sendiri.  Siapa yang meninggalkan harta kekayaan, maka menjadi hak warisnya.  Siapa yang meninggalkan utang atau anak-anak dan keluarga maka saya bertanggung jawab atas mereka.” (HR Muslim).
            Apabila kedua pihak tidak menunaikan kewajibannya maka kedua pihak akan kehilangan hak-haknya.  Hak keadilan dalam segala bidang bagi rakyat dan hak ketaatan dan kepatuhan bagi pemerintahan.  Keadaan ini akan menjadi ancaman serius bagi stabilitas negara dan bahaya yang ditimbulkannya boleh jadi akan melebihi serangan dari negara-negara musuh yang sangat kuat sekalipun. 
Untuk menjaga stabilitas inilah setiap Khalifah yang empat diangkat mereka melakukan pidato-pidato yang memerintahkan untuk mewaspadai kemungkinan di atas, sebagaimana pidato Khalifah Abu Bakar As Shidiq RA dalam pengangkatannya, “Wahai manusia seluruhnya, aku diangkat untuk memimpin kamu dan aku bukanlah orang terbaik diantara kamu.  Jika aku membuat kebaikan maka dukunglah aku.  Tetapi jika aku membuat kejelekan maka koreksilah aku.  Kebenaran itu suatu amanat dan kebohongan itu suatu khianat….. Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya.  Bila aku mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka tiada kewajiban patuh bagi kamu terhadap aku…. ”
           

Masa depan umat bila pemerintah melalaikan kewajibannya

            Kehancuran umat dan rakyat akan menjadi sebuah ancaman yang paling serius apabila pemerintahan tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya, terutama terhadap rakyat dan umatnya.  Pemerintah yang korup terhadap amanat yang diembannya dan yang zalim terhadap ketetapan-ketetapan hukumnya akan menjadi bencana besar dalam seluruh bidang kehidupan: sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, dan akhirnya eksistensi negara itu sendiri. 
Inilah kiamat yang dijanjikan sebagaimana yang dikatakan Rasulullah SAW dalam haditsnya: “Bila amanat disia-siakan tunggulah datangnya kiamat.”  Dikatakan: “Bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?” Rasulullah SAW bersabda: “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat.” (H.R. Bukhari).  Orang-orang yang memiliki sifat korup dan bengis tentu bukan ahlinya (menjadi) penguasa atau pemerintahan. 
            Bermacam-macam model negara yang menyeleweng dari negara ideal akibat tidak dilaksanakannya kewajiban pemerintahan. Ada negara diktator otoriter yang pemerintahannya membungkam segala bentuk kritik dan pendapat rakyat sehingga segala macam aktivitas rakyat dicurigai dan dibatasi.  Bersamaan dengan itu, negara akan bersifat sangat korup dan semena-mena karena tidak ada satu kekuatan pun yang mampu mengingatkan dan meluruskannya. Negara juga akan bersifat sekuler meskipun secara resmi ia menghormati keberadaan agama-agama. Peran agama diminimalisir sekecil mungkin dan akhirnya terpinggirkan tak berdaya. Yang berkembang adalah budaya hedonisme, pragmatisme, materialisme, dan permisivisme.  Pada puncaknya sumberdaya negara akan habis tersia-siakan akibat digerogoti terus-menerus secara tidak bertanggung jawab.
            Hal yang paling sering terjadi dalam negara seperti di atas adalah diterapkannya politik belah bambu oleh penguasa—satu kelompok diperlakukan istimewa, sedangkan kelompok lainnya diinjak-injak. Dua kelompok ini kemudian dihasut untuk saling bermusuhan dan bahkan menyerang satu dengan yang lain.  Maka, dengan itu perhatian rakyat akan terpecah oleh persoalan-persoalan konflik horisontal dan meninggalkan persoalan-persoalan yang terkait dengan kebobrokan pemerintah.  Isu yang dikembangkan kadang persoalan rasial, agama, fasilitas, bahkan sampai-sampai persoalan-persoalan sepele yang kemudian direkayasa menjadi persoalan besar yang dapat menimbulkan bentrokan. 
            Bahaya fitnah yang terjadi dalam suatu wilayah digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya : “Dan takutlah terhadap fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim di antara kamu semata.  Dan ketahuilah bahwasanya balasan Allah sangat berat.” (Q.S. 8/Al-Anfaal: 24).  Kezhaliman yang dilakukan oleh seorang rakyat saja dampak buruknya dapat menyebabkan kehancuran seluruh umat, apalagi jika kezhaliman itu datangnya dari rezim para penguasa; pemerintah yang seharusnya memerintah dan mengatur rakyat.  Bahayanya akan jauh lebih besar dan lebih dahsyat lagi.

