Selasa, 15 Desember 2015

ARASY ALLAH



Arasy adalah singgasana Allah, apa maksudnya ?
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy
- Qs. 7 al-Araf : 54
Telah terjadi perbedaan pandangan antara ulama tradisional dengan ulama-ulama kontemporer dan modern dalam menafsirkan istilah 'Arsy ini. Dimana ulama tradisional lebih suka memahami Arsy sebagai suatu singgasana dimana dari singgasana-Nya inilah Tuhan mengendalikan kekuasaan-Nya atas makhluk-makhluk-Nya, namun ulama-ulama tersebut juga lebih suka untuk tidak melakukan pembahasan lebih jauh mengenainya dan hanya mencukupkan urusannya kepada iman dan itu menjadi rahasia ALLAH.
Sejumlah ulama lain yang lebih moderat menolak penafsiran Arasy seperti yang telah disebutkan tadi karena menurut mereka ALLAH tidak membutuhkan tempat, ruangan dan juga tidak terikat dengan waktu. Jika dikatakan bahwa ALLAH duduk diatas 'Arsy maka berarti ALLAH memiliki wujud yang sama seperti makhluk-Nya yang memerlukan tempat tinggal dan tempat bernaung, padahal ALLAH Maha Suci dan Maha Mulia dari semua itu !
Tidak ada sesuatu apapun yang sama dengan-Nya
- Qs. 112 al-Ikhlas : 4
Lebih bijak jika kita mengadakan pendekatan penafsiran istilah Arsy sebagai tempat dimana ALLAH mempertunjukkan kekuasaan-Nya kepada semua hamba-hambaNya, dan itulah alam semesta yang terbentang luas dihadapan kita. Semua isi alam ini, termasuk benda-benda angkasa seperti bumi, bulan, matahari, planet-planet, komet dan apa saja yang ada diantara keduanya merupakan perwujudan dari singgasana Tuhan.
Adalah Arsy-Nya berada diatas air
- Qs. 11 Huud : 7
Dari ilmu pengetahuan modern kita bisa mengetahui bahwa angkasa raya tidaklah kosong hitam saja seperti yang kita lihat dimalam hari, beberapa hasil observasi sejumlah astronom telah mendeteksi adanya bahan jernih yang terbuat dari 99 persen gas (rata-rata Hidrogen dan Helium) dan 1 persen partikel berukuran debu yang memiliki komposisi mirip dengan senyawa silikon, oksida besi, kristal es dan sejumlah kumpulan molekul lain termasuk molekul organik yang mengisi nebula maupun jarak antar bintang[1].
Bahkan Nazwar Syamsu[2] lebih condong menterjemahkan istilah Alma (biasanya selalu diterjemahkan sebagai air dalam bahasa Indonesia) pada surah 11 ayat 7 diatas sebagai Hydrogen itu sendiri, mengingat Hydrogen adalah atom asal dan beliau mengkaitkannya dengan istilah Dukhan (biasa diterjemahkan sebagai asap) sebagai sumber penciptaan alam semesta seperti yang disitir dalam Surah Fushshilat : 11.
Terlepas dari semuanya, mungkin ini juga alasannya kenapa Tuhan begitu gigih memerintahkan kepada manusia untuk mempelajari ilmu tentang alam semesta sembari tidak melupakan tasbih kepada-Nya, baik tasbih dalam arti berdzikir lisan mengucap puja dan puji seperti para Malaikat ataupun bertasbih dalam pengertian sikap tunduk dan patuh serta sadar akan kekecilan diri dihadapan Yang Kuasa sebagaimana tunduknya alam semesta dan seperti tunduknya burung-burung dan gunung.
Para Malaikat yang di sisi-Nya, mereka tidak punya rasa angkuh untuk mengabdi kepada-Nya dan tidak merasa letih,
mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya. - Qs. 21 al-anbiyaa : 19 - 20
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya - Qs. 17 al-israa : 44
Gunung-gunung dan burung-burung yang bertasbih - Qs. 21 al-anbiyaa : 79
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat seperti kamu - Qs. 6 al-anaam : 38
Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi - Qs. 3 ali Imron : 191
Secara bijaksana kita juga bisa melihat persamaan penafsiran istilah Arasy ini sebagai kata kiasan dengan mempersamakannya dengan kata kias pada penafsiran istilah Wajah ALLAH, Tangan-Nya, Kursi-Nya ataupun Betis sebagaimana terdapat dalam ayat-ayat berikut :
Dan adalah kepunyaan Allah Timur dan Barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah Wajah Allah - Qs. 2 al-Baqarah : 115
Maka Maha Suci Dia yang ditangan-Nya kekuasaan atas semuanya - Qs. 36 Yaasin : 83
Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan - Qs. 55 ar-Rahman : 27
Kursi Allah meliputi langit dan bumi. - Qs. 2 al-Baqarah: 255
Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud
- QS. 68 al-Qalam : 42



Wassalam,

Selasa, 08 Desember 2015

Birrul Walidain


Keutamaan Birrul Walidain
1.      أَحَبُّ اْلأَعْمَالِ إِلَى اللهِ بَعْدَ الصَّلاَةِ (amal yang paling dicintai disisi Allah SWT selepas Solat) (
Sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abdir Rahman Abdillah Ibni Mas’ud ra “Aku pernah bertanya kepada Nabi SAW amal apa yang paling di cintai disisi Allah ?” Rasulullah bersabda “Solat tepat pada waktunya”. Kemudian aku tanya lagi “Apa lagi selain itu ?” bersabda Rasulullah “Berbakti kepada kedua orang tua” Aku tanya lagi “ Apa lagi ?”. Jawab Rasulullah “Jihad dijalan Allah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini tidak beerti jika melakukan Solat tepat pada waktu dan jihad fisabilillah menafikan kewajipan birrul walidain kerana Rasulullah SAW. pernah menolak permohonan salah seorang sahabat untuk jihad fisabilillah kerana masalah hubungan dengan kedua ibu bapanya. Lantas Rasulullah SAW. memerintahkan beliau segera pulang menyelesaikan permasalahan tersebut dahulu.
2.     مُسْتَجَابُ الدَّعْوَةِ (doa mereka mustajab)
Di antara buktinya adalah kisah ulama besar hadits yang sudah ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin, Imam Bukhari rahimahullah. Beliau buta sewaktu kecil lalu ibunya seringkali berdoa agar Allah SWT. memulihkan penglihatan beliau.
Suatu malam di dalam mimpi, ibunya melihat Nabi Allah, al-Khalil, Ibrahim ‘alaihis salam yang berkata kepadanya, ‘Wahai wanita, Allah telah mengembalikan penglihatan anakmu karena begitu banyaknya kamu berdoa.”
Pada pagi harinya, ia melihat anaknya dan ternyata benar, Allah telah mengembalikan penglihatannya.[v]
Hal di atas menunjukkan benarnya sabda Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam akan manjurnya do’a orang tua pada anaknya.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لاَ تُرَدُّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ ، وَدَعْوَةُ الصَّائِمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ
Tiga doa yang tidak tertolak yaitu doa orang tua, doa orang yang berpuasa dan doa seorang musafir.” (HR. Al Baihaqi[vi])
3.   سَبَبُ نُزُوْلِ الرَّحْمَةِ (sebab turunnya rahmat)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin rezkinya diperluas, dan agar usianya diperpanjang (dipenuhi berkah), hendaknya ia menjaga tali silaturahim.” (HR. Bukhari dan Muslim)
4.      Bukan beerti membalas budi kerana jasa mereka tidak mungkin terbalas
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
Seorang anak tidak akan dapat membalas budi baik ayahnya, kecuali bila ia mendapatkan ayahnya sebagai hamba, lalu dia merdekakan.” (HR. Muslim)
5.      Al ummu hiya ahaqu suhbah (prioriti untuk mendapat perlakuan yang lebih dekat dari kedua orang tua ialah ibu)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu ia berkata, “Datang seseorang kepada Rasulullah SAW. dan berkata, ’Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali ? Nabi SAW. menjawab, ’Ibumu! Orang tersebut kembali bertanya, ’Kemudian siapa lagi ? Nabi SAW. menjawab, ’Ibumu! Ia bertanya lagi, ’Kemudian siapa lagi?’ Nabi SAW. menjawab, ’Ibumu!, Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi, ’Nabi SAW. menjawab, Bapakmu ” (HR. Bukhari dan Muslim)
6.      Taat kepada orang tua adalah salah satu penyebab masuk Syurga.
Rasulullah SAW. bersabda, “Sungguh kasihan, sungguh kasihan, sungguh kasihan.” Salah seorang sahabat bertanya, “Siapa yang kasihan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang sempat berjumpa dengan orang tuanya, kedua-duanya, atau salah seorang di antara keduanya, saat umur mereka sudah tua, namun tidak dapat membuatnya masuk Surga.” (HR. Muslim)
7.      Durhaka kepada orang tua, termasuk dosa besar yang terbesar.
Dari Abu Bakrah diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Mahukah kalian kuberitahukan dosa besar yang terbesar?” Para Sahabat menjawab, “Tentu mahu, wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.” Beliau bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah, dan durhaka terhadap orang tua.” Kemudian, sambil bersandar, beliau bersabda lagi, “..ucapan dusta, persaksian palsu..” Beliau terus meneruskan mengulang sabdanya itu, sampai kami (para Sahabat) berharap beliau segera terdiam. (HR Bukhari dan Muslim)

