Selasa, 31 Maret 2015

BERMIMPILAH


Lho, memangnya gimana sih kok disuruh bermimpi? Bukankah mimpi itu kembangnya tidur? Bukankah kita harus realistis? Atau istilah Arab-nya waqi’iyyin, kenapa kok malah disuruh bermimpi? Bukankah mimpi itu ahlam (bentuk jama’ dari hulm, yang artinya mimpi di siang bolong)? Dan bukankah mimpi itu terjadi karena kebanyakan tidur?
Tentunya yang saya maksud dengan mimpi itu bukan sekedar sesuatu yang kita lihat karena kebanyakan tidur. Bukan pula mimpi yang terjadi karena terbawa-bawa oleh nafsu syahwat menjelang tidur. Bukan pula karena kita dikejar-kejar oleh suatu atau berbagai persoalan duniawi, karenanya kita melihatnya di dalam mimpi.
Akan tetapi, yang saya maksud dengan mimpi di sini adalah suatu gagasan besar, cita-cita agung, angan-angan mulia yang luhur, yang karena besarnya gagasan itu, atau karena agungnya cita-cita itu, atau karena luhurnya angan-angan itu, lalu banyak orang-orang yang tidak berilmu, atau berilmu, tapi ilmunya cethek alias dangkal, atau oleh orang-orang yang obsesinya rendah dan murah, kita dituduh sebagai kaum utopis, kaum pemimpi, lebih parah lagi kita dituduh sebagai pemimpi di siang bolong, atau istilah Al Qur’an-nya Adh-ghatsu ahlaam (hidupnya dibuai oleh mimpi-mimpi, QS Yusuf [12]: 44, Al Anbiya’ [21]: 5).
Dalam suatu pertemuan, ada seorang syekh mengatakan: “La budda lil qaa-idi an yakuuna lahu ahlam, wa illa la yashluh an yakuuna qaa-idan”. Maksudnya: Seorang pemimpin harus mempunyai banyak mimpi, jika tidak, dia tidak layak menjadi pemimpin.
Mendengar pernyataan seperti itu, saya terperanjat dan kaget, lhoo kok begitu?
Akan tetapi, sebelum saya mengingkari pernyataannya itu, saya mencoba mereview apa-apa yang pernah saya ketahui tentang mimpi, ternyata, banyak juga dalil atau argumentasi yang bisa saya kemukakan untuk membenarkan pernyataan syekh tadi.
Pertama: Nabi Yusuf as pada waktu kecil telah bermimpi melihat sebelas bintang, satu matahari dan satu bulan bersujud kepadanya, dan ternyata mimpi itu kemudian menjadi kenyataan.(QS Yusuf [12]: 100).
Kedua: Nabi Yusuf as membuat strategi, mengorganisir dan menjalankan program penyelamatan negeri Mesir dan sekitarnya dari bahaya kelaparan juga berangkat dari mimpi sang raja yang dia ta’wil-kan (sesuai dengan ilmu yang Allah swt berikan kepadanya) menjadi “sebuah manajemen strategis” yang sangat luar biasa.
Ketiga: mukaddimah dari turunnya wahyu kepada nabi Muhammad saw adalah ar-ru’yah ash-shadiqah (mimpi yang benar), yang menurut riwayat ummul mukminin ‘Aisyah ra (sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari): “beliau tidak melihat satu mimpipun kecuali seperti merekahnya fajar di pagi hari”.
Keempat: Salah seorang ulama’, pemikir, da’i dan mujaddid Islam yang bernama Hasan Al Banna, selalu mengingatkan murid-muridnya akan adanya satu kaidah sosiologi yang mengatakan bahwa: haqaa-iqul yaumi ahlaamul amsi, wa ahlaamul yaumi haqaa-iqul ghadi (kenyataan hari ini adalah mimpi kemarin, dan mimpi hari ini adalah kenyataan esok hari). Kaidah ini terus menerus dia doktrinkan kepada murid-muridnya, tentunya dengan berbagai argumentasi qur’an dan sunnah yang dia tetapkan sebagai rujukan utama gerakannya, sehingga, gerakan yang dia bangun itupun –menurut sumber majalah Al Mujtama’- sekarang telah tersebar ke lebih dari tujuh puluh negara di dunia, dimana gerakan seperti yang dia bangun itu, pada saat itu banyak yang menilainya sebagai gerakan kaum utopis, gerakan untuk merubah sesuatu yang hil dan mustahal, namun sedikit demi sedikit, hal-hal yang tadinya dianggap mimpi di siang bolong itupun berubah menjadi kenyataan.
Salah satu argumentasi yang dikemukakan oleh Hasan Al Banna adalah kisah pembebasan Bani Israil dari keterbudakan rezim Fir’aun di Mesir. Bagaimana suatu bangsa yang sudah terbudak sedemikian rupa, pada akhirnya mampu melepaskan dirinya dari keterbudakan yang begitu dahsyat.
Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah …
Dunia sekarang telah dipenuhi oleh berbagai ketidak adilan, kezhaliman, kerusakan dan pertikaian. Dalam skala lokal saja, tanda-tanda semakin menjauhnya agenda reformasi yang pada awalnya diusung oleh para mahasiswa itu, bukannya semakin mendekat kepada kenyataan, justru bayang-bayang semakin menjauhnya cita-cita itu senantiasa tampak di depan mata.
Namun demikian, kita tidak boleh berputus asa, kita harus senantiasa optimis, bahwa malam tidak akan selamanya malam, ia pasti akan berganti dengan merekahnya fajar, bukan fajar kadzib (fajar dusta, fajar yang setelah terang benderang gelap lagi), tapi fajar shadiq, fajar yang benar, fajar yang berlanjut dengan munculnya surya, munculnya mentari yang menyinari berbagai permukaan bumi, dan secara perlahan mengusir kegelapan malam yang tadinya begitu menyelimuti. Kita harus tetap tegar, tabah dan tsabat dalam mengusung cita-cita besar kita, cita-cita liyuzh-hirahu ‘alad-diini kullihi (QS At-Taubah [9]: 33, Al Fath [48]: 28, dan Ash-Shaff [61]: 9), cita-cita hatta la takuuna fitnatun wa yakuunad-diinu (kulluhu) lillah (QS Al Baqarah [2]: 193, Al Anfal [8]: 39), dan cita-cita khaira ummatin ukhrijat linnaas (QS Ali Imran [3]: 110).
Memang, banyak kalangan menilai bahwa cita-cita seperti itu hanyalah mimpi belaka, namun, berbagai argumentasi di atas, kiranya sanggup untuk membuat kita tidak tertipu oleh penilaian banyak kalangan itu, anggaplah hal itu hanyalah sebuah laumata laa-im (celaan orang yang mencela), yang harus kita sikapi dengan la yakhafuuna (tidak takut), sebagaimana disebutkan dalam QS Al Maidah [5]: 54, kita harus tetap tsabat agar kita menjadi representasi dari fasaufa ya’tillahu biqaumin, representasi dari qaum yang disebutkan dalam ayat tersbut.
Dalam rangka merealisasikan mimpi kita yang besar itu, kita harus melakukan langkah-langkah binaa-ur rijaal (pembinaan tokoh-tokoh masa depan), sebab hanya dengan langkah seperti inilah, setapak demi setapak mimpi itu semakin dekat kepada kenyataan.
Sebagai penutup dari taujih ini, marilah kita simak kisah tentang dialog antara Umar bin Al Khaththab ra dengan beberapa orang di zamannya.
Umar bin Al Khaththab berkata: “Berangan-anganlah!”.
Maka salah seorang diantara yang hadir berkata: “Saya berangan-angan kalau saja saya mempunyai banyak uang (dinar dan dirham), lalu saya belanjakan untuk memerdekakan budak dalam rangka meraih ridha Allah”.
Seorang lainnya menyahut: “Kalau saya, berangan-angan memiliki banyak harta, lalu saya belanjakan fi sabilillah”.
Yang lainnya lagi menyahut: “Kalau saya, mengangankan mempunyai kekuatan tubuh yang prima, lalu saya abdikan diri saya untuk memberi minum air zamzam kepada jama’ah haji satu persatu”.
Setelah Umar bin Al Khaththab mendengarkan mereka, iapun berkata: “Kalau saya, berangan-angan kalau saja di dalam rumah ini ada Rijaal (tokoh) seperti Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Umair bin Sa’ad dan semacamnya”.
Dari dialog tentang mimpi ini, kita dapat mengetahui betapa urgen dan pentingnya binaur-rijal itu.
Semoga Allah swt memberikan kekuatan kepada kita untuk mampu mewujudkan mimpi indah kita, amin.

