Selasa, 15 Desember 2015

ARASY ALLAH



Arasy adalah singgasana Allah, apa maksudnya ?
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy
- Qs. 7 al-Araf : 54
Telah terjadi perbedaan pandangan antara ulama tradisional dengan ulama-ulama kontemporer dan modern dalam menafsirkan istilah 'Arsy ini. Dimana ulama tradisional lebih suka memahami Arsy sebagai suatu singgasana dimana dari singgasana-Nya inilah Tuhan mengendalikan kekuasaan-Nya atas makhluk-makhluk-Nya, namun ulama-ulama tersebut juga lebih suka untuk tidak melakukan pembahasan lebih jauh mengenainya dan hanya mencukupkan urusannya kepada iman dan itu menjadi rahasia ALLAH.
Sejumlah ulama lain yang lebih moderat menolak penafsiran Arasy seperti yang telah disebutkan tadi karena menurut mereka ALLAH tidak membutuhkan tempat, ruangan dan juga tidak terikat dengan waktu. Jika dikatakan bahwa ALLAH duduk diatas 'Arsy maka berarti ALLAH memiliki wujud yang sama seperti makhluk-Nya yang memerlukan tempat tinggal dan tempat bernaung, padahal ALLAH Maha Suci dan Maha Mulia dari semua itu !
Tidak ada sesuatu apapun yang sama dengan-Nya
- Qs. 112 al-Ikhlas : 4
Lebih bijak jika kita mengadakan pendekatan penafsiran istilah Arsy sebagai tempat dimana ALLAH mempertunjukkan kekuasaan-Nya kepada semua hamba-hambaNya, dan itulah alam semesta yang terbentang luas dihadapan kita. Semua isi alam ini, termasuk benda-benda angkasa seperti bumi, bulan, matahari, planet-planet, komet dan apa saja yang ada diantara keduanya merupakan perwujudan dari singgasana Tuhan.
Adalah Arsy-Nya berada diatas air
- Qs. 11 Huud : 7
Dari ilmu pengetahuan modern kita bisa mengetahui bahwa angkasa raya tidaklah kosong hitam saja seperti yang kita lihat dimalam hari, beberapa hasil observasi sejumlah astronom telah mendeteksi adanya bahan jernih yang terbuat dari 99 persen gas (rata-rata Hidrogen dan Helium) dan 1 persen partikel berukuran debu yang memiliki komposisi mirip dengan senyawa silikon, oksida besi, kristal es dan sejumlah kumpulan molekul lain termasuk molekul organik yang mengisi nebula maupun jarak antar bintang[1].
Bahkan Nazwar Syamsu[2] lebih condong menterjemahkan istilah Alma (biasanya selalu diterjemahkan sebagai air dalam bahasa Indonesia) pada surah 11 ayat 7 diatas sebagai Hydrogen itu sendiri, mengingat Hydrogen adalah atom asal dan beliau mengkaitkannya dengan istilah Dukhan (biasa diterjemahkan sebagai asap) sebagai sumber penciptaan alam semesta seperti yang disitir dalam Surah Fushshilat : 11.
Terlepas dari semuanya, mungkin ini juga alasannya kenapa Tuhan begitu gigih memerintahkan kepada manusia untuk mempelajari ilmu tentang alam semesta sembari tidak melupakan tasbih kepada-Nya, baik tasbih dalam arti berdzikir lisan mengucap puja dan puji seperti para Malaikat ataupun bertasbih dalam pengertian sikap tunduk dan patuh serta sadar akan kekecilan diri dihadapan Yang Kuasa sebagaimana tunduknya alam semesta dan seperti tunduknya burung-burung dan gunung.
Para Malaikat yang di sisi-Nya, mereka tidak punya rasa angkuh untuk mengabdi kepada-Nya dan tidak merasa letih,
mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya. - Qs. 21 al-anbiyaa : 19 - 20
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya - Qs. 17 al-israa : 44
Gunung-gunung dan burung-burung yang bertasbih - Qs. 21 al-anbiyaa : 79
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat seperti kamu - Qs. 6 al-anaam : 38
Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi - Qs. 3 ali Imron : 191
Secara bijaksana kita juga bisa melihat persamaan penafsiran istilah Arasy ini sebagai kata kiasan dengan mempersamakannya dengan kata kias pada penafsiran istilah Wajah ALLAH, Tangan-Nya, Kursi-Nya ataupun Betis sebagaimana terdapat dalam ayat-ayat berikut :
Dan adalah kepunyaan Allah Timur dan Barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah Wajah Allah - Qs. 2 al-Baqarah : 115
Maka Maha Suci Dia yang ditangan-Nya kekuasaan atas semuanya - Qs. 36 Yaasin : 83
Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan - Qs. 55 ar-Rahman : 27
Kursi Allah meliputi langit dan bumi. - Qs. 2 al-Baqarah: 255
Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud
- QS. 68 al-Qalam : 42