Melaksanakan Birrul Walidain
Semasa Mereka Masih Hidup          
1. Mentaati Mereka Selama Tidak Mendurhakai Allah

Sa’ad bin Abi Waqas – semoga Allah merahmatinya –  menerapkan bagaiman konteks Birrul Walidain mempertahankan keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Saat ibunya mengetahui bahwa Sa’ad memeluk agama Islam, ibunya mempengaruhi dia agar keluar dari Islam sedangkan Sa’ad terkenal sebagai anak muda yang sangat berbakti kepada orang tuanya. Ibunya sampai mengancam kalau Sa’ad tidak keluar dari Islam maka ia tidak akan makan dan minum sampai mati. Dengan kata-kata yang lembut Sa’ad merayu ibunya “ Jangan kau lakukan hal itu wahai Ibunda, tetapi saya tidak akan meninggalkan agama ini walau apapun gantinya atau risikonya”.
Sehubungan dengan peristiwa itu, Allah menurunkan ayat:
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya…” (QS. Luqman: 15)
Tidak bosan-bosannya Sa’ad menjenguk ibunya dan tetap berbuat baik kepadanya serta menegaskan hal yang sama dengan lemah lembut sampai suatu ketika ibunya menyerah dan menghentikan mogok makannya.
2. Berbakti dan Merendahkan Diri di Hadapan Kedua Orang Tua

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tua ibu bapanya…”(QS. Al-Ahqaaf: 15)
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua ibu bapa…” (QS. An-Nisaa’: 36)
Perintah berbuat baik ini lebih ditegaskan jika usia kedua orang tua semakin tua dan lanjut hingga keadaan mereka melemah dan sangat memerlukan bantuan dan perhatian daripada anaknya.
Abu Bakar As Siddiq ra. adalah sahabat Rasulullah SAW yang patut ditauladani dalam berbaktinya terhadap orang tua. Disaat orang tuanya telah memasuki usia yang sangat udzur, beliau masih melayan bapanya dengan lemah lembut dan tidak pernah putus asa untuk mengajak ayahnya beriman kepada Allah. Penantian beliau yang cukup lama berakhir apabila ayahnya menerima tawaran untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Allah berfirman dalam QS. 14 : 40 – 41 ayat yang do’a agar anak, cucu dan seluruh anggota keluarganya menjadi orang-orang yang muqiimas Solat (mendirikan Solat) dan diampuni dosa-dosanya. Ayat ini merupakan suatu kemuliaan yang diberikan Allah SWT kepada kelurga Abu Bakar As Siddiq ra.
3. Merendahkan Diri Di Hadapan Keduanya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kami jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: ‘Wahai, Rabb-ku, kasihilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’” (QS. Al-Israa’: 23-24)
4. Berbicara Dengan Lembut Di Hadapan Mereka
Nabi Ibrahim ‘alaihiisalam mempunyai ayah yang bernama Azar yang aqidah-nya menyalahi dengan Nabi Ibrahim ‘alaihiisalam tetapi tetap menunjukan birrul walidain yang dilakukan seorang anak kepada bapaknya. Dalam menegur ayahnya beliau menggunakan kata-kata yang mulia dan ketika mengajak ayahnya agar kejalan yang lurus dengan kata-kata yang lembut sebagaimana dikisahkan Allah pada QS. 19 : 41-45.
5. Menyediakan Makanan Untuk Mereka

Dari Anas bin Nadzr al-Asyja’i, beliau bercerita, suatu malam ibu dari sahabat Ibnu Mas’ud meminta air minum kepada anaknya. Setelah Ibnu Mas’ud datang membawa air minum, ternyata si Ibu sudah tidur. Akhirnya Ibnu Mas’ud berdiri di dekat kepala ibunya sambil memegang bekas berisi air tersebut hingga pagi. (Diambil dari kitab Birrul walidain, karya Ibnu Jauzi)
6. Meminta Izin Kepada Mereka Sebelum Berjihad dan Pergi Untuk Urusan Lainnya

Izin kepada orang tua diperlukan untuk jihad yang belum ditentukan. Seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya: “Ya, Raslullah, apakah aku boleh ikut berjihad?” Beliau balik bertanya: “Apakah kamu masih mempunyai kedua orang tua?” Laki-laki itu menjawab: “Masih.” Beliau bersabda: “Berjihadlah (dengan cara berbakti) kepada keduanya.” (HR. Bukhari no. 3004, 5972, dan Muslim no. 2549, dari Ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anhu)
7. Memberikan Harta Kepada Orang Tua Menurut Jumlah Yang mereka Inginkan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada seorang laki-laki ketika ia berkata: “Ayahku ingin mengambil hartaku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kamu dan hartamu milik ayahmu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Oleh sebab itu, hendaknya seseorang jangan bersikap bakhil (kikir) terhadap orang yang menyebabkan keberadaan dirinya, memeliharanya ketika kecil dan lemah, serta telah berbuat baik kepadanya.
8. Membuat Keduanya Ridha Dengan Berbuat Baik Kepada Orang-orang yang Dicintai Mereka

Hendaknya seseorang membuat kedua orang tua ridha dengan berbuat baik kepada para saudara, karib kerabat, teman-teman, dan selain mereka. Yakni, dengan memuliakan mereka, menyambung tali silaturrahim dengan mereka, menunaikan janji-janji (orang tua) kepada mereka. Akan disebutkan nanti beberapa hadits yang berkaitan dengan masalah ini.
9. Memenuhi Sumpah Kedua Orang Tua

Apabila kedua orang tua bersumpah kepada anaknya untuk suatu perkara tertentu yang di dalamnya tidak terdapat perbuatan maksiat, maka wajib bagi seorang anak untuk memenuhi sumpah keduanya karena itu termasuk hak mereka.
10. Tidak Mencela Orang Tua atau Tidak Menyebabkan Mereka Dicela Orang Lain

Mencela orang tua dan menyebabkan mereka dicela orang lain termasuk salah satu dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Termasuk dosa besar adalah seseorang mencela orang tuanya.” Para Sahabat bertanya: “Ya, Rasulullah, apa ada orang yang mencela orang tuanya?” Beliau menjawab: “Ada. Ia mencela ayah orang lain kemudian orang itu membalas mencela orang tuanya. Ia mencela ibu orang lain lalu orang itu membalas mencela ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Apabila Mereka Meninggal Dunia (بَعْدَ وَفَاتِهِمَا)
1. Mensolati/Berdo’a terhadap Keduanya

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi SAW bersabda, “Apabila manusia sudah meninggal, maka terputuslah amalannya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan dirinya.”
 (HR. Muslim)
2. Beristighfar Untuk Mereka Berdua

Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan kisah Ibrahim Alaihissalam dalam Al-Qur’an:
Ya, Rabb kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku…”
 (QS. Ibrahim: 41)
3. Menunaikan Janji/Wasiat Kedua Orang Tua

4. Memuliakan Rakan-Rakan Kedua Orang Tua

Ibnu Umar berkata aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya bakti anak yang terbaik ialah seorang anak yang menyambung tali persahabatan dengan keluarga teman ayahnya setelah ayahnya tersebut meninggal.” (HR. Muslim)
5. Menyambung Tali Silaturahim Dengan Kerabat Ibu dan Ayah

Barang siapa ingin menyambung silaturahim ayahnya yang ada di kuburannya, maka sambunglah tali silaturahim dengan saudara-saudara ayahnya setelah ia meninggal.”
 (HR. Ibnu Hibban)

Rasulullah SAW. yang telah ditinggal ayahnya Abdullah kerana meninggal dunia saat Rasulullah SAW. masih dalam kandungan ibunya Aminah. Dalam pendidikan birrul walidain ibunya mengajak Rasulullah ketika berusia enam (6) tahun untuk berziarah kemakam ayahnya dengan perjalanan yang cukup jauh. Dalam perjalanan pulang ibunda beliau jatuh sakit tepatnya didaerah Abwa hingga akhirnya meninggal dunia. Setelah itu Rasulullah diasuh oleh pamannya Abdul Thalib, beliau menunjukan sikap yang mulia kepada pamannya walaupun aqidah pamannya berbeda dengan Rasulullah. Dan Rasulullah SAW. berbakti pula kepada pengasuhnya yang bernama Sofiah binti Abdil Mutthalib.

Selasa, 01 Desember 2015

Pemimpin: Cerminan Masyarakatnya



 


Allah swt. dalam Al Qur’an sering bercerita tentang Fir’aun, supaya sosok pemimpin seperti Fir’aun tidak muncul lagi dalam hidup manusia. Cukuplah Fir’un sebagai contoh manusia paling kafir, dan jangan sampai ada lagi masyarakat yang mencetak pemimpin seperti dia. Cukuplah Fir’aun sebagai pelajaran, jangan sampai berulang lagi muncul masyarakat seperti masyarakat Fir’aun yang mau dibodohi. Padahal sebenarnya Fir’aun itu sangat lemah. Ia menjadi raja karena dapat dukungan rakyatnya. Coba rakyatnya bersepakat untuk menghancurkannya, Fir’aun pasti tidak akan berdaya apa-apa.

Sayangnya banyak manusia tidak mau belajar dari sejarah. Dari masa ke masa pemipin korup bermunculan di tengah-tengah masyarakat. Sebab memang masyarakat itu sendiri yang korup dan kotor. Akibatnya mereka seperti terjebak dalam lingkaran syetan. Mereka ingin negaranya adil dan damai. Sementara mereka sendiri korup dan kotor. Akibatnya terpilihlah pemimpin yang korup. Akibat lebih jauh, ya terimalah buah perbuatan mereka sendiri. Penderitaan demi penderitaan terus menyertai. Kesengsaraan semakin mencekam. Kelaparan di mana-mana membuat mereka tidak takut lagi untuk menempuh segala cara.

Pemimpin Korup Lahir Dari Masyarakat Yang Korup

Pemimpin yang korup lahir dari masayarakat yang korup. Masyarakat yang kotor dan suka berbuat maksiat. Masyarakat yang tidak serius menjalankan ketaatannya kepada Allah swt. Masyarakat yang suka disogok dan berani menukar idealisme dengan hanya 300 ribu rupiah atau bahkan dua liter beras atau satu kardus mie. Masyarakat yang suka main-main dan menganggap dosa adalah sesuatu yang biasa. Masyarakat yang tidak takut kepada Allah swt. Masyarakat yang tidak berwawasan luas. Masyarakat yang mau dibodohi. Masyarakat yang tidak mau belajar dari sejarah kegagalan masa lalu.

Sungguh tidak ada jalan untuk mengubah sebuah negeri kecuali masyarakatnya harus berubah. Masyarakatnya harus berwawasan luas, bukan masyarakat berwawasan kepentingan sesat. Pun bukan masyarakat yang meterialistis. Melainkan masyarakat yang berani berjuang mempertahankan idealisme. Sebab tidak mungkin masyarakat meterialistis berjuang untuk idealisme. Mereka hanya mampu bertahan ketika kebutuhan materi mereka terpenuhi.

Sungguh bila kita belajar dari perjalanan para sahabat, kita menemukan fakta masyarakat yang berani berkorban apa saja demi sebuah idealisme (baca: iman). Mereka berani hijrah meninggalkan tanah air bahkan harta dan rumah yang sangat mereka banggakan, demi idealisme. Mereka bahkan berani mengorbankan jiwa mereka dalam berbagai pertempuran demi idealisme.

Masyarakat materialistis adalah masyarakat yang mati jiwanya. Mereka hanyalah rangka berjalan, sementara jiwa mereka kosong. Seakan mereka hidup, padahal dalam jiwa mereka tidak ada kemanusiaan. Mereka bergerak bagai binatang buas, yang siap menerkam siapapun yang lemah. Kedzaliman dianggap biasa. Bahkan mereka sambil terbahak-bahak mendzalimi orang lain. Allah swt. menceritakan dalam surat Al Muthafifin 29-32: “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat orang-orang mu’min, mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat”.

Mereka Lahir dari kebiasaan Berbuat Dosa

Perhatikan ayat yang disebut diatas, betapa kebiasaan berbuat dosa ada hubungannya dengan ketidak seriusan hidup. Mengapa?. Sebab:

Pertama, kebiasaan berbuat dosa membuat mereka tidak takut lagi kepada Allah swt. Akibatnya mereka berani melakukan segala cara, tidak peduli halal atau haram yang penting tujuan tercapai. Bila rasa takut kepada Allah swt tidak ada, maka otomatis rasa takut kepada manusia lebih tidak ada. Dari susana seperti inilah pemimpin seperti Fir’un muncul. Dan puncak keberanian Fir’un kepada Allah swt kian terlihat ketika ia berkata di depan khalayak pendukungnya: ana rabbukumul a’laa (aku tuhanmu yang paling tinggi). Di sini Fir’un menemukan dirinya sebagai yang paling berkuasa. Perhatikan betapa kebiasaan berbuat dosa telah menyeret seorang pemimpin kehilangan kontrol sehingga ia merasa bebas, bahkan ia merasa bebas dari Allah swt.

Kedua, kebisaan berbuat dosa akan mencabut keberkahan sebuah negeri. Allah swt. berfirman:

”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Al A’raf : 96-99).

Ketiga, kebiasaan berbuat dosa membuat mereka lalai akan kewajiban yang harus dipikul. Dari kelalaian ini banyak dosa-dosa dengan segala dimensinya terjadi. Akibatnya hati mereka menjadi keras. Ketika hati keras, mereka tidak tersentuh lagi dengan teguran Allah swt. Bahkan mereka semakin yakin bahwa dengan dosa-dosa itu mereka kuat dan banyak pendukung. Dari sini kebiasaan mempermainkan Allah swt, merendahkan-Nya, dan mengabaikan tuntunan-Nya, bemunculan bagai jamur. Allah swt yang memiliki langit dan bumi tidak mungkin membiarkan ini tanpa ada konsekwensinya.

Allah swt berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan. Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” QS. Al An’am : 42-44.

Keempat, kebiasaan berbuat dosa membuat mereka bersepakat untuk tolong menolong dalam dosa dan kedzaliman. Pada saat itu firman Allah swt: “Wata’aawanuu ‘alal birri wat taqwaa walaa ta’aawanuu ‘alal itsmi wal ‘udwaan. Dan tolong menolonglah dalam melaksanakan kebaikan dan taqwa. dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” tidak menjadi indah lagi.

Simaklah Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi`ar-syi`ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” QS. Al Maidah: 2.

Di sini nampak bahwa memerintahkan takwa setelah memerintahkan agar manusia saling tolong menolong dalam kebaikan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa. Ini menunjukkan bahwa tidak mungkin suatu kaum akan mencapai ketakwaan, semasih tetap berkompromi dalam kedzaliman. Cara-cara kompromi dalam rangka dosa inilah yang membantu munculnya para pemimpin yang korup. Karena itu tidak mungkin sebuah negeri dipimpin oleh seorang yang bersih dan jujur bila rakyatnya tetap kotor, terbiasa dengan dosa-dosa dan tidak pernah mau bersungguh-sungguh memahami ajaran Allah swt secara benar serta mengamalkannya secara ikhlas.

Wallahu a’lam bishshawab.


Selasa, 27 Oktober 2015

MUBAI’ATULLAH





إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (Q.S. Al-Fath: 10)
Masdarnya adalah Mubai’atullah. Mubai’atullah terdiri dari 2 kata:
  1. Mubaya’ah, artinya melakukan transaksi jual beli. Ada 2 pihak yang terlibat. Ada penjual dan ada pembeli. Dalam bahasa Arab disebut musyarakah (kerja sama)
  2. Allah (lafazh yang paling tinggi) sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara, Penguasa jagat raya termasuk manusia.
Mubai’atullah dapat didefinisikan sebagai sebuah transaksi jual beli yang dilakukan oleh seorang mukmin dengan Allah Taala.
Untuk memahami lebih lanjut tentang mubai’atullah ada beberapa hal penting yang haus digarisbawahi:
  1. Ada penjual yang menjual sesuatu, yaitu mukmin
  2. Ada pembeli yang membeli, yaitu Allah Taala.
Allah adalah produsen dan sekaligus pembeli. Sedangkan orang mukmin sebagai penjual. Yang dijual orang mukmin adalah sesuatu yang berasal dari Allah dan sesuatu yang dibeli Allah adalah sesuatu yang diciptakan-Nya sendiri, yakni jiwa dan harta manusia. Ada nilai transaksi berupa surga dan ampunan-Nya.
Allah sebagai produsen dan sekaligus sebagai pembeli sedangkan manusia sebagai penjual, padahal ia bukan produsen sebenarnya, jadi bukanlah hal yang lazim. Namun itulah wujud kemurahan Allah, Dia menciptakan manusia dan memberikannya harta, namun Dia juga yang membelinya dengan nilai transaksi tidak tanggung-tanggung, yakni surga.
Keutamaan lainnya yang terdapat dalam transaksi jual beli dengan Allah ialah bahwa nilai tukar yang Allah berikan tidak sebanding atau jauh lebih besar dari barang yang dibeli-Nya. Manusia bila membeli sesuatu ternyata mendapatkan kualitas barang yang tidak sesuai dengan uang yang dibayarkannya, biasanya akan marah dan protes karena dianggap pihak penjual melanggar aturan main.
Namun Allah Taala yang Maha Pemurah dan Penyayang tidak demikian halnya dalam mencurahkan kasih sayang-Nya. Ayat-ayat dalam Al-Quran banyak menyebutkan bahwa Allah sangat besar karunia-Nya dan besar itu relatif, bisa 1 banding 1000 bisa 1 banding 1 milyar. Dan jika harta dan jiwa kita jual kepada Allah, lalu dibeli-Nya dengan surga (Q.S. At-Taubah: 111), As-Shaff: 10-11) itu berarti sudah tiada bandingnya. Apalagi dalam hadits disebutkan,
قَالَ اللَّهُ أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّالِحِينَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَر
“Telah aku siapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shaleh surga yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga dan tidak tergambarkan oleh pikiran manusia.”
Oleh karena itu generasi Islam yang pertama, tahu betul tentang rahasia Allah, maka mereka semua pun terlibat dalam transaksi mulia tersebut.
Implementasi mubai’atullah terwujud dalam suatu kewajiban atau aktifitas muslim yang sangat berat, yaitu jihad fi sabilillah. Rasulullah saw. bersabda, “Maukah kamu akan aku tunjukkan bahwa pokok persoalan itu terletak pada Laa ilaaha illallah, kemudian tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.

Mengapa dikatakan puncaknya adalah jihad?

Pertama, karena hanya dengan jihadlah umat akan memiliki izzah atau martabat. Seorang ulama mengatakan bahwa tidak ada izzah tanpa jihad. Kalau shalat semua orang bisa melakukan shalat, tetapi tidak secara langsung berdampak izzah terhadap umat. Hal terpenting dalam kehidupan umat Islam adalah izzah. Al-Qur’an menyatakan izzah itu hanya milik Allah, Rasul dan umat Islam. Bila di negeri muslim sendiri Islam dianggap asing, nilai-nilai Islam tidak lagi dianut dan malah cara barat yang dipakai dan ditiru, maka izzahnya akan dicabut Allah.  Salah satu faktor yang bisa meniadakan izzah adalah meninggalkan jihad fi sabilillah.
Kedua, jihad merupakan ibadah dan kewajiban yang menuntut harta dan jiwa sekaligus. Bila kita puasa atau shalat, keduanya tidak menuntut kita untuk memberikan harta dan jiwa. Kemudian jika kita pergi haji yang dituntut hanya harta dan tidak jiwa.
Puncak ketinggian umat Islam akan menyebabkan seorang mukmin dapat izzah (kemuliaan) di sisi Allah, namun menuntut adanya pengorbanan harta dan jiwa. Allah Taala menggambarkan bagaimana sejarah sahabat dahulu yang paham akan jihad. Dalam surat Al-Fath ayat 18-19,
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا. وَمَغَانِمَ كَثِيرَةً يَأْخُذُونَهَا وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka bermubaya’ah (berbaiat atau berjanji setia) kepadamu (Rasulullah) di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). Serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Mubaya’ah dengan Rasul merupakan implementasi mubaya’ah dengan Allah. Betapa generasi sahabat yang pertama tahu dan paham serta tidak mengendorkan semangat mereka untuk mubaya’ah dengan Allah. Bila kita lihat misalnya peristiwa Hudaibiyah, dilihat dari target-target materialnya, isi perjanjian itu benar-benar merugikan. Para sahabat memang sempat gelisah, kecewa dan bertanya-tanya bahkan Umar ra. Kecewa sekali dan bertanya, “Alasta Rasulullah?” (Bukankah engkau adalah utusan Allah?)
Mereka kecewa karena belum dapat mencerna mengapa harus mengalah seperti itu kepada kaum kafir Quraisy. Namun Allah kemudian menurunkan ketenangan hati mereka dan mereka menjadi teringat baiat mereka kepada Rasulullah. Mereka akhirnya paham bahwa perjanjian itu hanyalah sebuah strategi yang berujung dengan kemenangan berupa penaklukan kota Mekkah (Fathu Mekkah) tidak lama setelah itu. Ada nikmat banyak yang mereka peroleh yaitu balasan yang tidak hanya ukhrawi tetapi juga duniawi.
Ibrah yang dapat kita ambil  untuk dijadikan motivasi adalah bahwa jika Allah membebani kewajiban yang harus dikerjakan hamba-Nya, maka Dia tidak hanya memberikan pahala di akhirat, melainkan juga imbalan-imbalan konkret di dunia. Allah Maha Tahu bahwa faktor-faktor duniawi adalah faktor pendukung yang berguna untuk sampai ke akhirat nanti.
Kita bisa melihat di dalam Al-Qur’an yang dimaksud ketenangan jiwa adalah kenikmatan duniawi yang membuat mereka tidak gelisah dan tidak menjadi kafir. Kemudian masalah harta rampasan, sama halnya dengan orang pergi berdagang, pulang membawa harta, maka orang yang berperang di jalan Allah pun pulang membawa harta. Allah tidak menuntut apa-apa, bahkan memberikan peluang material achievemen (hasil material) kepada para mujahid.  Hanya saja yang perlu dijaga adalah masalah motivasi yang utama, yakni ridha, surga dan ampunan-Nya. Ketika Allah mengatakan,
وَلَلآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الأُولَى
 “Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan.”
Maksudnya bukan  berarti bahwa dunia tidak baik, melainkan akhirat itu lebih baik lagi dibanding dunia. Di dunia makan enak, di akhirat jauh lebih enak lagi. Di sini minum susu, di sana juga minum susu. Hanya di surga ada sungai susu yang tidak perlu disterilkan lagi. Di dunia kita  minum susu sedikit, di sana bisa dan mampu minum susu sepuas-puasnya. Jadi baik kualitas maupun kuantitas nikmat di dunia jelas kalah jauh dibanding nikmat di akhirat.
Sehingga kita tidak boleh berbai’ah dengan orientasi duniawi, yaitu mencari kemashuran, keuntungan atau ghanimah, melainkan harus dalam rangka menegakkan kalimat Allah. Dan seandainya kita pun mendapatkan ghanimah, kita harus memenejnya secara benar seperti aturan main yang ada dalam surat Al-Anfal.
Para sahabat paham benar dengan Q.S. At-Taubah: 111) bahwa untuk mendapatkan surga harus dengan jihad di sabilillah dan tidak cukup dengan harta, melainkan juga harus dengan jiwa. Alternatif pilihannya hanya dua, yakni membunuh atau dibunuh dan itu janji Allah yang sudah tertera di Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan janji Allah pasti benar.
Untuk dapat memahami bai’ah kepada Allah harus dipahami beberapa hal mendasar berikut ini:
  1. Bai’ah tidak mungkin terjadi, kecuali melalui proses keimanan yang benar. Jika keimanan seseorang belum benar dan mantap sulit baginya untuk berbai’ah karena untuk itu dituntut pengorbanan setiap saat. Persatuan akidah menjadi landasan persatuan umat yang akan dibangun. Selama belum ada kesatuan persepsi tentang akidah, akan sangat sulit untuk mempersatukan umat. Demikian pula masalah membeelakukan kewajiban jihad.
  2. Jihad fi sabilillah membutuhkan perngorbanan harta dan jiwa. Artinya Allah memerintahkan kita mempersiapkan iman dan kemudian harta serta jiwa. Kewajiban jihad harus didahului dengan mewajiban mencari harta, karena jihad perlu pendanaan yang besar. Misalnya dulu di Afganistan, harga satu roket stringer US $ 40.000, apalagi sekarang. Itupun kalau roket tersebut tepat mengenai sasaran, jika tidak hilanglah uan gsebsar itu. Budget pendidikan seluruh Indonesia dibandingkan budget untuk militer seper berapanya? Untuk mendirikan stasiun TV diperlukan modal 100 juta dolar. Jika uang itu digunakan untuk membeli roket stringer berarti hanya untuk 25 stringer atau 25 kali tembakan. Jika satu hari ditembakkan satu roket, berarti hanya cukup untuk 25 hari. Sementara stasiun TV bisa bertahan puluhan tahun. Belum lagi untuk yang lainnya, seperti harus melintasi dan melewati gunung. Jihad tidak akan langgeng jika hanya mengandalkan kantong orang lain. Misalnya perang Afgan yang sebelumnya didanai negara-negara Teluk (Arab), ketika terjadi perang teluk dana tersebut dialihkan untuk membayar As dan sekutu-sekutunya.
  3. Hasil yang akan diperoleh dari jihad fi sabilillah melingkupi kemenangan individu bagi mujahidnya, yaitu diampuni dosanya dan di akhirat mendapat jannah ‘adn. Ada lagi kemenangan jama’i (komunitas) yang sifatnya di dunia yaitu penaklukan-penaklukan sebagai persyaratan dan peluang untuk menegakkan syariat Allah. Jadi mubaya’ah dengan Allah ada imbalan individual dan komunal. Namun tentu saja diperlukan kekuatan motivasi, persiapan dan strategi-strategi. Hadits Rasulullah saw. memberikan motivasi yang besar, “Dari Miqdad. Syahid itu di sisi Allah mendapat enam perkara; kelebihan pertama diampuni dosa pada awal syahid, kedua melihat tempat duduknya, dilindungi dari azab kubur, keempat Allah lindungi dari ketakutan pada hari kiamat, kelima Allah letakkan di kepalanya mahkota dari ya’qut lebih baik dari dunia dan isinya dan keenam Allah nikahkan dia dengan 72 bidadari dan dia dapat memberi syafaat 70 orang”.

Wallahu’alam bisawab

Rabu, 21 Oktober 2015

BERITA DUNIA ISLAM

Sepinya Pemilu & Tanda-tanda People Power di Mesir
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgTKNIje_cX33qxtbNwMptfgLgaLv6hQ4N9FcYfaixluNaxP_n8BzwuQyInHJfcz0AdKxm6vqW2tz7PKDIk5FwtzE3CdLsFrO_7SXOjzVUg7Ey3xq_dpt7Pjj7nWyijnZ8I3ughib3UXDY/s1600/mesir.jpg

Oleh Chandra HafizunAlim

Disitus
 middleeastmonitor.com menyebutkan tingkat partisipasi rakyat Mesir dalam mengikuti pemilu parlemen baru-baru ini hanya sebesar 2,27% dari 27 juta pemilih atau hanya sekitar 612 ribuan yang ikut mencoblos.