Musyaffa’ Ahmad Rahim

DULU PION, KARENA CINTA JADI STER



Dalam dunia catur, rakyat jelata atau wong cilik digambarkan sebagai pion. Namun, jika ia mau berjihad, dengan resiko yaqtuluuna auw yuqtaluuna, menghadapi dan berhadapan dengan siapapun yang dia temui, tanpa mempedulikan, apakah yang dihadapinya itu pion, atau kuda, atau menteri ataupun beteng, bahkan ster dan raja sekalipun, dan ia terus berjihad dan berusaha untuk mencapai titik terjauh di daerah lawan, maka naiklah pangkatnya, bisa jadi kuda, atau beteng, atau menteri, ataupun ster. Hanya saja dalam dunia ster ada satu bentuk feodalisme dan kenakalan sistem yang tidak bisa didobrak, yaitu: pion tidak boleh menjadi raja, dan raja tidak boleh mati, kecuali setelah seluruh bala tentara dan pembatunya mati dan habis semua.
Bagaimana dengan dunia pergerakan Islam dan da’wah? Adakah “seorang pion” yang berubah menjadi ster? Kalau ada, siapakah dia?
Tersebutlah dalam kitab-kitab tarajim (buku-buku yang khusus membahas biografi), misalnya kitab al Ishabah fi tamyiizish-shahabah, karya: Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, ada seorang sahabat yang dikenal dengan panggilan: Dzul Bijadaini.
Nama aslinya adalah Abdullah bin Abdi Nahm bin Afif bin Suhaim bin Adiy bin Tsalabah bin Saad Al Muzani, dari suku Muzainah. Dulunya bernama ‘Abdul ‘Uzza. Oleh Rasulullah saw kemudian diganti dengan Abdullah.
Abdullah Dzul Bijadain adalah seorang anak yatim. Ia diasuh oleh pamannya. Sang paman ini sangat baik kepadanya. Segala kebutuhan Abdullah dipenuhi olehnya, sandang, pangan, papan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Namun, saat sang paman ini mendengar bahwa Abdullah telah memeluk Islam, sang paman-pun marah. Ia hentikan segala kebaikan yang selama ini telah ia berikan kepada keponakannya. Bahkan, baju yang dipakai oleh Abdullah-pun harus dilepaskannya, sehingga ia telanjang. Oleh ibunya yang sangat miskin, ia diberi Bijad, selembar kain yang sangat tebal dan sangat kasar. Agar auratnya tertutup, Bijad pemberian ibunya itu dia potong menjadi dua, yang satu dikenakannya sebagai baju, dan selembarnya lagi dia kenakan sebagai sarung.
Esok harinya, dia datang kepada Rasulullah saw. Melihat penampilannya yang seperti itu, Rasulullah saw bersabda: “Engkau adalah Abdullah Dzul Bijadain. Maka, tetaplah berada di pintu rumahku”. Abdullah pun konsisten dan komitmen untuk tetap berada pada pintu rumah Rasulullah saw. Dari sinilah ia terkenal dengan panggilan Dzul Bijadain.
Ibnu Mas’ud RadhiyaLlahu anhu bercerita: “Pada suatu malam, di tengah kegelapan dan tegangnya suasana perang tabuk, saya melihat nyala api dari kejauhan. Saya datangi api itu. Ternyata di sana ada Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar RadhiyaLlahu anhuma. Dan ternyata Abdullah Dzul Bijadain telah meninggal dunia. Dan ternyata pula mereka telah menggali lubang untuknya. Saya lihat Rasulullah saw telah berada di dalam lubang. Sedangkan dua sahabat dekat beliau itu yang menurunkan mayat Abdullah ke dalam lubang. Rasulullah saw bersabda: “Turunkan ke sini mayat saudaramu itu”. Lalu Rasulullah saw menerima dan menangkap mayat Abdullah itu. Setelah meletakkan mayat Abdullah pada posisinya, Rasulullah saw bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya saya memasuki sore hariku dalam keadaan ridha kepadanya (Abdullah), karenanya, ridhailah dia”.
Mendengar do’a Rasulullah saw yang seperti itu, Abdullah bin Mas’ud RadhiyaLlahu anhu berkata: “Kalau saja sayalah mayit yang berada di dalam lubang itu”. Angan-angannya. (Kisah aslinya bisa dlilihat di kitab Al Ishabah Bab huruf ‘ain dan Al Bidayah wan-Nihayah pada pembahasan perang Tabuk).
Berkenaan dengan kisah Dzul Bijadain, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata:
“Dulunya Dzul Bijadain adalah seorang anak yatim. Ia ditanggung hidupnya oleh pamannya. Namun jiwanya terasa terus tersedot untuk mengikuti Rasulullah saw. Himmah-nya pun bangkit, namun, sisa penyakitnya menghambatnya untuk membangkitkan badannya, sehingga iapun terduduk sambil menunggu pamannya.
Setelah kesehatannya sempurna, habislah kesabarannya. Nurani cintanya-pun seakan berkata kepadanya:
 
 

Sampai kapan jiwa ini tertahan dan mengeluhkan adanya penyempitan.
Barangkali setelah itu ada jalan untuk memenuhinya.

Maka iapun berkata kepada pamannya: “Wahai pamanku, telah lama aku menunggu keislamanmu, namun, saya lihat engkau tidak segera bangkit untuk memeluk Islam”. Maka sang pamanpun berkata: “sungguh, demi Allah, jika engkau masuk Islam, maka segala yang pernah saya berikan akan saya cabut”.
Mendengar gertakan pamannya seperti itu, lisan kerinduannya-pun menjerit: “Sekali memandang Muhammad saw lebih aku cintai daripada dunia dengan segala isinya”.
Persis dengan kisah Qais yang sudah tergila-gila dengan Laila yang diungkapkan oleh si Qais majnun Laila sendiri:

Seandainya dikatakan kepada si gila: “Kamu pilih mana, dunia dengan segala isinya atau Laila dengan cintanya?
Pastilah ia berkata: Sebutir debu dari sandal Lalila bagiku lebih lezat bagiku dan lebih memikat.

Pada saat ia telah bertekad bulat untuk berangkat menemui Rasulullah saw, pamannya-pun menelanjanginya, lalu ibunya yang fakir memberinya Bijad, lalu, Bijadb itu dibelahnya menjadi dua, satu potong untuk baju dan satu potong sebagai sarung, demi melanjutkan perjalanan cinta untuk menemui sang kekasih (Rasulullah saw).
Saat ada panggilan jihad, ia cukup puas berada di barisan paling belakang para kekasih nabi itu, dan sebagai orang orang yang sedang mencintai. Orang yang sedang merasakan cinta, jauhnya perjalanan tidaklah menjadi masalah dan pertimbangan, karena tujuan itulah yang menolong dan membantunya.
Saat meninggal dunia, Rasulullah saw-lah yang menggali lubangnya, beliau juga yang memasukkannya ke dalam liang kubur, sambil bersabda:
“Ya Allah, sesungguhnya saya memasuki sore hariku dalam keadaan ridha kepadanya (Abdullah), karenanya, ridhailah dia”.
Mendengar sabda Rasulullah saw seperti itu, Abdullah bin Mas’ud berkata: “Ooh, kalau saja sayalah mayit yang dikubur itu!
Kata Ibnu Qayyim Al Jauziyyah: “Wahai pemilik ‘azam (tekad) yang banci, ketahuilah, yang paling kecil dalam catur adalah pion, namun, saat ia bangkit, iapun menjadi ster”. (Al Fawaid, hal: 69 – 70).
Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah ...
Saya yakin, banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah ini, saya tidak akan menyebutkannya satu persatu, akan tetapi, renungkanlah, hayatilah dan cobalah pahami apa yang tersurat dan yang tersirat dari kisah ini, lalu cobalah laksanakan sampai batas akhir kemampuan kalian.

Semoga Allah swt memberikan taufiq, hidayah dan ‘inayah-Nya kepada kita, untuk menggapai ridha-Nya, amiiien.

Selasa, 24 Maret 2015

Bi’ah Da’wiyah Shalihah





Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Upaya mewujudkan dan memelihara bi’ah da’wiyah shalihah harus ditopang oleh adanya unsur bi’ah ruhiyah ta’abudiyah, bi’ah ilmiyah fikriyah dan bi’ah harakiyah da’wiyah. Bila bi’ah da’wiyah shalihah dengan ketiga unsur penopangnya bisa selalu kita pelihara, insya Allah dengan pertolongan-Nya dapat menjadikan setiap pertemuan  ini sebagai wadah dan sarana untuk meningkatkan kualitas da’wah, jama’ah dan sekaligus kualitas ketaatan.

Namun tentu saja hal itu memerlukan tekad, i’tikad dan kesungguh-sungguhan dari diri kita sendiri sebagai anggota majelis syura untuk menjadikan jalasahnya sebagai wadah dan sarana tarqiyah. Alhamdulillah ditilik dari segi SDM, para personil majelis syura terpilih memiliki kafa’ah dan pengalaman yang beragam yang insya Allah dapat membackup proses irtiqa diri, da’wah dan jama’ah kita.

Selain itu insya Allah juga dapat semakin mendorong kita untuk meningkatkan upaya-upaya tafaqquh yang sangat diperlukan oleh sebuah majelis dengan kapasitas dan kualitas selevel majelis syura dalam sebuah jama’ah da’wah. Karena hanya dengan senantiasa bertafaqquh itulah insya Allah kita dapat melahirkan qararat hakimah (keputusan-keputusan, ketetapan-ketetapan yang bijaksana).
Kegiatan tafaqquh tersebut harus kita tingkatkan seiring-sejalan baik secara individual operasional di aktivitas dakwah kita sehari-hari, maupun secara legal formal di majelis ini. Kegiatan tafaqquh itu meliputi paling tidak sepuluh ruang lingkup.

Ruang lingkup yang pertama adalah fiqhul ahkam. Penguasaan fiqhul ahkam membuat keputusan-keputusan kita tidak melanggar ahkam kitab wa sunah. Fiqhul ahkam ini juga memberi kepastian boleh tidaknya sesuatu kita putuskan untuk dilakukan.

