Rabu, 02 Januari 2019

PERBAIKAN DIRI




Sebaik-baik manusia adalah, yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini

Hitung-hitunglah diri kalian, sebelum kalian dihitung (Umar bin Khottob)


Siapa saja yang mengerjakan kebaikan (amal shaleh) baik lelaki maupun wanita, dan ia beriman, maka baginya kehidupan yang lebih baik. (QS:16:97)

Dan berjihadlah kalian dengan harta dan jiwa kalian..

Dan persiapkanlah oleh kalian segala kekuatan….(Al Qur’an 8:60)

Siapa saja yang berbuat (to create process and product) kebajikan maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya (memanfaatkannya) ……….

“Allah mencintai orang yang selalu bekerja dan berusaha “


“Tidak seorangpun yang akan memperoleh kehidupan yang lebih baik daripada orang yang memperoleh penghasilan dengan tangnnya sendiri. Nabi Daudpun memperoleh nafkah penghidupan dari tangannya sendiri”.

Barang siapa yang memudahkan urusan seorang muslimin, Allah akan memudahkan urusannya di hari kiamat.

Orang yang cerdas ialah yang menghisab dirinya dan berbuat untuk kepentingan sesudah mati. Sedangkan orang yang lemah adalah yang membiarkan dirinya
mengikuti hawa nafsunya (Hadis)



            Setiap manusia hendaknya selalu memperhatikan tentang apa, siapa, ke arah mana  dan bagaimana dirinya dalam pentas kehidupan ini.  Dengan mengetahui semua hakikat jawaban itu niscaya ia akan mendapatkan setengah dari makna kehidupan itu sendiri. Dan tatkala ia telah menemukan siapa dirinya, maka yang muncul ke permukaan kesadaran adalah kerapuhan dan kelemahan dirinya di hadapan bentangan alam kehidupan yang bermula dari dunia sampai tak berujung di negeri akhirat nanti. Dengan demikian, manusia sejati adalah manusia yang selalu menyadari kelemahan dan kerapuhan dirinya sehingga ia selalu berusaha terus menerus memperbaiki diri, sampai ia datang ke hadapan Penguasa kehidupan ini dengan penuh ketenangan:

Wahai jiwa yang tenang, kembalilah ke haribaan robbmu dengan keridlaan….. (QS 89:27-30)

            Sesungguhnya inti perbaikan diri adalah pembersihan jiwa (tazkiyatunnafs), yang apabila sang jiwa sudah bersih maka unsur pembentuk diri yang lainpun akan ikut terkoreksi.

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya, dan sesungguhnya merugilah orang yang mencemarkannya” (QS AsSyams: 9-10)

Dan proses mensucikan jiwa harus menyeluruh, dalam arti, bahwa pembersihan jiwa merupakan perbaikan seluruh dimensi kepribadian yang membentuk diri kita sebagai orang yang beriman dan bertaqwa.
Perbaikan diri hendaknya mengarah kepada kesuksesan dan kejayaan hidup sesuai dengan perspektif  Al Qur’an. Bila kita rujuk surah Al Hajj: 77, maka Allah memberikan gambaran bahwa kesuksesan itu dapat diraih melalui dua pilar kegiatan:
a.       Meningkatkan hubungan dengan Allah SWT melalui serangkaian ibadah yang berkualitas
b.      Meningkatkan kinerja ‘amal khoir, yang berorientasi pada kemaslahatan hidup dan kehidupan ummat.

Sesungguhnya, dengan mengacu kepada kedua pilar itu arah kejayaan hidup menjadi sangat terang dan jelas, dan langkah-langkah perbaikan diri dapat dikembangkan berdasarkan kedua pilar tersebut dalam rangka mempersiapkan diri meraih kesuksesan dan kejayaan. Langkah-langkah perbaikan diri tersebut meliputi:


1.      Perbaikan Ruhiyah. Perbaikan aspek ini penting dilakukan untuk meningkatkan pengendalian diri (nafsu) menghadapi segala rangsangan kehidupan dunia yang menggiurkan maupun ancaman kehidupan yang mengguncangkan. Inti perbaikan ruhiyah adalah meningkatnya hubungan dengan Allah SWT melalui serangkaian kegiatan hati, lisan dan amal perbuatan. Dengan meningkatknya hubungan dengan Allah SWT, maka akan didapatkan banyak hal positif:

  1. Kemudahan mendapat ilmu (QS 2:282)
  2. Kemudahan menganalisis segala fenomena kehidupan (QS 8:29)
  3. Kemudahan menemukan pemecahan masalah (QS 65:4)
  4. Kemudahan mendapatkan jalan keluar (QS 65:2)
  5. Kemudahan mendapatkan fasilitas kehidupan  (QS 65:3)
  6. Keberkahan hidup (QS 7:172)
  7. Ketenteraman hati.  (QS 13:

Sebaliknya, kerenggangan hubungan dengan Allah SWT akan mendapatkan kehidupan yang sempit (ma’isyatan dhonka)  (QS:        ). Oleh karena itu hal yang segera harus ditegakkan dalam membina hubungan dengan Allah SWT adalah peningkatan kualitas kewajiban fardhu dan memperkayanya dengan amal nawafil.

Bila hambaku mendekati aku dengan  sejengkal maka aku mendekat kepadanya sehasta, dan jika mendekat kepadaKu sehasta Aku mendekat kepadanya sedepa, dan jika datang kepadaKu berjalan, Aku datang kepadanya berjalan cepat (Hadis qudsi)

           
Perbaikan ruhiyah dalam perspektif tazkiyatunnafs Imam Ghazali mengikuti urut-urutan sebagai berikut:
 Muroqobah     : jiwa yang selalu merasa diawasi oleh Allah SWT sehingga ia selalu takut
  berbuat segala sesuatu yang menimbulkan kemarahanNya.
Muhasabah      : jiwa yang selalu memperhitungkan dan mempertimbangkan segala
   amalannya dalam perspektif kehidupan akhirat
Mu’aqobah      : jiwa yang selalu menghukum dirinya apabila terlanjur khilaf berbuat
   Maksiyat (salah).
Mujahadah      :  jiwa yang selalu sungguh-sungguh dalam beramal ibadah



2.      Perbaikan Tsaqofiyah


Peningkatan kualitas diri seseorang sejajar dengan keluasan wawasan dan kedalaman ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Rasulullah SAW mewajibkan kaum muslimin untuk menuntut ilmu sepanjang hayat. Belajar tiada henti.

Tuntutlah ilmu, dari ayunan hingga liang lahat


Allah SWT mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan di antara kalian (QS         )
Samakah orang-orang yang berpengetahuan dan mereka yang tidak berpengetahuan ?? (QS      )


Sebaiknya setiap kita meningkatkan pengetahuan dasar tentang
  1. Fiqhul ibadah, dengan memperbandingkan berbagai pendapat mazhab
  2. Manhaj ikhwan melalui serangkaian referensi utama dan penunjang
  3. Pandangan Islam terhadap Ekonomi, Politik, Sosial, Psikologi, Seni Budaya, Hukum dan Keluarga.
  4. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi kontemporer
  5. Perkembangan social, budaya, hukum dan politik kontemporer
                               
Di sisi lain, setiap al akh hendaknya menguasai secara baik satu bidang ilmu yang menjadi core competencenya, sehingga orang dapat merujuk kepadanya mengenai permasalahan yang menjadi kompetensinya.


3.      Perbaikan Fisikal



Sesungguhnya Allah lebih menyukai orang mu’min yang kuat ketimbang orang mu’min yang lemah. (Hadis)

Tentu saja perbaikan diri juga menyentuh aspek fisikal, karena tubuh yang kuat dan sehat merupakan modal utama untuk berbuat banyak hal yang bermanfaat. Tubuh yang kuat merupakan salah satu karakteristik utama dalam kepemimpinan (leadership). Allah SWT menyebutkan hal tersebut dengan istilah: 
--- qowwiyul amien (kuat dan terpercaya) (QS 28:26)
--- bashthotan minal ‘ilmi wal jism  (mumpuni dalam ilmu dan jasad)…………Tholut

Dan Imam Syahid Hasan Al Banna mewasiatkan kepada para kader ikhwan agar selalu menjaga kesehatan tubuh dengan melakukan pemeriksaan kesehatan  (medical check up) paling tidak setiap 6 bulan sekali dan menganjurkan untuk tidak mengkonsumsi minuman yang cenderung melemahkan tubuh.  Dengan tubuh yang sehat dan bugar maka kualitas amal ibadah dan amal khidmah kita akan semakin meningkat kualitas maupun kuantitasnya.



4.      Perbaikan Sikap dan Keterampilan Produksi


Perbaikan diri yang tidak kalah pentingnya adalah yang terkait dengan sikap dan keterampilan dalam bekerja, karena dengan bekerjalah Allah akan memberikan balasannya (Jazaa’an bima kanuu ya’malun) .

Bekerja dalam konteks amal sholeh harus memperhatikan efisiensi dan efektifitas yang pada gilirannya akan melahirkan produktivitas. Untuk dapat bekerja secara produktif diperlukan sikap mental produktif.