Wassalam,

Selasa, 08 Desember 2015

Birrul Walidain


Keutamaan Birrul Walidain
1.      أَحَبُّ اْلأَعْمَالِ إِلَى اللهِ بَعْدَ الصَّلاَةِ (amal yang paling dicintai disisi Allah SWT selepas Solat) (
Sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abdir Rahman Abdillah Ibni Mas’ud ra “Aku pernah bertanya kepada Nabi SAW amal apa yang paling di cintai disisi Allah ?” Rasulullah bersabda “Solat tepat pada waktunya”. Kemudian aku tanya lagi “Apa lagi selain itu ?” bersabda Rasulullah “Berbakti kepada kedua orang tua” Aku tanya lagi “ Apa lagi ?”. Jawab Rasulullah “Jihad dijalan Allah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini tidak beerti jika melakukan Solat tepat pada waktu dan jihad fisabilillah menafikan kewajipan birrul walidain kerana Rasulullah SAW. pernah menolak permohonan salah seorang sahabat untuk jihad fisabilillah kerana masalah hubungan dengan kedua ibu bapanya. Lantas Rasulullah SAW. memerintahkan beliau segera pulang menyelesaikan permasalahan tersebut dahulu.
2.     مُسْتَجَابُ الدَّعْوَةِ (doa mereka mustajab)
Di antara buktinya adalah kisah ulama besar hadits yang sudah ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin, Imam Bukhari rahimahullah. Beliau buta sewaktu kecil lalu ibunya seringkali berdoa agar Allah SWT. memulihkan penglihatan beliau.
Suatu malam di dalam mimpi, ibunya melihat Nabi Allah, al-Khalil, Ibrahim ‘alaihis salam yang berkata kepadanya, ‘Wahai wanita, Allah telah mengembalikan penglihatan anakmu karena begitu banyaknya kamu berdoa.”
Pada pagi harinya, ia melihat anaknya dan ternyata benar, Allah telah mengembalikan penglihatannya.[v]
Hal di atas menunjukkan benarnya sabda Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam akan manjurnya do’a orang tua pada anaknya.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لاَ تُرَدُّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ ، وَدَعْوَةُ الصَّائِمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ
Tiga doa yang tidak tertolak yaitu doa orang tua, doa orang yang berpuasa dan doa seorang musafir.” (HR. Al Baihaqi[vi])
3.   سَبَبُ نُزُوْلِ الرَّحْمَةِ (sebab turunnya rahmat)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin rezkinya diperluas, dan agar usianya diperpanjang (dipenuhi berkah), hendaknya ia menjaga tali silaturahim.” (HR. Bukhari dan Muslim)
4.      Bukan beerti membalas budi kerana jasa mereka tidak mungkin terbalas
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
Seorang anak tidak akan dapat membalas budi baik ayahnya, kecuali bila ia mendapatkan ayahnya sebagai hamba, lalu dia merdekakan.” (HR. Muslim)
5.      Al ummu hiya ahaqu suhbah (prioriti untuk mendapat perlakuan yang lebih dekat dari kedua orang tua ialah ibu)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu ia berkata, “Datang seseorang kepada Rasulullah SAW. dan berkata, ’Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali ? Nabi SAW. menjawab, ’Ibumu! Orang tersebut kembali bertanya, ’Kemudian siapa lagi ? Nabi SAW. menjawab, ’Ibumu! Ia bertanya lagi, ’Kemudian siapa lagi?’ Nabi SAW. menjawab, ’Ibumu!, Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi, ’Nabi SAW. menjawab, Bapakmu ” (HR. Bukhari dan Muslim)
6.      Taat kepada orang tua adalah salah satu penyebab masuk Syurga.
Rasulullah SAW. bersabda, “Sungguh kasihan, sungguh kasihan, sungguh kasihan.” Salah seorang sahabat bertanya, “Siapa yang kasihan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang sempat berjumpa dengan orang tuanya, kedua-duanya, atau salah seorang di antara keduanya, saat umur mereka sudah tua, namun tidak dapat membuatnya masuk Surga.” (HR. Muslim)
7.      Durhaka kepada orang tua, termasuk dosa besar yang terbesar.
Dari Abu Bakrah diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Mahukah kalian kuberitahukan dosa besar yang terbesar?” Para Sahabat menjawab, “Tentu mahu, wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.” Beliau bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah, dan durhaka terhadap orang tua.” Kemudian, sambil bersandar, beliau bersabda lagi, “..ucapan dusta, persaksian palsu..” Beliau terus meneruskan mengulang sabdanya itu, sampai kami (para Sahabat) berharap beliau segera terdiam. (HR Bukhari dan Muslim)