Kemudian ruang lingkup yang kedua adalah fiqhud da’wah. Agar dapat melahirkan qararat hakimah kita juga memerlukan peningkatan tafaqquh dalam hal fiqhud da’wah. Melalui pendalaman fiqhud da’wah dalam konteks yang syamilah mutakamilah, kebijakan-kebijakan atau ketetapan-ketetapan yang kita lahirkan akan mempunyai tingkat akurasi, ketepatan yang tinggi  baik dalam hal sikon (situasi dan kondisi), penjadwalan dan timing (waktu yang pas) maupun dalam hal menentukan obyek yang menjadi sasaran keputusan-keputusan tersebut.

Selanjutnya ruang lingkup ketiga yang kita butuhkan dalam upaya tafaqquh adalah fiqhu amal jama’i. Sesuai dengan syumuliatud da’wah dan takamuliyatud da’wah, jamaah da’wah ini memerlukan segala potensi SDM-SDM yang memiliki beragam kafaah, bakat dan muyul. Dan kesemuanya itu harus terangkum secara baik dan terpadu di dalam wadah dan kerangka amal jama’i. Oleh karena itu kemampuan merangkum, membangun dan menyalurkan potensi secara tepat sangat diperlukan dalam peningkatan kualitas amal jama’i kita. Maka fiqhu amal jama’i pun menjadi sesuatu yang sangat asasi dalam upaya melahirkan qararat hakimah.

Raung lingkup keempat yang dibutuhkan sebagai penunjang lahirnya qararat hakimah ialah penguasaan fiqhul muwazanah, yakni kemampuan untuk menimbang-nimbang sebelum mengambil keputusan di antara aneka ragam pilihan. Fiqhul muwazanah tersebut meliputi:
a.            Muwazanah baina mashlahah wal mafsadah, menimbang di antara manfaat dan mudharat, antara kebaikan dan kerusakan.
b.           Muwazanah baina mashalih atau muwazanah baina ‘iddati mashalih sebab mashlahah memiliki tingkatan-tingkatan mashlahah duna mashlahah. Artinya setiap mashlahah memiliki derajat-derajat dan kesesuaian yang berbeda. Sehingga untuk suatu situasi dan kondisi dakwah tertentu kita harus bisa memilih dari sekian mashlahah, ayyuha ashlah (mana yang lebih baik).
c.            Muwazanah bainal mafasid. Mafsadah adalah tsamaratul kufr (buah kekufuran) dan mengingat kekufuran memiliki tingkatan-tingkatan (maratib kufrun duna kufrin), maka mafsadah sebagai bauhnya juga memiliki leveling, yakni mafsadah duna mafsadah. Oleh karena itu kitapun  membutuhkan kemampuan muwazanah mafsadah bainal mafasid.

Jadi kemampuan fiqhul muwazanah harus melingkupi fiqhul muwazanah bainal mashlahah wal mafsadah, fiqhul muwazanah bainal mashlahah wal mashlahah dan fiqhul muwazanah bainal mafsadah wal mafsadah.

Ikhwah dan akhwat fillah, untuk meningkatkan kualitas, kita juga membutuhkan tafaqquh yang kelima, yaitu fiqhul aulawiyat.  Kita membutuhkan fiqhul aulawiyat untuk bisa memilih skala prioritas sesuai dengan situasi, kondisi dan obyek dakwah yang kita hadapi.

Selanjutnya kita perlu merambah kepada tafaqquh yang keenam, yaitu fiqhus sunah. Sebagai makhluk yang dimuliakan Allah di antara seluruh makhluk Allah.
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي ءَادَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Q.S. Al-Isra: 70)

Dan memiliki keistimewaan, kita harus mempunyai kemampuan yang mendalam tentang sunatullah-sunatullah yang mengikat seluruh makhluk-Nya. Sunah kauniyah yang mengikat makhluk-makhluk-Nya, baik yang minal mushlihin, minal mu’minin, minal mufsidin dan minal kafirin atau bahkan ahya wa jamadat (makhluk hidup dan benda mati).

Di antara sunah kauniyah, sunatullah yang mengikat seluruh makhluknya adalah:
a.             Sunatut tadarruj. Setiap makhluk terikat dengan sunah tadarruj ini, yaitu mereka memiliki tahapan-tahapan dalam pertumbuhannya.
b.             Sunatut tawazun. Artinya setiap makhluk diciptakan dalam komposisi seimbang dan berkembang secara mutawazinah pula.
c.             Sunatul ajal. Setiap makhluk terikat sunatul ajal, yaitu bahwa ia mempunyai batasan waktu dalam keberadaannya.
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (Q.S. Al-A’raf: 34)
Secara inklusif di dalam memahami sunatul ajal, kita juga harus memahami sunatut tadawwul (sunah pergiliran). Ketika ajal seorang manusia sampai, maka digantikan atau digilir oleh generasi anak-cucunya dan jika ajal suatu umat sampai, maka umat berikutnya pun akan melanjutkan misi wazhifahnya.

وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim,” (Q.S. Ali Imran: 140)

d.             Sunnatut tadaffu’ muda’afah bainal khalaiq. Sunatullah ini diperlukan untuk menjaga dinamika dan keseimbangan kauni di dalam kehidupan makhluk-Nya.
وَلَوْلاَ دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ
“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (Q.S. Al-Baqarah: 251)
Artinya Allah menjamin dinamika dan keseimbangan kauni dengan menjadikan sebagian manusia mencegah kezaliman yang dilakukan sebagian lainnya.

e.             Sunatut taskhir (ketentuan ditundukkannya segala sesuatu di dunia ini untuk keperluan manusia). Kita juga harus memahami adanya sunatut taskhir, yaitu bahwa dalam menjalankan tugas risalah ibadah dan wazhifah khilafahnya, manusia dipermudah oleh Allah dengan menundukkan seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi untuk keperluan tersebut.

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Al-Jatsiyah: 13)

Ikhwah dan akhwat fillah dalam upaya peningkatan tafaqquh, kita juga memerlukan ruang lingkup yang ketujuh, yaitu fiqhut taghyir (fikih perubahan). Untuk mengusahakan suatu perubahan sudah ada acuan bakunya yang terikat oleh sunah kauniyah. Dan kita sebagai harakatud da’wah yang terlibat dalam upaya merubah kualitas manusia dan kehidupannya sudah tentu terikat juga dengan sunnatut taghyir. Karena Allah Taala sudah menggariskan.
إِنَّ اللَّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Q.S. Ar-Ra’d: 11)

Selanjutnya kita pun harus memahami ruang lingkup tafaqquh yang kedelapan, yaitu fiqhut tarikh. Kita harus juga melirik, melihat dan menelaah perjalanan sejarah manusia (tarikh basyariah) tarikhul umam (sejarah keseluruhan umat manusia),  begitu juga segala anbiya wal mursalin dan sejarah Islam. Sudah tentu memahami sejarah bukan untuk sekadar bersenandung rindu terhadap kejayaan-kejayaan masa lalu, melainkan untuk mengambil ibrah (pelajaran) dari sejarah.
Kemudian dalam hal kebutuhan aplikasi pemahaman, kita membutuhkan aplikasi pemahaman,

 kita membutuhkan raung lingkup tafaqquh yang kesembilan, yaitu fiqhul waqi’ (pemahaman terhadap realita) baik itu realitas kita, realita lawan, realita subyek dan obyek dakwah. Begitu pula terhadap sarana dan prasarana situasi dan kondisi yang sedang kita hadapi. Kesemuanya dapat kita pahami dengan  baik dengan memiliki fiqhul waqi’.

Boleh jadi ada perbedaan dalam upaya kita memahami realita, karena itu selain fiqhul waqi’, kita juga membutuhkan fiqhul ikhtilaf atau pemahaman terhadap kemungkinan perbedaan pendapat. Dalam pandangan Islam adanya ikhtilaf merupakan sesuatu yang  wajar dan sesuai dengan fitrah manusia yang diciptakan berbeda-beda. Namun Islam sekaligus mengarahkan bagaimana perbedaan tersebut sekadar sebuah keragaman yang tetap dalam keterpaduan (ikhtilaf takamul) agar berguna dalam pertumbuhan dakwah yang bersifat syumuliah.

Demikianlah ikhwah dan akhwat fillah, jika kita selalu berupaya untuk mengembangkan tafaqquh dalam bidang-bidang tersebut, insya Allah kualitas qararat (kebijakan-kebijakan) kita denga izin Allah dan petunjuk-Nya akan mencapai kualitas qararat yang hakimah yang insya Allah selaras dengan kepentingan dakwah dan jamaah.

Upaya penguasaan kesepuluh ruang lingkup tafaqquh tersebut  selain diwujudkan dengan cara saling memperkaya sesama anggota majelis syura, bisa juga membentuk tim-tim khusus atau lajnah-lajnah yang terdiri dari para pakar dari luar sehingga keputusan-keputusan kita semakin aqwam yang bukan saja mengandung unsur kebijakan, tetapi juga kekokohan untuk menghadapi tantangan-tantangan berupa qadhaya dakwah di hadapan kita. Insya Allah.

