Kamis, 29 Januari 2015

ALLAH SWT MENGETAHUI BAHWA KITA SIBUK


Sebagai seorang dai, sudah seharusnyalah ia mempunyai hubungan yang kokoh kuat (quwwatush-shilah) dengan Allah swt.
Ada banyak sarana yang bisa kita jadikan sebagai opsi atau pilihan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas hubungan tersebut.
Di dalam al mustakhlash fi tazkiyatil anfus Said Hawa rahimahullah menyebutkan 13 sarana yang bisa kita jadikan sebagai wasilah untuk mendekatkan diri kita kepada Allah swt. Mulai dari shalat, zakat-infaq-sedekah, puasa, haji, tilawatul quran, dzikrullah, tafakkur alam dan seterusnya.

Meskipun demikian, kita masih sering merasakan adanya kekeringan ruhani, karena kita memang sangat jarang mengalirinya dengan siraman-siraman ruhani yang berupa sarana-sarana tersebut. Atau istilah accu-nya, kita jarang ngeces accu dan baterai ruhani yang kita miliki dengan sarana-sarana Islamiyyah itu tadi.

Alasan yang sering kita kemukakan selalu sama dan klasik: sibuk dan repot alias susah mengatur dan 
mendapatkan waktu senggang untuk menyiram dan mengecesnya.

Kadangkala, kalau kita sedang berkumpul dengan sesama kader, kita ingat bahwa ruhani kita sedang sangat kekeringan. Namun begitu keluar dari majlis ikhwah, kita kembali lagi menjadi manusia-manusia yang sibuk.
Namun, kita perlu mengingat bahwa kesibukan kita tidak berarti meninggalkan langkah-langkah untuk melakukan siraman-siraman dan pengecesan ruhani kita.
Mari kita renungkan bersama firman Allah swt berikut ini:

إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِن ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِّنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَن لَّن تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا
الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (20)

Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al Muzzammil: 20).

Ayat ini menjelaskan bahwa:
1.      1.   Allah swt mengetahui bahwa kemampuan kita dalam berqiyamullail berbeda-beda, ada yang hampir mampu mencapai 2/3 malam, ada yang mampu setengah malam, ada yang sepertiga malam.
2.      Allah swt-lah yang membuat ukuran-ukuran siang dan malam.
3.      Allah swt mengetahui bahwa kita ini lemah dan tidak akan mampu memenuhi kewajiban (ya, waktu itu qiyamullail setengah malam adalah kewajiban kaum muslimin) itu.
4.      Allah swt mengetahui bahwa diantara kita ada yang sakit, ada yang sibuk mencari maisyah, ada yang sibuk berperang fi sabilillah.
Meskipun Dia mengetahui kesibukan kita, namun Dia tetap memerintahkan kepada kita untuk:
a.       Membaca Al Quran (bahkan diulang dua kali) sesuai dengan kemudahan kita.
b.      Menegakkan shalat.
c.       Membayar zakat, dan
d.      Memberikan pinjaman yang baik kepada Allah swt (sedekah dan semacamnya).
e.       Banyak-banyak beristighfar.

Artinya, betapapun kesibukan yang melanda kita, kita tidak boleh melupakan tugas menyirami ruhani kita dan mengecesnya dengan berbagai sarana yang ada.
Ada banyak cara yang ditawarkan oleh Islam agar kita tetap bisa mendapatkan kesempatan melakukan siraman dan pengecesan ruhani kita. Diantaranya adalah:
1.      Kita harus mensplit waktu-waktu yang kita miliki agar muncul menjadi berbagai macam saat, sehingga di hadapan kita akan muncul sederet waktu yang bisa kita daya gunakan.
Pada suatu kali seorang sahabat yang bernama Hanzhalah bertemu Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu anhu. Begitu bertemu Hanzhalah berkata: Nafaqa Hanzhalah (Hanzhalah menjadi munafiq). Mendengar pernyataan seperti itu Abu Bakar kaget, lalu berkata: Kenapa? Hanzhalah berkata: Kalau kita berada di majlis nabi saw seakan kita melihat dengan kepala kita sendiri suasana surga danneraka, akan tetapi begitu ketemu anak-anak, kita lupa semua yang kita rasakan tadi. Mendengar penjelasan seperti itu Abu Bakar menjawab: Kalau begitu sama dengan saya. Singkat cerita keduanya mendatangi nabi saw. Setelah keduanya menceritakan apa yang dirasakannya, nabi saw menjawab: “… Akan tetapi sa-ah wa sa-ah. Maksudnya: bagilah (spiltlah) waktumu agar ada saat untuk ini dan ada saat untuk itu. (HR Bukhari).

2   2. Kita harus pandai memanfaatkan serpihan-serpihan waktu yang kita miliki dan mendaya gunakannya untuk melakukan penyiraman dan pengecesan ruhani kita.
Pada suatu hari Rasulullah saw memperingatkan bahaya memaksakan diri sendiri untuk memperbanyak ibadah. Beliau bersabda: Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidak ada yang memberat-beratkan diri sendiri kecuali agama itu akan mengalahkannya, karenanya, luruskan langkah dan kokohkan, berusahalah untuk selalu mendekati (target ideal), bergembiralah (jangan pesimis), dan meminta tolonglah dengan waktu pagi, waktu sore dan sedikit malam. (HR Bukhari).

Saudara-saudara yang dimuliakan Allah …

3.     Terakhir sekali, kita harus pandai-pandai membuat diversifikasi acara (keragaman acara) agar tidak cepat bosan, ingatlah bahwa “sesungguhnya Allah swt tidak bosan sehingga kita bosan, dan bebanilah jiwa ini sesuai dengan kadar kemampuannya, dan bahwasanya amal yang paling dicintai Allah swt adalah yang kontinyu” (HR Ahmad, Abu Daud dan An-nasa-i).



Semoga Allah swt memberikan taufiq, bimbingan dan kekuatan kepada kita untuk istiqamah di atas jalan agama-Nya, amiiin.

BERITA DUNIA ISLAM

Raja Salman, Peta Baru Pergolakan Negara Teluk, Dan Faktor Erdogan



Pasca Arab Spring di beberapa negara di Timur Tengah yang kini arahnya semakin tidak jelas, ditambah tragedi kudeta militer di Mesir 30 Juni 2013 silam, negara-negara Timur Tengah dilanda krisis percaya diri. Satu-satunya yang terus bergerak maju, terlepas dari kontroversi dunia internasional terhadapnya, hanyalah Iran.
Khusus untuk kawasan teluk, kumpulan negara kaya minyak tersebut pasca Arab Spring berada dalam kondisi tertekan dan minim kekuatan menghadapi super power Iran di kawasan. Walaupun Saudi Arabia memiliki hubungan baik dan merupakan sekutu terdekat Amerika Serikat di kawasan, namun dibawah kepemimpinan raja Abdullah negara kaya tersebut tidak bisa berbuat banyak, padahal sebagai pemimpin negara teluk dan kiblat umat Islam dunia, Saudi Arabia diharapkan memainkan peran lebih dalam menangkal pengaruh Iran yang semakin luas di Timur Tengah.
Kudeta di Yaman yang baru-baru ini terjadi menjadi bukti bagaimana kekuatan Iran untuk mengusai kawasan dari segala sisi terutama militer dan ekonomi bukan omong kosong. Lewat milisi syiah Hauthi Iran berhasil menguasai Yaman. Sebelumnya Iran sudah menancapkan kuku di Suriah, Libanon dan ada kemungkinan Kuwait segera menyusul. Satu persatu negara arab jatuh kedalam 'saku' Iran.
Pada awalnya, bagi-bagi kekuasaan antar negara kuat di Timur Tengah diprediksi banyak kalangan menjadi solusi ketegangan, dalam hal ini Saudi Arabia dan Iran, tentu dengan dukungan Amerika Serikat dan Eropa. Namun peta politik di kawasan sepertinya berubah dan menjadi sedikit lebih rumit ketika raja Abdullah wafat. Tampuk kekuasaan yang sekarang dipegang Raja Salman dinilai akan membawa perubahan signifikan di kawasan.
Walaupun ketika Arab Spring meletus, Saudi Arabia dibawah komando raja Abdullah memilih mendukung rezim lama, seperti di Mesir misalnya. Tetapi sudah menjadi rahasia umum, Iran adalah ancaman lama bagi Saudi Arabia. Gesekan dua negara minyak tersebut bukan hanya memperebutkan 'kue' negara di kawasan, lebih dari itu, ketidak harmonisan dua negara tersebut juga dipicu gengsi dua peradaban, Persia dan Arab.
Bagaimanapun, Saudi Arabia adalah kiblat umat Islam di dunia. Tentu semacam kewajiban bagi Saudi Arabia untuk mempertahankan posisi terhormat tersebut. Iran, walaupun memakai nama Islam dalam negaranya, yaitu Republik Islam Iran, tetapi posisi dua negara tersebut sangat berbeda di hati umat Islam, belum lagi issue Sunni-Syiah yang membuat cita rasa keduanya sangat berbeda.
Misi Iran menguasai kawasan tentu berdampak terhadap negara teluk yang dipimpin Saudi Arabia, baik secara politik maupun ekonomi. Ketika milisi syiah Hauthi berhasil menduduki Yaman beberapa waktu lalu, negara teluk langsung menggelar pertemuan di Abu Dhabi, guna membahas langkah yang akan ditempuh untuk menghadang lajunya pengaruh Iran.
Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Bahrain, Kuwait, Qatar dan Oman yang tergabung dalam kerja sama negara teluk (GCC) tentu tidak ingin kekuasaan mereka terancam dengan semakin menguatnya pengaruh Iran, karena itu mereka bersatu untuk menghadang, dibawah komando Saudi Arabia, yang sekarang komando itu ada di pundak raja Salman. 
Raja Salman menjadi harapan para pemimpin negara teluk untuk lebih berani keras terhadap Iran. Dengan bantuan Amerika Serikat, negara teluk berharap Saudi Arabia bisa menekan Iran dan melindungi kekuasaan mereka dari hal serupa yang terjadi di Yaman.
Saya pribadi termasuk orang yang percaya bahwa raja Salman akan menempatkan Iran sebagai musuh utama dibandingkan musuh Saudi Arabia lainnya, yaitu Ikhwanul Muslimin di Mesir. Namun dalam waktu bersamaan raja Salman juga akan tetap menjaga Saudi Arabia dari pengaruh gerakan Ikhwanul Muslimin.
Disinilah titik perbedaan politik mendiang raja Abdullah dengan raja Salman, pada penempatan siapa yang akan dihabisi terlebih dahulu. Mendiang raja Abdullah menghabisi Ikhwanul Muslimin dengan mendanai kudeta di Mesir, dan sedikit berdamai dengan Iran untuk sementara waktu. Berbeda dengan raja Salman, walaupun saya tidak terlalu yakin raja Salman berani melakukan konfrontasi 'jantan' melawan Iran, tetapi setidaknya dia akan lebih keras dibanding pendahulunya, raja Abdullah, dan akan sedikit berkompromi dengan Ikhwanul Muslimin, dengan syarat tidak saling mengganggu.
Dalam agenda raja Salman kedepan melawan Iran, tentu Saudi Arabia tidak bisa melakukannya sendiri, mengharapkan bantuan negara teluk lainnya agak mustahil, karena sifat pemimpin negara teluk cenderung lebih memilih cari aman. Mempertaruhkan kekuasaan untuk melawan Iran sangat berisiko, jadi posisi negara teluk lebih menunggu langkah berani Saudi Arabia, sedangkan mereka membantu dari jauh. Solusinya raja Salman mau tidak mau harus mencari sekutu lain yang kekuatan militer dan ekonominya memadai.
Erdogan
Kehadiran Erdogan dalam pemakaman raja Abdullah beberapa waktu lalu cukup menarik. Jadwal Erdogan yang seharusnya berkunjung ke Somalia ditunda demi menghadiri prosesi pemakaman raja Abdullah, padahal selama ini Turki dikenal sering berseberangan sikap dengan Saudi Arabia. 
Ada yang mengatakan Erdogan adalah sekutu yang dilirik raja Salman untuk menghadapi Iran. Dengan kekuatan ekonomi dan militer yang dimiliki Turki, koalisi dua negara tersebut cukup menjanjikan, ditambah kesiapan Qatar untuk bergabung. Turki pada dasarnya memiliki kepentingan untuk menekan Iran, terutama dalam kasus Suriah dan perbatasan. 
Jika poros Riyadh-Ankara-Doha ini benar-benar terbentuk, tentu memiliki konsekuensi. Saudi Arabia diperkirakan akan mengganti haluan politiknya terhadap Ikhwanul muslimin di Mesir, sebagai imbalan untuk sekutu barunya Turki.
Erdogan dikenal sebagai anak ideologis Ikhwanul Muslimin, penentang kudeta nomor wahid di Mesir. Ini tentu ancaman bagi negara teluk lainnya terutama Uni Emirat Arab, dan kemungkinan pecah kongsi dalam tubuh GCC akan sangat terbuka. Uni Emirat Arab akan meninggalkan Saudi Arabia kemudian membangun poros Dubai-Al-Manamah-Cairo.
Uni Emirat Arab tidak akan membiarkan Saudi Arabia dan Turki melemahkan pemerintahan As-Sisi di Mesir dengan membantu perjuangan Ikhwanul Muslimin. Kekacauan di Mesir merupakan 'nafas' bagi Uni Emirat Arab. Selama ini Uni Emirat Arab selalu ketakutan jika kondisi Mesir kondusif, karena akan berdampak terhadap ekonomi negara tersebut terutama sektor pariwisata.
Namun kedua poros ini umurnya sangat dinamis, sekuat apa perlawanan penentang kudeta di Mesir. Ketika pemerintah kudeta di Mesir tumbang, kemungkinan akan ada peta baru diluar dua poros tersebut.