Menuntut hak dengan menunaikan kewajiban

            Masa depan umat di dalam sebuah negara yang pemerintahannya zalim sangat tergantung pada umat atau rakyat itu sendiri.  Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Setiap nabi yang diutus Allah kepada suatu kaum sebelum saya selalu punya pendukung dan pembela yang melaksanakan sunnahnya dan mematuhi perintahnya.  Kemudian kaum itu meninggalkan generasi yang mengatakan apa yang mereka tidak lakukan, melakukan apa yang tidak diperintahkan.  Siapa yang melawan mereka dengan kekuatan tangannya, maka dia adalah orang mukmin.  Siapa yang melawan mereka dengan kekuatan lisannya, maka dia adalah mukmin.  Siapa yang melawan mereka dengan kekuatan hatinya, maka dia adalah mukmin.  Selain tindakan itu, tidak ada lagi keimanan sebesar zarrah pun.” (H.R Muslim).
            Terpeliharanya negara dari penyelewengan para penguasanya merupakan hasil kerja dari orang-orang kritis yang mengelilingi penguasa tersebut.  Mereka bisa berasal dari golongan wazir (menteri), ulama, atau bahkan rakyat kecil sekalipun.  Oleh karena itu, umat tidak boleh tinggal diam melihat kezhaliman yang merajalela di depan matanya.  Para pemimpin pemerintahan itu adalah saudara Muslim mereka sendiri sehingga terkena kewajiban di antara pribadi Muslim satu dengan lainnya. Salah satu di antaranya adalah saling menasihati dalam kebenaran, kesabaran, dan kasih sayang. 
Imam Muslim dan Ahmad meriwayatkan, pada suatu hari seorang sahabat, ‘Aidz ibn Amru (wafat 61 H) datang menemui salah seorang gubernur yang bernama Ubaidillah ibn Ziyad dan menasihatinya: “Wahai anakku, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda bahwa seburuk-buruk pemimpin adalah mereka yang bengis.  Maka hati-hatilah engkau agar tidak termasuk ke dalam golongan mereka.” Ubaidillah ibn Ziyad kemudian menyahut: “Duduklah, sesungguhnya engkau hanyalah seorang yang tidak diperhitungkan (nukhoolatun) dari sahabat-sahabat Muhammad.”  ‘Aidz ibn Amru kemudian berkata: “Adakah orang-orang yang tak diperhitungkan pada atau di antara sahabat-sahabat Muhammad?  Sesungguhnya orang-orang yang tak diperhitungkan itu ada pada masa sesudah mereka dan di dalam masyarakat selain mereka.”
Dalam sebuah pertemuan di Istana Baghdad Al Hasan bin Zaid, gubernur Madinah, meminta seorang ulama shalih bernama Ibnu Abi Dzuaib yang ada di ruang pertemuan itu untuk menilai Khalifah Abu Ja’far Al Manshur.  “Apa yang engkau katakan tentang diriku ?” tanya  khalifah Abbasiyah itu.  “Engkau bertanya kepadaku seakan-akan kamu tidak tahu tentang dirimu sendiri?” Abi Dzuaib balik bertanya, “Demi Allah, engkaulah yang memberitahu aku,” kata Abu Ja’far menegaskan.  Abu Dzuaib akhirnya berkata, “Aku bersaksi engkau telah mengambil harta benda dengan cara tidak benar, lalu engkau memberikannya kepada orang yang tidak berhak atas harta itu. Aku juga bersaksi bahwa kezaliman merajalela di pintu rumahku.” 
Mendengar hal itu Abu Ja’far bangkit dari tempat duduknya lalu memegang tengkuk Ibnu Abi Dzuaib seraya berkata, “Demi Allah, andaikata aku tidak sedang berdiam di tempat ini, tentu sudah kuambil negeri Persia, Romawi, dan Turki dengan jaminan tengkukmu ini.” Abi Dzuaib dengan tenang berkata, “Wahai Amirul Mukminin, Abu Bakar dan Umar telah menjadi pemimpin.  Mereka berdua melaksanakan kebenaran, berbuat dengan adil, mencengkram tengkuk orang-orang Persia dan Romawi serta dapat menonjok hidung mereka.”  Abu Ja’far melepaskan tangannya dari tengkuk Ibnu Abi Dzuaib seraya berkata, “Demi Allah, kalau bukan karena engkau orang yang jujur, tentu aku akan membunuhmu.”  Abi Dzuaib berkata, “Demi Allah wahai Amirul Mukminin, aku memberi nasihat kepadamu lantaran anakmu, Al Mahdi.” (Diriwayatkan oleh Imam Asy-Syafi’i).
            Dengan mengembangkan tradisi kritis terhadap pemerintahan yang merupakan kewajiban rakyat, insya Allah para penguasa pun akan terketuk hatinya untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai pemimpin. Jika pemerintah yang berlaku zalim tak mau menerima kritik, maka akan terjadi sunnatullah dimana akumulasi ketidakpuasan rakyat akan memaksa terjadinya perubahan-perubahan pemerintahan secara lebih tidak terkendali.  Kekacauan dan fitnah memang sesuatu yang mengerikan tetapi, sebagaimana terjadi pada masa-masa lalu, hal itu tidak dapat dihindari dalam mengiringi kemunculan terjadinya perubahan yang lebih menjanjikan masa depan.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ - والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته