Selasa, 27 Oktober 2015

MUBAI’ATULLAH





إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (Q.S. Al-Fath: 10)
Masdarnya adalah Mubai’atullah. Mubai’atullah terdiri dari 2 kata:
  1. Mubaya’ah, artinya melakukan transaksi jual beli. Ada 2 pihak yang terlibat. Ada penjual dan ada pembeli. Dalam bahasa Arab disebut musyarakah (kerja sama)
  2. Allah (lafazh yang paling tinggi) sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara, Penguasa jagat raya termasuk manusia.
Mubai’atullah dapat didefinisikan sebagai sebuah transaksi jual beli yang dilakukan oleh seorang mukmin dengan Allah Taala.
Untuk memahami lebih lanjut tentang mubai’atullah ada beberapa hal penting yang haus digarisbawahi:
  1. Ada penjual yang menjual sesuatu, yaitu mukmin
  2. Ada pembeli yang membeli, yaitu Allah Taala.
Allah adalah produsen dan sekaligus pembeli. Sedangkan orang mukmin sebagai penjual. Yang dijual orang mukmin adalah sesuatu yang berasal dari Allah dan sesuatu yang dibeli Allah adalah sesuatu yang diciptakan-Nya sendiri, yakni jiwa dan harta manusia. Ada nilai transaksi berupa surga dan ampunan-Nya.
Allah sebagai produsen dan sekaligus sebagai pembeli sedangkan manusia sebagai penjual, padahal ia bukan produsen sebenarnya, jadi bukanlah hal yang lazim. Namun itulah wujud kemurahan Allah, Dia menciptakan manusia dan memberikannya harta, namun Dia juga yang membelinya dengan nilai transaksi tidak tanggung-tanggung, yakni surga.
Keutamaan lainnya yang terdapat dalam transaksi jual beli dengan Allah ialah bahwa nilai tukar yang Allah berikan tidak sebanding atau jauh lebih besar dari barang yang dibeli-Nya. Manusia bila membeli sesuatu ternyata mendapatkan kualitas barang yang tidak sesuai dengan uang yang dibayarkannya, biasanya akan marah dan protes karena dianggap pihak penjual melanggar aturan main.
Namun Allah Taala yang Maha Pemurah dan Penyayang tidak demikian halnya dalam mencurahkan kasih sayang-Nya. Ayat-ayat dalam Al-Quran banyak menyebutkan bahwa Allah sangat besar karunia-Nya dan besar itu relatif, bisa 1 banding 1000 bisa 1 banding 1 milyar. Dan jika harta dan jiwa kita jual kepada Allah, lalu dibeli-Nya dengan surga (Q.S. At-Taubah: 111), As-Shaff: 10-11) itu berarti sudah tiada bandingnya. Apalagi dalam hadits disebutkan,
قَالَ اللَّهُ أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّالِحِينَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَر
“Telah aku siapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shaleh surga yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga dan tidak tergambarkan oleh pikiran manusia.”
Oleh karena itu generasi Islam yang pertama, tahu betul tentang rahasia Allah, maka mereka semua pun terlibat dalam transaksi mulia tersebut.
Implementasi mubai’atullah terwujud dalam suatu kewajiban atau aktifitas muslim yang sangat berat, yaitu jihad fi sabilillah. Rasulullah saw. bersabda, “Maukah kamu akan aku tunjukkan bahwa pokok persoalan itu terletak pada Laa ilaaha illallah, kemudian tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.

Mengapa dikatakan puncaknya adalah jihad?

Pertama, karena hanya dengan jihadlah umat akan memiliki izzah atau martabat. Seorang ulama mengatakan bahwa tidak ada izzah tanpa jihad. Kalau shalat semua orang bisa melakukan shalat, tetapi tidak secara langsung berdampak izzah terhadap umat. Hal terpenting dalam kehidupan umat Islam adalah izzah. Al-Qur’an menyatakan izzah itu hanya milik Allah, Rasul dan umat Islam. Bila di negeri muslim sendiri Islam dianggap asing, nilai-nilai Islam tidak lagi dianut dan malah cara barat yang dipakai dan ditiru, maka izzahnya akan dicabut Allah.  Salah satu faktor yang bisa meniadakan izzah adalah meninggalkan jihad fi sabilillah.
Kedua, jihad merupakan ibadah dan kewajiban yang menuntut harta dan jiwa sekaligus. Bila kita puasa atau shalat, keduanya tidak menuntut kita untuk memberikan harta dan jiwa. Kemudian jika kita pergi haji yang dituntut hanya harta dan tidak jiwa.
Puncak ketinggian umat Islam akan menyebabkan seorang mukmin dapat izzah (kemuliaan) di sisi Allah, namun menuntut adanya pengorbanan harta dan jiwa. Allah Taala menggambarkan bagaimana sejarah sahabat dahulu yang paham akan jihad. Dalam surat Al-Fath ayat 18-19,
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا. وَمَغَانِمَ كَثِيرَةً يَأْخُذُونَهَا وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka bermubaya’ah (berbaiat atau berjanji setia) kepadamu (Rasulullah) di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). Serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Mubaya’ah dengan Rasul merupakan implementasi mubaya’ah dengan Allah. Betapa generasi sahabat yang pertama tahu dan paham serta tidak mengendorkan semangat mereka untuk mubaya’ah dengan Allah. Bila kita lihat misalnya peristiwa Hudaibiyah, dilihat dari target-target materialnya, isi perjanjian itu benar-benar merugikan. Para sahabat memang sempat gelisah, kecewa dan bertanya-tanya bahkan Umar ra. Kecewa sekali dan bertanya, “Alasta Rasulullah?” (Bukankah engkau adalah utusan Allah?)
Mereka kecewa karena belum dapat mencerna mengapa harus mengalah seperti itu kepada kaum kafir Quraisy. Namun Allah kemudian menurunkan ketenangan hati mereka dan mereka menjadi teringat baiat mereka kepada Rasulullah. Mereka akhirnya paham bahwa perjanjian itu hanyalah sebuah strategi yang berujung dengan kemenangan berupa penaklukan kota Mekkah (Fathu Mekkah) tidak lama setelah itu. Ada nikmat banyak yang mereka peroleh yaitu balasan yang tidak hanya ukhrawi tetapi juga duniawi.
Ibrah yang dapat kita ambil  untuk dijadikan motivasi adalah bahwa jika Allah membebani kewajiban yang harus dikerjakan hamba-Nya, maka Dia tidak hanya memberikan pahala di akhirat, melainkan juga imbalan-imbalan konkret di dunia. Allah Maha Tahu bahwa faktor-faktor duniawi adalah faktor pendukung yang berguna untuk sampai ke akhirat nanti.
Kita bisa melihat di dalam Al-Qur’an yang dimaksud ketenangan jiwa adalah kenikmatan duniawi yang membuat mereka tidak gelisah dan tidak menjadi kafir. Kemudian masalah harta rampasan, sama halnya dengan orang pergi berdagang, pulang membawa harta, maka orang yang berperang di jalan Allah pun pulang membawa harta. Allah tidak menuntut apa-apa, bahkan memberikan peluang material achievemen (hasil material) kepada para mujahid.  Hanya saja yang perlu dijaga adalah masalah motivasi yang utama, yakni ridha, surga dan ampunan-Nya. Ketika Allah mengatakan,
وَلَلآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الأُولَى
 “Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan.”
Maksudnya bukan  berarti bahwa dunia tidak baik, melainkan akhirat itu lebih baik lagi dibanding dunia. Di dunia makan enak, di akhirat jauh lebih enak lagi. Di sini minum susu, di sana juga minum susu. Hanya di surga ada sungai susu yang tidak perlu disterilkan lagi. Di dunia kita  minum susu sedikit, di sana bisa dan mampu minum susu sepuas-puasnya. Jadi baik kualitas maupun kuantitas nikmat di dunia jelas kalah jauh dibanding nikmat di akhirat.
Sehingga kita tidak boleh berbai’ah dengan orientasi duniawi, yaitu mencari kemashuran, keuntungan atau ghanimah, melainkan harus dalam rangka menegakkan kalimat Allah. Dan seandainya kita pun mendapatkan ghanimah, kita harus memenejnya secara benar seperti aturan main yang ada dalam surat Al-Anfal.
Para sahabat paham benar dengan Q.S. At-Taubah: 111) bahwa untuk mendapatkan surga harus dengan jihad di sabilillah dan tidak cukup dengan harta, melainkan juga harus dengan jiwa. Alternatif pilihannya hanya dua, yakni membunuh atau dibunuh dan itu janji Allah yang sudah tertera di Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan janji Allah pasti benar.
Untuk dapat memahami bai’ah kepada Allah harus dipahami beberapa hal mendasar berikut ini:
  1. Bai’ah tidak mungkin terjadi, kecuali melalui proses keimanan yang benar. Jika keimanan seseorang belum benar dan mantap sulit baginya untuk berbai’ah karena untuk itu dituntut pengorbanan setiap saat. Persatuan akidah menjadi landasan persatuan umat yang akan dibangun. Selama belum ada kesatuan persepsi tentang akidah, akan sangat sulit untuk mempersatukan umat. Demikian pula masalah membeelakukan kewajiban jihad.
  2. Jihad fi sabilillah membutuhkan perngorbanan harta dan jiwa. Artinya Allah memerintahkan kita mempersiapkan iman dan kemudian harta serta jiwa. Kewajiban jihad harus didahului dengan mewajiban mencari harta, karena jihad perlu pendanaan yang besar. Misalnya dulu di Afganistan, harga satu roket stringer US $ 40.000, apalagi sekarang. Itupun kalau roket tersebut tepat mengenai sasaran, jika tidak hilanglah uan gsebsar itu. Budget pendidikan seluruh Indonesia dibandingkan budget untuk militer seper berapanya? Untuk mendirikan stasiun TV diperlukan modal 100 juta dolar. Jika uang itu digunakan untuk membeli roket stringer berarti hanya untuk 25 stringer atau 25 kali tembakan. Jika satu hari ditembakkan satu roket, berarti hanya cukup untuk 25 hari. Sementara stasiun TV bisa bertahan puluhan tahun. Belum lagi untuk yang lainnya, seperti harus melintasi dan melewati gunung. Jihad tidak akan langgeng jika hanya mengandalkan kantong orang lain. Misalnya perang Afgan yang sebelumnya didanai negara-negara Teluk (Arab), ketika terjadi perang teluk dana tersebut dialihkan untuk membayar As dan sekutu-sekutunya.
  3. Hasil yang akan diperoleh dari jihad fi sabilillah melingkupi kemenangan individu bagi mujahidnya, yaitu diampuni dosanya dan di akhirat mendapat jannah ‘adn. Ada lagi kemenangan jama’i (komunitas) yang sifatnya di dunia yaitu penaklukan-penaklukan sebagai persyaratan dan peluang untuk menegakkan syariat Allah. Jadi mubaya’ah dengan Allah ada imbalan individual dan komunal. Namun tentu saja diperlukan kekuatan motivasi, persiapan dan strategi-strategi. Hadits Rasulullah saw. memberikan motivasi yang besar, “Dari Miqdad. Syahid itu di sisi Allah mendapat enam perkara; kelebihan pertama diampuni dosa pada awal syahid, kedua melihat tempat duduknya, dilindungi dari azab kubur, keempat Allah lindungi dari ketakutan pada hari kiamat, kelima Allah letakkan di kepalanya mahkota dari ya’qut lebih baik dari dunia dan isinya dan keenam Allah nikahkan dia dengan 72 bidadari dan dia dapat memberi syafaat 70 orang”.