dakwatuna.com – Maroko. Setelah meningkatnya aksi kekerasan terhadap keturunan muslim Arab di Eropa, Parlemen Maroko akhirnya memasukkan isu rasisme terhadap keturunan Arab muslim di luar negeri (khususnya Eropa) di dalam daftar sidangnya.
Isu tersebut diajukan oleh Fraksi Partai Keadilan dan Pembangunan yang meminta diadakannya pertemuan khusus komisi terkait dengan Menlu Maroko, membahas kekerasan yang menimpa warga keturunan Maroko di beberapa negara Eropa.
Sebagaimana diketahui, kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap warga muslim di Eropa dan Barat kembali meningkat beberapa waktu terakhir setelah penyerangan majalah satire Charlie Hebdo yang menyebabkan belasan orang tewas.
Puncaknya, seorang warga muslim Perancis keturunan Maroko, Muhammad Al-Ma’quly (47), yang bermukim di wilayah Vaucluse, tewas akibat ditusuk belasan kali oleh tetangga yang (disebutkan) membenci Islam.
Ironisnya, proses hukum kejahatan tersebut seolah tidak diusut dengan semestinya setelah pelaku dirujuk ke rumah sakit jiwa oleh Pemerintah Perancis dengan alasan kelainan mental. (alyaoum24/rem/dakwatuna)



Selasa, 27 Januari 2015

GAMBAR RUMAH TINGGAL DI SUMBAWA 80 M2 (OWNER FIRMAN CAHYADI)





GAMBAR PESANTREN DARUL WAHDAH (OWNER UST . WAHID SYAHRIL Lc)






Sabtu, 24 Januari 2015

SYIAR RABI’UTS TSANI 1436 H











“Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari
pengikut (nya) yang bertakwa”. (QS. Ali Imran (3):146)

  :
Kebenaran tidak akan pernah tegak berdiri tanpa kehadiran para pengamal, penyebar dan
pembelanya di muka bumi. Dari itulah Allah mengutus para Nabi dan Rasul untuk menegakkan agama
ini “an aqiimuddiina” dengan mengajak kaumnya menjadi bagian penting dalam perbaikan bangsanya.
Sesungguhnya khutbah, perbincangan, tulisan, kajian, ceramah, analisa masalah dan diagnosa  solusi,
semua ini tidak akan memberikan manfaat signifikan dan tidak akan mewujudkan tujuan, bahkan tidak
mampu mengantarkan kepada sasaran. Semua itu hanya sebagian cara menggapai ridha Allah. Dakwah
ini menginginkan adanya perbaikan menyeluruh, melibatkan seluruh lapisan ummat, diikuti oleh
seluruh ummat dan menjangkau seluruh situasi dan keadaan yang memerlukan perbaikan dan
perubahan. Pekerjaan yang memerlukan iman yang mendalam, pembinaan yang serius dan dilakukan
secara berkesinambungan. Oleh karena itu, dakwah ini memerlukan sejumlah besar kader yang mampu
bergerak dan menggerakkan ummat menuju kejayaan dan kemuliaan sebagai khaira ummah.


1.  Pribadi Kader
a.  Mengkaji dan mentadabburi surah Ali Imran ayat 142 sampai 148
b.  Melaksanakan puasa ayyamul bidh, bulan Rabiul Tsani 1436 H, dan menjadikannya sebagai
usbu’ ruhi
c.  Mendoakan kebaikan untuk para qiyadah dan jamaah
d.  Mendoakan kemenangan untuk para mujahidin  setiap hari terutama menjelang tidur malam

2.  Keluarga Kader
a.  Qiyamullail bersama keluarga, minimal sepekan sekali
b.  Membaca wazhifah bersama keluarga, minimal sepekan sekali


3.  Terhadap Masyarakat
a.  Memberikan hadiah masakan kepada tetangga sekitar rumah tinggal minimal tiga rumah
b.  Menyempatkan diri untuk mengikuti kegiatan lingkungan yang bermanfaat di tempat tinggalnya
c.  Membantu para tetangga yang mengalami kesulitan
d.  Mengajak para tetangga untuk membantu  orang lain yang terkena musibah






Kamis, 22 Januari 2015

Penyakit Qu'ud




Ustadz Musyafa Ahmad Rahim memberikan wejangan kepada semua kader dakwah untuk berhati-hati agar tidak terjangkit sebuah penyakit yang sekarang ini menjadi fenomena dan menyerang kader dakwah. Penyakit ini bisa menghambat jalannya dakwah meskipun sudah direncanakan dengan sangat matang. Penyakit ini adalah Penyakit Qu'ud. Hal ini disampaikan Oleh Musyafa Ahmad Rahim saat di undang oleh Ikadi dalam kegiatan Mabit yang dilaksanakan di Semarang 3-4 Januari lalu.

Musyafa mengungkapkan Penyakit Qu'ud adalah Penyakit yang menghinggapi aktifis dakwah dimana ia mulai berhenti sejenak, melambat-lambat, menunda-nunda, bermalas-malas atau justru tidak berangkat dengan berbagai alasan dalam mengikuti agenda-agenda dakwah.

"Penyakit Qu'ud ini akan menghancurkan dan menggagalkan target-target dakwah apabila berhasil menjangkit para aktifisnya, meskipun agenda dan target-target tersebut sudah tersusun secara matang." Ungkap Musyafa.

Penyakit Qu'ud ini tidak bisa di anggap remeh, menurut Ustad Musyafa, penyakit aktifis dakwah ini jika dibiarkan dan tidak disembuhkan, maka bisa mengakibatkan sang aktifis dakwah keluar dari risalah dakwah dan bisa jadi justru menjadi penentangnya. Banyaknya fenomena kader dakwah yang justru menyerang dakwah adalah berawal dari penyakit Qu'ud.

"Dampak Qu'ud bisa menjadikan aktifis dakwah keluar dari risalah dakwah, bahkan malah menyerang, menyudutkan, mencari-cari kesalahan para aktifis dakwah dan qiyadahnya bahkan mempublikasikannya." Terang Musyafa.

Musyafa dalam taujihnya ini menegaskan yang bisa menyembuhkan dan menghindari Qu'ud adalah dirinya sendiri. Bagaimana ia harus bekerja dengan keras dan memaksakan diri untuk melawan Qu'ud dengan sesungguh hati. Salah satu upaya lain untuk bisa terus istiqomah adalah dengan terus bersama dengan jamaah dakwah dan saling menasehati dalam ketaatan dan kesabaran.