Wallahu a’lam

Minggu, 22 Maret 2015

FAT-HU MAKKAH



Fat-hu Makkah ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah. Sebabnya adalah karena orang-orang dari Banu Bakar meminta bantuan personil dan senjata kepada para pemimpin Quraisy guna menyerang orang-orang Khuza‘ah. (Khuza‘ah telah menyatakan diri berpihak kepada kaum Muslimin sesuai perjanjian Hudaibiyah). Permintaan bantuan ini disambut oleh Quraisy dengan mengirim sejumlah militer Quraisy kepada mereka dengan cara menyamar. Di antara mereka terdapat Shafwan bin Umayyah, Huwaithib bin Abdul Izzi dan Makraz bin Hafsh. Kemudian mereka bertemu dengan Banu Bakar di sebuah tempat bernama al-Watir lalu mengepung selama semalam Banu Khuza‘ah yang tengah tidur dengan tenang. Akhirnya mereka membunuh 20 orang lelaki dari Khuza‘ah. Setelah peristiwa ini, Amer bin Salim al-Khuza‘I bersama 40 orang dari Khuza‘ah berangkat dengan menunggang kuda menemui Rasulullah saw guna melaporkan apa yang baru saja terjadi. Setelah mendengarkan laporan tersebut, Nabi saw berdiri dengan menyeret selendangnya seraya bersabda :
„Aku tidak akan ditolong jika aku tidak membantu Banu Ka‘ab sebagaimana aku menolong diriku sendiri.“
Ditegaskan pula :
„Sesungguhnya awan mendung ini akan dimulai hujannya dengan kemenangan Banu Ka‘ab“

Quraisy menyesali tindakannya kemudian mengutus Abu Sofyan kepada Rasulullah saw guna meminta perpanjangan dan perbaruan "gencaran senjata“. Abu Sofyan menemui dan berbicara dengan Rasulullah saw tetapi beliau tidak menjawab sama sekali. Kemudian Abu Sofyan pergi menemui Abu Bakar meminta bantuannya untuk membicarakan persoalan yang dibawanya kepada Rasulullah saw tetapi Abu Bakar menjawab: “Aku tidak bisa melakukannya.“ Ia lalu pergi menemui Umar bin Khattab untuk tujuan yang sama. Umar ra menjawab: “Apa? Aku harus membantumu menghadapi Rasulullah saw? Demi Allah, sekiranya aku tahu engkau berbuat kesalahan walaupun sebutir pasir, tentu engkau kuperangi.“

Akhirnya Abu Sofyan kembali ke Mekkah tanpa membawa hasil apa-apa.

Sementara itu Rasulullah saw telah melakukan persiapan secara diam-diam seraya berdo‘a :
„Ya Allah, tutuplah mata-mata Quraisy agar mereka tidak melihatku kecuali secara tiba-tiba.“

Setelah Nabi saw mengumpulkan pasukan, Hatib bin Abi Balta‘ah mengirim surat kepada Quraisy yang isinya memperingatkan mereka dari ancaman serangan kaum Muslimin. Ali ra berkata: "Kemudian Rasulullah saw mengutusku bersama Zubair dan Miqdad. Nabi saw berpesan: „Berangkatlah sampai kalian tiba di kebun Khakh, karena di kebun itu ada seorang wanita yang sedang membawa surat. Ambillah surat itu darinya!“ Ali ra melanjutkan: “Kemudian kami berangkat dengan menunggang kuda dan setibanya di tempat itu kami jumpai serang perempuan yang dimaksudkan oleh Nabi saw. Kami katakan kepadanya: “Keluarkanlah surat yang kamu bawa.“ Wanita itu menjawab: “Aku tidak membawa surat.“ Akhirnya kami tekan: “Keluarkan surat itu, kalau tidak engkau akan kami telanjangi“. Ali ra berkata: "Kemudian wanita itu terpaksa mengeluarkan surat yang dibawanya dari gelungannya. Kami kemudian segera pulang menyampaikan surat itu dari Hatib bin Abi Balta‘ah kepada kaum Musyrikin yang mengabarkan sebagian rencana ynag hendak dilakukan oleh Nabi saw, Hatib kemudian dipanggil dan ditanya oleh Nabi saw: “Hai Hatib, apa maksud suratmu itu?“ Ia menjawab: “Wahai Rasulullah saw, jangan buru-buru menghukum diriku. Aku mempunyai hubungan erat sekali dengan Quraisy (yakni aku bagian dari mereka). Di antara orang-orang Muhajirin yang bersama anda banyak yang mempunyai sanak famili di mekkah yang menjaga keluarga harta benda mereka. Sekalipun orang-orang Quraisy itu tidak mempunyai hubungan silsilah denganku, namun aku menginginkan supaya ada beberapa orang di antara mereka yang mau menjaga kaum kerabatku. Aku berbuat demikian itu sama sekali bukan karena aku telah murtad dan bukan pula karena aku ingin menjadi kafir, setelah aku memeluk Islam.“ Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya dia telah mengatakan yang sebenarnya kepada kalian“. Akan tetapi Umar ra berkata: "Sesungguhnya dia pernah turut serta perang Badar! Apakah engkau tahu, kalau-kalau Allah meninggikan martabat orang yang turut serta dalam perang Badar, lalu Allah bertitah : berbuatlah sekehendak kalian, kalian kuampuni ….“

Sehubungan dengan peristiwa tersebut turunlah firman Allah :
„Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman-teman setia yang kalian berikan (keterangan-keterangan mengenai Muhammad) berdasarkan perasaan kasih sayang. Sesungguhnya mereka itu mengingkari kebenaran yang datang pada kalian, dan mereka telah mengusir Rasul serta kalian karena kalian beriman kepada Allah, Rabb kalian. Jika kalian benar-benar hendak keluar berjuang di jalan-Ku (janganlah kalian berbuat sedemikian itu). (Janganlah) kalian memberitahukan secara rahasia (keterangan-keterangan tentang Muhammad) kepada mereka karena kasih sayang. Aku Maha Mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian nyatakan (secara terang-terangan). Dan barangsiapa di antara kalian melakukannya, maka ia telah sesat dari jalan yang lurus.“ (QS Muhammad : 1 )

Rasulullah saw menunjuk Kaltsum bin Husain sebagai wakilnya di Madinah. Beliau berangkat pada hari Rabu tanggal 10 Ramadhan setelah Ashar. Rasulullah saw memberikan kepada orang-orang Arab di sekitar Madinah yang terdiri dari suku : Aslam, Ghiffar, Mazinah, Jahinah dan di Zhahran tempat antara Mekkah dan Madinah. Jumlah kaum Muslimin mencapai 10.000 orang. Kendatipun orang-orang Quraisy belum mengetahui berita sama sekali tetapi mereka sudah memperkirakan berdasarkan kegagalan misi Abu Sofyan, Hakim bin Hazzam dan Badil bin Warqa‘ untuk mencari berita tentang sikap Rasulullah saw. Mereka berangkat menjalankan misinya sampai ketika di dekat Zahran mereka menyaksikan obor api yang sangat besar, seraya bertanya-tanya sesama mereka tentang api besar tersebut. Ketiga orang ini diketahui oleh para pengawal Rasulullah saw kemudian ditangkap dan dibawa menghadap kepada Rasulullah saw, saat itulah Abu Sofyan menyatakan diri masuk Islam.

Ibnu Ishaq berkata diriwayatkan dari Abbas tentang rincian Islamnya Abu Sofyan menghadap : Keesokkan harinya aku bawa Abu Sofyan menghadap Rasulullah saw dan setelah melihatnya Rasulullah saw berkata: “Celaka wahai Abu Sofyan, tidakkah tiba saatnya bagi anda untuk mengetahui sesungguhnya tidak ada Illah kecuali Allah?“ Abu Sofyan menyahut: “Alangkah penyantunnya engkau, alangkah mulianya engkau dan alangkah baiknya engkau! Demi Allah aku telah yakin seandainya ada Ilah selain Allah niscaya dia telah membelaku.“ Nabi saw bertanya lagi: “Tidakkah tiba saatnya bagi anda untuk mengetahui bahwa aku adalah Rasul Allah?“ Abu Sofyan menjawab: “Sungguh engkau sangat penyantun, pemurah, dan suka menyambung keluarga. Demi Allah, mengetahi hal yang satu ini sampai sekarang di dalam diriku masih ada sesuatu yang mengganjal.“ Abbas ra menukas: "Celaka! Masuk Islamlah dan bersaksilah tiada Ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, sebelum lehermu dipenggal.“ Kemudian Abu Sofyan mengucapkan syahadah dengan benar dan masuk Islam.