Wallahu’alam bisawab

Rabu, 21 Oktober 2015

BERITA DUNIA ISLAM

Sepinya Pemilu & Tanda-tanda People Power di Mesir
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgTKNIje_cX33qxtbNwMptfgLgaLv6hQ4N9FcYfaixluNaxP_n8BzwuQyInHJfcz0AdKxm6vqW2tz7PKDIk5FwtzE3CdLsFrO_7SXOjzVUg7Ey3xq_dpt7Pjj7nWyijnZ8I3ughib3UXDY/s1600/mesir.jpg

Oleh Chandra HafizunAlim

Disitus
 middleeastmonitor.com menyebutkan tingkat partisipasi rakyat Mesir dalam mengikuti pemilu parlemen baru-baru ini hanya sebesar 2,27% dari 27 juta pemilih atau hanya sekitar 612 ribuan yang ikut mencoblos.

Keadaan ini sangat jauh berbeda ketika pemilu parlemen untuk pertama kalinya pasca tumbangnya Mubarak (Pemilu 2011-2012). Di mana Ikhwanul Muslimin memenangkan pemilu parlemen pada saat itu; masyarakat berbondong-bondong memilih wakil rakyatnya. (Partai Ikhwan FJP FJP meraih 47,18% suara)

Para peneliti politik di seluruh dunia sudah mafhum, kondisi rendahnya partisipasi publik dalam pemilu adalah bukti paling kuat rendahnya kepercayaan publik terhadap pemerintah atau partai yang ada.

Kondisi di Mesir saat ini sangat mengherankan sekali. Betapa pemerintahan kudeta As Sisi yang selama ini mengaku-ngaku mendapatkan dukungan rakyat, nyatanya tidak mempunyai dukungan atau legitimasi dari rakyatnya sendiri.

Dari sini terlihat bahwa rakyat Mesir sedang menghukum As Sisi. Dan kudeta yang dilakukan As Sisi terhadap Mursi semakin menunjukkan bahwa kudeta tersebut hanyalah dusta dan manipulasi.

Kondisi Mesir saat ini ibarat
 bom waktu yang siap meledak. Ledakan tersebut tercipta bergantung pada kerjasama semua elemen masyarakat, tidak terkecuali militer di dalamnya. Bercermin dari kesuksesan gerakan People Power yang berlangsung secara damai di Filipina, di mana semua elemen masyarakat ikut terlibat di dalamnya. Bahkan pembelotan militer pun terjadi. Kelompok pro-Mursi tidak bisa mengabaikan satu elemen People Power, dalam hal ini militer, walaupun militerlah yang menyiksa mereka secara kejam. Saya percaya tidak semua militer di Mesir seperti As Sisi cs.

Dalam sejarah, setidaknya ada
 tiga kelompok militer ketika di dalam negaranya dipimpin oleh orang zalim: Pertama, menjadi pendukung bagi pemimpin zalim tersebut. Mereka datang menyiksa lawan-lawan politik pemimpin zalim tersebut. Biasanya mereka adalah perwira-perwira papan atas yang haus harta, tahta, dan wanita.

Kedua, kelompok militer yang diam menyaksikan kezaliman tersebut. Mereka diam karena tidak ingin terlibat dalam kezaliman itu namun disisi lain mereka tidak punya kemampuan untuk menghentikan kezaliman itu. Mereka berharap akan ada pemimpin lainnya yang berani menggerakkan rakyat untuk melawan pemimpin zalim itu. Ketika kemenangan rakyat di depan mata, mereka tampil sebagai penguat atau melegitimasi kemenangan tersebut.

Ketiga, mereka yang menentang pemimpin zalim tersebut secara terang-terangan. Kebanyakan mereka bukan dari perwira papan atas. Pengaruh mereka tidak begitu besar dikalangan militer tapi dapat dijadikan penggerak revolusi dan melakukan pendekatan kepada kalangan militer lainnya.

Dari ketiga kelompok militer di atas, setidaknya dua kelompok militer dapat diajak kerjasama. Hanya saja perlakuannya berbeda. Untuk kelompok militer ketiga sudah jelas. Sedangkan untuk kelompok militer kedua, karena mereka diam, mereka juga harus diajak secara diam-diam. Maka permainan intelejen harus dijalankan agar dapat menggerakan mereka.