Selasa, 20 Januari 2015

JANGAN MERASA TIDAK MAMPU




Suatu kali, seorang anak mengutarakan cita-citanya kepada sang bapak. Cita-cita sang anak itu menurut sang bapak terlalu tinggi dan macam-macam. Karenanya, sang bapak itu segera berkomentar:  “Sudah laah, tidak usah macam-macam, kita ini kan wong cilik, sudah dari sononya nasib kita begini, tidak usah muluk-muluk dalam berangan-angan”.
Lain lagi cerita dalam sebuah pelatihan kepemimpinan.
Dalam pelatihan itu sang tutor dengan penuh semangat menjelaskan kriteria ideal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin muslim.
Disebutlah diantaranya: hafal Al Qur’an minimal 5 juz, hafal hadits minimal 40, mengetahui hukum-hukum fiqih dasar, membaca 7 jam perpekan di luar spesialisasinya, berjiwa orang tua dalam kasih sayang, guru dalam memberi pengetahuan, syekh dalam pendidikan ruhani, panglima dalam ketentaraan, selalu tampil terdepan dalam kebaikan dan lain sebagainya.
Itu semua baru diantaranya.
Maka berkomentarlah salah seorang peserta: “Bila demikian beratnya seorang pemimpin, mendingan dipimpin saja”.
Cerita seperti itu mengingatkan saya kepada kisah yang terjadi pada Bani Israel.
Dulunya, Bani Israel masuk ke Mesir karena “dibawa” oleh nabi Ya’qub (as), bapak dari Bani Israel. Kedatangan mereka sendiri ke Mesir adalah karena posisi dan kedudukan nabi Yusuf putra nabi Ya’qub (as) yang saat itu telah menjadi seorang pejabat tinggi di Mesir (kalau bukan tertinggi). Saat itu di tangan nabi Yusuf-lah urusan perbendaharaan negeri Mesir.
Artinya, saat itu Bani Israel datang ke Mesir adalah sebagai manusia-manusia terhormat, bukan manusia-manusia rendahan.
Akan tetapi, sepeninggal nabi Yusuf (as) mereka diperbudak oleh rezim Fir’aun bertahun-tahun lamanya. Sehingga lahirlah generasi demi generasi dari mereka yang merasa semenjak lahir bahwa kelas mereka adalah kelas para budak. Lebih repotnya lagi, mereka sendiri kemudian “menikmati” keterbudakannya itu.
Karenanya, saat diperintahkan oleh nabi Musa (as) untuk memasuki Baitul Maqdis, mereka mengatakan: “Pergi saja kamu dengan Tuhan-Mu, kita maah duduk-duduk di sini saja” (QS Al Maidah: 20 – 24). Padahal, saat itu, raja Jalut (Galiot) dan bala tentaranya dalam keadaan yang sangat takut, mengingat bahwa Bani Israel adalah bangsa yang dibela Allah swt, dan kehancuran Fir’aun dan bala tentaranya adalah salah satu buktinya. Kalau saja Bani Israel mau memasuki Baitul Maqdis saat itu, pastilah akan dengan mudah memasukinya (QS Al Maidah: 23).
Penyakit kejiwaan Bani Israel ini sedemikian kronisnya, sehingga mereka baru bisa memasuki Baitul Maqdis pada saat mempunyai seorang panglima yang bernama Thalut, satu generasi setelah nabi Musa (as).
Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah …
Tadabbduri dan hayatilah sabda Rasulullah saw berikut ini, cobalah bangun kepribadian anda dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya:
"اَلْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِيْ كُلٍّ خَيْرٌ، اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجِزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنَ قُلْ: قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ؛ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ" (رَوَاهُ مُسْلِمٌ).
Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada masing-masing mukmin ada kebaikan. Bersemangatlah pada apa saja yang bermanfaat bagimu, meminta tolonglah kepada Allah dan jangan merasa tidak mampu, jika ada sesuatu menimpamu jangan katakan: “Kalau saja aku melakukan ini dan itu, pastilah begini dan begitu”. Akan tetapi katakanlah: “Allah swt telah mentakdirkan, dan apa yang dikehendakinya akan dijalankan”, sebab jikalau-jikalau (kalau saja-kalau saja) itu membuka kerja setan. (HR Muslim, lihat hadits ke-enam pada bab mujahadah di kitab Riyadhush-Shalihin).
Dalam taujihnya ini Rasulullah saw menekankan beberapa hal:
1.      Sebagai mukmin, kita  harus menjadi mukmin yang kuat, sebab hal ini lebih baik dan lebih dicintai Allah swt. Kekuatan ini tentunya bukan sekedar kekuatan phisik, justru yang terpenting adalah kekuatan ma’nawiyyah (mentalitas), baik pada sisi aqidah ataupun kejiwaan. Termasuk juga kekuatan skill, tsaqafah,  fikriyyah, dan lain-lainnya.
2.      Agar kita menjadi mukmin yang kuat, kita harus bersemangat kepada apa saja yang bermanfaat bagi kita, entah itu manfaat duniawi ataupun ukhrawi, manfaat jasadiyah, aqliyah ataupun ruhiyah, manfaat jangka pendek ataupun jangka panjang.
3.      Jangan merasa tidak mampu, namun juga jangan GR dan merasa pasti mampu. Akan tetapi, meminta tolonglah kepada Allah swt.
4.      Jika segala perhitungan dan kemampuan manusiawi telah kita kerahkan, dan ternyata terjadi sesuatu (musibah) yang menggagalkan semua rencana kita, janganlah kita ratapi musibah itu dengan mengatakan: “kalau saja, kalau saja …”, akan tetapi, katakanlah: “Allah swt telah mentakdirkan, dan apa yang dikehendakinya pasti dilaksanakan”.

5.      Kegagalan bukanlah untuk diratapi, dan di-kalau-kalau-i, akan tetapi untuk dievaluasi dan diambil ibrahnya. Jika kita ber-kalau-kalau ini artinya kita membuka pekerjaan bagi syetan.

AL WAFA’ (KESETIAAN)


Hari itu Rasulullah saw kembali ke rumah tidak seperti biasanya. Saat itu beliau kembali dengan mucat pucat, tubuh gemetar dan raut muka yang menyiratkan rasa ketakutan yang sangat dalam. Beliau baru saja mengalami satu peristiwa yang belum pernah beliau temui sebelumnya. Peristiwa turunnya wahyu Allah swt yang pertama kali. Wahyu yang sekiranya diturunkan kepada gunung sekalipun, niscaya gunung itu akan tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah swt (QS Al Hasyr: 21).
Melihat suaminya dalam keadaan seperti itu, Khadijah –Radhiyallahu ‘anha- segera mengambil tindakan. Dia selimuti suaminya, dan dia dekap erat-erat. Dan yang lebih penting dari semua itu, dia katakan dengan penuh keyakinan, ketulusan dan kejujuran kalimat-kalimat berikut ini:
“Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya, demi Allah, sungguh engkau telah menyambung persanakan (shilatur-rahim), benar dalam berbicara, memikul beban orang yang kepayahan, membantu orang yang tidak mampu, menyuguhkan hidangan kepada tamu, dan membantu orang-orang yang tertimpa musibah …”. (Muttafaqun ‘alaih).
Sebuah ucapan yang menunjukkan sifat wafa’ yang luar biasa. Coba bayangkan, bukankah pernikahan antara Rasulullah saw dengan Khadijah telah berjalan lima belas (15) tahun?! Meskipun demikian, yang keluar dari mulut Khadijah dengan fasih adalah daya ingatnya terhadap berbagai kebaikan Rasulullah saw. Sebuah pengakuan atas kebaikan dan jasa orang lain yang luar biasa. Kenapa pada saat-saat yang genting seperti itu yang diingat oleh Khadijah adalah kebaikan Rasulullah saw?
Bukan hanya itu.
Khadijah segera membawa nabi Muhammad saw untuk menemui pamannya, Waraqah bin Naufal.
Dari pertemuan antara nabi Muhammad saw dengan Waraqah bin Naufal, nabi Muhammad saw semakin yakin, bahwa dirinya benar-benar telah dipilih oleh Allah swt untuk menjadi nabi dan Rasul.
Bukan hanya itu saja.
Khadijah adalah orang pertama yang menyatakan beriman kepada kenabian dan kerasulan nabi Muhammad saw, sebuah keimanan yang membuat hati Rasulullah saw semakin kuat, tegar dan mantap.
Bukan itu saja.
Khadijah (ra) adalah seorang wanita yang membela Rasulullah saw saat didustakan oleh kaumnya. Membelanya dengan kedudukannya, dengan hartanya dan dengan segala yang dimilikinya.
Pada pihak yang sebaliknya, Rasulullah saw juga sangat wafa’ kepada istrinya itu.
Sepeninggal Khadijah (ra), Rasulullah saw sering menyebut-nyebut Khadijah (ra), dan bila menyembelih kambing atau semacamnya, beliau saw bersabda: “Tolong antarkan ini kepada si fulanah, dan yang ini kepada si fulanah. Saat ditanyakan kepada beliau, kenapa mereka? Beliau saw menjawab: “Mereka adalah teman-teman Khadijah”.
Pernah suatu kali datang kepada Rasulullah saw seorang wanita yang bernama Halah. Ia adalah saudari Khadijah. Suaranya, postur tubuhnya dan beberapa hal lainnya mirip dengan Khadijah.
Begitu Rasulullah saw mendengar salam Halah, beliau saw langsung terperanjat. Ternyata yang datang adalah Halah. Karenanya beliau bersabada: Allahumma, Halah (ya Allah, ternyata Halah).
Sikap wafa’ yang membuat Ummul Mukminin ‘Aisyah (ra) cemburu berat.
Sampai-sampai pada suatu kali ‘Aisyah (ra) berkata: “Apa yang bisa engkau perbuat dengan seorang wanita yang sudah tua renta, yang Allah swt telah menggantikannya dengan yang lebih baik darinya!
Maka Rasulullah saw menjawab: “Demi Allah, Dia belum memberikan ganti untukku dengan yang lebih baik darinya …”. (HR Bukhari).
Sikap kesetiaan yang luar biasa, yang membuat kita bertanya-tanya: “Adakah Rasulullah saw mengambil hati seseorang yang telah meninggal dunia dan menyebabkan yang masih hidup marah-marah kepadanya?
Dalam kesempatan ini ada baiknya kita simak apa penuturan seorang Nashrani yang mengakui sifat keteladanan nabi saw dalam hal ini:
Berkatalah DR. Fahmi Lucas: “Aisyah (ra), seorang istri yang masih muda, yang mempunyai kedudukan tersendiri di hati suaminya, tidak berani lagi menyinggung-nyinggung Khadijah (ra) setelah kejadian itu.
Apa yang membuat Muhammad (saw) berbuat seperti itu, yaitu kesetiaan yang begitu indah yang diberikannya kepada Khadijah (ra). Kesetiaan yang mejadi pusat keteladanan bagi seluruh suami dan istri. Adakah Muhammad (saw) mencari hati dari seorang wanita yang telah meninggal dengan resiko dimarahi oleh istrinya yang masih hidup bersamanya?
Apa kata yang bisa diungkapkan untuk menggambarkan kesetiaan yang penuh mukjizat ini, sementara dunia penuh oleh penyelewengan, perselingkuhan, lupa jasa dan pengkhianatan?”.
Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah!
Tiba saatnya bagi kita untuk kembali memperbaiki kehidupan rumah tangga kita. Rumah tangga tempat anak-anak, generasi masa depan menghabiskan waktu-waktunya untuk menempa dan membentuk kepribadiannya.
Tiba saatnya bagi kita untuk menunjukkan dan memberikan sifat wafa’ kita kepada pasangan hidup kita, agar anak-anak tumbuh menjadi manusia-manusia yang shalih dan shalihah yang akan menegakkan diin Allah di atas muka bumi ini.
Tiba saatnya bagi kita untuk kembali merenungi dan menteladani Rasulullah saw, dalam hal kesetiaan, ke-bapak-an dan ke-suami-an, agar tassi (ke-uswah-an) kita menjadi sempurna, sehingga berkesempatan mengharapkan kehidupan akhirat yang baik.