Abbas ra melanjutkan: "Kemudian aku katakan, wahai Rasulullah saw, sesungguhnya Abu Sofyan adalah seorang yang menyukai kebanggaan dirinya.“ Nabi saw menjawab: “Ya, barangsiapa yang masuk rumah Abu Sofyan, ia selamat, barangsiapa yang menutup pintu rumahnya ia selamat, dan barangsiapa yang masuk ke dalam Masjidil Haram ia selamat.“

Ketika Rasulullah saw bergerak menuju Mekkah, beliau berkata kepada Abbas ra: "Tahanlah Abu Sofyan di mulut lembah sampai ia menyaksikan tentara-tentara Allah lewat di depannya.“ Abbas melanjutkan kisahnya: Kemudian aku tahan Abu Sofyan di tempat yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. Tak lama kemudian pasukan Muslimin bergerak melewati jalan itu kabilah demi kabilah dengan panjinya masing-masing. Setiap melihat kabilah lewat, Abu Sofyan bertanya: "Hai Abbas, siapakah ini?“ Jawabku: “Kabilah Sulaim“. Ia menyahut: “Ah, aku tidak punya urusan dengan kabilah Sulaim!“… Begitulah seterusnya sampai Rasulullah saw lewat di tengah-tengah pasukan yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar. Ia menatap satu persatu dengan penuh kekaguman. Ia bertanya: “Subhanallah, hai Abbas, siapakah mereka itu?“ Kujawab: "Itulah Rasulullah saw di tengah-tengah kaum Muhajirn dan Anshar….!“ Ia berkata: "Tak ada orang dan kekuatan yang sanggup menandingi mereka! Demi Allah, hai Abu Fadhal, kemenakanku kelak akan menjadi maharaja besar…:“ Aku menjawab: “Hai Abu Sofyan, itu bukan kerajaan, melainkan kenabian.“ Ia menyahut: “Kalau begitu, alangkah mulianya.“

Selanjutnya Abbas ra berkata kepadanya :“Selamatkanlah kaummu!“ Kemudian Abu Sofyan segera pergi ke Mekkah sebelum Rasulullah saw memasukinya. Dengan suara keras Abu Sofyan berteriak :“Wahai orang-orang Quraisy, Muhammad datang kepada kalian membawa pasukan yang tak mungkin dapat kalian atasi. Karena itu, barangsiapa yang masuk rumah Abu Sofyan ia selamat.“ Ketika mendengar ucapan Abu Sofyan seperti itu, istrinya yang bernama Hindun binti 'Utbah mendatanginya lalu memegang kumisnya seraya berkata: “Bunuhlah Al Humait Ad Dasam Al Ahmas! Alangkah buruknya perbuatanmu sebagai pemimpin!“

Abu Sofyan menegaskan lagi: “Celakalah kalian kalau bertindak menuruti hawa nafsu. Muhammad datang membawa pasukan yang tak mungkin dapat kalian tandingi! Barangsiapa yang masuk rumah Abu Sofyan ia selamat.“

Orang-orang Quraisy mencemoohkan teriakannya: “Celakalah engkau, hai Abu Sofyan! Apakah gunanya rumahmu bagi kami?“

Abu Sofyan menyahut: “Barangsiapa menutup pintu rumahnya ia selamat! Dan barangsiapa yang masuk ke dalam masjidil Haram ia selamat.“

Orang-orang Quraisy kemudian berpencaran, sebagian pulang ke rumah masing-masing dan sebagian lainnya pergi ke Masjidil Haram.

Disampaikan kepada Rasulullah saw bahwa ketika Sa‘ad bin 'Ubadah melewati Abu Sofyan di mulut lembah, ia berkata :
"Hari ini adalah hari pembantaian. Hari ini dibolehkan melakukan segala hal yang dilarang di Ka‘bah.“

Kemudian Nabi saw membantah dengan sabdanya :
"Bahkan hari ini adalah hari kasih sayang, di hari ini Allah mengagungkan Ka‘bah“.

Nabi saw memerintahkan para panglima pasukannya agar tidak memerangi kecuali orang yang memerangi mereka dan enam orang lelaki serta empat wanita. Nabi saw memerintahkan membunuh mereka dimana saja mereka didapatkan. Mereka itu adalah : Ikrimah bin Abu Jahal, habbar bin Al Aswad, Abdullah bin Sa‘ad bin Abu Sarah, Muqis bin Dhababah al Laitsi, huwairits bin Nuqaid, Abdullah bin Hilal, Hindun binti 'Utbah, Sarah mantan budak Amer bin Hisyam, Fartanai dan Qarinah (kedua wanita terakhir ini di masa dahulu selalu menyanyikan lagu-lagu penghinaan kepada Nabi saw).

Episode berikutnya dalam sejarah kemenangan kaum muslimin di bawah bimbingan kenabian yang terjadi di bulan Ramadhan adalah Fathu Makkah (penaklukan kota Mekkah). Peristiwa ini terjadi pada tahun delapan Hijriyah. Dengan peristiwa ini, Allah menyelamatkan kota Makkah dari belenggu kesyirikan dan kedhaliman, menjadi kota bernafaskan Islam, dengan ruh tauhid dan sunnah. Dengan peristiwa ini, Allah mengubah kota Makkah yang dulunya menjadi lambang kesombongan dan keangkuhan menjadi kota yang merupakan lambang keimanan dan kepasrahan kepada Allah ta’ala.
Sebab Terjadinya Fathu Makkah
Diawali dari perjanjian damai antara kaum muslimin Madinah dengan orang musyrikin Quraisy yang ditandatangani pada nota kesepakatan Shulh Hudaibiyah pada tahun 6 Hijriyah. Termasuk diantara nota perjanjian adalah siapa saja diizinkan untuk bergabung dengan salah satu kubu, baik kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan kaum muslimin Madinah atau kubu orang kafir Quraisy Makkah. Maka, bergabunglah suku Khuza’ah di kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan suku Bakr bergabung di kubu orang kafir Quraisy. Padahal, dulu di zaman Jahiliyah, terjadi pertumpahan darah antara dua suku ini dan saling bermusuhan. Dengan adanya perjanjian Hudaibiyah, masing-masing suku melakukan gencatan senjata. Namun, secara licik, Bani Bakr menggunakan kesempatan ini melakukan balas dendam kepada suku Khuza’ah. Bani Bakr melakukan serangan mendadak di malam hari pada Bani Khuza’ah ketika mereka sedang di mata air mereka. Secara diam-diam, orang kafir Quraisy mengirimkan bantuan personil dan senjata pada Bani Bakr. Akhirnya, datanglah beberapa orang diantara suku Khuza’ah menghadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di Madinah. Mereka mengabarkan tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy dan Bani Bakr.
Karena merasa bahwa dirinya telah melanggar perjanjian, orang kafir Quraisy pun mengutus Abu Sufyan ke Madinah untuk memperbarui isi perjanjian. Sesampainya di Madinah, dia memberikan penjelasan panjang lebar kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, namun beliau tidak menanggapinya dan tidak memperdulikannya. Akhirnya Abu Sufyan menemui Abu Bakar dan Umar radliallahu ‘anhuma agar mereka memberikan bantuan untuk membujuk Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Namun usahanya ini gagal. Terakhir kalinya, dia menemui Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu agar memberikan pertolongan kepadanya di hadapan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Untuk kesekian kalinya, Ali pun menolak permintaan Abu Sufyan. Dunia terasa sempit bagi Abu Sufyan, dia pun terus memelas agar diberi solusi. Kemudian, Ali memberikan saran, “Demi Allah, aku tidak mengetahui sedikit pun solusi yang bermanfaat bagimu. Akan tetapi, bukankah Engkau seorang pemimpin Bani Kinanah? Maka, bangkitlah dan mintalah sendiri perlindungan kepada orang-orang. Kemudian, kembalilah ke daerahmu.”
Abu Sufyan berkata: “Apakah menurutmu ini akan bermanfaat bagiku?”
Ali menjawab: “Demi Allah, aku sendiri tidak yakin, tetapi aku tidak memiliki solusi lain bagimu.”
Abu Sufyan kemudian berdiri di masjid dan berkata: “Wahai manusia, aku telah diberi perlindungan oleh orang-orang!” Lalu dia naik ontanya dan beranjak pergi.
Dengan adanya pengkhianatan ini, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan para shahabat untuk menyiapkan senjata dan perlengkapan perang. Beliau mengajak semua shahabat untuk menyerang Makkah. Beliau barsabda, “Ya Allah, buatlah Quraisy tidak melihat dan tidak mendengar kabar hingga aku tiba di sana secara tiba-tiba.”
Dalam kisah ini ada pelajaran penting yang bisa dipetik, bahwa kaum muslimin dibolehkan untuk membatalkan perjanjian damai dengan orang kafir. Namun pembatalan perjanjian damai ini harus dilakukan seimbang. Artinya tidak boleh sepihak, tetapi masing-masing pihak tahu sama tahu. Allah berfirman: “Jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan sama-sama tahu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Al Anfal: 58)
Kisah Hatib bin Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu
Untuk menjaga misi kerahasiaan ini, Rasulullah mengutus satuan pasukan sebanyak 80 orang menuju perkampungan antara Dzu Khasyab dan Dzul Marwah pada awal bulan Ramadhan. Hal ini beliau lakukan agar ada anggapan bahwa beliau hendak menuju ke tempat tersebut. Sementara itu, ada seorang shahabat Muhajirin, Hatib bin Abi Balta’ah menulis surat untuk dikirimkan ke orang Quraisy. Isi suratnya mengabarkan akan keberangkatan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menuju Makkah untuk melakukan serangan mendadak. Surat ini beliau titipkan kepada seorang wanita dengan upah tertentu dan langsung disimpan di gelungannya. Namun, Allah Dzat Yang Maha Melihat mewahyukan kepada NabiNya tentang apa yang dilakukan Hatib. Beliau-pun mengutus Ali dan Al Miqdad untuk mengejar wanita yang membawa surat tersebut.
Setelah Ali berhasil menyusul wanita tersebut, beliau langsung meminta suratnya. Namun, wanita itu berbohong dan mengatakan bahwa dirinya tidak membawa surat apapun. Ali memeriksa hewan tunggangannya, namun tidak mendapatkan apa yang dicari. Ali radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Aku bersumpah demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tidak bohong. Demi Allah, engkau keluarkan surat itu atau kami akan menelanjangimu.”
Setelah tahu kesungguhan Ali radhiyallahu ‘anhu, wanita itupun menyerahkan suratnya kepada Ali bin Abi Thalib.
Sesampainya di Madinah, Ali langsung menyerahkan surat tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Dalam surat tersebut tertulis nama Hatib bin Abi Balta’ah. Dengan bijak Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menanyakan alasan Hatib. Hatib bin Abi Balta’ah pun menjawab:
“Jangan terburu menuduhku wahai Rasulullah. Demi Allah, aku orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya. Aku tidak murtad dan tidak mengubah agamaku. Dulu aku adalah anak angkat di tengah Quraisy. Aku bukanlah apa-apa bagi mereka. Di sana aku memiliki istri dan anak. Sementara tidak ada kerabatku yang bisa melindungi mereka. Sementara orang-orang yang bersama Anda memiliki kerabat yang bisa melindungi mereka. Oleh karena itu, aku ingin ada orang yang bisa melindungi kerabatku di sana.”
Dengan serta merta Umar bin Al Khattab menawarkan diri,
“Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, karena dia telah mengkhianati Allah dan RasulNya serta bersikap munafik.”
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dengan bijak menjawab,
“Sesungguhnya Hatib pernah ikut perang Badar… (Allah berfirman tentang pasukan Badar): Berbuatlah sesuka kalian, karena kalian telah Saya ampuni.”