Saya merasa yakin bahwa revolusi di Mesir akan terjadi, melihat dari situasi dan kondisi yang terjadi di Mesir saat ini. Dapat dilihat dari tanda-tandanya, selain rendahnya partisipasi rakyat dalam pemilu sebagai faktor politik, juga karena faktor perekonomian Mesir yang semakin terpuruk.
 Almesryoon.commelaporkan, krisis ekonomi di Mesir telah memburuk menempatkan masa depannya beresiko dan menjurus kepada kebangkrutan.[]


Intifadhah Pisau: Kekalahan Memalukan Israel
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHO0hprVHrSENsBRRIyxEsZ7QtQQVo8LHhVqx_TNsRoNN0_DkiY5U1OZeggCKfzETtH9pox-puP6dnCf8Qqzbx4d05DCIP9259FNU-mO5Dl0Tm1cvIomCnpY2NqzGdB3z7bIxEWRGr-o4/s1600/ShowImage.ashx.jpg

By: Nandang Burhanudin

(1) Bangsa Palestina, bangsa yang tidak mengenal kata MUSTAHIL. Intifadhah I, sukses memaksa Israel ke meja perundingan Oslo I. Intifadhah II, membuat Israel menarik mundur dari jalur Gaza. Intifadhah III melahirkan 6 kesuksesan sekaligus.

(2) Pertama: Intifadhah III sukses mempersatukan barisan Palestina di wilayah-wilayah teritori yang selama ini terisolir, baik letak geografis maupun administrasi. Tepi Barat, Jalur Gaza, Al-Quds, dan area 1948 kini satu suhu.

(3) Kedua: Intifadhah III mengindikasikan suksesnya Al-Harakah Al-Islamiyyah di bawah komando Syaikh Raid Shalih, Al-Harakah Al-Islamiyyah yang baru divonis penjara 11 tahun 3 bulan dengan tuduhan "provokator kerusuhan."

(3) Syaikh Raid Shalih, salah seorang pimpinan Ikhwanul Muslimin di Palestina. Dikenal sebagai Syaikh Al-Aqsha. Israel menyebutnya dengan julukan "Sayyidul Haram". Al-Harakah Al-Islamiyyah adalah gerakan Islam di dalam negeri Israel.

(4) Ketiga: Intifadhah III berhasil menghadirkan senjata perlawanan baru, yang mudah didapat yaitu pisau. Senjata yang ternyata sangat menakutkan Israel, yang anggaran militernya baru dinaikkan 4 kali lipat.

(5) Keempat: Intifadhah III melahirkan generasi baru perlawanan. Generasi yang nampak semakin siap dan matang melakukan perlawanan bersenjata melawan Israel. Hal yang membuat nyali militer kecut dan surut.

(6) Kelima: Intifadhah III menjadi warning bagi Israel, dimana rakyat Palestina memiliki kemampuan melakukan operasi bersenjata langsung di wilayah-wilayah yang dikuasai Isarel.

(7) Melihat Israel tak berdaya. Ban Kin Moun, Sekjen PBB langsung datang berkunjung. Satu indikasi bahwa Israel kalah. Sepanjang sejarah Israel berdiri, tidaklah pejabat AS-UE-atau PBB datang menajadi penengah, melainkan Israel dalam kondisi tak berdaya.

(8) Intifadhah III membalikkan keadaan. Israel yang selalu mendikte, kini harus menerima kenyataan bahwa anak muda Palestina sadar perdamaian palsu dan demonstrasi damai, hanya bagian dari kehinaan.

(9) Israel boleh bangga dengan rudal canggih terbaru dari AS. Tapi rudal dan alat tempur canggih itu tak mampu menjamin keselamatan warganya dari ancaman tikaman pisau.

(10) Intifadhah Pisau benar-benar membuat mati kutu intelejen Israel. Mereka tidak mampu melakukan cegah tangkal. Sebab pelakunya bisa siapa saja. Bisa sosok aktivis jihadis, bisa juga ABG sekularis, atau bisa kaum terpelajar bisa tidak.

(11) Mari menjadi saksi sejarah
 The Pampers Army. Mereka menghadapi bangsa yang mencintai kematian, sebagaimana mereka mencintai kehidupan. Itulah bangsa Palestina, yang kini membuat malu dunia Islam dan dunia Arab.

(12) Seandainya saja bangsa Arab terbuka hatinya. Senjata yang dimiliki negara kecil Kuwait, cukup untuk mengalahkan Israel asal yang berjuangnya seberkualitas pasukan HAMAS dan jihad Islam.


Selasa, 20 Oktober 2015

SYURA



وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
 “Dan (bagi) orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (”Asy-Syura: 38).

Mukadimah

Syura Sebagai Ketaqwaan Jama’ah, Kekuatan, Serta Kemerdekaan Individunya dan Hak-hak Mereka Sebagai Manusia.
Perselisihan kerap kali mengundang pertarungan dan perdebatan yang tidak akan pernah berakhir. Seperti perdebatan tentang adakah demokrasi dalam Islam, dan apakah hasil musyawarah itu mengikat ataukah tidak. Hal ini terjadi karena tidak ada kesepakatan mengenai definisi syura sebagai sesuatu yang wajib menetapi, masyurah (memberikan pendapat) dan istisyarah (meminta pendapat) yang fakultatif dipandang dari segi keharusan menetapinya. Pada hakikatnya kesengajaan tidak mau mengetahui perbedaan dapat menyebabkan mereka menggeneralisasikan dalam memberikan hukum terhadap kedua istilah tersebut. Penyamarataan inilah yang menyebabkan munculnya perselisihan tegang di seputar topik ini.

Definisi

Terdapat perbedaan dan perselisihan pendapat dalam definisi syura. Perbedaan tersebut disebabkan tidak adanya kesepakatan terhadap definisi: syura (sesuatu yang wajib menetapi), masyurah (memberikan pendapat) dan istisyarah (meminta pendapat).
Secara praktis, istilah masyurah dan syura sering dipakai dengan makna yang sama. Arti Syura secara umum mencakup segala bentuk pemberian advis (pendapat) dan musyawarah (bertukar pendapat). Sedangkan artian sempit, Syura adalah ketentuan yang harus ditetapi sebagai hasil keputusan jama’ah. Selanjutnya harus dibedakan antara definisi syura secara umum (luas) dan artian sempitnya.
Asas syura ¾dalam arti universal¾ adalah: bahwa eksistensi jama’ah, hak-hak dan tanggung-jawabnya diambil dari solidaritas seluruh individu sebagai bagian darinya. Pendapat jama’ah merupakan pendapat keseluruhan, pemikirannya sebagai hasil pemikiran mereka, akalnya pun akal mereka. Kehendaknya merupakan kehendak seluruh individu. Kehendak diputuskan berdasarkan ketetapan yang mereka ambil berdasarkan hasil tukar pikiran, dalam hal ini siapapun diberikan kebebasan mengeluarkan dan membantah pendapat.
Jama’ah bukanlah sesuatu yang terpisah dari individunya, keberadaan seorang dalam jama’ah telah memberikan kepadanya hak yang fitri dan syar’i. Namun demikian, diisyaratkan bahwa pada akhirnya ia harus mengakui dan menetapi ketetapan jama’ah yang ditetapkan oleh jumhurnya yang disebut aghlabiyyah (mayoritas). Hak pribadi dalam syura merupakan haknya dalam kebebasan dan hak-hak asasi manusia (HAM) yang diambil dari fitrahnya dan syari’at Allah sebagai manusia.
Keharusan berkomitmen atas ketetapan jama’ah inilah yang membuat jama’ah sebagai “sumber kekuasaan hukum”. Jama’ahlah yang menetapkan pembagian kekuasaan, mengatur dan memilih orang yang menempati pos-pos kekuasaan sekaligus mengontrol dan mengoreksinya. Setiap keputusan harus mengikutsertakan individu dalam musyawarah yang bebas. Sehingga ketetapan tidak akan dianggap sebagai hasil keputusan jama’ah ¾dalam arti sebagai sesuatu yang benar¾ jika tidak mengikutsertakan sebagian anggota jama’ah (mukalaf dan sehat) dalam musyawarah.

Syari’at Fitrah

Syari’at Islam adalah syari’at fitrah, dan berarti syari’at Islam adalah syari’at syura, yang dalam menetapkan sesuatu tidak terbatas pada hak-hak pribadi tapi juga hak-hak jama’ah. Di sisi lain, dalam Islam terdapat metode masyurah, (memberi pandangan, bertukar pendapat, meminta pendapat dari orang yang berpengalaman, nasihat, saling mempercayai) yang bersifat fakultatif diantara umat. Hal ini menunjukkan bahwa agama Islam mengutamakan agar masyarakat meminta pendapat dari orang-orang berpengalaman sebelum menetapkan apapun baik secara pribadi maupun jama’ah.
Penetapan mabda syura dalam syari’at pada hakikatnya ditujukan kepada umat dan jama’ah. Jika individu saja boleh menggunakan akal ¾yang menjadi syarat kedewasaan dan dasar sah dalam menetapi hukum syara¾ dan diperbolehkan memilih, maka jama’ah (kumpulan individu yang berakal dan dewasa) tentu saja lebih penting untuk dianggap dewasa dan mukalaf. Jama’ah memiliki hak kebebasan mengurusi dirinya, merupakan hasil yang pasti dari apa yang diperoleh dari hasil individunya, berupa hak memilih dan memberi kebebasan mengurusi diri mereka sendiri. Dari sinilah lahir metode syura secara kolektif yang harus ditetapi, sebagaimana hal itu menjadi asas pula bagi masyura, istisyarah fakultatif, dan nasihat di antara mereka.

Masa Depan Syura

Fitrah manusia sebagai sumber syura yang merupakan manhaj bagi solidaritas, keadilan sosial dan kedewasaan berpolitik, akan menjadikan masa depan kemanusiaan tampil dalam bentuk menghormati prinsip kebebasan syura dan konsisten dengan bentuknya yang komprehensif, yang sanggup menutupi kelemahan demokrasi. Tegaknya kedaulatan syari’at sangat didukung oleh hakikat sejarah dan banyak orang yang terpengaruh serbuan informasi yang rancu akan kemaslahatan.
Informasi tersebut disebarkan oleh kelompok yang berusaha keras membendung nilai-nilai Islam dan menghentikan aktifitas para da’inya. Mereka bersembunyi di balik syiar demokrasi dengan mengaku bahwa demokrasi adalah kebebasan, sedang syura adalah kungkungan. Mereka terkesan menegakkan demokrasi, padahal mereka tidak konsisten dengan penerapannya. Kebebasan mereka pada hakikatnya adalah kebebasan undang-undang buatan manusia dan negara diktator yang diberikan kepada siapa yang mereka kehendaki saja. Memberikan kebebasan kepada para pendukung penguasa saja, tidak kepada yang lain. Ketika “kewajiban”demokrasi itu berlawanan dengan kepentingan mereka, maka tiada kaitannya dengan budi pekerti dan akidah, hak menggunakan kekuasaan tak boleh terikat oleh hukum Allah atau syara.  
Kediktatoran para penguasa masa kini lebih berbahaya karena para penguasa sekarang merebut kekuasaan legislatif lalu menciptakan undang-undang sendiri yang dipergunakan untuk memperluas kekuasaan mereka dan memberi jalan kepada para pendukungnya untuk melakukan tindakan yang disukainya. Undang-undang yang memalsu aspirasi rakyat digunakan dalam praktik pemilihan yang biasa berlaku, untuk membasmi setiap perlawanan terhadap kesewenang-wenangan mereka dan memberikan legitimasi terhadap pemerintah mereka yang mereka paksakan atas manusia.
Kebangkitan Islam menuntut berlakunya syari’at yang harus memiliki dua tujuan:
Melenyapkan penyelewengan lama yang dimulai oleh para penguasa negara Islam pasca Khulafaur Rasyidin, yang memang telah menghalangi banyak bangsa untuk ikut memilih para penguasa dan mengontrol mereka.
Melakukan langkah-langkah positif terhadap penyelewengan masa kini yang memberi kesempatan kepada sebagian sultan untuk meniadakan kekuasaan syari’at dan mengeluarkan undang-undang yang mereka ciptakan sesuai kehendak mereka.
Mabda syura dan masyurah atau teori syura yang universal dengan pengertiannya yang luas mencakup seluruh bentuk tukar pikiran, saling menasehati dan berdiskusi secara bebas. Keuniversalan syura dilihat dari sudut:
Syura dalam artinya yang luas dan umum meliputi setiap bentuk tukar pendapat, termasuk mereka yang mengeluarkan dan karakternya.
Syura tidaklah berbentuk khusus yang terbatas pada kekuasaan dalam menggunakannya dengan ketetapan wakil umat yang dikeluarkan dengan syura. Syura merupakan asas dari kemerdekaan pribadi dalam jama’ah yang memberikan haknya yang fitri dalam ikut serta menghasilkan ketetapan-ketetapan secara kolektif.
Pada hakikatnya tujuan syura adalah keadilan yang menegakkan keseimbangan secara proporsional di antara kemerdekaan individu dan jama’ah dari satu segi, dan keberadaan kekuasaan umum yang mewajibkan batas-batas secara fitri dari segi yang lain. Menetapkan mabda syura berarti mengisyaratkan dengan istilah hurumat atau hal-hal yang patut dihormati: aqidah, jiwa, akal, kehormatan, harta dan sebangsanya. Memelihara segala yang patut dihormati berarti memuliakan manusia sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Qurán.

Syura Sebagai Pemuliaan dan Bimbingan

Al-Qurán mewajibkan bertukar pendapat sebagai dasar dari eksisitensi masyarakat dan solidaritas beserta sistem-sistemnya, dengan tujuan agar tukar pendapat secara bebas dijadikan kaidah bagi solidaritas dalam kebebasan berpendapat antara individu. Ikhwal pemuliaan kemanusiaan telah ditegaskan dalam Al-Qur’an yaitu ketika Allah memerintahkan kepada para malaikat agar bersujud kepada Adam setelah sebelumnya Allah menerangkan kepada mereka dengan ilmu, fikiran dan akal. Rasulullah Saw telah mengatur umat agar syura dijadikan sebagai asas bagi kemerdekaan individu dan jama’ah serta kesatuan tanggung-jawabnya. Dengan demikian Allah mewajibkan kepada jama’ah agar menjadikan syura sebagai sendi bagi sistemnya dan sebagai kesetiakawanan antar individu.
Kedewasaan merupakan dasar dalam metode syura. Dimana kedewasaan termasuk dalam kesempurnaan nikmat dan kesempurnaan agama dengan misi Islam dan syari’atnya.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
 “….Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagi mu……..”(Al-Maidah: 3).
Allah mengamanatkan kepada jama’ah agar menentukan sendiri ketetapan tentang berbagai persoalan, dengan demikian umat yang dewasa berhak untuk dinyatakan dalam Al-Qur’an baik jama’ah maupun individu.
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat. Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka……”(Asy-Syura: 38).
Penetapan mabda syura dalam Al-Qur’an merupakan pertanda datangnya era baru bagi kemanusiaan yang dewasa, yaitu masa baru yang diwujudkan oleh syura atas dasar hak bangsa dalam menentukan nasib serta mengatur diri mereka sendiri manakala mereka percaya dengan Tuhannya dan berjalan diatas manhaj Allah. Oleh kareana itu Islam mewajibkan Syura dalam segala segi kehidupan.