Melaksanakan Birrul Walidain
Semasa Mereka Masih Hidup          
1. Mentaati Mereka Selama Tidak Mendurhakai Allah

Sa’ad bin Abi Waqas – semoga Allah merahmatinya –  menerapkan bagaiman konteks Birrul Walidain mempertahankan keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Saat ibunya mengetahui bahwa Sa’ad memeluk agama Islam, ibunya mempengaruhi dia agar keluar dari Islam sedangkan Sa’ad terkenal sebagai anak muda yang sangat berbakti kepada orang tuanya. Ibunya sampai mengancam kalau Sa’ad tidak keluar dari Islam maka ia tidak akan makan dan minum sampai mati. Dengan kata-kata yang lembut Sa’ad merayu ibunya “ Jangan kau lakukan hal itu wahai Ibunda, tetapi saya tidak akan meninggalkan agama ini walau apapun gantinya atau risikonya”.
Sehubungan dengan peristiwa itu, Allah menurunkan ayat:
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya…” (QS. Luqman: 15)
Tidak bosan-bosannya Sa’ad menjenguk ibunya dan tetap berbuat baik kepadanya serta menegaskan hal yang sama dengan lemah lembut sampai suatu ketika ibunya menyerah dan menghentikan mogok makannya.
2. Berbakti dan Merendahkan Diri di Hadapan Kedua Orang Tua

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tua ibu bapanya…”(QS. Al-Ahqaaf: 15)
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua ibu bapa…” (QS. An-Nisaa’: 36)
Perintah berbuat baik ini lebih ditegaskan jika usia kedua orang tua semakin tua dan lanjut hingga keadaan mereka melemah dan sangat memerlukan bantuan dan perhatian daripada anaknya.
Abu Bakar As Siddiq ra. adalah sahabat Rasulullah SAW yang patut ditauladani dalam berbaktinya terhadap orang tua. Disaat orang tuanya telah memasuki usia yang sangat udzur, beliau masih melayan bapanya dengan lemah lembut dan tidak pernah putus asa untuk mengajak ayahnya beriman kepada Allah. Penantian beliau yang cukup lama berakhir apabila ayahnya menerima tawaran untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Allah berfirman dalam QS. 14 : 40 – 41 ayat yang do’a agar anak, cucu dan seluruh anggota keluarganya menjadi orang-orang yang muqiimas Solat (mendirikan Solat) dan diampuni dosa-dosanya. Ayat ini merupakan suatu kemuliaan yang diberikan Allah SWT kepada kelurga Abu Bakar As Siddiq ra.
3. Merendahkan Diri Di Hadapan Keduanya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kami jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah: ‘Wahai, Rabb-ku, kasihilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’” (QS. Al-Israa’: 23-24)
4. Berbicara Dengan Lembut Di Hadapan Mereka
Nabi Ibrahim ‘alaihiisalam mempunyai ayah yang bernama Azar yang aqidah-nya menyalahi dengan Nabi Ibrahim ‘alaihiisalam tetapi tetap menunjukan birrul walidain yang dilakukan seorang anak kepada bapaknya. Dalam menegur ayahnya beliau menggunakan kata-kata yang mulia dan ketika mengajak ayahnya agar kejalan yang lurus dengan kata-kata yang lembut sebagaimana dikisahkan Allah pada QS. 19 : 41-45.
5. Menyediakan Makanan Untuk Mereka

Dari Anas bin Nadzr al-Asyja’i, beliau bercerita, suatu malam ibu dari sahabat Ibnu Mas’ud meminta air minum kepada anaknya. Setelah Ibnu Mas’ud datang membawa air minum, ternyata si Ibu sudah tidur. Akhirnya Ibnu Mas’ud berdiri di dekat kepala ibunya sambil memegang bekas berisi air tersebut hingga pagi. (Diambil dari kitab Birrul walidain, karya Ibnu Jauzi)
6. Meminta Izin Kepada Mereka Sebelum Berjihad dan Pergi Untuk Urusan Lainnya

Izin kepada orang tua diperlukan untuk jihad yang belum ditentukan. Seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya: “Ya, Raslullah, apakah aku boleh ikut berjihad?” Beliau balik bertanya: “Apakah kamu masih mempunyai kedua orang tua?” Laki-laki itu menjawab: “Masih.” Beliau bersabda: “Berjihadlah (dengan cara berbakti) kepada keduanya.” (HR. Bukhari no. 3004, 5972, dan Muslim no. 2549, dari Ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anhu)
7. Memberikan Harta Kepada Orang Tua Menurut Jumlah Yang mereka Inginkan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada seorang laki-laki ketika ia berkata: “Ayahku ingin mengambil hartaku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kamu dan hartamu milik ayahmu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Oleh sebab itu, hendaknya seseorang jangan bersikap bakhil (kikir) terhadap orang yang menyebabkan keberadaan dirinya, memeliharanya ketika kecil dan lemah, serta telah berbuat baik kepadanya.
8. Membuat Keduanya Ridha Dengan Berbuat Baik Kepada Orang-orang yang Dicintai Mereka

Hendaknya seseorang membuat kedua orang tua ridha dengan berbuat baik kepada para saudara, karib kerabat, teman-teman, dan selain mereka. Yakni, dengan memuliakan mereka, menyambung tali silaturrahim dengan mereka, menunaikan janji-janji (orang tua) kepada mereka. Akan disebutkan nanti beberapa hadits yang berkaitan dengan masalah ini.
9. Memenuhi Sumpah Kedua Orang Tua

Apabila kedua orang tua bersumpah kepada anaknya untuk suatu perkara tertentu yang di dalamnya tidak terdapat perbuatan maksiat, maka wajib bagi seorang anak untuk memenuhi sumpah keduanya karena itu termasuk hak mereka.
10. Tidak Mencela Orang Tua atau Tidak Menyebabkan Mereka Dicela Orang Lain

Mencela orang tua dan menyebabkan mereka dicela orang lain termasuk salah satu dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Termasuk dosa besar adalah seseorang mencela orang tuanya.” Para Sahabat bertanya: “Ya, Rasulullah, apa ada orang yang mencela orang tuanya?” Beliau menjawab: “Ada. Ia mencela ayah orang lain kemudian orang itu membalas mencela orang tuanya. Ia mencela ibu orang lain lalu orang itu membalas mencela ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Apabila Mereka Meninggal Dunia (بَعْدَ وَفَاتِهِمَا)
1. Mensolati/Berdo’a terhadap Keduanya

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi SAW bersabda, “Apabila manusia sudah meninggal, maka terputuslah amalannya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan dirinya.”
 (HR. Muslim)
2. Beristighfar Untuk Mereka Berdua

Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan kisah Ibrahim Alaihissalam dalam Al-Qur’an:
Ya, Rabb kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku…”
 (QS. Ibrahim: 41)
3. Menunaikan Janji/Wasiat Kedua Orang Tua

4. Memuliakan Rakan-Rakan Kedua Orang Tua

Ibnu Umar berkata aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya bakti anak yang terbaik ialah seorang anak yang menyambung tali persahabatan dengan keluarga teman ayahnya setelah ayahnya tersebut meninggal.” (HR. Muslim)
5. Menyambung Tali Silaturahim Dengan Kerabat Ibu dan Ayah

Barang siapa ingin menyambung silaturahim ayahnya yang ada di kuburannya, maka sambunglah tali silaturahim dengan saudara-saudara ayahnya setelah ia meninggal.”
 (HR. Ibnu Hibban)

Rasulullah SAW. yang telah ditinggal ayahnya Abdullah kerana meninggal dunia saat Rasulullah SAW. masih dalam kandungan ibunya Aminah. Dalam pendidikan birrul walidain ibunya mengajak Rasulullah ketika berusia enam (6) tahun untuk berziarah kemakam ayahnya dengan perjalanan yang cukup jauh. Dalam perjalanan pulang ibunda beliau jatuh sakit tepatnya didaerah Abwa hingga akhirnya meninggal dunia. Setelah itu Rasulullah diasuh oleh pamannya Abdul Thalib, beliau menunjukan sikap yang mulia kepada pamannya walaupun aqidah pamannya berbeda dengan Rasulullah. Dan Rasulullah SAW. berbakti pula kepada pengasuhnya yang bernama Sofiah binti Abdil Mutthalib.

Selasa, 01 Desember 2015

Pemimpin: Cerminan Masyarakatnya



 


Allah swt. dalam Al Qur’an sering bercerita tentang Fir’aun, supaya sosok pemimpin seperti Fir’aun tidak muncul lagi dalam hidup manusia. Cukuplah Fir’un sebagai contoh manusia paling kafir, dan jangan sampai ada lagi masyarakat yang mencetak pemimpin seperti dia. Cukuplah Fir’aun sebagai pelajaran, jangan sampai berulang lagi muncul masyarakat seperti masyarakat Fir’aun yang mau dibodohi. Padahal sebenarnya Fir’aun itu sangat lemah. Ia menjadi raja karena dapat dukungan rakyatnya. Coba rakyatnya bersepakat untuk menghancurkannya, Fir’aun pasti tidak akan berdaya apa-apa.

Sayangnya banyak manusia tidak mau belajar dari sejarah. Dari masa ke masa pemipin korup bermunculan di tengah-tengah masyarakat. Sebab memang masyarakat itu sendiri yang korup dan kotor. Akibatnya mereka seperti terjebak dalam lingkaran syetan. Mereka ingin negaranya adil dan damai. Sementara mereka sendiri korup dan kotor. Akibatnya terpilihlah pemimpin yang korup. Akibat lebih jauh, ya terimalah buah perbuatan mereka sendiri. Penderitaan demi penderitaan terus menyertai. Kesengsaraan semakin mencekam. Kelaparan di mana-mana membuat mereka tidak takut lagi untuk menempuh segala cara.

Pemimpin Korup Lahir Dari Masyarakat Yang Korup

Pemimpin yang korup lahir dari masayarakat yang korup. Masyarakat yang kotor dan suka berbuat maksiat. Masyarakat yang tidak serius menjalankan ketaatannya kepada Allah swt. Masyarakat yang suka disogok dan berani menukar idealisme dengan hanya 300 ribu rupiah atau bahkan dua liter beras atau satu kardus mie. Masyarakat yang suka main-main dan menganggap dosa adalah sesuatu yang biasa. Masyarakat yang tidak takut kepada Allah swt. Masyarakat yang tidak berwawasan luas. Masyarakat yang mau dibodohi. Masyarakat yang tidak mau belajar dari sejarah kegagalan masa lalu.