Allah suka apabila kalian bekerja, maka ia bekerja dengan rapih..
Allah menetapkan kepada kalian agar bekerja dengan ihsan…(Al Hadits)

Seseorang tidak mendapatkan sesuatu kecuali apa yang telah diusahakannya (53:39)

Bagi seorang laki-laki ada manfaat dari apa yang ia usahakan, dan bagi wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan (4:32)

Ada jaminan bagian untuk orang yang berusaha 
dan bekerja keras (41:10)

Allah sekali-kali tidak akan mengubah nasib suatu bangsa, sehingga bangsa itu mengubahnya sendiri (13:11)

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan (94:6)

Kami telah menciptakan manusia dan menguatkan persendian mereka 76:28
Dan adapun orang-orang yang berat timbangan(kebajikan)nya maka ia berada dalam kehidupan yang memuaskan (101:6-7)

Gambaran Alqur’an tentang sikap produktif dalam bekerja diperjelas dengan kisah-kisah para nabi yang bekerja sesuai dengan kemampuannya, namun mencerminkan sikap mental dan perilaku yang sangat produktif. Lihat kisah:
-          Nabi Musa bekerja kepada nabi Syu’aib (28:27)
-          Nabi Khaidir menegakkan rumah yang roboh (18:77)
-          Nabi Daud membuat baju besi (34:10-11)
-          Nabi Nuh membuat bahtera (11:37-38)
-          Nabi Dzulqarnain membuat dinding besi (18:95-96)

Seorang pakar sdm menyebutkan bahwa ciri-ciri individu yang produktif adalah:

·         Secara konstan selalu mencari gagasan-gagasan yang lebih baik dan cara penyelesaian tugas yang lebih baik lagi
·         Selalu memberi saran-saran untuk perbaikan secara sukarela
·         Menggunakan waktu secara efektif dan efisien
·         Selalu melakukan perencanaan dan menyertakan jadwal waktu
·         Bersikap positif terhadap pekerjaannya
·         Dapat berlaku sebagai anggota kelompok yang baik sebagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik
·         Dapat memotivasi dirinya sendiri melalui dorongan dari dalam
·         Memahami pekerjaan orang lain yang lebih baik
·         Mau mendengar ide-ide orang lain yang lebih baik
·         Hubungan antar pribadi dengan semua tingkatan dalam organisasi berlangsung dengan baik
·         Sangat menyadari dan memperhatikan masalah pemborosan dan biaya-biaya;
·         Mempunyai tingkat kehadiran yang baik (tidak banyak absen dalam pekerjaannya)
·         Seringkali melampau standar yang telah ditetapkan
·         Selalu mempelajari sesuatu yang baru dengan cepat
·         Bukan merupakan tipe orang yang selalu mengeluh dalam bekerja.

 

5.      Perbaikan Hubungan Sosial (Ittishol Ijtima’iyah)



Perbaikan diri seorang da’i akhirnya bermuara pada hubungannya dengan komunitas masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya. Pentingnya menjaga hubungan dengan masyarakat sekitar mendapat perhatian yang tinggi dalam Islam, terlihat dari bagaimana Allah SWT dan RasuluLlah SAW  memandang masalah ini dalam konteks hubungan dengan tetangga sebagai komunitas masyarakat yang paling dekat jarak dan interaksinya dengan kita.


“…Dan berbuat baiklah terhadap tetangga yang (menjadi) kerabatmu.”
(QS An Nisa:36)



Ibnu Umar dan Aisyah ra berkata keduanya: “ Jibril selalu menasihatiku untuk
berlaku dermawan terhadap para tetangga, hingga rasanya aku ingin memasukkan tetangga-tetangga tersebut ke dalam kelompok ahli waris seorang muslim”.
 (HR Bukhori Muslim)

Abu Dzarr ra berkata: Bersabda RasuluLLah SAW: “Hai Abu Dzarr jika engkau
memasak sayur, maka perbanyaklah kuahnya, dan perhatikan tetanggamu
(HR Muslim)

Abu Hurairah berkata: Bersabda Nabi SAW, “Demi Allah tidak beriman, demi
Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman. Ditanya: Siapa ya RasuluLlah ?
Jawab Nabi: “Ialah orang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya”
(HR Bukhori, Muslim)

Abu Hurairah berkata: Bersabda Nabi SAW “Siapa yang beriman kepada Allah
dan hari Akhir hendaklah tidak mengganggu tetangganya. (HR Bukhori, Muslim).

“Orang yang tidur dalam keadaan kenyang sedangkan tetangganya lapar
bukanlah ummatku.” (HR….)


0 komentar:

Posting Komentar