Keadaan ini sangat jauh berbeda ketika pemilu parlemen untuk pertama kalinya pasca tumbangnya Mubarak (Pemilu 2011-2012). Di mana Ikhwanul Muslimin memenangkan pemilu parlemen pada saat itu; masyarakat berbondong-bondong memilih wakil rakyatnya. (Partai Ikhwan FJP FJP meraih 47,18% suara)

Para peneliti politik di seluruh dunia sudah mafhum, kondisi rendahnya partisipasi publik dalam pemilu adalah bukti paling kuat rendahnya kepercayaan publik terhadap pemerintah atau partai yang ada.

Kondisi di Mesir saat ini sangat mengherankan sekali. Betapa pemerintahan kudeta As Sisi yang selama ini mengaku-ngaku mendapatkan dukungan rakyat, nyatanya tidak mempunyai dukungan atau legitimasi dari rakyatnya sendiri.

Dari sini terlihat bahwa rakyat Mesir sedang menghukum As Sisi. Dan kudeta yang dilakukan As Sisi terhadap Mursi semakin menunjukkan bahwa kudeta tersebut hanyalah dusta dan manipulasi.

Kondisi Mesir saat ini ibarat
 bom waktu yang siap meledak. Ledakan tersebut tercipta bergantung pada kerjasama semua elemen masyarakat, tidak terkecuali militer di dalamnya. Bercermin dari kesuksesan gerakan People Power yang berlangsung secara damai di Filipina, di mana semua elemen masyarakat ikut terlibat di dalamnya. Bahkan pembelotan militer pun terjadi. Kelompok pro-Mursi tidak bisa mengabaikan satu elemen People Power, dalam hal ini militer, walaupun militerlah yang menyiksa mereka secara kejam. Saya percaya tidak semua militer di Mesir seperti As Sisi cs.

Dalam sejarah, setidaknya ada
 tiga kelompok militer ketika di dalam negaranya dipimpin oleh orang zalim: Pertama, menjadi pendukung bagi pemimpin zalim tersebut. Mereka datang menyiksa lawan-lawan politik pemimpin zalim tersebut. Biasanya mereka adalah perwira-perwira papan atas yang haus harta, tahta, dan wanita.

Kedua, kelompok militer yang diam menyaksikan kezaliman tersebut. Mereka diam karena tidak ingin terlibat dalam kezaliman itu namun disisi lain mereka tidak punya kemampuan untuk menghentikan kezaliman itu. Mereka berharap akan ada pemimpin lainnya yang berani menggerakkan rakyat untuk melawan pemimpin zalim itu. Ketika kemenangan rakyat di depan mata, mereka tampil sebagai penguat atau melegitimasi kemenangan tersebut.

Ketiga, mereka yang menentang pemimpin zalim tersebut secara terang-terangan. Kebanyakan mereka bukan dari perwira papan atas. Pengaruh mereka tidak begitu besar dikalangan militer tapi dapat dijadikan penggerak revolusi dan melakukan pendekatan kepada kalangan militer lainnya.

Dari ketiga kelompok militer di atas, setidaknya dua kelompok militer dapat diajak kerjasama. Hanya saja perlakuannya berbeda. Untuk kelompok militer ketiga sudah jelas. Sedangkan untuk kelompok militer kedua, karena mereka diam, mereka juga harus diajak secara diam-diam. Maka permainan intelejen harus dijalankan agar dapat menggerakan mereka.

Saya merasa yakin bahwa revolusi di Mesir akan terjadi, melihat dari situasi dan kondisi yang terjadi di Mesir saat ini. Dapat dilihat dari tanda-tandanya, selain rendahnya partisipasi rakyat dalam pemilu sebagai faktor politik, juga karena faktor perekonomian Mesir yang semakin terpuruk.
 Almesryoon.commelaporkan, krisis ekonomi di Mesir telah memburuk menempatkan masa depannya beresiko dan menjurus kepada kebangkrutan.[]


Intifadhah Pisau: Kekalahan Memalukan Israel
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHO0hprVHrSENsBRRIyxEsZ7QtQQVo8LHhVqx_TNsRoNN0_DkiY5U1OZeggCKfzETtH9pox-puP6dnCf8Qqzbx4d05DCIP9259FNU-mO5Dl0Tm1cvIomCnpY2NqzGdB3z7bIxEWRGr-o4/s1600/ShowImage.ashx.jpg

By: Nandang Burhanudin

(1) Bangsa Palestina, bangsa yang tidak mengenal kata MUSTAHIL. Intifadhah I, sukses memaksa Israel ke meja perundingan Oslo I. Intifadhah II, membuat Israel menarik mundur dari jalur Gaza. Intifadhah III melahirkan 6 kesuksesan sekaligus.

(2) Pertama: Intifadhah III sukses mempersatukan barisan Palestina di wilayah-wilayah teritori yang selama ini terisolir, baik letak geografis maupun administrasi. Tepi Barat, Jalur Gaza, Al-Quds, dan area 1948 kini satu suhu.

(3) Kedua: Intifadhah III mengindikasikan suksesnya Al-Harakah Al-Islamiyyah di bawah komando Syaikh Raid Shalih, Al-Harakah Al-Islamiyyah yang baru divonis penjara 11 tahun 3 bulan dengan tuduhan "provokator kerusuhan."

(3) Syaikh Raid Shalih, salah seorang pimpinan Ikhwanul Muslimin di Palestina. Dikenal sebagai Syaikh Al-Aqsha. Israel menyebutnya dengan julukan "Sayyidul Haram". Al-Harakah Al-Islamiyyah adalah gerakan Islam di dalam negeri Israel.

(4) Ketiga: Intifadhah III berhasil menghadirkan senjata perlawanan baru, yang mudah didapat yaitu pisau. Senjata yang ternyata sangat menakutkan Israel, yang anggaran militernya baru dinaikkan 4 kali lipat.

(5) Keempat: Intifadhah III melahirkan generasi baru perlawanan. Generasi yang nampak semakin siap dan matang melakukan perlawanan bersenjata melawan Israel. Hal yang membuat nyali militer kecut dan surut.

(6) Kelima: Intifadhah III menjadi warning bagi Israel, dimana rakyat Palestina memiliki kemampuan melakukan operasi bersenjata langsung di wilayah-wilayah yang dikuasai Isarel.

(7) Melihat Israel tak berdaya. Ban Kin Moun, Sekjen PBB langsung datang berkunjung. Satu indikasi bahwa Israel kalah. Sepanjang sejarah Israel berdiri, tidaklah pejabat AS-UE-atau PBB datang menajadi penengah, melainkan Israel dalam kondisi tak berdaya.

(8) Intifadhah III membalikkan keadaan. Israel yang selalu mendikte, kini harus menerima kenyataan bahwa anak muda Palestina sadar perdamaian palsu dan demonstrasi damai, hanya bagian dari kehinaan.

(9) Israel boleh bangga dengan rudal canggih terbaru dari AS. Tapi rudal dan alat tempur canggih itu tak mampu menjamin keselamatan warganya dari ancaman tikaman pisau.

(10) Intifadhah Pisau benar-benar membuat mati kutu intelejen Israel. Mereka tidak mampu melakukan cegah tangkal. Sebab pelakunya bisa siapa saja. Bisa sosok aktivis jihadis, bisa juga ABG sekularis, atau bisa kaum terpelajar bisa tidak.

(11) Mari menjadi saksi sejarah
 The Pampers Army. Mereka menghadapi bangsa yang mencintai kematian, sebagaimana mereka mencintai kehidupan. Itulah bangsa Palestina, yang kini membuat malu dunia Islam dan dunia Arab.

(12) Seandainya saja bangsa Arab terbuka hatinya. Senjata yang dimiliki negara kecil Kuwait, cukup untuk mengalahkan Israel asal yang berjuangnya seberkualitas pasukan HAMAS dan jihad Islam.


Selasa, 20 Oktober 2015

SYURA



وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
 “Dan (bagi) orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (”Asy-Syura: 38).

Mukadimah

Syura Sebagai Ketaqwaan Jama’ah, Kekuatan, Serta Kemerdekaan Individunya dan Hak-hak Mereka Sebagai Manusia.
Perselisihan kerap kali mengundang pertarungan dan perdebatan yang tidak akan pernah berakhir. Seperti perdebatan tentang adakah demokrasi dalam Islam, dan apakah hasil musyawarah itu mengikat ataukah tidak. Hal ini terjadi karena tidak ada kesepakatan mengenai definisi syura sebagai sesuatu yang wajib menetapi, masyurah (memberikan pendapat) dan istisyarah (meminta pendapat) yang fakultatif dipandang dari segi keharusan menetapinya. Pada hakikatnya kesengajaan tidak mau mengetahui perbedaan dapat menyebabkan mereka menggeneralisasikan dalam memberikan hukum terhadap kedua istilah tersebut. Penyamarataan inilah yang menyebabkan munculnya perselisihan tegang di seputar topik ini.