Dan akhirnya, semoga Allah swt memberikan kekuatan kepada kita untuk mendengarkan perkataan yang baik, lalu mengikutinya dengan istiqamah, amiiin.

Penyakit Riya’ dan Gila Popularitas (Hadits ke-1 Arba’in An-Nawawi)


Judul Asli: Ikhlas dan Bahaya Riya
“Dari Amirul mu’minin Umar bin Al-Khotthob rodiallahu’anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Sesungguhnya amalan-amalan itu berdasarkan niatnya dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan, maka barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya adalah kepada Allah dan RasulNya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena untuk menggapai dunia atau wanita yang hendak dinikahinya maka hijrahnya kepada apa yang hijrahi”. (HR. Al-Bukhari: 1).
Berkata Abdurrahman bin Mahdi, “Kalau seandainya aku menulis sebuah kitab yang terdiri atas bab-bab maka aku akan menjadikan hadits Umar bin Al-Khattab yaitu hadits Al A’maalu bin Niyyaat di setiap bab” (Jami’ul Ulum 1/8).
Imam Asy-Syafi’i berkata, “Hadits ini adalah sepertiga ilmu” (Jami’ul ‘Ulum 1/9).
Imam Ahmad berkata, “Pokok-pokok Islam ada tiga hadits, hadits Umar rodiallahu’anhu, ”Hanya saja amal-amal itu berdasarkan niatnya”, hadits ‘Aisyah rodiallahu’anha, Barangsiapa yang berbuat perkara-perkara yang baru dalam agama ini yang bukan dari agama maka ia tertolak” dan hadits Nu’man bin Basyir rodiallahu’anhu ”Yang halal jelas dan yang haram jelas”. (Jami’ul ‘Ulum 1/9).
Sesungguhnya pembahasan tentang ikhlas adalah pembahasan yang sangat penting yang berkaitan dengan agama Islam yang hanif (lurus) ini, hal dikarenakan tauhid adalah inti dan poros dari agama dan Allah tidaklah menerima kecuali yang murni diserahkan untukNya sebagaimana firman Allah, “Hanyalah bagi Allah agama yang murni”. (QS. Az-Zumar : 3).
Maka perkara apa saja yang merupakan perkara agama Allah jika hanya diserahkan kepada Allah maka Allah akan menerimanya, adapun jika diserahkan kepada Allah dan juga diserahkan kepada selain Allah (siapapun juga ia) maka Allah tidak akan menerimanya, karena Allah tidak menerima amalan yang diserikatkan, Dia hanyalah meneriman amalan agama yang kholis (murni) untukNya. Allah akan menolak dan mengembalikan amalan tersebut kepada pelakunya bahkan Allah memerintahkannya untuk mengambil pahala (ganjaran) amalannya tersebut kepada yang dia syarikatkan, hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, yang artinya:
Allah berfirman “Aku adalah yang paling tidak butuh kepada syarikat, maka barangsiapa yang beramal suatu amalan untuku lantas ia mensyerikatkan amalannya tersebut (juga) kepada selainku maka Aku berlepas diri darinya dan ia untuk yang dia syarikatkan” (HR. Ibnu Majah 2/1405 no. 4202, dan ia adalah hadits yang shahih, sebagaimana perkataan Syaikh Abdul Malik Ar-Romadhoni, adapun lafal Imam Muslim (4/2289 no 2985) adalah, “aku tinggalkan dia dan ksyirikannya”).
Berkata Syaikh Sholeh Alu Syaikh, “Lafal ‘amalan’ disini adalah nakiroh dalam konteks kalimat syart maka memberi faedah keumuman sehingga mencakup seluruh jenis amalan kebaikan baik amalan badan, amalan harta. Maupun amalan yang mengandung amalan badan dan amalan harta (seperti haji dan jihad)”. (At-Tamhid hal. 401).
Definisi ikhlas menurut etimologi (menurut peletakan bahasa)
Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Dikatakan bahwa “madu itu murni” jika sama sekali tidak tercampur dengan campuran dari luar, dan dikatakan “harta ini adalah murni untukmu” maksudnya adalah tidak ada seorangpun yang bersyarikat bersamamu dalam memiliki harta ini. Hal ini sebagaimana firman Allah tentang wanita yang menghadiahkan dirinya untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,
Dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. (QS. Al Ahzaab: 50).
Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum daripada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. (QS. An Nahl: 66).
Maka tatkala mereka berputus asa daripada (putusan) Yusuf mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik. Berkatalah yang tertua diantara mereka: “Tidakkah kamu ketahui bahwa sesungguhnya ayahmu telah mengambil janji dari kamu dengan nama Allah dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf. Sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi keputusan terhadapku. Dan Dia adalah hakim yang sebaik-baiknya”. (QS. Yusuf: 80). Yaitu para saudara Yusuf menyendiri untuk saling berbicara diantara mereka tanpa ada orang lain yang menyertai pembicaraan mereka.
Definisi ikhlas menurut istilah syar’i (secara terminologi)
Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas adalah “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia. Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu).
Ada juga mengatakan bahwa ikhlas adalah “samanya amalan-amalan seorang hamba antara yang nampak dengan yang ada di batin”, adapun riya’ yaitu dzohir (amalan yang nampak) dari seorang hamba lebih baik daripada batinnya dan ikhlas yang benar (dan ini derajat yang lebih tinggi dari ikhlas yang pertama) yaitu batin seseoang lebih baik daripada dzohirnya, yaitu engkau menampakkan sikap baik dihadapan manusia adalah karena kebaikan hatimu, maka sebagaimana engkau menghiasi amalan dzohirmu dihadapan manusia maka hendaknya engkaupun menghiasi hatimu dihadapan Robbmu.
Ada juga yang mengatakan bahwa ikhlas adalah, “melupakan pandangan manusia dengan selalu memandang kepada Allah”, yaitu engkau lupa bahwasanya orang-orang memperhatikanmu karena engkau selalu memandang kepada Allah, yaitu seakan-akan engkau melihat Allah yaitu sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang ihsan “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya dan jika engkau tidak melihatNya maka sesungguhnya Ia melihatmu”. Barangsiapa yang berhias dihadapan manusia dengan apa yang tidak ia miliki (dzohirnya tidak sesuai dengan batinnya) maka ia jatuh dari pandangan Allah, dan barangsiapa yang jatuh dari pandangan Allah maka apalagi yang bermanfaat baginya? Oleh karena itu hendaknya setiap orang takut jangan sampai ia jatuh dari pandangan Allah karena jika engkau jatuh dari pandangan Allah maka Allah tidak akan perduli denganmu dimanakah engkau akan binasa, jika Allah meninggalkan engkau dan menjadikan engkau bersandar kepada dirimu sendiri atau kepada makhluk maka berarti engkau telah bersandar kepada sesuatu yang lemah, dan terlepas darimu pertolongan Allah, dan tentunya balasan Allah pada hari akhirat lebih keras dan lebih pedih. (Dari ceramah beliau yang berjudul ikhlas. Definisi-definisi ini sebagaimana juga yang disampaikan oleh Ahmad Farid dalam kitabnya “Tazkiyatun Nufus” hal. 13).
Berkata Syaikh Abdul Malik, “Ikhlas itu bukan hanya terbatas pada urusan amalan-amalan ibadah bahkan ia juga berkaitan dengan dakwah kepada Allah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam saja (tetap) diperintahkan oleh Allah untuk ikhlas dalam dakwahnya”.
Katakanlah, “Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108).
Yaitu dakwah hanyalah kepada Allah bukan kepada yang lainnya, dan dakwah yang membuahkan keberhasilan adalah dakwah yang dibangun karena untuk mencari wajah Allah. Aku memperingatkan kalian jangan sampai ada diantara kita dan kalian orang-orang yang senang jika dikatakan bahwa kampung mereka adalah kampung sunnah, senang jika masjid-masjid mereka disebut dengan masjid-masjid ahlus sunnah, atau masjid mereka adalah masjid yang pertama yang menghidupkan sunnah ini dan sunnah itu, atau masjid pertama yang menghadirkan para masyayikh salafiyyin dalam rangka mengalahkan selain mereka, namun terkadang mereka tidak sadar bahwa amalan mereka hancur dan rusak padahal mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat yang sebaik-baiknya. Dan ini adalah musibah yang sangat menyedihkan yaitu syaitan menggelincirkan seseorang sedikit-demi sedikit hingga terjatuh ke dalam jurang sedang ia menyangka bahwa ia sedang berada pada keadaan yang sebaik-baiknya. Betapa banyak masjid yang aku lihat yang Allah menghancurkan amalannya padahal dulu jemaahnya dzohirnya berada di atas sunnah karena disebabkan rusaknya batin mereka, dan sebab berlomba-lombanya mereka untuk dikatakan bahwa jemaah masjid adalah yang pertama kali berada di atas sunnah, hendaknya kalian berhati-hati…” (Dari ceramah beliau yang berjudul ikhlas).
Syuhroh (Popularitas)
