Secara
bahasa tafarrugh artinya mengosongkan suatu tempat atau wadah agar hanya
terisi satu hal saja. Tafarrugh beribadah kepada Allah swt
artinya: kita kosongkan dada, jiwa dan hati kita dari berbagai kesibukannya;
- Kesibukan berangan-angan mendapatkan
jabatan tinggi.
- Kesibukan berkhayal mendapatkan rizki
nomplok satu milyar rupiah.
- Kesibukan mendapatkan pekerjaan dengan
gaji yang sangat besar.
- Kesibukan memikirkan bagaimana bisa
tinggal di istana yang sejuk, nyaman dan indah.
- Kesibukan berandai-andai menikmati
indahnya berkendaraan mewah dan lux.
- Kesibukan melamun bisa menikah lagi.
- Dan kesibukan-kesibukan lain yang oleh
para ulama’ terdahulu disebut dengan thulul amal (angan-angan yang
berkepanjangan tiada henti).
Setelah
dada, jiwa dan hati itu kosong dari semua kesibukan itu tadi, lalu dada, jiwa
dan hati itu hanya kita sibukkan dengan beribadah mengabdikan diri kita
kepada Allah swt.
Dalam ilmu mantiq
ada satu kaidah yang mengatakan: asy-Syaghil la yusyghol. Artinya:
sebuah wadah (ember misalnya) bila sudah terisi penuh oleh tanah, maka ember
itu tidak bisa lagi diisi oleh batu misalnya, kecuali bila seluruh tanah yang
telah mengisinya dikeluarkan, barulah kemudian batu itu bisa dimasukkan ke
dalam ember tersebut.
Bila kaidah
itu tadi kita hubungkan dengan ‘kelesuan’ da’wah belakangan ini, kita akan
menemukan kaitan erat antara keduanya.
Salah satu
penyebab ‘kelesuan’ da’wah belakangan ini adalah karena betapa dan teramat
sibuknya para da’i belakangan ini, sibuk mencari nafkah, sibuk mengurusi
pekerjaan yang tidak pernah ada titik dan habisnya, sibuk menangani berbagai
macam urusan, mulai dari urusan pribadi, keluarga, dan kelompok kerja, bahkan
tidak sedikit pula yang sibuk menangani urusan orang lain.
Singkatnya,
para da’i sekarang memang betul-betul sibuk dan sangat sangat sibuk.
Lepas dari
benar atau tidaknya ‘kelesuan’ itu tadi, dan terlepas dari benar atau tidaknya
penyebab itu tadi, yang jelas, ada perbedaan semangat dan greget da’wah antara
tahun 80-an dengan 95-an ke sini.
Dulu,
merupakan sesuatu yang wajar bila ada satu orang memiliki 5 atau 6 kelompok
studi Islam di Kampus atau sekolah, dan dinilai ‘tidak wajar’ bila seseorang hanya
mempunyai satu atau dua kelompok studi Islam.
Kita memang
bisa beralasan, dulu kita kan masih bujangan, masih muda, belum berkewajiban
menafkahi istri, memikirkan pendidikan anak, gelisah mencari sumber dana
pengobatan anak yang sakit, rumah masih cukup dengan nebeng dan
alasan-alasan lainnya.
Terlepas
dari benar atau tidaknya alasan tersebut, bahkan terlepas dari tepat atau
tidaknya alasan tersebut, marilah kita secara bersama-sama kita renungi,
selanjutnya kita hayati (artinya: kita hidup dengannya) beberapa nash berikut
ini:
قَالَ اللهُ I : وَلاَ تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبْرْ عَلَيْهَا لاَ نَسْاَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى (طه : 131 - 132).
Dan janganlah kamu tujukan kedua
matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka,
sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia
Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal. Dan perintahkanlah kepada
keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami
tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat
yang baik itu adalah bagi orang yang bertaqwa. (QS Thaha: 131 – 132).
Dalam
menjelaskan dua ayat ini, Ibnu Katsir menyebutkan riwayat sebagai berikut:
رَآى عُمَرُ بْنُ اْلخَطَّابِ رَسُوْلَ الله r مُتَوَسِّداً مُضْطَجِعاً عَلَى رِمَالِ حَصِيْرٍ، وَلَيْسَ فِي الْبَيْتِ إلا صُبْرة من قَرَظ
(صبرة:
مجموعة، قرظ:
ورق السّلَم، وهو شجر شائك يستعمل ورقه في دبغ الجلود)
واهية معلقة، فابتدرت عينا عمر بالبكاء، فقال له رسول اللّه r: "ما يبكيك يا عمر؟"
فقال: يا رسول اللّه إن كسرى وقيصر فيما هما فيه وأنت صفوة اللّه من خلقه!