Definisi

Terdapat perbedaan dan perselisihan pendapat dalam definisi syura. Perbedaan tersebut disebabkan tidak adanya kesepakatan terhadap definisi: syura (sesuatu yang wajib menetapi), masyurah (memberikan pendapat) dan istisyarah (meminta pendapat).
Secara praktis, istilah masyurah dan syura sering dipakai dengan makna yang sama. Arti Syura secara umum mencakup segala bentuk pemberian advis (pendapat) dan musyawarah (bertukar pendapat). Sedangkan artian sempit, Syura adalah ketentuan yang harus ditetapi sebagai hasil keputusan jama’ah. Selanjutnya harus dibedakan antara definisi syura secara umum (luas) dan artian sempitnya.
Asas syura ¾dalam arti universal¾ adalah: bahwa eksistensi jama’ah, hak-hak dan tanggung-jawabnya diambil dari solidaritas seluruh individu sebagai bagian darinya. Pendapat jama’ah merupakan pendapat keseluruhan, pemikirannya sebagai hasil pemikiran mereka, akalnya pun akal mereka. Kehendaknya merupakan kehendak seluruh individu. Kehendak diputuskan berdasarkan ketetapan yang mereka ambil berdasarkan hasil tukar pikiran, dalam hal ini siapapun diberikan kebebasan mengeluarkan dan membantah pendapat.
Jama’ah bukanlah sesuatu yang terpisah dari individunya, keberadaan seorang dalam jama’ah telah memberikan kepadanya hak yang fitri dan syar’i. Namun demikian, diisyaratkan bahwa pada akhirnya ia harus mengakui dan menetapi ketetapan jama’ah yang ditetapkan oleh jumhurnya yang disebut aghlabiyyah (mayoritas). Hak pribadi dalam syura merupakan haknya dalam kebebasan dan hak-hak asasi manusia (HAM) yang diambil dari fitrahnya dan syari’at Allah sebagai manusia.
Keharusan berkomitmen atas ketetapan jama’ah inilah yang membuat jama’ah sebagai “sumber kekuasaan hukum”. Jama’ahlah yang menetapkan pembagian kekuasaan, mengatur dan memilih orang yang menempati pos-pos kekuasaan sekaligus mengontrol dan mengoreksinya. Setiap keputusan harus mengikutsertakan individu dalam musyawarah yang bebas. Sehingga ketetapan tidak akan dianggap sebagai hasil keputusan jama’ah ¾dalam arti sebagai sesuatu yang benar¾ jika tidak mengikutsertakan sebagian anggota jama’ah (mukalaf dan sehat) dalam musyawarah.

Syari’at Fitrah

Syari’at Islam adalah syari’at fitrah, dan berarti syari’at Islam adalah syari’at syura, yang dalam menetapkan sesuatu tidak terbatas pada hak-hak pribadi tapi juga hak-hak jama’ah. Di sisi lain, dalam Islam terdapat metode masyurah, (memberi pandangan, bertukar pendapat, meminta pendapat dari orang yang berpengalaman, nasihat, saling mempercayai) yang bersifat fakultatif diantara umat. Hal ini menunjukkan bahwa agama Islam mengutamakan agar masyarakat meminta pendapat dari orang-orang berpengalaman sebelum menetapkan apapun baik secara pribadi maupun jama’ah.
Penetapan mabda syura dalam syari’at pada hakikatnya ditujukan kepada umat dan jama’ah. Jika individu saja boleh menggunakan akal ¾yang menjadi syarat kedewasaan dan dasar sah dalam menetapi hukum syara¾ dan diperbolehkan memilih, maka jama’ah (kumpulan individu yang berakal dan dewasa) tentu saja lebih penting untuk dianggap dewasa dan mukalaf. Jama’ah memiliki hak kebebasan mengurusi dirinya, merupakan hasil yang pasti dari apa yang diperoleh dari hasil individunya, berupa hak memilih dan memberi kebebasan mengurusi diri mereka sendiri. Dari sinilah lahir metode syura secara kolektif yang harus ditetapi, sebagaimana hal itu menjadi asas pula bagi masyura, istisyarah fakultatif, dan nasihat di antara mereka.

Masa Depan Syura

Fitrah manusia sebagai sumber syura yang merupakan manhaj bagi solidaritas, keadilan sosial dan kedewasaan berpolitik, akan menjadikan masa depan kemanusiaan tampil dalam bentuk menghormati prinsip kebebasan syura dan konsisten dengan bentuknya yang komprehensif, yang sanggup menutupi kelemahan demokrasi. Tegaknya kedaulatan syari’at sangat didukung oleh hakikat sejarah dan banyak orang yang terpengaruh serbuan informasi yang rancu akan kemaslahatan.
Informasi tersebut disebarkan oleh kelompok yang berusaha keras membendung nilai-nilai Islam dan menghentikan aktifitas para da’inya. Mereka bersembunyi di balik syiar demokrasi dengan mengaku bahwa demokrasi adalah kebebasan, sedang syura adalah kungkungan. Mereka terkesan menegakkan demokrasi, padahal mereka tidak konsisten dengan penerapannya. Kebebasan mereka pada hakikatnya adalah kebebasan undang-undang buatan manusia dan negara diktator yang diberikan kepada siapa yang mereka kehendaki saja. Memberikan kebebasan kepada para pendukung penguasa saja, tidak kepada yang lain. Ketika “kewajiban”demokrasi itu berlawanan dengan kepentingan mereka, maka tiada kaitannya dengan budi pekerti dan akidah, hak menggunakan kekuasaan tak boleh terikat oleh hukum Allah atau syara.  
Kediktatoran para penguasa masa kini lebih berbahaya karena para penguasa sekarang merebut kekuasaan legislatif lalu menciptakan undang-undang sendiri yang dipergunakan untuk memperluas kekuasaan mereka dan memberi jalan kepada para pendukungnya untuk melakukan tindakan yang disukainya. Undang-undang yang memalsu aspirasi rakyat digunakan dalam praktik pemilihan yang biasa berlaku, untuk membasmi setiap perlawanan terhadap kesewenang-wenangan mereka dan memberikan legitimasi terhadap pemerintah mereka yang mereka paksakan atas manusia.
Kebangkitan Islam menuntut berlakunya syari’at yang harus memiliki dua tujuan:
Melenyapkan penyelewengan lama yang dimulai oleh para penguasa negara Islam pasca Khulafaur Rasyidin, yang memang telah menghalangi banyak bangsa untuk ikut memilih para penguasa dan mengontrol mereka.
Melakukan langkah-langkah positif terhadap penyelewengan masa kini yang memberi kesempatan kepada sebagian sultan untuk meniadakan kekuasaan syari’at dan mengeluarkan undang-undang yang mereka ciptakan sesuai kehendak mereka.
Mabda syura dan masyurah atau teori syura yang universal dengan pengertiannya yang luas mencakup seluruh bentuk tukar pikiran, saling menasehati dan berdiskusi secara bebas. Keuniversalan syura dilihat dari sudut:
Syura dalam artinya yang luas dan umum meliputi setiap bentuk tukar pendapat, termasuk mereka yang mengeluarkan dan karakternya.
Syura tidaklah berbentuk khusus yang terbatas pada kekuasaan dalam menggunakannya dengan ketetapan wakil umat yang dikeluarkan dengan syura. Syura merupakan asas dari kemerdekaan pribadi dalam jama’ah yang memberikan haknya yang fitri dalam ikut serta menghasilkan ketetapan-ketetapan secara kolektif.
Pada hakikatnya tujuan syura adalah keadilan yang menegakkan keseimbangan secara proporsional di antara kemerdekaan individu dan jama’ah dari satu segi, dan keberadaan kekuasaan umum yang mewajibkan batas-batas secara fitri dari segi yang lain. Menetapkan mabda syura berarti mengisyaratkan dengan istilah hurumat atau hal-hal yang patut dihormati: aqidah, jiwa, akal, kehormatan, harta dan sebangsanya. Memelihara segala yang patut dihormati berarti memuliakan manusia sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Qurán.

Syura Sebagai Pemuliaan dan Bimbingan

Al-Qurán mewajibkan bertukar pendapat sebagai dasar dari eksisitensi masyarakat dan solidaritas beserta sistem-sistemnya, dengan tujuan agar tukar pendapat secara bebas dijadikan kaidah bagi solidaritas dalam kebebasan berpendapat antara individu. Ikhwal pemuliaan kemanusiaan telah ditegaskan dalam Al-Qur’an yaitu ketika Allah memerintahkan kepada para malaikat agar bersujud kepada Adam setelah sebelumnya Allah menerangkan kepada mereka dengan ilmu, fikiran dan akal. Rasulullah Saw telah mengatur umat agar syura dijadikan sebagai asas bagi kemerdekaan individu dan jama’ah serta kesatuan tanggung-jawabnya. Dengan demikian Allah mewajibkan kepada jama’ah agar menjadikan syura sebagai sendi bagi sistemnya dan sebagai kesetiakawanan antar individu.
Kedewasaan merupakan dasar dalam metode syura. Dimana kedewasaan termasuk dalam kesempurnaan nikmat dan kesempurnaan agama dengan misi Islam dan syari’atnya.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
 “….Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagi mu……..”(Al-Maidah: 3).
Allah mengamanatkan kepada jama’ah agar menentukan sendiri ketetapan tentang berbagai persoalan, dengan demikian umat yang dewasa berhak untuk dinyatakan dalam Al-Qur’an baik jama’ah maupun individu.
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat. Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka……”(Asy-Syura: 38).
Penetapan mabda syura dalam Al-Qur’an merupakan pertanda datangnya era baru bagi kemanusiaan yang dewasa, yaitu masa baru yang diwujudkan oleh syura atas dasar hak bangsa dalam menentukan nasib serta mengatur diri mereka sendiri manakala mereka percaya dengan Tuhannya dan berjalan diatas manhaj Allah. Oleh kareana itu Islam mewajibkan Syura dalam segala segi kehidupan.