Umar pun kemudian menangis, sambil mengatakan, “Allah dan rasulNya lebih mengetahui.”
Demikianlah maksud hati Hatib. Beliau berharap dengan membocorkan rahasia tersebut bisa menarik simpati orang Quraisy terhadap dirinya, sehingga mereka merasa berhutang budi terhadap Hatib. Dengan keadaan ini, beliau berharap orang Quraisy mau melindungi anak dan istrinya di Makkah. Meskipun demikian, perbuatan ini dianggap sebagai bentuk penghianatan dan dianggap sebagai bentuk loyal terhadap orang kafir karena dunia. Tentang kisah shahabat Hatib radhiyallahu ‘anhu ini diabadikan oleh Allah dalam firmanNya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuhKu dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah….” (Qs. Al Mumtahanah: 1)
Satu pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah Hatib bin Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu adalah bahwa sesungguhnya orang yang memberikan loyalitas terhadap orang kafir sampai menyebabkan ancaman bahaya terhadap Islam, pelakunya tidaklah divonis kafir, selama loyalitas ini tidak menyebabkan kecintaan karena agamanya. Pada ayat di atas, Allah menyebut orang yang melakukan tindakan semacam ini dengan panggilan, “Hai orang-orang yang beriman……” Ini menunjukkan bahwa status mereka belum kafir.
Pasukan Islam Bergerak Menuju Makkah
Kemudian, beliau keluar Madinah bersama sepuluh ribu shahabat yang siap perang. Beliau memberi Abdullah bin Umi Maktum tugas untuk menggantikan posisi beliau di Madinah. Di tengah jalan, beliau bertemu dengan Abbas, paman beliau bersama keluarganya, yang bertujuan untuk berhijrah dan masuk Islam. Kemudian, di suatu tempat yang disebut Abwa’, beliau berjumpa dengan sepupunya, Ibnul Harits dan Abdullah bin Abi Umayah. Ketika masih kafir, dua orang ini termasuk diantara orang yang permusuhannya sangat keras terhadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Dengan kelembutannya, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menerima taubat mereka dan masuk Islam.
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda tentang Ibnul Harits radhiyallahu ‘anhu, “Saya berharap dia bisa menjadi pengganti Hamzah -radhiyallahu ‘anhu-”.
Setelah beliau sampai di suatu tempat yang bernama Marra Dhahraan, dekat dengan Makkah, beliau memerintahkan pasukan untuk membuat obor sejumlah pasukan. Beliau juga mengangkat Umar radhiyallahu ‘anhu sebagai penjaga.
Malam itu, Abbas berangkat menuju Makkah dengan menaiki bighal (peranakan kuda dan keledai) milik Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau mencari penduduk Makkah agar mereka keluar menemui Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan meminta jaminan keamanan, sehingga tidak terjadi peperangan di negeri Makkah. Tiba-tiba Abbas mendengar suara Abu Sufyan dan Budail bin Zarqa’ yang sedang berbincang-bincang tentang api unggun yang besar tersebut.
“Ada apa dengan dirimu, wahai Abbas?” tanya Abu Sufyan
“Itu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam di tengah-tengah orang. Demi Allah, amat buruklah orang-orang Quraisy. Demi Allah, jika beliau mengalahkanmu, beliau akan memenggal lehermu. Naiklah ke atas punggung bighal ini, agar aku dapat membawamu ke hadapan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, lalu meminta jaminan keamanan kepada beliau!” jawab Abbas.
Maka, Abu Sufyan pun naik di belakangku. Kami pun menuju tempat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Ketika melewati obornya Umar bin Khattab, dia pun melihat Abu Sufyan. Dia berkata:  “Wahai Abu Sufyan, musuh Allah, segala puji bagi Allah yang telah menundukkan dirimu tanpa suatu perjanjian-pun. Karena khawatir, Abbas mempercepat langkah bighalnya agar dapat mendahului Umar. Mereka pun langsung masuk ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.
Setelah itu, barulah Umar masuk sambil berkata, “Wahai Rasulullah, ini Abu Sufyan. Biarkan aku memenggal lehernya.”
Abbas pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, aku telah melindunginya.”
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Kembalilah ke kemahmu wahai Abbas! Besok pagi, datanglah ke sini!”
Esok harinya, Abbas bersama Abu Sufyan menemui Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau bersabda,”Celaka wahai Abu Sufyan, bukankah sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui bahwa tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah?”
Abu Sufyan mengatakan: “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu. Jauh-jauh hari aku sudah menduga, andaikan ada sesembahan selain Allah, tentu aku tidak membutuhkan sesuatu apa pun setelah ini.”
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,”Celaka kamu wahai Abu Sufyan, bukankah sudah saatnya kamu mengakui bahwa aku adalah utusan Allah?”
Abu Sufyan menjawab,”Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu, kalau mengenai masalah ini, di dalam hatiku masih ada sesuatu yang mengganjal hingga saat ini.”
Abbas menyela, “Celaka kau! Masuklah Islam! Bersaksilah laa ilaaha illa Allah, Muhammadur Rasulullah sebelum beliau memenggal lehermu!”
Akhirnya Abu Sufyan-pun masuk Islam dan memberikan kesaksian yang benar.
Tanggal 17 Ramadhan 8 H, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam meninggalkan Marra Dzahran menuju Makkah. Sebelum berangkat, beliau memerintahkan Abbas untuk mengajak Abu Sufyan menuju jalan tembus melewati gunung, berdiam di sana hingga semua pasukan Allah lewat di sana. Dengan begitu, Abu Sufyan bisa melihat semua pasukan kaum muslimin. Maka Abbas dan Abu Sufyan melewati beberapa kabilah yang ikut gabung bersama pasukan kaum muslimin. Masing-masing kabilah membawa bendera. Setiap kali melewati satu kabilah, Abu Sufyan selalu bertanya kepada Abbas, “Kabilah apa ini?” dan setiap kali dijawab oleh Abbas, Abu Sufyan senantiasa berkomentar, “Aku tidak ada urusan dengan bani Fulan.”
Setelah agak jauh dari pasukan, Abu Sufyan melihat segerombolan pasukan besar. Dia lantas bertanya, “Subhanallah, wahai Abbas, siapakah mereka ini?”
Abbas menjawab: “Itu adalah Rasulullah bersama muhajirin dan anshar.”
Abu Sufyan bergumam, “Tidak seorang-pun yang sanggup dan kuat menghadapi mereka.”
Abbas berkata: “Wahai Abu Sufyan, itu adalah Nubuwah.”
Bendera Anshar dipegang oleh Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu. Ketika melewati tempat Abbas dan Abu Sufyan, Sa’ad berkata,
“Hari ini adalah hari pembantaian. Hari dihalalkannya tanah al haram. Hari ini Allah menghinakan Quraisy.”