Syura Sebagai Kaidah Sosial

Sebanarnya syura dalam Islam bukanlah semata-mata sebagai teori politik atau sebagai kaidah dustur pemerintahan seperti diduga sebgian orang. Akan tetapi syura merupakan landasan syar’I bagi sistem masyarakat yang mau menetapi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kekauasaan rakyat serta kesetiakawanan sosial. Secara umum syura tidak terbatas dalam kerangka sistem pemerintahan Islam semata, tidak pula terbatas pada mabda-mabda yang mengikat para penguasa akan tetapi syura memilki jangkauan yang lebih mendalam, kajian syura dimulai dengan pokok syari’at Islam dimana manusia berhak mengambil hak asasi dan kemerdekaannya, demikian pula umat yang mengambil kekuasaan.
Dalam kaitan ini batapa pentingnya membedakan syura dengan demokrasi politik karena mabda tasyawur (tukar pendapat) dan syura terpusat pada kepentingan mengorbankan pikiran untuk mengambil sebuah keputusan dan terpusat pada keharusan memberi kesempatan bagi seluruh anggota jama’ah untuk ikut serta dalam dialog pemikiran. Dalam ilmu Fikih kerja fikir untuk menentukan sebuah keputusan disebut Ijtihad. Para ahli Fikih memasukan bidang kajian dengan istilah as-Siyasah asy-Syari’ah (politik yang berdasarkan syari’at). Yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan jama’ah serta menuruti tuntutan dan kehidupan individunya baik yang bersifat materia maupun non material.

Sebuah Prinsip Yang Signifikan Dalam Bangunan Teori Umum Syura

Pemisahan syura dalam fiqh dan syura dalam bidang pemerintahan dan politik, hal yang terpentingan dalam pokok syari’at yakni pemisahan syari’at dari pemerintahan dan para penguasa. Dengan demikian dibutuhkan adanya syura dalam kerangka fikih berupa tukar pendapat dan dialog ilmiah yangn terpisah dari dialog politik dan pemerintahan.
Kaitan syura dengan syari’at menjadikannya tunduk pada norma akhlak yang tetap dan komitmen dengan kekuasaan syari’at. Syura dalam Islam merupakan prinsip kemanusiaan, sosial dan konstitusional bagi sistem pemerintahan.

Syura Dalam Teori

Mabda dan Manhaj (Metode)

Pada masa sekarang tampak aktif gerakan ilmiah perundang-undangan dengan tujuan melakukan reformasi dalan Fikih Islam dan memperkayanya dengan studi modern. Dalam hal ini teori-teori, prinsip-prinsip dan hukum-hukumnya diutarakan dalam bentuk baru yang memberi kemampuan bagi generasi sekarang untuk mengeluarkan hukum yang lazim demi menghadapi kasus baru (Fikih Naluri).
Studi syura telah membuka tabir bahwa akar syura yang Islami dan kaidah syari’at telah membedakannya dengan Barat. Teori universal tentang syura dimulai dengan mempelajari kaidahnya dalam sumber yang sah. Teori universal bagi prinsip Syura ialah bahwa teori itu membuka tabir bagi kita tentang ciri-ciri khusus yang membedakannya dari teori-teori Eropa.

Ia Tunduk Kepada Syari’at Dan Terkait Dengannya

Ia bukanlah filsafat ataupun doktrin. Ia adalah prinsip sosial murni dan metode kesetiakawanan sosial yang komprehensif
Keluasan kerangkanya mencakup seluruh urusan masyarakat dan pribadi. Maka hal itu mengharuskan adanya variasi hukum-hukumnya dikarenakan banyaknya bidang garapan.

Prinsip syura dalam Sunnah

Sunnah Amaliyah

Abu Hurairah berkata, “Saya tidak pernah melihat seorang yang paling banyak melakukan musyawarah dengan rekan-rekannya kecuali Rasulullah.” Perbuatan ini telah meyakinkan bahwa prinsip syura senantiasa dipegang teguh dalam segala bentuknya yang universal. Banyak peristiwa yang Rasulullah senantiasa meminta pendapat kepada para sahabatnya. Rasulullah tidak pernah memberi wasiat mengenai siapa yang akan menggantikan beliau memimpin pemerintahan. Tujuannya agar pengarahan terakhir beliau adalah berupa isyarat kepada kewajiban umat membuat sistem sosial dan politik dengan jalan Syura yang berdasarkan kaidah yang telah ditetapkan dalam Al-qur’an maupun Al-Hadits.

Sunnah Qauliyah

Terdapat banyak hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah yang mengharuskan adanya tukar pendapat dan syura, di antaranya adalah:
Diriwayatkan dari Ali ra ia berkata, “Wahai Rasulullah, perkara Khalifah turun kepada kita, sesudah engkau, tanpa Qur’an turun mengenai itu.” Maka Nabi berkata, “Kumpulkanlah orang yang beribadah dari umatku untuk kepentingan itu dan jadikanlah perkara ini syura di antaramu.
Nabi bersabda bahwa, “Tidaklah bermusyawarah suatu kaum melainkan mereka akan menunjuki kepada perkara mereka yang paling benar.”
Diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau ditanya tentang ‘azam dalam firman Allah (jika kamu telah berazam maka bertaqwalah kepada Allah) lalu beliau menjawab, “Musyawarah dengan ahli pendapat lalu mengikuti mereka.

Ijma Sebagai Sumber Ketiga Syura

Kaum muslimin telah bersepakat tentang kewajiban syura, kendati terjadi penyelewengan yang menyebabkan penghapusan baginya dalam memilih para penguasa. Kesepakatan umat atas kewajiban syura bukanlah hal baru bahkan itu merupakan prinsip pertama yang telah disepakati para sahabat. Ijma mengandung banyak ketetapan yang berbentuk legalisasi konstitusional dan ketetapan lain yang berbentuk politik:
Pengangkatan Ulil Amri atau penguasa adalah salah satu objek yang harus diselesaikan dengan musyawarah dan harus berkomitmen dengan ketetapan yang dikeluarkan setelah syura, baik dihasilkan dengan suara bulat atau dengan suara terbanyak.
Kalau tidak bisa dicapai dengan suara bulat maka ketetapan diambil dari suara terbanyak dalam syura. Artinya pendapat mayoritaslah yang harus diambil, inilah yang berlaku dalam sistem demokrasi yang berlaku
Syura memiliki ruang lingkup kerangka yang lebih luas karena wajib dipraktekkan di seluruh masalah legalisasi dan konstitusi belum lagi ketetapan-ketetapan politik dan eksekutif.