Syura Sebagai Kaidah Sosial

Sebanarnya syura dalam Islam bukanlah semata-mata sebagai teori politik atau sebagai kaidah dustur pemerintahan seperti diduga sebgian orang. Akan tetapi syura merupakan landasan syar’I bagi sistem masyarakat yang mau menetapi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kekauasaan rakyat serta kesetiakawanan sosial. Secara umum syura tidak terbatas dalam kerangka sistem pemerintahan Islam semata, tidak pula terbatas pada mabda-mabda yang mengikat para penguasa akan tetapi syura memilki jangkauan yang lebih mendalam, kajian syura dimulai dengan pokok syari’at Islam dimana manusia berhak mengambil hak asasi dan kemerdekaannya, demikian pula umat yang mengambil kekuasaan.
Dalam kaitan ini batapa pentingnya membedakan syura dengan demokrasi politik karena mabda tasyawur (tukar pendapat) dan syura terpusat pada kepentingan mengorbankan pikiran untuk mengambil sebuah keputusan dan terpusat pada keharusan memberi kesempatan bagi seluruh anggota jama’ah untuk ikut serta dalam dialog pemikiran. Dalam ilmu Fikih kerja fikir untuk menentukan sebuah keputusan disebut Ijtihad. Para ahli Fikih memasukan bidang kajian dengan istilah as-Siyasah asy-Syari’ah (politik yang berdasarkan syari’at). Yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan jama’ah serta menuruti tuntutan dan kehidupan individunya baik yang bersifat materia maupun non material.

Sebuah Prinsip Yang Signifikan Dalam Bangunan Teori Umum Syura

Pemisahan syura dalam fiqh dan syura dalam bidang pemerintahan dan politik, hal yang terpentingan dalam pokok syari’at yakni pemisahan syari’at dari pemerintahan dan para penguasa. Dengan demikian dibutuhkan adanya syura dalam kerangka fikih berupa tukar pendapat dan dialog ilmiah yangn terpisah dari dialog politik dan pemerintahan.
Kaitan syura dengan syari’at menjadikannya tunduk pada norma akhlak yang tetap dan komitmen dengan kekuasaan syari’at. Syura dalam Islam merupakan prinsip kemanusiaan, sosial dan konstitusional bagi sistem pemerintahan.

Syura Dalam Teori

Mabda dan Manhaj (Metode)

Pada masa sekarang tampak aktif gerakan ilmiah perundang-undangan dengan tujuan melakukan reformasi dalan Fikih Islam dan memperkayanya dengan studi modern. Dalam hal ini teori-teori, prinsip-prinsip dan hukum-hukumnya diutarakan dalam bentuk baru yang memberi kemampuan bagi generasi sekarang untuk mengeluarkan hukum yang lazim demi menghadapi kasus baru (Fikih Naluri).
Studi syura telah membuka tabir bahwa akar syura yang Islami dan kaidah syari’at telah membedakannya dengan Barat. Teori universal tentang syura dimulai dengan mempelajari kaidahnya dalam sumber yang sah. Teori universal bagi prinsip Syura ialah bahwa teori itu membuka tabir bagi kita tentang ciri-ciri khusus yang membedakannya dari teori-teori Eropa.

Ia Tunduk Kepada Syari’at Dan Terkait Dengannya

Ia bukanlah filsafat ataupun doktrin. Ia adalah prinsip sosial murni dan metode kesetiakawanan sosial yang komprehensif
Keluasan kerangkanya mencakup seluruh urusan masyarakat dan pribadi. Maka hal itu mengharuskan adanya variasi hukum-hukumnya dikarenakan banyaknya bidang garapan.

Prinsip syura dalam Sunnah

Sunnah Amaliyah

Abu Hurairah berkata, “Saya tidak pernah melihat seorang yang paling banyak melakukan musyawarah dengan rekan-rekannya kecuali Rasulullah.” Perbuatan ini telah meyakinkan bahwa prinsip syura senantiasa dipegang teguh dalam segala bentuknya yang universal. Banyak peristiwa yang Rasulullah senantiasa meminta pendapat kepada para sahabatnya. Rasulullah tidak pernah memberi wasiat mengenai siapa yang akan menggantikan beliau memimpin pemerintahan. Tujuannya agar pengarahan terakhir beliau adalah berupa isyarat kepada kewajiban umat membuat sistem sosial dan politik dengan jalan Syura yang berdasarkan kaidah yang telah ditetapkan dalam Al-qur’an maupun Al-Hadits.

Sunnah Qauliyah

Terdapat banyak hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah yang mengharuskan adanya tukar pendapat dan syura, di antaranya adalah:
Diriwayatkan dari Ali ra ia berkata, “Wahai Rasulullah, perkara Khalifah turun kepada kita, sesudah engkau, tanpa Qur’an turun mengenai itu.” Maka Nabi berkata, “Kumpulkanlah orang yang beribadah dari umatku untuk kepentingan itu dan jadikanlah perkara ini syura di antaramu.
Nabi bersabda bahwa, “Tidaklah bermusyawarah suatu kaum melainkan mereka akan menunjuki kepada perkara mereka yang paling benar.”
Diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau ditanya tentang ‘azam dalam firman Allah (jika kamu telah berazam maka bertaqwalah kepada Allah) lalu beliau menjawab, “Musyawarah dengan ahli pendapat lalu mengikuti mereka.

Ijma Sebagai Sumber Ketiga Syura

Kaum muslimin telah bersepakat tentang kewajiban syura, kendati terjadi penyelewengan yang menyebabkan penghapusan baginya dalam memilih para penguasa. Kesepakatan umat atas kewajiban syura bukanlah hal baru bahkan itu merupakan prinsip pertama yang telah disepakati para sahabat. Ijma mengandung banyak ketetapan yang berbentuk legalisasi konstitusional dan ketetapan lain yang berbentuk politik:
Pengangkatan Ulil Amri atau penguasa adalah salah satu objek yang harus diselesaikan dengan musyawarah dan harus berkomitmen dengan ketetapan yang dikeluarkan setelah syura, baik dihasilkan dengan suara bulat atau dengan suara terbanyak.
Kalau tidak bisa dicapai dengan suara bulat maka ketetapan diambil dari suara terbanyak dalam syura. Artinya pendapat mayoritaslah yang harus diambil, inilah yang berlaku dalam sistem demokrasi yang berlaku
Syura memiliki ruang lingkup kerangka yang lebih luas karena wajib dipraktekkan di seluruh masalah legalisasi dan konstitusi belum lagi ketetapan-ketetapan politik dan eksekutif.