Ketika ketemu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, perkataan Sa’ad ini disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau pun menjawab,
“Sa’ad keliru, justru hari ini adalah hari diagungkannya Ka’bah dan dimuliakannya Quraisy oleh Allah.”
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan agar bendera di tangan Sa’d diambil dan diserahkan kepada anaknya, Qois. Akan tetapi, ternyata bendera itu tetap di tangan Sa’d. Ada yang mengatakan bendera tersebut diserahkan ke Zubair dan ditancapkan di daerah Hajun.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melanjutkan perjalanan hingga memasuki Dzi Thuwa. Di sana Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menundukkan kepalanya hingga ujung jenggot beliau yang mulia hampir menyentuh pelana. Hal ini sebagai bentuk tawadlu’ beliau kepada Sang Pengatur alam semesta. Di sini pula, beliau membagi pasukan. Khalid bin Walid ditempatkan di sayap kanan untuk memasuki Makkah dari dataran rendah dan menunggu kedatangan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di Shafa. Sementara Zubair bin Awwam memimpin pasukan sayap kiri, membawa bendera Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan memasuki Makkah melalui dataran tingginya. Beliau perintahkan agar menancapkan bendera di daerah Hajun dan tidak meninggalkan tempat tersebut hingga beliau datang.
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memasuki kota Makkah dengan tetap menundukkan kepala sambil membaca firman Allah: “Sesungguhnya kami memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (Qs. Al Fath: 1)
Beliau mengumumkan kepada penduduk Makkah: “Siapa yang masuk masjid maka dia aman, siapa yang masuk rumah Abu Sufyan maka dia aman, siapa yang masuk rumahnya dan menutup pintunya maka dia aman.”
Beliau terus berjalan hingga sampai di Masjidil Haram. Beliau thawaf dengan menunggang onta sambil membawa busur yang beliau gunakan untuk menggulingkan berhala-berhala di sekeliling Ka’bah yang beliau lewati. Saat itu, beliau membaca firman Allah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (Qs. Al-Isra’: 81)
 “Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi.” (Qs. Saba’: 49)
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memasuki Ka’bah. Beliau melihat ada gambar Ibrahim bersama Ismail yang sedang berbagi anak panah ramalan.
Beliau bersabda, “Semoga Allah membinasakan mereka. Demi Allah, sekali-pun Ibrahim tidak pernah mengundi dengan anak panah ini.”
Kemudian, beliau perintahkan untuk menghapus semua gambar yang ada di dalam Ka’bah. Kemudian, beliau shalat. Seusai shalat beliau mengitari dinding bagian dalam Ka’bah dan bertakbir di bagian pojok-pojok Ka’bah. Sementara orang-orang Quraisy berkerumun di dalam masjid, menunggu keputusan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam.
Dengan memegangi pinggiran pintu Ka’bah, beliau bersabda:  “Wahai orang Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghilangkan kesombongan jahiliyah dan pengagungan terhadap nenek moyang. Manusia dari Adam dan Adam dari tanah.”
 “Wahai orang Quraisy, apa yang kalian bayangankan tentang apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?”
Merekapun menjawab, “Yang baik-baik, sebagai saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia.”
Beliau bersabda,
“Aku sampaikan kepada kalian sebagaimana perkataan Yusuf kepada saudaranya: ‘Pada hari ini tidak ada cercaan atas kalian. Allah mengampuni kalian. Dia Maha penyayang.’ Pergilah kalian! Sesungguhnya kalian telah bebas!”

Pada hari kedua, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkhutbah di hadapan manusia. Setelah membaca tahmid beliau bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Makkah. Maka tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menumpahkan darah dan mematahkan batang pohon di sana. Jika ada orang yang beralasan dengan perang yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, maka jawablah: “Sesungguhnya Allah mengizinkan RasulNya shallallahu ‘alahi wa sallam dan tidak mengizinkan kalian. Allah hanya mengizinkan untukku beberapa saat di siang hari. Hari ini Keharaman Makkah telah kembali sebagaimana keharamannya sebelumnya. Maka hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.”
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam diizinkan Allah untuk berperang di Makkah hanya pada hari penaklukan kota Makkah dari sejak terbit matahari hingga ashar. Beliau tinggal di Makkah selama sembilan hari dengan selalu mengqashar shalat dan tidak berpuasa Ramadhan di sisa hari bulan Ramadhan.
Sejak saat itulah, Makkah menjadi negeri Islam, sehingga tidak ada lagi hijrah dari Makkah menuju Madinah.
Demikianlah kemenangan yang sangat nyata bagi kaum muslimin. Telah sempurna pertolongan Allah. Suku-suku arab berbondong-bondong masuk Islam. Demikianlah karunia besar yang Allah berikan.


Sebelum kita mengetahui tentang peristiwa Haji Wada, masih ingatkah kalian tentang peristiwa Fathul Mekkah? Fathul Mekkah terjadi akibat dari penghianatan kaum Quraisy yakni melanggar perjanjian Hudaibiyah. Sebab terjadinya adalah orang-orang Bani Bakar meminta bantuan senjata pada para tokoh Qiraisyuntuk menyerang orang-orang Khuza'ah yang telah menyatakan diri untuk bergabung dengan kaum Muslimin. Padahal dalam perjanjian Hudaibiyah, kaum manapun mendapat perlindungan untuk memilih keyakinan dalam menentukan jalan hidupnya.

Orang-orang Khuza'ah dikepung sehari semalam oleh orang-orang Bani Bakar dan akhirnya 20 orang suku Khuza'ah terbunuh. Peristiwa ini disampaikan oleh Amr bin Salim Al-Khuzaikepada Rasulullah. Setelah mendengar berita duka tersebut Rasulullah menyiapkan pasukan untuk melakukan pembebasan terhadap kota Mekkah yang di kenal dengan peristiwa Fathul Mekkah.


Setelah terjadinya Fathul Mekkah, kota Mekkah berada dalam kekuasaan kaum muslimin tepatnya di bulan Ramadhan tahun ke 8 H. Pada saat itu kaum Quraisy berbondong-bondong menyatakan diri masik Islam. Berbagai utusan kabillah di sekitar Madinah datang menemui Rasulullah untuk Berba'iat ( sumpah setia terhadap Rasulullah ) dan masuh Islam.

Tujuan Fathul Mekkah :
1. Memberikan pelajaran terhadap kaum Quraisy tentang pentingnya sebuah perjanjian.
2. Membersihkan kota Mekkah dari kemusyrikan.
3. Membebaskan umat manusia dari kemusyrikan dan kembali dengan menyembah Allah.

Rasulullah berangkat ke Mekkah disertai kaum muslimin yang terdiri dari kaum Anshor, Muhajirin, Bani Aslam, Bani Mazinah, Bani Ghifar, Bani Jahinah dan berjumlah 10.000 orang. Jumlah tersebut ditambah dengan kaum-kaum yang ikut bergabung selama melakukan perjalanan ke kota Mekkah.

Sampai di daerah Marr Azh Zhahran, rombongan Rasulullah dihadang oleh Abu Sofyan dan rombongannya. Rasulullah dan Al-Abbas melakukan doialog, yang akhirnya Abu Sofyan masuk Islam bersama rombongannya.

Setelah Abu Sofyan masuk islam, Rasulullah berpesan kepada Abu Sofyan, yang isinya :
1. Siapa yang masuk Masjidil Haram ia aman
2. Siapa yang masuk pintu dan menutup pintu ia aman
3. Siapa yang masuk rumah Abu Sofyan ia aman.
Rasulullah mwneruskan perjalanannyamenuju kota Mekkah. Sesampainya di daerah Dzi Thuwa, beliau membagi pasukannya menjadi 4 bagian.

* Pasukan sayap kanan di pimpin oleh Khalid bin Walid.
* Pasukan sayap kiri di pimpin oleh Zubair bin Awwam.
* Bagian barat dipimpin oleh Sa'ad bin Ubadah
* Pasukan Bukit Hind di pimpin oleh Abu Ubaidah dan Rasulullah.

Setelah itu, Rasulullah berpesan agar :
- Tidak boleh melakukan pertengkaran atau peperangan di kota Mekkah. Karena kota Mekkah adalah tanah Haram. Kecuali untuk mempertahankan diri.

- Ketika memasuki kota Mekkah, hendaknya meneriakkan takbir sebagai simbol kemenangan dan keselamatan.

Rasulullah membaca berulang-ulang surat Al-Fath dengan suara yang merdu dan menyentuh.Peristiwa itu dikenal dengan peristiwa Fathul Mekkah. Yang berarti kemenangan umat islam di atas kota Mekkah.

Inilah janji Allah sebagaimana tertulis dalam firman Allah dalam surat An-Nashr 1-3.
1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.
2. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong.
Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya dia maha pemberi taubat.

Pada peristiwa ini, Rasulullah juga memerintahkan kepada Bilal untuk mengumandangkan adzan.
Dengan Fathul Mekkah, kota Mekkah menjadi bercahaya kembali dengan cahaya Islam setelah berhasil menghancurkan segala jenis berhala.

Setelah peristiwa Fathul Mekkah, kaum muslimin semakin bertambah. Ini merupakan babak akhir bagi Rasulullah setelah tuntas menyampaikan risalah da'wah kepada masyarakat. Pada tahun 10 H Rasulullah mengutus Muadz bin Jabbal ke Yaman. Beliau bersabda : " Wahai Muadz, boleh jadi engkau tidak akan bertemuaku lagi sesudah tahun ini, dan boleh jadiengkau akan lewat masjidku dan kuburankuini," Seketika Muadz menangiskarena khawatir akan berpisah dengan Rasulullah.

Pada hari Sabtu, 25 Dzulqoidah 10 H, Rasulullah mengumumkan niatnya untuk melaksanakan haji mabrur. Haji ini di kenal dengan Haji Wada atau Haji perpisahan. Pada hari itu Rasulullah bersama 90.000 kaum muslimin melakukan perjalanan menuju Mekkah.

Setelah sampai di Masjidil Haram, beliau melaksanakan :
/ Sa'i
/ Thawaf
/ Menetap di bukit Mekkah.

PESAN TERAKHIR RASULULLAH
*/ Tetaplah mendirikan dan memelihara sholat.
*/ Jangan pernah meninggalkan Al-Quran dan As-Sunnah.



Selasa, 17 Maret 2015

MEMIMPIN UMAT ADALAH PUNCAK PRESTASI RABBANI MANUSIA DI DUNIA



Oleh : Al-Ustadz Musyaffa Ahmad Rahim, Lc.





Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (Dia berkata) : "Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (Q.S. Âli `Imrân [3]: 79)

Ikhwati fillah …

Kalau kita tengok sejarah kaum muslimin, paling tidak di negeri ini, kita akan menemukan bahwa sebagian besar pejuang dan pahlawan negeri ini adalah kaum muslimin. Lihat misalnya: Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Teuku Umar dan lain-lain.