Unsur-unsur Fundamental Berkaitan Dengan Operasional Syura

Keikutsertaan individu jama’ah (khalayak umum dan orang-orang tertentu yang berkaitan dengan urusan yang bersifat umum demi menciptakan kesetiakawanan jama’ah).
Kebebasan mengeluarkan pendapat bagi individu jama’ah, baik khalayak umum atau orang-orang tertentu dan hak mereka dalam mendiskusikan pendapat seluruhnya dengan penuh kebebasan sebelum memilih ketetapan yang harus diambil. Dan semua orang harus menetapinya sebagai ketetapan jama’ah atau umat.
Tujuan dari dialog adalah agar jama’ah dan individu dapat menimbang di antara banyak pendapat dengan sifat yang adil.
Mengutamakan pendapat yang berlainan secara objektif adalah dilihat dari sudut dimensi masing-masing.
Ketetapan keluar manakala memperoleh suara bulat atau setidak-tidaknya suara terbanyak. Inlah syura mengenai ketetapan bersama atau syura dalam arti konstitusionalnya yang sempit.
Syura adalah metode yang jelas dan tegas untuk menjamin berkuasanya nilai-nilai fundamental dan teladan yang tinggi dalam syari’at ketuhanan. Dalam hal ini prinsip asasi yang penting adalah kemerdekaan dan keadilan.
Keistimewaan syura dalam hal ini adalah memberi kesiapan mental kepada orang yang akan mengeluarkan ketetapan dalam suatu masalah bahwa dasar mereka memilih suatu pendapat adalah karena mereka melihatnya lebih dekat kepada kebenaran dan keadilan dibandingkan dengan yang lainnya. Kemudian ia memperoleh legalitas dan kebenarannya dari dalil-dalil seperti ini serta disebabkan hasil tarjihnya.
Adapun yang menjadi penentu adalah dalil atau alasan ketika ketetapan itu ditegakkan. Bukan alasan menjadi topik dialog dan perkiraan lain dalam masyarakat, tempat dan massa yang berbeda. Jadi tidak dapat diragukan bahwa bervariasinya pendapat, pemikiran dan perencanaan lebih dapat diterima dan dibenarkan dalam kaitannya dengan unsur-unsur politik, ekonomi dan sosial yang menjadi topik syura.
Syaikh Syaltut menganggap bahwa syura merupakan salah satu cabang dari kerjasama dalam tanggung jawab sosial yang menurutnya cabang inilah yang asli. Ungkapan beliau ini menurut syaikh Muhammad Abduh disebut sebagai pondasi Syura. Oleh karena itu Rasulullah mewajibkan tukar menukar pendapat, nasihat kepada semua orang melalui sabdanya:
“Agama adalah nasihat. “kami bertanya, “ Untuk siapa wahai Rasulullah ?” beliau menjawab, “Untuk Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya. Imam kepada kaum dan umumnya dari orang mereka.” (Sahih Muslim).
Al-Ustadz Ahmad Mahmud al-Aqad telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menampakkan ciri kemanusiaan dan sosial bagi mabda syura yang beliau namakan demokrasi Islam, karena ia ditegakkan atas dasar hak-hak asasi manusia, kemerdekaan, persamaan dan kesetiakawanan serta kerja sama. Yang beliau maksudkan dengan demokrasi Islam ini adalah mabda syura dalam arti yang luas mencakup istisyarah dan nasihat, di samping syura konstitusional yang dapat menelurkan ketetapan melalui Ijma.
Syura yang harus dipegang teguh secara undang-undang dan konstitusi adalah hak jama’ah dalam mengambil ketetapan-ketetapan yang berkaitan dengan urusannya yang penting, hingga ketetapan itu tidak dipaksakan dari pihak asing atau dari minoritas yang mengambil kekuasaan dengan kekerasan. Tujuannya adalah melindungi kemerdekaan jama’ah dan hak dalam menentukan nasib dan memelihara wewenangnya dalam mengatur urusannya.

Syura dan masyurah fakultatif

Masyurah jamiyah, yang kita harus bersandar kepadanya untuk memperoleh ketetapan bersama dalam salah satu urusan jama’ah yang penting.
Istisyarah fakultatif, meminta pendapat atau nasihat dari orang yang berpengalaman dan ahli dan sifatnya fakultatif bagi orang yang memintanya.
Meminta fatwa fiqhiyah adalah salah satu macam dari istisyarah dalam hukum fikih. Dan bentuk merupakan pemberian pendapat yang bersifat fakultatif, tetapi ia mempunyai hukum khusus.
Di bidang fikih terkadang terjadi tukar pendapat di antara para ulama dan para ahli fikih yang tidak menghasilkan ketetapan secara ijma, tetapi menghasilkan ketetapan suara mayoritas. Namun perlu diketahui bahwa semua yang keluar dari para mujtahid, terutama ulama dan fuqaha yang belum sampai ketingkat ijtihad adalah fatwa ilmiah. Para fuqaha yang mujtahid dapat mengeluarkan ketetapan yang harus ditetapi dalam dua kondisi.
Kondisi ijma yang diakui oleh umat dan dipegang teguh secara umum sebagaimana mereka berpegang teguh dengan kitab Allah dan As-Sunnah Rasulullah.
Dibidang yudikatif, karena hakim mengeluarkan hukum yang harus dipegang teguh.
Fikih Islam mengharuskan bahwa keputusan harus dita’ati baik bagi qadhi yang mujtahid ataupun muqallid (mengikuti pendapat orang lain). Dan yang memperoleh nilai ini bukanlah pendapatnya pribadi melainkan pendapat madzhab yang diikuti.

Syura Dalam Ijtihad

Ijtihad adalah musyawarah Ilmiah dan Fatwa dalam Fikih

Ijma dan ijtihad merupakan dua sumber yang merenovasi fikih setelah dua sumber pokok yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ijtihad dapat berarti mencurahkan tenaga, akal dan pikiran dalam usaha mengenal hukum syara dan memahaminya. Hubungan ijtihad dengan mabda syari’at, kaidah dan tujuan ialah ilmu dan akal. Oleh karena itu agar syari’at dapat memberikan hak ijtihad bagi pribadi, ia mewajibkan adanya ilmu dan mewajibkan belajar dan merupakan kewajiban syar’i bagi setiap orang.
Umumnya manusia kebanyakan lemah dalam menetapi prinsip dan untuk mencurahkan segala waktunya untuk ilmu atau untuk mendalami fikih, sehingga fuqaha menentukan kriteria minimal dari ilmu yang harus dipenuhi oleh setiap individu muslim. Yang penting bahwa jatah individu dalam berijtihad sesuai dengan jatahnya dari segi ilmu, tapi umat yang awam membutuhkan sekelompok orang yang secara penuh berkerja keras berfikir untuk ilmu dan berkeahlian khusus didalam ilmu.
Ijitiad merupakan kewajiban perorangan dan kolektif. Ijtihad adalah hak dan kewajiban atas kaum muslim seluruhnya secara individu dan bersama.
Ijtihad pribadi, yaitu: setiap pribadi kendati pada dasarnya ia seorang muqallid, bekerja mengistimbatkan hukum untuk dirinya manakala hal ini dapat dikerjakan baginya dan dalam batas kemampuannya, karena adanya nash yang tegas dan jelas di mana ia dapat memahami nya dan mewajibkan dirinya menjalankan secara langsung.
Ijtihad perorangan, yaitu: apa yang dikerjakan seseorang dari beberapa orang yang memiliki spesialisasi dalam berijtihad yang diakui oleh orang banyak baik ulama ataupun awam bahwa ia adalah imam dalam fikih atau diakui suka mengemukakan fatwa dan istimbat hukum agar orang banyak dapat menerimanya dan menetapinya dengan kehendak mereka sendiri.
Ijtihad jama’i, yaitu: majelis atau lembaga yang terdiri sekelompok ulama mengerjakan tugas ijtihad dan berhak memimpin di bidang ilmu sebagai kelompok untuk menggantikan keberadaan satu imam.
Syura adalah keseimbangan antara kemerdekaan individu dan sitem jama’ah serta hubungan yang sempurna di antara keduanya. Ia adalah neraca yang saling menyempurnakan dan saling bahu membahu antara pribadi dan umat, ia adalah kesetiakawanan masyarakat dan persamaan di antara manusia dalam kebebasan. Kebebasan mengeluarkan pendapat dan mendiskusikannya dengan kebebasan yang terjamin di dalam jama’ah baik terdapat di dalam pemerintahan baginya atau tidak. Maka tidak ada nilainya bagi orang yang ikut serta didalamnya tapi tidak memiliki kebebasan yang sempurna.
Syura memiliki kaidah yang mendalam dan universal, karena ia memiliki keistimewaaan utama yaitu memperhatikan penjelasan mengenai cara sistem masyarakat ditegakkan di atasnya dan memperhatikan asas mengatur urusannya seacara menyeluruh.

Syura dan HAM

Mendirikan masyrakat syura dalam Islam dimulai dari pribadi dahulu bukan langsung di jama’ah. Hak pribadi diambil dari fitrah kemanusiaan yang berupa kebebasan dalam kerangka masyarakat yang saling menyempurnakan dan kesetiakawanan dengan teratur. Hak pribadi sebagai manusia tidak kurang pentingnya dalam kehidupan sosial dan politik ketimbang hak-hak bangsa. Sebagai mayoritas atau jama’ah yang masuk ke dalam kerangka jama’ah yang sesungguhnya, kemanusiaan membutuhkan suatu mabda yang menentukan talazun yang tidak dapat terpisahkan dan keseimbangan yang kekal antara hak majmu dan hak pribadi.
Pada dasarnya pribadi berhak memilih penguasa karena berafiliasi kedalam mayoritas rakyat. Namun pengertian syura dalam Al-Qur’an, individu tidak cukup mengambil kebebasannya dalam memilih para penguasa melalui keterlibatannya di dalam pihak mayoritas, bahkan ia harus mengambil kebebasan lain yang bersifat pribadi.