Ketenaran (popularitas) memang mahal harganya. Betapa banyak orang yang rela mengorbankan banyak harta benda hanya karena untuk memperoleh ketenaran. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh para penyanyi, ataupun para bintang film. Mereka selalu berusaha tampil beda agar bisa menarik perhatian umat dunia. Bahkan ada yang rela untuk melakukan hal-hal yang aneh dan yang diharamkan oleh Allah hanya untuk memperoleh popularitas (sebagaimana penulis membaca pengakuan seorang wanita yang rela untuk berfoto setengah telanjang -bukan setengah lagi, tapi 90%, karena hanya tersisa beberapa utas benang atau secarik kain yang menutupi tubuhnya, “awas jangan dibayangkan!!”-, padalah dia hanya dibayar sangat rendah. Dia mengaku bahwasanya semua itu agar dia menjadi tenar. Na’udzu billahi min dzalik), yang toh setelah perjuangan dan pengorbanannya tersebut dia belum tentu tersohor. Kalaupun terkenal, toh belum tentu bertahan lama. Namun bagaimanapun popularitas merupakan sesuatu impian yang didambakan oleh banyak manusia (kafir maupun muslim).
Sebagaimana yang kita saksikan sekarang ini. Hampir seluruh keanehan-keanehan yang dilakukan oleh manusia sesungguhnya dikarenakan cinta popularitas. Kita lihat ada orang yang mengecet rambutnya bewarna warni, ada yang kepalanya setengah gundul dan setengahnya rambutnya panjang hingga bahunya dan dicat hijau (sebagaimana yang pernah dilihat oleh Syaikh Abdur Rozaq), ada yang rambutnya cuma ditengah saja panjang adapun sisanya gundul (sebagaimana penulis pernah lihat seorang dari tanah air yang model cukurannya seperti itu padahal dia lagi umroh), ada yang dipotong seperti warna macan tutul (botak gundul, botak gundul), ada yang tengahnya gundul dan kanan kiri kepalanya ada rambutnya, ada yang seluruh kepalanya gundul namun tersisia satu pelintiran yang panjang sekali, dan model-model yang lainnya yang banyak sekali dan aneh-aneh. Ini, padahal baru masalah rambut, belum masalah telinga, hiasan leher, apalagi model pakaian. Yang semua ini hanyalah dilakukan demi ketenaran. Demi Allah, seandainya salah mereka itu tinggal di hutan yang tidak ada manusianya sama sekali kecuali dia sendiri, dan dia hanya berteman binatang dan pepohonan, demi Allah dia tidak akan melakukan hal-hal aneh yang telah dia lakukan, karena tidak ada manusia yang memperhatikannya. Kalau dia tetap aneh juga maka dia akan terkenal diantara para hewan. Popularitas merupakan kenikmatan dunia yang mahal harganya.
Penyakit cinta ketenaran ternyata tidak hanya menimpa orang awam saja yang tidak mengetahui perkara-perkara agama, namun juga menjangkiti para ahli ibadah dan para penuntut ilmu syar’i. Walaupun memang bentuknya berbeda, namun hakekatnya sama adalah cinta popularitas. Ahli ibadah juga pingin kesungguhannya dalam beribadah diketahui oleh para ahli ibadah yang lain, ahli ilmu pun ingin orang lain tahu bahwasanya dia adalah seorang yang pandai, sehingga akhirnya martabatnya tinggi dihadapan manusia. Penyakit inilah yang dalam kamus agama disebut penyakit riya’ (pingin dilihat orang) dan sum’ah (pingin didengar orang).
Manusia begitu bersemangat untuk menutupi kejelekan-kejelekan mereka, mereka tutup sebisa mungkin, kejelekan sekecil apapun, dibungkus rapat jangan sampai ketahuan. Hal ini dikarenakan mereka menginginkan mendapatkan kehormatan dimata manusia. Dengan terungkapnya kejelekan yang ada pada mereka maka akan turun kedudukan mereka di mata manusia. Seandainya mereka juga menutupi kebaikan-kebaikan mereka, -sekecil apapun kebaikan itu, jangan sampai ada yang tahu, siapapun orangnya (saudaranya, sahabat karibnya, guru-gurunya, anak-anaknya, bahkan istrinya) tidak ada yang mengetahui kebaikannya- , tentunya mereka akan mencapai martabat mukhlisin (orang-orang yang ikhlas). Mereka berusaha sekuat mungkin agar yang hanya mengetahui kebaikan-kebaikan yang telah mereka lakukan hanyalah Allah. Karena mereka hanya mengharapkan kedudukan di sisi Allah. Berkata Abu Hazim Salamah bin Dinar “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.” (Berkata Syaikh Abdul Malik Romadhoni , “Diriwayatkan oleh Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (1/679), dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (3/240), dan Ibnu ‘Asakir dalam tarikh Dimasyq (22/68), dan sanadnya sohih”. Lihat Sittu Duror hal. 45).
Dalam riwayat yang lain yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman no 6500 beliau berkata, “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagiamana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu, dan janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak tahu apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang bahagia (masuk surga)”.
Berkata Syaikh Abdul Malik, “Namun mengapa kita tidak melaksanakan wasiat Abu Hazim ini?? Kenapa??, hal ini menunjukan bahwa keikhlasan belum sampai ke dalam hati kita sebagaimana yang dikehendaki Allah” (Dari ceramah beliau yang berjuduk ikhlas).
Oleh karena itu banyak para imam salaf yang benci ketenaran. Mereka senang kalau nama mereka tidak disebut-sebut oleh manusia. Mereka senang kalau tidak ada yang mengenal mereka. Hal ini demi untuk menjaga keihlasan mereka, dan karena mereka kawatir hati mereka terfitnah tatkala mendengar pujian manusia.
Berkata Hammad bin Zaid: “Saya pernah berjalan bersama Ayyub (As-Sikhtyani), maka diapun membawaku ke jalan-jalan cabang (selain jalan umum yang sering dilewati manusia-pen), saya heran kok dia bisa tahu jalan-jalan cabang tersebut ?! (ternyata dia melewati jalan-jalan kecil yang tidak dilewati orang banyak) karena takut manusia (mengenalnya dan) mengatakan, “Ini Ayyub” (Berkata Syaikh Abdul Malik Romadhoni: “Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad (7/249), dan Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (2/232), dan sanadnya shahih.” (Sittu Duror hal 46)).
Berkata Imam Ahmad: “Aku ingin tinggal di jalan-jalan di sela-sela gunung-gunung yang ada di Mekah hingga aku tidak dikenal. Aku ditimpa musibah ketenaran”. (As-Siyar 11/210).
Tatkala sampai berita kepada Imam Ahmad bahwasanya manusia mendoakannya dia berkata: “Aku berharap semoga hal ini bukanlah istidroj”. (As-Siyar 11/211).
Imam Ahmad juga pernah berkata tatkala tahu bahwa manusia mendoakan beliau: “Aku mohon kepada Allah agar tidak menjadikan kita termasuk orang-orang yang riya”. (As-Siyar 11/211).
Pernah Imam Ahmad mengatakan kepada salah seorang muridnya (yang bernama Abu Bakar) tatkala sampai kepadanya kabar bahwa manusia memujinya: “Wahai Abu Bakar, jika seseorang mengetahui (aib-aib) dirinya maka tidak bermanfaat baginya pujian manusia”. (As-Siyar 11/211).
Berkata Hammad, “Pernah Ayyub membawaku ke jalan yang lebih jauh, maka akupun perkata padanya, “Jalan yang ini yang lebih dekat”, maka Ayyub menjawab: ”Saya menghindari majelis-majelis manusia (menghindari keramaian manusia-pen)”. Dan Ayyub jika memberi salam kepada manusia, mereka menjawab salamnya lebih dari kalau mereka menjawab salam selain Ayyub. Maka Ayyub berkata: ”Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa saya tidaklah menginginkan hal ini !, Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa saya tidaklah menginginkan hal ini!.” Berkata Syaikh Abdul Malik: ”Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d (7/248) dan Al-Fasawi (2/239), dan sanadnya shahih”. (Sittu Duror hal 47).
Berkata Abu Zur’ah Yahya bin Abi ‘Amr, “Ad-Dlohhak bin Qois keluar bersama manusia untuk sholat istisqo (sholat untuk minta hujan), namun hujan tak kunjung datang, dan mereka tidak melihat adanya awan. Maka beliau berkata: ”Dimana Yazid bin Al-Aswad?” (Dalam riwayat yang lain: Maka tidak seorangpun yang menjawabnya, kemudian dia berkata: ”Dimana Yazid bin Al-Aswad?, Aku tegaskan padanya jika dia mendengar perkataanku ini hendaknya dia berdiri”), maka berkata Yazid :”Saya di sini!”, berkata Ad-Dlohhak: ”Berdirilah!, mintalah kepada Allah agar menurunkan hujan bagi kami!”. Maka Yazid pun berdiri dan menundukan kepalanya diantara dua bahunya, dan menyingsingkan lengan banjunya lalu berdoa: ”Ya Allah, sesungguhnya para hambaMu memintaku untuk berdoa kepadaMu”. Lalu tidaklah dia berdoa kecuali tiga kali kecuali langsung turunlah hujan yang deras sekali, hingga hampir saja mereka tenggelam karenanya. Kemudian dia berkata: ”Ya Allah, sesungguhnya hal ini telah membuatku menjadi tersohor, maka istirahatkanlah aku dari ketenaran ini”, dan tidak berselang lama yaitu seminggu kemudian diapun meninggal.” Lihat takhrij kisah ini secara terperinci dalam buku Sittu Duror karya Syaikh Abdul Malik Romadloni hal. 47.
Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana Yazid Al-Aswad merasa tidak tentram dengan ketenarannya bahkan dia meminta kepada Allah agar mencabut nyawanya agar terhindar dari ketenarannya. Ketenaran di mata Yazid adalah sebuah penyakit yang berbahaya, yang dia harus menghindarinya walaupun dengan meninggalkan dunia ini. Allahu Akbar.. ! inilah akhlak salaf (Berkata Guru kami Syaikh Abdul Qoyyum, “Adapun orang-orang yang memerintahkan para pengikutnya atau rela para pengikutnya mencium tangannya lalu ia berkata bahwa ia adalah wali Allah maka ia adalah dajjal”). Namun banyak orang yang terbalik, mereka malah menjadikan ketenaran merupakan kenikmatan yang sungguh nikmat sehingga mereka berusaha untuk meraihnya dengan berbagai macm cara.
Dari Abu Hamzah Ats-Tsumali, beliau berkata: ”Ali bin Husain memikul sekarung roti diatas pundaknya pada malam hari untuk dia sedekahkan, dan dia berkata, ”Sesungguhnya sedekah dengan tersembunyi memadamkan kemarahan Allah”. Ini merupakan hadits yang marfu’ dari Nabi, yang diriwayatkan dari banyak sahabat, seperti Abdullah bin Ja’far, Abu Sa’id Al-Khudri, Ibnu “Abbas, Ibnu Ma’ud, Ummu Salamah, Abu Umamah, Mu’awiyah bin Haidah, dan Anas bin Malik. Berkata Syaikh Al-Albani: ”Kesimpulannya hadits ini dengan jalannya yang banyak serta syawahidnya adalah hadits yang shahih, tidak diragukan lagi. Bahkan termasuk hadits mutawatir menurut sebagian ahli hadits muta’akhirin” (As-Shohihah 4/539, hadits no. 1908).
Dan dari ‘Amr bin Tsabit berkata, ”Tatkala Ali bin Husain meninggal mereka memandikan mayatnya lalu mereka melihat bekas hitam pada pundaknya, lalu mereka bertanya: ”Apa ini”, lalu dijawab: ”Beliau selalu memikul berkarung-karung tepung pada malam hari untuk diberikan kepada faqir miskin yang ada di Madinah”.
Berkata Ibnu ‘Aisyah: ”Ayahku berkata kepadaku: ”Saya mendengar penduduk Madinah berkata: ”Kami tidak pernah kehilangan sedekah yang tersembunyi hingga meninggalnya Ali bin Husain” Lihat ketiga atsar tersebut dalam Sifatus Sofwah (2/96), Aina Nahnu hal. 9.
Lihatlah bagaimana Ali bin Husain menyembunyikan amalannya hingga penduduk Madinah tidak ada yang tahu, mereka baru tahu tatkala beliau meninggal karena sedekah yang biasanya mereka terima di malam hari berhenti, dan mereka juga menemukan tanda hitam di pundak beliau.
Seseorang bertanya pada Tamim Ad-Dari ”Bagaimana sholat malam engkau”, maka marahlah Tamim, sangat marah, kemudian berkata, “Demi Allah, satu rakaat saja sholatku ditengah malam, tanpa diketahui (orang lain), lebih aku sukai daripada aku sholat semalam penuh kemudian aku ceritakan pada manusia” (Dinukil dari kitab Az- Zuhud, Imam Ahmad).
Tidak seorangpun diantara kita yang meragukan akan kesungguhan para sahabat dalam beribadah. Namun walaupun demikian, mereka tidaklah ujub, atau memamerkan amalan mereka kapada manusia, jauh sekali dengan kita. Adapun sebagian kita (atau sebagian besar, atau seluruhnya (kecuali yang dirahmati oleh Allah), Allahu Al-Musta’an, sudah amalannya sedikit, namun diceritakan kemana-mana (Bahkan kalau bisa orang sedunia mengetahuinya). Ada yang berkata, ”Dakwah saya disana…, disini…”, ada juga yang berkata,”Yang menghadiri majelis saya jumlahnya sekian dan sekian…” (padahal kalau dihitung belum tentu sebanyak yang disebutkan, atau memang benar yang hadir majelisnya banyak tetapi tidak selalu. Terkadang yang hadir dalam sebagian majelisnya cuma sedikit, namun tidak dia ceritakan, atau yang hadir banyak tapi pada ngantuk semua, juga tidak dia ceritakan. Pokoknya dia ingin gambarkan pada manusia bahwa dia adalah da’i favorit), ada yang berkata, “Saya sudah baca kitab ini, kitab itu.. hal ini sebagaimana termuat dalam kitab ini atau kitab itu…”(padahal belum tentu satu kitabpun dia baca dari awal hingga akhir, atau bahkan belum tentu dia baca sama sekali secara langsung kitab itu. Namun dia ingin gambarkan pada manusia bahwa mutola’ahnya banyak, agar mereka tahu bahwa dia adalah orang yang berilmu dan gemar membaca). Yang mendorong ini semua adalah karena keinginan mendapat penghargaan dan penghormatan dari manusia.
Lihatlah Tamim Ad-Dari tidak membuka pintu yang bisa mengantarkannya terjatuh dalam riya, sehingga dia tidak mau menjawab orang yang bertanya tentang ibadahnya. Namun sebaliknya, sebagian kaum muslimin sekarang justru menjadikan kesempatan pertanyaan seperti itu untuk bisa menceritakan seluruh ibadahnya, bahkan menanti-nanti untuk ditanya tentang ibadahnya, atau dakwahnya, atau perkara yang lainnya.
Ayyub As-Sikhtiyani sholat sepanjang malam, dan jika menjelang fajar maka dia kembali untuk berbaring di tempat tidurnya. Dan jika telah terbit fajar maka diapun mengangkat suaranya seakan-akan dia baru saja bangun pada saat itu. (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 3/8).
Berkata Muhammad bin A’yun, ”Aku bersama Abdullah bin Mubarok dalam peperangan di negeri Rum. Tatkala kami selesai sholat isya’ Ibnul Mubarok pun merebahkan kepalanya untuk menampakkan padaku bahwa dia sudah tertidur. Maka akupun –bersama tombakku yang ada ditanganku- menggenggam tombakku dan meletakkan kepalaku diatas tombak tersebut, seakan-akan aku juga sudah tertidur. Maka Ibnul Mubarok menyangka bahwa aku sudah tertidur, maka diapun bangun diam-diam agar tidak ada sorangpun dari pasukan yang mendengarnya lalu sholat malam hingga terbit fajar. Dan tatkala telah terbit fajar maka diapun datang untuk membagunkan aku karena dia menyangka aku tidur, seraya berkata “Ya Muhammad bangunlah!”, Akupun berkata: ”Sesungguhnya aku tidak tidur”. Tatkala Ibnul Mubarok mendengar hal ini dan mengetahui bahwa aku telah melihat sholat malamnya maka semenjak itu aku tidak pernah melihatnya lagi berbicara denganku. Dan tidak pernah juga ramah padaku pada setiap peperangannya. Seakan-akan dia tidak suka tatkala mengetahui bahwa aku mengetahui sholat malamnya itu, dan hal itu selalu nampak di wajahnya hingga beliau wafat. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih menymbunyikan kebaikan-kebaikannya daripada Ibnul Mubarok” (Al-Jarh wa At-Ta’dil, Ibnu Abi Hatim 1/266).
Wahai saudaraku, ketahuilah… sesungguhnya ikhlas adalah sesuatu yang sangat berat, penuh perjuangan untuk bisa meraihnya. Pintu-pintu yang bisa dimasuki syaitan untuk bisa merusak keikhlasan kita terlalu banyak. Tatkala kita sedang beramal maka syaitanpun berusaha untuk bisa menjadikan kita riya’, kalau tidak bisa menjadikan kita riya’ di permulaan amal, maka dia akan berusaha agar kita riya’ di pertengahan amal. Kalau tidak mampu lagi maka di akhir amalan kita. Oleh karena itu kita dapati para salaf dahulu memngecek niat mereka ditengah amalan mereka, apakah masih tetap ikhlas atau sudah berubah?. Diriwayatkan dari Sualaiman bin Dawud Al-Hasyimi: ”Terkadang saya menyampaikan sebuah hadits dan niat saya ikhlas, (namun) tatkala saya sampaikan sebagian hadits tersebut berubahlah niat saya, ternyata satu hadits saja membutuhkan banyak niat” Disebutkan oleh Al-Khotib Al-Bagdadi dalam Tarikh beliau (9/31), Al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal (11/412), dan Ad-Dazahabi dalam Siyar (10/625), lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal 83, tahqiq Al-Arnauth).
Lihatlah bagaimana hati-hatinya salaf dalam menjaga niat mereka, untuk bisa menyampaikan satu hadits saja (yang mungkin hanya beberapa buah kata) dia memperhatikan niatnya berulang-ulang. Bagaimana dengan kita sekarang? Bukan cuma berpuluh-puluh kata yang kita lontarkan, bahkan beribu-ribu kata (tatkala mengisi pengajian, atau memberi pendapat atau nasehat tatkala diminta, atau yang lainnya…) pernahkah kita mengecek niat kita disela-sela pembicaraan kita??. Terkadang seseorang di awal sedang mengisi pengajian, dia mendapati niatnya ikhlas. Namun tatkala di tengah pengajian, disaat dia memandang bagaimana para pendengarnya terkagum-kagum dengan kefasihannya melontarkan dalil disaat itulah syaitan berperan aktif untuk merubah niatnya. Waspadalah wahai para saudaraku… sesungguhnya hanya sedikit yang selamat dari tipu daya syaitan.
Sungguh benarlah perkataan Sufyan Ats-Tsauri, ”Saya tidak pernah menghadapi sesuatu yang lebih berat daripada niat, karena niat itu berbolak-balik (berubah-ubah)” (Hilyatul Auliya (7/ hal 5 dan 62), lihat Jami’ul ‘Ulul wal Hikam hal 70, tahqiq Al-Arnauth).
Kalau seseorang telah selamat dari tipu daya syaitan hingga selesai amalnya, ingatlah…syaitan tidak putus asa. Dia mulai menggelitik hati orang tersebut dan merayu orang tersebut untuk menceritakan amalan solehnya pada manusia, dan syaitan menipunya dengan berkata, ”Ini bukanlah riya…, supaya kamu bisa dicontohi manusia…”. Akhirnya terjebaklah orang tersebut dan diapun mengungkapkan kebaikan-kebaikannya dihadapan orang, maka bisa jadi diapun menceritakan kabaikan-kebaikannya pada manusia karena riya’, maka ini merupakan kecelakaan baginya, atau kalau tidak maka minimal pahalanya berkurang. Karena pahala amalan yang sirr (disembunyikan) lebih baik daripada amalan yang diketahui orang lain.