Bukan hanya para pejuang yang sebagian besar muslim, bahkan, slogan atau syi`ar yang diangkat pun adalah slogan dan syi`ar agama. Misalnya: Pangeran Diponegoro mengangkat dirinya sebagai khalîfatullâh fi ardhihi, juga bergelar: sayyidin panotogomo (pemimpin yang menata kehidupan beragama).

Termasuk juga saat perjuangan revolusi kemerdekaan. Melalui radio yang ada pada waktu itu, Bung Tomo selalu mengumandangkan takbir Allâhu Akbar untuk memanggil kaum muslimin terjun ke medan perjuangan, membangun dan memompa semangat mereka, dan hasilnya bisa kita baca dalam kisah-kisah heroik perjuangan arek-arek Suroboyo pada tanggal 10 November 1945. Saking hebatnya daya juang mereka inilah, tanggal ini ditetapkan sebagai hari pahlawan Republik Indonesia.

Akan tetapi, pasca perjuangan ini, banyak para kiai berserta para santrinya "kembali" ke pesantren, untuk mengurus pendidikan agama (Islam), kembali kepada kegiatan belajar dan mengajar, "menyerahkan" urusan kepemimpinan umat ini kepada "orang lain". Ada banyak alasan yang dikemukakan untuk membenarkan atau men-justifikasi hal ini, di antaranya adalah bahwa urusan kepemimpinan umat itu adalah bagian dari politik dan politik itu kotor, sudah seyogyanya agama dijauhkan dan "dibersihkan" atau dijaga kebersihannya dari hal-hal yang kotor.

Ada satu kisah lagi yang menarik untuk kita renungkan :

Adalah seorang ustadz yang sehari-hari mengajar para mahasiswa di perguruan tinggi. Suatu saat ia mendapatkan "anugrah" untuk menjadi seorang pejabat yang lumayan tinggi kedudukannya. Karena inilah ia "meninggalkan" dunia mengajarnya. Seorang ustadz lain berkomentar: "Kenapa ia meninggalkan medan juang ajar mengajar dan menerjunkan diri dalam dunia politik? Dunia ajar mengajar lebih maslahat bagi Islam dan kaum muslimin!".

Dua kisah di atas, dan juga kisah-kisah lainnya menggambarkan bahwa ada "dikotomi" antara dunia ajar mengajar agama (Islam) dengan dunia politik, seakan kita yang selalu berusaha menolak pola pikir sekularisme dengan gigih, sering sekali terjebak pada prilaku sekularisme itu sendiri saat bersikap, berkomentar dan menyetel kehidupan kita dengan cara mendikotomikan dua kehidupan tersebut.

Ikhwati fillah ...

Ayat yang kita kutip di atas menegaskan bahwa tidak ada seorang ulama` yang menguasai ilmu kitab Allah, atau mendapatkan hikmah dari Allah SWT, atau diangkat menjadi nabi dan rasul, kecuali mereka menyeru kepada kaumnya agar mereka menjadi manusia-manusia rabbânî.

Secara eksplisit, sifat manusia rabbânî –sebagaimana dimaksud oleh ayat 79 surat Âli `Imrân adalah mereka yang secara kontinyu dan rutin (istilah Arabnya: tajaddud wa al-istimrâr) melakukan dua hal, yaitu :

1.    Dirâsat al-kitâb (mengaji, belajar dan mengkaji kitab Allah SWT), dan
2.    Ta`lîm al-kitâb (mengajarkan kitab Allah SWT).

Namun, ada satu kajian yang sangat menarik yang dilakukan oleh Imâm al-Mufassirîn (pemimpin para ahli tafsir), yaitu Ibnu Jarîr al-Thabarî (224 – 310 H).

Dalam kitabnya; Jâmi` al-Bayân fî ta'wîl Al-Qur'ân, vol. 3, hal. 351 – 354 (Kairo: Dâr al-Taufîqiyah), setelah ia menjelaskan beragam pendapat `ulama' dalam hal ini, ia sampai kepada kesimpulan sebagai berikut :

1.    Rabbânî adalah level atau mustawâ yang lebih tinggi dari sekedar al-fiqh (memahami agama) dan al-`ilm (ilmu atau penguasaan kitab Allah).
2.    Rabbânî seseorang yang menggabungkan antara al-fiqh dan al-`ilm dengan:
a.   Al-Bashira bi al-siyâsah (melek, bahkan, sangat melek politik)
b.   Al-Bashira bi al-tadbîr (melek, bahkan, sangat melek terhadap manajemen, dan kepemimpinan)
c.    Al-Qiyâm bi syu-ûn al-ra`iyyah wa mâ yushlihuhum fî dun-yâhum wa dînihim (melaksanakan dan menjalankan segala urusan rakyat dan segala hal yang membawa kemaslahatan mereka, baik dalam kehidupan dunia mereka maupun kehidupan agama mereka). (lihat hal. 353).

Dengan demikian, Rabbânî adalah sandaran manusia dalam al-fiqh, al-`ilm dan berbagai urusan agama dan dunia (lihat pada halaman yang sama).

Ibnu Jarîr al-Thabarî menyandarkan kesimpulannya pada dua hal, yaitu :

1.    Sandaran bahasa.
2.    Sandaran kepada salaf.

Secara bahasa kata Rabbânî adalah bentuk nisbat dari kata Rabbân. Sedangkan kata Rabbân adalah bentuk mubâlaghah (hiperbolis) dari kata Râbbî, yaitu isim fâ`il dari fi`il rabba – yarubbu yang artinya adalah seseorang yang mentarbiyah manusia, dalam arti mengurus segala kemaslahatan urusan mereka, menumbuh kembangkannya dan melaksanakan atau menjalankan segala urusan itu untuk mereka.

Ibnu Jarîr –rahimahullâh- tidak hanya menyandarkan pendapatnya kepada kajian bahasa semata, akan tetapi, ia juga merujuk kepada salaf al-shâlih. Dalam hal ini ia merujuk kepada perkataan Mujâhid (21 – 102 H), seorang murid handal Ibn `Abbas –radhiyâllâhu `anhu- dan juga seorang ulama' tâbi`in yang menjadi rujukan utama dalam tafsîr Al-Qur'ân. Mujâhid berpendapat bahwa Rabbânî adalah level di atas al-ahbâr (para `ulama').

Dengan pendapatnya ini, Ibnu Jarîr tidak berarti menafikan adanya pendapat-pendapat lain tentang maksud rabbânî, akan tetapi, justru ia mengadopsi pendapat-pendapat yang ada.

Terkait hal ini ia berkata yang artinya:

"Seorang yang `âLIM FIQIH dan HIKMAH adalah bagian dari al-mushlihîn (pembaharu, orang-orang yang membawa dan mendatangkan mashlahat), ia adalah seseorang yang mentarbiyah segala urusan manusia dengan cara mengajarkan segala macam kebaikan kepada mereka, juga menyeru mereka kepada segala hal yang membawa kemaslahatan bagi mereka, dengan demikian, ia adalah SEORANG YANG PENUH HIKMAH yang BERTAQWA KEPADA ALLAH SWT, ia adalah SEORANG WALI (PENGUASA, PEMIMPIN) yang mengurus segala urusan manusia agar berjalan di atas minhaj yang menjadi pilihan ORANG-ORANG YANG ADIL yang memperbaiki segala urusan manusia dengan cara melaksanakannya di tengah-tengah mereka, urusan yang mendatangkan kemaslahan dan manfaat dunia dan akhirat mereka[1][1]. (lihat pada halaman yang sama dari kitab Ibn Jarir).

Ikhwati fillah …

Bila kajian Ibnu Jarîr ini kita kaitkan dengan tarikh (sejarah), kita akan mendapati bahwa tidak ada seorang nabi kecuali ia menjadi pemimpin umat, bukan sekedar pemimpin "agama", akan tetapi juga pemimpin duniawi mereka, lihat misalnya nabi Yusuf -`alaihi al-salâm-, ia pernah menjadi menteri yang mandatangkan kemakmuran bagi penduduk Mesir dan sekitarnya, lihat pula nabi Dâwûd dan nabi Sulaimân -`alaihimâ al-salâm-, dan lihat pula nabi kita Muhammad –shallallâhu `alaihi wa sallam-

Lihat pula kisah Abû Bakat al-Shiddîq, `Umar bin al-Khaththâb, Utsmân bin al-`Affân, `Alî bin Abî Thâlib –radhiyallâhu `anhum-, yang pernah menjadi khalîfah dan amîr al-mukminîn. Juga banyak sahabat nabi yang "puncak kariernya" pernah menjadi gubernor (wâlî), semuanya ini menjelaskan bahwa mereka tidak hanya mengurus kehidupan "agama" manusia, akan tetapi juga mengurus "dunia" mereka.

Dan sebagai penutup taujih ini, marilah kita renungkan, kita hayati dan kita amalkan do`a qur'ânî ini:


"Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al-Furqân [25]: 74).

--------------------
Tanda baca:
Fathah panjang: â, contoh: إِمَام ditulis: imâm
Kasrah panjang atau ya' nisbat: î, contoh: كَرِيْم ditulis: karîm. Contoh lain: إِنْسَانِيّ ditulis: insânî
Dhammah panjang: û, contoh: صَبُوْر ditulis: shabûr








[1][1] Yang tercetak tebal adalah sebagian besar pendapat lain tentang makna rabbânî, dan perhatikan bahwa semuanya saling terkait dan sinergis, dan porosnya adalah pada kata: memimpin yang mendatangkan kemaslahatan.