Kebebasan Syura Sebagai Kaidah Awal Bagi Pemerintahan Islam dan Konstitusi

Diantara yang disesalkan adalah bahwa sebagian pengkaji membatasi pembicaraannya dalam syura di tingkat penguasa menjalankan kekuasaannya ketika dia berkuasa. Perdebatan di antara merekapun meruncing terutama dalam masalah kekuasaan yang diberikan kepada penguasa dengan jalan sah itu memberi wewenang menjalankan segala urusan umat dalam rangka mewakilinya. Dan semua itu tanpa harus berkomitmen meminta advis atau menetapi pendapat jama’ah dengan syura. Juga tentang haruskah kekuasaan tersebut diikat dengan syura dan apakah dasar ikatan itu.

Kebebasan bagi ORMAS & Partai


Sistem masyarakat kita tegak di atas aqidah dan akhlak yang menjurus kearah pendidikan pribadi dan peningkatan standar prilaku, sedang prinsip syura bertujuan mewujudkan sikap saling menyempurnakan dan keseimbangan antara kebebasan pribadi dan jama’ah. Hal inilah yang dapat menghalangi terjadinya monopoli otoritas negara serta orang yang mewakilinya pada pemikiran tertentu.

Kamis, 08 Oktober 2015

Jiwar, Sebuah Perlindungan Bagi Dakwah Dan Para Dai


Jiwar adalah salah satu produk hukum musyrikin Arab yang berarti perlindungan atau suaka politik. Hukum ini menegaskan bahwa seorang tokoh di antara mereka boleh menyatakan dengan bebas untuk memberikan perlindungan kepada seseorang, sehingga siapapun tidak boleh menyakiti orang-orang itu sebagai penghormatan kepada orang yang melindungi dan pengakuan terhadap ketokohan, kehormatan dan pengaruhnya.

Ketika Rasulullah saw. kembali dari Thaif, beliau tidak bisa masuk ke kota Makkah kecuali dengan perlindungan dari seorang tokoh Musyrikin Quraisy yang bernama Al-Muth’im bin ‘Adi. Rasulullah saw. meminta perlindungan dan Al-Muth’im mengabulkan permintaan Nabi. Al-Muth’im bin ‘Adi dan keluarganya kemudian mengambil perlengkapan senjata mereka dan keluar bersama menuju Masjid Haram. Setelah sampai di Masjid, ia mengutus orang untuk meminta Rasulullah saw. segera masuk ke kota Makkah. Rasulullah saw. pun memasuki kota Makkah, lalu menuju Masjid Haram, thawaf di Ka’bah dan melakukan shalat, kemudian kembali ke rumahnya.
Diriwayatkan bahwa Abu Jahal sempat bertanya kepada Al-Muth’im bin ‘Adi, seperti yang tertera di Sirah Ibnu Hisyam, Bab “Kaifa Ajara Al-Muth’im Rasulallah” (bagaimana Al-Muth’im melindungi Rasulullah saw). Abu Jahal bertanya, “Engkau pemberi jiwar ataukah pengikut Muhammad (muslim)?” Al-Muth’im menjawab, “Aku pemberi jiwar.” Abu Jahal berkata, “Kami melindungi siapapun yang engkau lindungi.” (lihat juga Ar-Rahiq Al-Makhtum, Shafiyyur Rahman Mubarakfuri, Bab Ar-Rasul shallallahu alaihi wasallam fi At-Thaif).
Pembelaan Al-Muth’im bin ‘Adi ini amat berkesan di hati Rasulullah saw. sehingga ketika Perang Badar usai dan Rasulullah saw. telah memutuskan perlakuan terhadap tawanan Perang Badar, beliau bersabda, “Seandainya Al-Muth’im bin ‘Adi masih hidup kemudian berbicara kepadaku tentang tawanan perang yang buruk ini, pasti akan kubebaskan mereka untuknya.” (lihat Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, hlm 100; Ar-Rahiq Al-Makhtum, Shafiyyur Rahman Mubarakfuri, Bab Ar-Rasul shallallahu alaihi wasallam fi At-Thaif).

Peristiwa perlindungan oleh Al-Muth’im ini terjadi setelah paman Rasulullah saw. –Abu Thalib– wafat. Sebelum itu, Rasulullah saw. dengan sukarela menerima perlindungan dari Abu Thalib yang sampai akhir hayatnya tidak masuk Islam. Ketika Abu Thalib juga memberikan perlindungan kepada Salamah bin ‘Abdil Asad r.a., sekelompok orang dari Bani Makhzum datang kepadanya, “Wahai Abu Thalib, engkau telah melindungi anak saudara laki-lakimu Muhammad, mengapa kini engkau lindungi orang ini dari kami?” Abu Thalib menjawab, “Ia telah meminta perlindungan kepadaku, dan ia adalah anak saudara perempuanku. Bila aku tidak melindungi anak saudara perempuanku, maka aku juga tak akan melindungi anak saudara laki-lakiku.”

Pada saat Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. hendak berhijrah ke Habasyah menyusul saudara-saudaranya tercinta yang telah lebih dahulu hijrah, seorang tokoh musyrikin yang bernama Ibnu Ad-Daghannah menemuinya dan memberikan perlindungan kepadanya sambil berkata, “Orang sepertimu tidak boleh keluar dan dikeluarkan dari Makkah.” Hatta, Umar Al-Faruq pun mendapat perlindungan dari seorang musyrik bernama Al-’Ash bin Wail As-Sahmi ketika Quraisy telah mengetahui keislamannya. (lihat As-Sirah An-Nabawiyyah, Muhammad Abu Syuhbah, juz 1 hlm 36, 381, 358).
Betapa pentingnya bagi seorang dai untuk memiliki hubungan yang baik dengan keluarganya, atau dengan orang-orang di sekitarnya, meskipun kafir, yang dapat membelanya, dan pembelaan ini bermanfaat bagi dakwahnya. Tidaklah mungkin Rasulullah saw. mendapatkan perlindungan dari Abu Thalib, kalau beliau tidak menjaga hubungan baik dengan pamannya yang musyrik itu. Juga tidaklah mungkin Al-Muth’im bin ‘Adi bersedia memberikan perlindungannya kepada Rasulullah saw. kalau tidak ada muamalah yang baik antara Rasulullah saw. dengannya.

Tidaklah penting bagi seorang dai untuk mengetahui apakah pembelaan itu karena faktor kekeluargaan, kesukuan, pertemanan, ataukah sebab lainnya. Yang jelas perlindungan dan dukungan ini bermanfaat bagi sang dai dan secara otomatis menjadi maslahat bagi gerak dakwahnya. Begitu pula betapa pentingnya sebuah jamaah dakwah memiliki hubungan muamalah yang baik dengan berbagai organisasi dan kelompok masyarakat terutama di dalam negeri. Dengan muamalah yang baik ini jamaah dakwah dapat lebih leluasa bergerak merealisasikan agenda dakwahnya dan mendapatkan pembelaan dari berbagai pihak yang telah merasakan husnul muamalahnya.
Al-Quran sendiri mengisyaratkan peran kabilah atau keluarga, meskipun kafir, dalam melindungi da’i dari ancaman musuh seperti dalam kisah Nabi Syuaib a.s., “Mereka berkata, ‘Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami.’” (Hud: 91).
Syaikh Abdurahman bin Nashir As-Sa’di, seorang ulama Saudi Arabia, dalam menjelaskan ayat tersebut mengatakan, “Allah swt. membela orang-orang yang beriman dengan berbagai cara, ada yang mereka ketahui dan ada pula yang tidak mereka ketahui. Bisa jadi Allah membela orang-orang yang beriman dengan kabilah atau warga sekampung mereka yang kafir sekalipun sebagaimana Allah membela Nabi Syuaib a.s. dari ancaman rajam dengan wibawa keluarganya. Ikatan-ikatan yang dapat membantu membela Islam dan kaum muslimin seperti ini boleh diusahakan bahkan dalam keadaan tertentu menjadi wajib diwujudkan, karena ishlah (perbaikan) itu wajib dilakukan sesuai kemampuan dan kemungkinan.” (Tafsir Al-Karim Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Mannan ketika membahas surat Hud ayat 91).