Unsur-unsur Fundamental Berkaitan Dengan Operasional Syura

Keikutsertaan individu jama’ah (khalayak umum dan orang-orang tertentu yang berkaitan dengan urusan yang bersifat umum demi menciptakan kesetiakawanan jama’ah).
Kebebasan mengeluarkan pendapat bagi individu jama’ah, baik khalayak umum atau orang-orang tertentu dan hak mereka dalam mendiskusikan pendapat seluruhnya dengan penuh kebebasan sebelum memilih ketetapan yang harus diambil. Dan semua orang harus menetapinya sebagai ketetapan jama’ah atau umat.
Tujuan dari dialog adalah agar jama’ah dan individu dapat menimbang di antara banyak pendapat dengan sifat yang adil.
Mengutamakan pendapat yang berlainan secara objektif adalah dilihat dari sudut dimensi masing-masing.
Ketetapan keluar manakala memperoleh suara bulat atau setidak-tidaknya suara terbanyak. Inlah syura mengenai ketetapan bersama atau syura dalam arti konstitusionalnya yang sempit.
Syura adalah metode yang jelas dan tegas untuk menjamin berkuasanya nilai-nilai fundamental dan teladan yang tinggi dalam syari’at ketuhanan. Dalam hal ini prinsip asasi yang penting adalah kemerdekaan dan keadilan.
Keistimewaan syura dalam hal ini adalah memberi kesiapan mental kepada orang yang akan mengeluarkan ketetapan dalam suatu masalah bahwa dasar mereka memilih suatu pendapat adalah karena mereka melihatnya lebih dekat kepada kebenaran dan keadilan dibandingkan dengan yang lainnya. Kemudian ia memperoleh legalitas dan kebenarannya dari dalil-dalil seperti ini serta disebabkan hasil tarjihnya.
Adapun yang menjadi penentu adalah dalil atau alasan ketika ketetapan itu ditegakkan. Bukan alasan menjadi topik dialog dan perkiraan lain dalam masyarakat, tempat dan massa yang berbeda. Jadi tidak dapat diragukan bahwa bervariasinya pendapat, pemikiran dan perencanaan lebih dapat diterima dan dibenarkan dalam kaitannya dengan unsur-unsur politik, ekonomi dan sosial yang menjadi topik syura.
Syaikh Syaltut menganggap bahwa syura merupakan salah satu cabang dari kerjasama dalam tanggung jawab sosial yang menurutnya cabang inilah yang asli. Ungkapan beliau ini menurut syaikh Muhammad Abduh disebut sebagai pondasi Syura. Oleh karena itu Rasulullah mewajibkan tukar menukar pendapat, nasihat kepada semua orang melalui sabdanya:
“Agama adalah nasihat. “kami bertanya, “ Untuk siapa wahai Rasulullah ?” beliau menjawab, “Untuk Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya. Imam kepada kaum dan umumnya dari orang mereka.” (Sahih Muslim).
Al-Ustadz Ahmad Mahmud al-Aqad telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menampakkan ciri kemanusiaan dan sosial bagi mabda syura yang beliau namakan demokrasi Islam, karena ia ditegakkan atas dasar hak-hak asasi manusia, kemerdekaan, persamaan dan kesetiakawanan serta kerja sama. Yang beliau maksudkan dengan demokrasi Islam ini adalah mabda syura dalam arti yang luas mencakup istisyarah dan nasihat, di samping syura konstitusional yang dapat menelurkan ketetapan melalui Ijma.
Syura yang harus dipegang teguh secara undang-undang dan konstitusi adalah hak jama’ah dalam mengambil ketetapan-ketetapan yang berkaitan dengan urusannya yang penting, hingga ketetapan itu tidak dipaksakan dari pihak asing atau dari minoritas yang mengambil kekuasaan dengan kekerasan. Tujuannya adalah melindungi kemerdekaan jama’ah dan hak dalam menentukan nasib dan memelihara wewenangnya dalam mengatur urusannya.

Syura dan masyurah fakultatif

Masyurah jamiyah, yang kita harus bersandar kepadanya untuk memperoleh ketetapan bersama dalam salah satu urusan jama’ah yang penting.
Istisyarah fakultatif, meminta pendapat atau nasihat dari orang yang berpengalaman dan ahli dan sifatnya fakultatif bagi orang yang memintanya.
Meminta fatwa fiqhiyah adalah salah satu macam dari istisyarah dalam hukum fikih. Dan bentuk merupakan pemberian pendapat yang bersifat fakultatif, tetapi ia mempunyai hukum khusus.
Di bidang fikih terkadang terjadi tukar pendapat di antara para ulama dan para ahli fikih yang tidak menghasilkan ketetapan secara ijma, tetapi menghasilkan ketetapan suara mayoritas. Namun perlu diketahui bahwa semua yang keluar dari para mujtahid, terutama ulama dan fuqaha yang belum sampai ketingkat ijtihad adalah fatwa ilmiah. Para fuqaha yang mujtahid dapat mengeluarkan ketetapan yang harus ditetapi dalam dua kondisi.
Kondisi ijma yang diakui oleh umat dan dipegang teguh secara umum sebagaimana mereka berpegang teguh dengan kitab Allah dan As-Sunnah Rasulullah.
Dibidang yudikatif, karena hakim mengeluarkan hukum yang harus dipegang teguh.
Fikih Islam mengharuskan bahwa keputusan harus dita’ati baik bagi qadhi yang mujtahid ataupun muqallid (mengikuti pendapat orang lain). Dan yang memperoleh nilai ini bukanlah pendapatnya pribadi melainkan pendapat madzhab yang diikuti.

Syura Dalam Ijtihad

Ijtihad adalah musyawarah Ilmiah dan Fatwa dalam Fikih

Ijma dan ijtihad merupakan dua sumber yang merenovasi fikih setelah dua sumber pokok yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ijtihad dapat berarti mencurahkan tenaga, akal dan pikiran dalam usaha mengenal hukum syara dan memahaminya. Hubungan ijtihad dengan mabda syari’at, kaidah dan tujuan ialah ilmu dan akal. Oleh karena itu agar syari’at dapat memberikan hak ijtihad bagi pribadi, ia mewajibkan adanya ilmu dan mewajibkan belajar dan merupakan kewajiban syar’i bagi setiap orang.
Umumnya manusia kebanyakan lemah dalam menetapi prinsip dan untuk mencurahkan segala waktunya untuk ilmu atau untuk mendalami fikih, sehingga fuqaha menentukan kriteria minimal dari ilmu yang harus dipenuhi oleh setiap individu muslim. Yang penting bahwa jatah individu dalam berijtihad sesuai dengan jatahnya dari segi ilmu, tapi umat yang awam membutuhkan sekelompok orang yang secara penuh berkerja keras berfikir untuk ilmu dan berkeahlian khusus didalam ilmu.
Ijitiad merupakan kewajiban perorangan dan kolektif. Ijtihad adalah hak dan kewajiban atas kaum muslim seluruhnya secara individu dan bersama.
Ijtihad pribadi, yaitu: setiap pribadi kendati pada dasarnya ia seorang muqallid, bekerja mengistimbatkan hukum untuk dirinya manakala hal ini dapat dikerjakan baginya dan dalam batas kemampuannya, karena adanya nash yang tegas dan jelas di mana ia dapat memahami nya dan mewajibkan dirinya menjalankan secara langsung.
Ijtihad perorangan, yaitu: apa yang dikerjakan seseorang dari beberapa orang yang memiliki spesialisasi dalam berijtihad yang diakui oleh orang banyak baik ulama ataupun awam bahwa ia adalah imam dalam fikih atau diakui suka mengemukakan fatwa dan istimbat hukum agar orang banyak dapat menerimanya dan menetapinya dengan kehendak mereka sendiri.
Ijtihad jama’i, yaitu: majelis atau lembaga yang terdiri sekelompok ulama mengerjakan tugas ijtihad dan berhak memimpin di bidang ilmu sebagai kelompok untuk menggantikan keberadaan satu imam.
Syura adalah keseimbangan antara kemerdekaan individu dan sitem jama’ah serta hubungan yang sempurna di antara keduanya. Ia adalah neraca yang saling menyempurnakan dan saling bahu membahu antara pribadi dan umat, ia adalah kesetiakawanan masyarakat dan persamaan di antara manusia dalam kebebasan. Kebebasan mengeluarkan pendapat dan mendiskusikannya dengan kebebasan yang terjamin di dalam jama’ah baik terdapat di dalam pemerintahan baginya atau tidak. Maka tidak ada nilainya bagi orang yang ikut serta didalamnya tapi tidak memiliki kebebasan yang sempurna.
Syura memiliki kaidah yang mendalam dan universal, karena ia memiliki keistimewaaan utama yaitu memperhatikan penjelasan mengenai cara sistem masyarakat ditegakkan di atasnya dan memperhatikan asas mengatur urusannya seacara menyeluruh.

Syura dan HAM

Mendirikan masyrakat syura dalam Islam dimulai dari pribadi dahulu bukan langsung di jama’ah. Hak pribadi diambil dari fitrah kemanusiaan yang berupa kebebasan dalam kerangka masyarakat yang saling menyempurnakan dan kesetiakawanan dengan teratur. Hak pribadi sebagai manusia tidak kurang pentingnya dalam kehidupan sosial dan politik ketimbang hak-hak bangsa. Sebagai mayoritas atau jama’ah yang masuk ke dalam kerangka jama’ah yang sesungguhnya, kemanusiaan membutuhkan suatu mabda yang menentukan talazun yang tidak dapat terpisahkan dan keseimbangan yang kekal antara hak majmu dan hak pribadi.
Pada dasarnya pribadi berhak memilih penguasa karena berafiliasi kedalam mayoritas rakyat. Namun pengertian syura dalam Al-Qur’an, individu tidak cukup mengambil kebebasannya dalam memilih para penguasa melalui keterlibatannya di dalam pihak mayoritas, bahkan ia harus mengambil kebebasan lain yang bersifat pribadi.

Kebebasan Syura Sebagai Kaidah Awal Bagi Pemerintahan Islam dan Konstitusi

Diantara yang disesalkan adalah bahwa sebagian pengkaji membatasi pembicaraannya dalam syura di tingkat penguasa menjalankan kekuasaannya ketika dia berkuasa. Perdebatan di antara merekapun meruncing terutama dalam masalah kekuasaan yang diberikan kepada penguasa dengan jalan sah itu memberi wewenang menjalankan segala urusan umat dalam rangka mewakilinya. Dan semua itu tanpa harus berkomitmen meminta advis atau menetapi pendapat jama’ah dengan syura. Juga tentang haruskah kekuasaan tersebut diikat dengan syura dan apakah dasar ikatan itu.

Kebebasan bagi ORMAS & Partai


Sistem masyarakat kita tegak di atas aqidah dan akhlak yang menjurus kearah pendidikan pribadi dan peningkatan standar prilaku, sedang prinsip syura bertujuan mewujudkan sikap saling menyempurnakan dan keseimbangan antara kebebasan pribadi dan jama’ah. Hal inilah yang dapat menghalangi terjadinya monopoli otoritas negara serta orang yang mewakilinya pada pemikiran tertentu.