Allah berfirman, yang artinya:
“Jika kalian menampakkan sedekah kalian maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir maka menyembunyikanya itu lebih baik bagi kalian. Dan Allah akan menghapuskan dari kalian sebagian kesalahan-kesalahan kalian, dan Allah maha mengetahui apa yang kalian kerjakan” (QS. Al-Baqoroh: 271).
Berkata Ibnu Kasir dalam Tafsirnya, ”Asalnya isror (amalan secara tersembunyi tanpa diketahui orang lain) adalah lebih afdol dengan dalil ayat ini dan hadits dalam shohihain (Bukhori dan Muslim) dari Abu Huroiroh, beliau berkata: “Berkata Rasulullah : ”Tujuh golongan yang berada dibawah naungan Allah pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan Allah, Imam yang adil, dan seorang yang bersedekah lalu dia menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya” Diriwayatkan oleh Al-Bukhori (1423) dan Muslim (2377). Berkata Imam Nawawi: ”Berkata para Ulama bahwanya penyebutan tangan kanan dan kiri menunjukan kesungguhan dan sangat dismbunyikannya serta tidak diketuhinya sedekah. Perumpamaan dengan kedua tangan tersebut karena dekatnya tangan kanan dengan tangan kiri, dan tangan kanan selalu menyertai tangan kiri. Dan maknanya adalah seandainya tangan kiri itu seorang laki-laki yang terjaga maka dia tidak akan mengetahui apa yang diinfak oleh tangan kanan karena saking disembunyikannya.” (Al-Minhaj 7/122), hal ini juga sebagaimana penjelasan Ibnu Hajr (Al-Fath 2/191).
Rosulullah bersabda: ”Tatkala Allah menciptakan bumi, bumi tersebut bergoyang-goyang, maka Allah pun menciptakan gunung-gunung kalau Allah lemparkan gunung-gunung tersebut di atas bumi maka tenanglah bumi. Maka para malaikatpun terkagum-kagum dengan penciptaan gunung, mereka berkata, ”Wahai Tuhan kami, apakah ada dari makhluk Mu yang lebih kuat dari gunung?” Allah berkata, “Ada yaitu besi”. Lalu mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada dari makhlukMu yang lebih kuat dari besi?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu api.”, mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada makhluk Mu yang lebih kuat dari pada api?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu air”, mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada makhlukMu yang lebih kuat dari pada air?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu air” mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada makhlukMu yang lebih kuat dari pada air?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu angin” mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada makhlukMu yang lebih kuat dari pada angin?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu seorang anak Adam yang bersedekah dengan tangan kanannya lalu dia sembunyikan agar tidak diketahui tangan kanannya”. Diriwayatkan oleh Imam Ahamad dalam Musnadnya 3/124 dari hadits Anas bin Malik. Berkata Ibnu Hajar, ”Dari hadits Anas dengan sanad yang hasan marfu’” (Al-Fath 2/191).
Sungguh benar orang yang berkata, “Jangan heran kalau engkau melihat seorang yang bisa jalan di atas air, karena syaitan juga bisa berjalan di atas air. Janganlah heran kalau engkau melihat seorang yang berjalan terbang diudara, karena syaitan juga bisa terbang di udara. Tapi heranlah engkau jika engkau melihat seorang yang bersedekah dengan tangan kanannya namun tangan kirinya tidak mengetahuinya, karena syaitan tidak bersedekah (apalagi dengan ikhlas) (Untaian kalimat ini, penulis tidak mengetahui siapa yang mengucapkannya. Namun penulis pernah mendengarnya dari seorang petugas penjaga mushola dikapal laut, tatkala menyampaikan nasehat pada awak penumpang kapal. Mungkin saja dialah yang mengucapkan perkataan ini pertama kali. Namun bagaimanapun perkataan ini benar maknanya jika ditinjau dari kacamata syar’i, Wallahu A’lam).
Ingat perkataan Ibnul Qoyyim, “Tidaklah akan berkumpul keikhlasan dalam hati bersama rasa senang untuk dipuji dan disanjung dan keinginan untuk memperoleh apa yang ada pada manusia kecuali sebagaimana terkumpulnya air dan api…” (Fawaid Al-Fawaid, Ibnul Qoyyim, tahqiq Syaikh Ali Hasan, hal 423). Wahai Dzat yang membolak-balikan hati-hati (manusia) tetapkanlah hatiku di atas agamaMu.
Hukum menyembunyikan amal
Para ulama menjelaskan bahwa keutamaan menyembunyikan amalan kebajikan (karena hal ini lebih menjauhkan dari riya) itu hanya khusus bagi amalan-amalan mustahab bukan amalan-amalan yang wajib. Berkata Ibnu Hajar: ”At-Thobari dan yang lainnya telah menukil ijma’ bahwa sedekah yang wajib secara terang-terangan lebih afdhol daripada secara tersembunyi. Adapun sedekah yang mustahab maka sebaliknya.” (Al-Fath 3/365). Sebagian mereka juga mengecualikan orang-orang yang merupakan teladan bagi masyarakat, maka justru lebih afdhol bagi mereka untuk beramal terang-terangan agar bisa diikuti dengan syarat mereka aman dari riya’, dan hal ini tidaklah mungkin kecuali jika iman dan keyakinan mereka yang kuat.
Imam Al-Iz bin Abdus Salam telah menjelaskan hukum menyembunyikan amalan kebajikan secara terperinci sebagai berikut. Beliau berkata, “Keta’atan (pada Allah) ada tiga:
  1. Yang pertama, adalah amalan yang disyariatkan secara dengan dinampakan seperti adzan, iqomat, bertakbir, membaca Quran dalam sholat secara jahr, khutbah-kutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan sholat jumat dan sholat secara berjamaah, merayakan hari-hari ‘ied, jihad, mengunjungi orang-orang yang sakit, mengantar jenazah, maka hal-hal seperti ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut riya, maka hendaknya dia berusaha bersungguh-sungguh untuk menolaknya hingga dia bisa ikhlas kemudian dia bisa melaksanakannya dengan ikhlas, sehingga dengan demikian dia akan mendapatkan pahala amalannya dan juga pahala karena kesungguhannya menolak riya, karena amalan-amalan ini maslahatnya juga untuk orang lain.
  2. Yang kedua, amalan yang jika diamalkan secara tersembunyi lebih afdhol dari pada jika dinampakkan. Contohnya seperti membaca qiro’ah secara perlahan tatkala sholat (yaitu sholat yang tidak disyari’atkan untuk menjahrkan qiro’ah), dan berdzikir dalam sholat secara perlahan. Maka dengan perlahan lebih baik daripada jika dijahrkan.
  3. Yang ketiga, amalan yang terkadang disembunyikan dan terkadang dinampakkan seperti sedekah. Jika dia kawatir tertimpa riya’ atau dia tahu bahwasanya biasanya kalau dia nampakan amalannya dia akan riya’, maka amalan (sedekah) tersebut disembunyikan lebih baik daripada jika dinampakkan.
Adapun orang yang aman dari riya’ maka ada dua keadaannya:
  1. Yang pertama, dia bukanlah termasuk orang yang diikuti, maka lebih baik dia menyembunyikan sedekahnya, karena bisa jadi dia tertimpa riya’ tatkala menampakkan sedekahnya.
  2. Yang kedua, dia merupakan orang yang dicontohi, maka dia menampakan sedekahnya lebih baik karena hal itu membantu fakir miskin dan dia akan diikuti. Maka dia telah memberi manfaat kepada fakir miskin dengan sedekahnya dan dia juga menyebabkan orang-orang kaya bersedekah pada fakir miskin karena mencontohi dia, dan dia juga telah memberi manfaat pada orang-orang kaya tersebut karena mengikuti dia beramal soleh.” Qowa’idul Ahkam 1/125 (Sebagaimana dinukil oleh Sulaiman Al-Asyqor dal kitabnya Al-Ikhlash hal 128-129).
Tentunya kita lebih mengetahui diri kita, kita termasuk orang yang aman dari riya atau tidak.
Mengobati penyakit cinta ketenaran
Berkata Abdullah bin Mas’ud, “Seandainya kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak ada dua orangpun yang berjalan di belakangku, dan kalian pasti akan melemparkan tanah di kepalaku, aku sungguh berangan-angan agar Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku dipanggil dengan Abdullah bin Rowtsah”. (Al-Mustadrok 3/357 no. 5382).