Tentang Rasulullah saw., Allah swt. Berfirman, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?” (Ad-Dhuha: 6). Syaikh Muhammad Al-Amin As-Syinqithi rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Maksudnya: Dia memberikan perlindungan kepadamu dengan menyerahkanmu kepada pamanmu, Abu Thalib. Hal itu disebabkan oleh kasih sayang keluarga dan hubungan nasab, dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama. Ketika Allah swt. memberikan nk’mat kepada Rasul-Nya saw. dengan perlindungan Abu Thalib, maka dalam hal ini terdapat dalil bahwa sesungguhnya Allah swt. bisa jadi memberikan nikmat kepada orang yang berpegang teguh kepada agamanya dengan pertolongan kerabatnya yang kafir.”
Setelah menyebutkan ayat-ayat lain tentang dukungan keluarga kepada para nabi, Syaikh Muhammad Al-Amin As-Syinqithi melanjutkan, “Ayat-ayat Al-Quran ini menunjukkan bahwa ashabiyyah sanak saudara yang kafir bisa bermanfaat bagi kaum muslimin. Pada saat Banu Al-Muthalib bin Abdi Manaf membela Banu Hasyim, sedangkan Banu Abdi Syams bin Abdi Manaf serta Banu Naufal bin Abdi Manaf tidak membantu Banu Hasyim, Rasulullah saw. mengetahui bahwa pembelaan tersebut adalah semata ashabiyyah keturunan dan tidak ada hubungannya dengan agama. Maka Rasulullah saw. memberikan kepada Bani Al-Muthalib bagian dari seperlima ghanimah bersama Banu Hasyim, dan beliau bersabda, “Kami (Banu Hasyim) dan Banu Al-Muthalib tidak pernah bercerai baik ketika jahiliyyah maupun Islam.” Dan beliau tidak memberikan dari seperlima ghanimah tersebut kepada Bani Abdi Syams maupun Bani Naufal meskipun keduanya adalah keturunan Abdu Manaf bin Qushay.” (Seperlima dari harta rampasan perang (khumus) adalah jatah yang diberikan Allah swt untuk Rasulullah, kerabat beliau dan pihak lain yang telah disebutkan dalam surat Al-Anfal ayat 41. Lihat Adhwa‘ Al-Bayan, ketika Syaikh Muhammad Al-Amin As-Syinqithi menafsirkan surat Hud ayat 91).

Sudah seharusnya ikhwah dan akhawat aktifis dakwah memiliki hubungan yang baik dengan keluarga mereka yang tentu saja mayoritasnya adalah kaum muslimin juga, sehingga ikatan yang mengikat bukan saja ikatan darah atau kekerabatan, tetapi juga ikatan iman. Bahkan jika mereka kafir atau musyrik sekalipun, hubungan baik dan dukungan mereka tetap harus diupayakan. Para da’i harus dapat menggunakan bahasa iman sekaligus bahasa kekeluargaan untuk menarik dukungan keluarga dalam membela dirinya dan dakwah yang ia perjuangkan.

Sikap Aktif Mengurangi Kerusakan adalah Tuntutan Syariat
Dr. Abdul Karim Zaidan, salah seorang ulama dan dai berkebangsaan Irak, dalam makalahnya berjudul “Demokrasi dan Keikutsertaan Ummat Islam dalam Pemilu” yang disampaikan pada Mu’tamar Rabithah ‘Alam Islami di Makkah 21 Syawwal 1422 H, mengambil kesimpulan hukum dari peristiwa jiwar tersebut bahwa seorang muslim diperbolehkan mengambil produk hukum atau peraturan dari sistem yang tidak islami yang bermanfaat bagi dakwah islamiyyah.
“Hikmah dibolehkannya mengambil perlindungan dari orang kafir adalah untuk menolak bahaya dan kehancuran yang mengancam seorang muslim dengan cara yang tidak mencoreng nilai dan hukum Islam. Hal ini dapat dijadikan dasar bagi dibolehkannya mengambil aspek tertentu dari nizham (sistem) kekufuran yang bermanfaat bagi ummat Islam. Artinya, seorang muslim yang tinggal di negara kafir diperbolehkan mengambil sebagian produk undang-undang mereka jika hal itu membawa suatu maslahat atau dapat menolak suatu bahaya dan ancaman baginya atau bagi ummat Islam yang tinggal di sana.”
Lebih jauh lagi, Dr. Abdul Karim Zaidan menghubungkan masalah jiwar ini dengan keterlibatan seorang muslim yang tinggal di negara-negara barat dalam pemilu. “Dengan dasar ini, maka seorang muslim yang tinggal di negara-negara non muslim yang memiliki hak pilih dalam pemilu –pemilu legislative– diperbolehkan memilih seorang kafir sebagai anggota parlemen yang diharapkan dapat memberi manfaat atau menolak mafsadat baginya atau kaum muslimin yang lain di negara tersebut atau kaum muslimin di negara lain, minimal memilih orang kafir yang memiliki sikap al-hiyad (obyektif) terhadap problematika kaum muslimin. Karena jika kita tidak dapat merealisasikan semua maslahat atau menolak semua kerusakan, maka minimal adalah berusaha mengurangi kerusakan yang diantara realisasinya adalah ikut memilih orang yang diharapkan dapat mewujudkan hal tersebut. Apalagi jika dianalisis bahwa kekalahannya mengakibatkan kemenangan orang yang lebih buruk dan lebih banyak bahayanya bagi kaum muslimin. Sikap pasif atau golput adalah sikap negatif, juga menandakan tak ada upaya mengerahkan kemampuan untuk mengurangi mafsadat yang mengancam kaum muslimin, dan sikap ini tentu saja tidak dianjurkan oleh syariat jika kita tidak mau mengatakan dilarang.” (http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?cid=1122528618724&pagename=IslamOnline-Arabic-Ask_Scholar%2FFatwaA%2FPrintFatwaA)

Bahkan Syaikh Muhammad Ahmad Ar-Rasyid, seorang ulama dan tokoh pergerakan yang senegara dengan Dr. Abdul Karim Zaidan, setelah mengemukakan berbagai argumentasi dengan tegas mewajibkan kaum muslimin di negara-negara non muslim menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.
“Oleh karenanya, berdasarkan timbangan syariah, pemahaman ilmu-ilmu syar’i, dan fiqh imani yang saya miliki, saya berpendapat bahwa keikutsertaan seorang muslim dalam pemilu untuk memberikan suara kepada calon-calon pemimpin dari kekuatan politik yang bersikap moderat di negara-negara barat yang Nasrani telah menjadi kewajiban menurut syariat Islam disebabkan oleh adanya ancaman dari kekuatan-kekuatan ekstrem yang memusuhi Islam (jika mereka menang). Dan fatwa saya ini berlaku juga untuk negara-negara timur jauh yang beragama Budha, India dan Srilanka, dan Negara manapun yang menghadapi persaingan politik dan situasi yang sama.”  (http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?cid=1122528618724&Pagename= IslamOnline- Arabic-Ask_Scholar%2FFatwaA%2FPrintFatwaA).

Jika demikian halnya dengan pemilu di negara-negara non muslim, tentu para da’i di Indonesia tidak ada yang tidak bersemangat membela dan mengajak masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya di pemilu untuk memperbesar kemaslahatan dakwah.