فقال:
"أو في شك أنت يا ابن الخطاب؟ أولئك قوم عجلت لهم طيباتهم في حياتهم الدنيا"
Umar bin Al
Khaththab (ra) melihat Rasulallah saw tidur telentang dengan berbantalkan tikar
pasir, dan di dalam rumah beliau tidak ada sesuatupun selain daun salam (daun
yang berduri yang biasa dipakai untuk menyamak kulit) yang sudah layu yang
tergantung, maka kedua mata Umar mengalirkan air mata karena menangis, maka Rasulullah
saw bersabda kepada Umar: “Apa yang membuatmu menangis wahai Umar? Maka Umar
menjawab: “Kisra (pemimpin Persia) dan Kaisar (pemimpin Romawi) sedang
berenak-enak menikmati dunianya, sementara engkau, makhluq pilihan Allah …!
Maka Rasulullah saw bersabda: “Apakah engkau mendapati keraguan dalam dirimu
wahai Ibnal Khaththab? Mereka itu adalah kaum yang oleh Allah kenikmatannya
dipercepat di dunia ini”.
(HR Asal muasal hadits ini dari shahih Bukhari, yang tersebut di sini dari mukhtashar
Ibnu Katsir).
عن أَبي هُرَيْرَةَ، عن النبيّ صلى الله عليه وسلم قالَ: «إِنّ الله تعالى يَقُولُ يَا ابنَ آدَمَ تَفَرّغْ لِعِبَادَتِي أَمْلأُ صَدْرَكَ غَنِىً وَأَسُدّ فَقْرَكَ، وَإِنْ لاَ تَفْعَلْ مَلأْتُ يَدَيْكَ شُغْلاَ وَلَمْ أَسُدّ فَقْرَكَ».
Dari Abu Hurairah (ra), dari
nabi Muhammad saw, beliau bersabda: “Allah swt berfirman: “Wahai anak Adam,
kosongkan dirimu hanya khusus beribadah untuk-Ku, niscaya aku penuhi dadamu
dengan rasa kaya dan aku tutup kefakiranmu, jika tidak kamu lakukan, maka Aku
penuhi kedua tangamu dengan kesibukan, dan tidak Aku tutup kefakiranmu. (HR Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al
Hakim dan Ath-Thabarani).
Saudara-saudaraku …
Yang namanya kaya, adalah
kekayaan hati …
Kecukupan itu adanya di hati …
Bila hati kita tidak pernah
merasa cukup, maka apapun yang ada di dunia ini, tidak akan bisa menutup dan
menghentikan perasaan tidak cukup itu …
Rasulullah saw bersabda:
«لَيْسَ الغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنّ الْغِنَى غِنَى النّفْسِ».
Kekayaan itu bukanlah
banyaknya perkakas yang dimiliki, akan tetapi kaya itu adalah kekayaan jiwa (Muttafaqun ‘alaih).
لَوْ كَانَ لابنِ آدَمَ وَادِياً مِنْ ذَهَبٍ لأَحَبّ أَنْ يَكُونَ لَهُ ثَانِياً وَلاَ يَمْلأُ فَاهُ إِلاّ التّرَابُ وَيَتُوبُ الله عَلَى مَنْ تَابَ».
Kalau saja manusia mempunyai
satu lembah yang penuh dengan emas, pastilah dia menginginkan untuk memiliki
lembah yang kedua, dan tidak memenuhi mulutnya selain tanah, dan Allah swt
menerima taubat orang yang kembali kepada-Nya. (Muttafaqun ‘alaih).
Saudara-saudaraku …
Keberhasilan da’wah bukanlah
semata-mata karena ke-profesional-an kita dalam mengolah tutur kata,
mengembangkan materi dan kepiawaian dalam menyampaikannya …
Keberhasilan da’wah kita dalam
membentuk kepribadian orang lebih karena kekuatan hati kita, kekuatan yang
muncul karena kuatnya tafarrugh kita kepada Allah swt, dan karena hati
kita ini lillah.
Jika hati kita ini sudah tidak tafarrugh
li ‘ibadatillah, dan sudah tidak lillah, niscaya da’wah kita ini
tidak akan berhasil, betapapun sarana dan prasarana yang kita gunakan sudah
begitu modern, begitu canggih, dan teramat sangat mutakhir.
Dan sebagai penutup, cobalah
renungkan kalimat dari seorang da’i berikut ini, seorang da’i yang sudah sangat
kaya dengan pengalaman da’wah, sebab ia tumbuh besar menjadi da’i dan pada
akhirnya terbunuh juga karena ia sebagai da’i. Ia berkata:
“Kami menginginkan hendaknya
kaumku mengetahui bahwa da’wah ini tidak layak dijalankan oleh siapapun selain
yang:
- Melingkupinya dari semua sisi-sisinya.
- Memberikan untuknya apa saja yang dibebankan oleh
da’wah ini kepadanya yang berupa dirinya (nyawanya), hartanya, waktunya
dan kesehatannya (QS At-Taubah: 24).
0 komentar:
Posting Komentar