Berkata Syaikh Sholeh Alu Syaikh, ((“Untaian kalimat ini adalah madrasah (pelajaran), dan hal ini tidak diragukan lagi karena tersohornya seseorang mungkin terjadi jika orang tersebut memiliki kelebihan diantara manusia, bahkan bisa jadi orang-orang mengagungkannya, bisa jadi orang-orang memujinya, bisa jadi mereka mengikutinya berjalan di belakangnya. Seseorang jika semakin bertambah ma’rifatnya kepada Allah maka ia akan sadar dan mengetahui bahwa dosa-dosanya banyak, dan banyak, dan sangat banyak. Oleh karena tidaklah suatu hal yang mengherankan jika Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan kepada Abu Bakar –padahal ia adalah orang yang terbaik dari umat ini dari para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam - yang selalu membenarkan (apa yang dikabarkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam-pen), yang Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah berkata tentangnya, “Jika ditimbang iman Abu Bakar dibanding dengan iman umat maka akan lebih berat iman Abu Bakar”, namun Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkannya untuk berdo’a di akhir sholatnya, “Robku, sesungguhnya aku telah banyak mendzolimi diriku dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali engkau maka ampunilah aku dengan pengampunanMu”. Yang mewasiatkan adalah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan yang diwasiatkan adalah Abu Bakar As-Shiddiq. Semakin bertambah ma’rifat seorang hamba kepada Robnya maka ia akan takut kepada Allah, takut kalau ada yang mengikutinya dari belakang, khawatir ia diagungkan diantara manusia, khawatir diangkat-angkat diantara manusia, karena ia mengetahui hak-hak Allah sehingga dia mengetahui bahwa ia tidak akan mungkin menunaikan hak Allah, ia selalu kurang dalam bersyukur kepada Allah, dan ini merupakan salah satu bentuk dosa.
Diantara manusia ada yang merupakan qori’ Al-Qur’an dan tersohor karena keindahan suaranya, keindahan bacaannya, maka orang-orangpun berkumpul di sekitarnya. Diantara manusia ada yang alim, tersohor dengan ilmunya, dengan fatwa-fatwanya, dengan kesholehannya, kewaro’annya, maka orang-orangpun berkumpul di sekelilingnya.
Diantara mereka ada yang menjadi da’i yang terkenal dengan pengorbanannya dan perjuangannya dalam berdakwah maka orang-orang pun berkumpul di sekelilingnya karena Allah telah memberi petunjuk kepada mereka dengan perantaranya. Demikian juga ada yang terkenal dengan sikapnya yang selalu menunaikan amanah, ada yang tersohor dengan sikapnya yang menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, dan demikianlah… Posisi terkenalnya seseorang merupakan posisi yang sangat mudah menggelincirkan seseorang, oleh karena itu Ibnu Mas’ud mewasiatkan kepada dirinya sendiri dengan menjelaskan keadaan dirinya (yang penuh dengan dosa), dan menjelaskan apa yang wajib bagi setiap orang yang memiliki pengikut…
Hendaknya setiap orang yang tersohor (dengan kebaikan) atau termasuk orang yang terpandang untuk selalu merendahkan dirinya diantara manusia dan menampakkan hal itu, bukan malah untuk semakin naik derajatnya di hadapan manusia namun agar semakin terangkat derajatnya di hadapan Allah, dan ini semua kembali kepada keikhlasan, karena diantara manusia ada yang merendahkan dirinya di hadapan manusia namun agar tersohor dan ini adalah termasuk (tipuan) syaitan. Dan diantara manusia ada yang merendahkan dirinya di hadapan manusia dan Allah mengetahui hatinya bahwasanya ia benar dengan sikapnya itu, ia takut pertemuan dengan Allah, ia takut hari di mana dibalas apa-apa yang terdapat dalam dada-dada, hari di mana nampak apa yang ada disimpan di hati-hati, tidak ada yang tersembunyi di hadapan Allah dan mereka tidak bisa menyembunyikan pembicaraan mereka di hadapan Allah.
Ini adalah pelajaran yang berharga bagi setiap yang dipanuti dan yang mengikuti. Adapun pengikut maka hendaknya ia tahu bahwa orang yang diikutinya itu tidak boleh diagungkan, namun hanyalah diambil faedah darinya berupa syari’at Allah atau faedah yang diambil oleh masyarakat, karena yang diagungkan hanyalah Allah kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Adapun manusia yang lain maka jika mereka baik maka bagi mereka rasa cinta pada diri kita. Dan hendaknya orang yang tersohor untuk selalu takut, rendah, dan mengingat dosa-dosanya, mengingat bahwa ia akan berdiri di hadapan Allah, ingat bahwasanya ia bukanlah orang yang berhak diikuti oleh dua orang di belakangnya.
Oleh karena itu tatkala Abu Bakar dipuji di hadapan manusia maka ia berkutbah setelah itu dan riwayat ini shahih sebagaimana diriwayatkan oleh imam Ahmad dan yang lainnya ia berkata: “Ya Allah jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka persangkakan dan ampunkanlah apa-apa yang mereka tidak ketahui”, ia mengucapkan doa ini dengan keras untuk mengingatkan manusia bahwasanya ia memiliki dosa sehingga mereka tidak berlebih-lebihan kepadanya. Apakah hal ini sebagaimana yang kita lihat pada kenyataan dimana orang yang diagungkan semakin menjadi-jadi agar diagungkan dirinya??, orang yang mengagungkan juga semakin mengagungkan orang yang diikutinya?? Ini bukanlah jalan para sahabat radhiallahu ‘anhum, Umar terkadang ujub dengan dirinya -dan dia adalah seorang khalifah, orang kedua yang dikabarkan dengan masuk surga setelah Abu Bakar-, maka ia pun memikul suatu barang di tengah pasar untuk merendahkan dirinya hingga ia tidak merasa dirinya besar.
Diantara kesalahan-kesalahan adalah sifat ujub (takjub dengan diri sendiri), yaitu seseorang memandang dirinya waw (hebat). Ada diantara salafus shalih yang jika hendak menyampaikan suatu (mau’idzoh) dan jika ia melihat orang-orang berkumpul maka iapun meninggalkan majelis tersebut, kenapa?, karena keselamatan jiwanya lebih utama dibandingkan keselamatan jiwa orang lain, karena ia melihat ramainya orang yang telah berkumpul dan ia menyadari bahwa dirinya mulai merasakan bahwa dirinya senang karena kehadiran mereka, yang pada diam memperhatikannya, dan memperhatikannya, maka iapun mengobati dirinya dengan meninggalkan mereka maka merekapun membicarakannya akibat hal tersebut, Namun yang paling penting adalah keselamatan jiwa dan hatinya dihadapan Allah. Dan keselamatan hatinya lebih utama dibandingkan keselamatan hati orang lain…”)). (Dari ceramah Syaikh Sholeh Alu Syaikh yang berjudul Waqofaat ma’a kalimaat li Ibni Mas’ud).
Riya itu samar
Sungguh benar sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya riya itu samar sehingga terkadang menimpa seseorang padahal ia menyangka bahwa ia telah melakukan yang sebaik-baiknya. Dikisahkan bahwasanya ada seseorang yang selalu sholat berjama’ah di shaf yang pertama, namun pada suatu hari ia terlambat sehingga sholat di saf yang kedua, ia pun merasa malu kepada jama’ah yang lain yang melihatnya sholat di shaf yang kedua. Maka tatkala itu ia sadar bahwasanya selama ini senangnya hatinya, tenangnya hatinya tatkala sholat di shaf yang pertama adalah karena pandangan manusia. (Tazkiyatun Nufus hal 15).
Berkata Abu ‘Abdillah Al-Anthoki, “Fudhail bin ‘Iyadh bertemu dengan Sufyan Ats-Tsauri lalu mereka berdua saling mengingat (Allah) maka luluhlah hati Sufyan atau ia menangis. Kemudian Sufyan berkata kepada Fudhail, “Wahai Abu ‘Ali sesungguhnya aku sangat berharap majelis (pertemuan) kita ini rahmat dan berkah bagi kita”, lalu Fudhail berkata kepadanya, “Namun aku, wahai Abu Abdillah, takut jangan sampai majelis kita ini adalah suatu mejelis yang mencelakakan kita “, Sufyan berkata, “Kenapa wahai Abu Ali?”, Fudhail berkata, “Bukankah engkau telah memilih perkataanmu yang terbaik lalu engkau menyampaikannya kepadaku, dan akupun telah memilih perkataanku yang terbaik lalu aku sampaikan kepadamu, berarti engkau telah berhias untuk aku dan aku pun telah berhias untukmu”, lalu Sufyan pun menangis dengan lebih keras daripada tangisannya yang pertama dan berkata, “Engkau telah menghidupkan aku semoga Allah menghidupkanmu”. (Tarikh Ad-Dimasyq 48/404).
Perhatikanlah wahai saudaraku… sesungguhnya hanyalah orang-orang yang beruntung yang memperhatikan gerak-gerik hatinya, yang selalu memperhatikan niatnya. Terlalu banyak orang yang lalai dari hal ini kecuali yang diberi taufik oleh Allah. Orang-orang yang lalai akan memandang kebaikan-kebaikan mereka pada hari kiamat menjadi kejelekan-kejelekan, dan mereka itulah yang dimaksudkan oleh Allah dalam firman-Nya.
“Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya.” (QS. Az Zumar: 48).
“Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfy: 104).
Maroji’:
  1. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, dar As-Salam, Riyadh, cetakan pertama Tahun 2000 masehi
  2. Al-Minhaj syarh Sohih Muslim, Imam Nawawi, Dar Al-Ma’rifah
  3. Jami Al-‘Ulum wa Al-Hikam, Ibnu Rojab, tahqiq Al-Arnauth
  4. Sittu Duror min Ushuli Ahlil Atsar, Syaikh Abdul Malik Romadhoni, maktabah Al-Asholah
  5. Tafsir Ibnu Katsir, tahqiq Al-Banna, dar Ibnu Hazm, cetakan pertama
  6. Fawaid Al-Fawaid, Ibnul Qoyyim, tahqiq Syaikh Ali Hasan, Dar Ibnul Jauzi
  7. Al-Ikhlash, Sulaiman Al-Asyqor, dar An-Nafais
  8. Silsilah Al-Ahadits As-Sohihah, Syaikh Al-Albani
  9. Aina Nahnu min Akhlak As-Salaf, Abdul Aziz bin Nasir Al-Jalil, Dar Toibah
  10. Waqofaat ma’a kalimaat li Ibni Mas’ud, transkrip dari ceramah Syaikh Sholeh Alu Syaikh
  11. Tazkiyatun Nufus, Ahmad Farid