Sungguh tidak ada jalan untuk mengubah sebuah negeri kecuali masyarakatnya harus berubah. Masyarakatnya harus berwawasan luas, bukan masyarakat berwawasan kepentingan sesat. Pun bukan masyarakat yang meterialistis. Melainkan masyarakat yang berani berjuang mempertahankan idealisme. Sebab tidak mungkin masyarakat meterialistis berjuang untuk idealisme. Mereka hanya mampu bertahan ketika kebutuhan materi mereka terpenuhi.

Sungguh bila kita belajar dari perjalanan para sahabat, kita menemukan fakta masyarakat yang berani berkorban apa saja demi sebuah idealisme (baca: iman). Mereka berani hijrah meninggalkan tanah air bahkan harta dan rumah yang sangat mereka banggakan, demi idealisme. Mereka bahkan berani mengorbankan jiwa mereka dalam berbagai pertempuran demi idealisme.

Masyarakat materialistis adalah masyarakat yang mati jiwanya. Mereka hanyalah rangka berjalan, sementara jiwa mereka kosong. Seakan mereka hidup, padahal dalam jiwa mereka tidak ada kemanusiaan. Mereka bergerak bagai binatang buas, yang siap menerkam siapapun yang lemah. Kedzaliman dianggap biasa. Bahkan mereka sambil terbahak-bahak mendzalimi orang lain. Allah swt. menceritakan dalam surat Al Muthafifin 29-32: “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat orang-orang mu’min, mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat”.

Mereka Lahir dari kebiasaan Berbuat Dosa

Perhatikan ayat yang disebut diatas, betapa kebiasaan berbuat dosa ada hubungannya dengan ketidak seriusan hidup. Mengapa?. Sebab:

Pertama, kebiasaan berbuat dosa membuat mereka tidak takut lagi kepada Allah swt. Akibatnya mereka berani melakukan segala cara, tidak peduli halal atau haram yang penting tujuan tercapai. Bila rasa takut kepada Allah swt tidak ada, maka otomatis rasa takut kepada manusia lebih tidak ada. Dari susana seperti inilah pemimpin seperti Fir’un muncul. Dan puncak keberanian Fir’un kepada Allah swt kian terlihat ketika ia berkata di depan khalayak pendukungnya: ana rabbukumul a’laa (aku tuhanmu yang paling tinggi). Di sini Fir’un menemukan dirinya sebagai yang paling berkuasa. Perhatikan betapa kebiasaan berbuat dosa telah menyeret seorang pemimpin kehilangan kontrol sehingga ia merasa bebas, bahkan ia merasa bebas dari Allah swt.

Kedua, kebisaan berbuat dosa akan mencabut keberkahan sebuah negeri. Allah swt. berfirman:

”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Al A’raf : 96-99).

Ketiga, kebiasaan berbuat dosa membuat mereka lalai akan kewajiban yang harus dipikul. Dari kelalaian ini banyak dosa-dosa dengan segala dimensinya terjadi. Akibatnya hati mereka menjadi keras. Ketika hati keras, mereka tidak tersentuh lagi dengan teguran Allah swt. Bahkan mereka semakin yakin bahwa dengan dosa-dosa itu mereka kuat dan banyak pendukung. Dari sini kebiasaan mempermainkan Allah swt, merendahkan-Nya, dan mengabaikan tuntunan-Nya, bemunculan bagai jamur. Allah swt yang memiliki langit dan bumi tidak mungkin membiarkan ini tanpa ada konsekwensinya.

Allah swt berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan. Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” QS. Al An’am : 42-44.

Keempat, kebiasaan berbuat dosa membuat mereka bersepakat untuk tolong menolong dalam dosa dan kedzaliman. Pada saat itu firman Allah swt: “Wata’aawanuu ‘alal birri wat taqwaa walaa ta’aawanuu ‘alal itsmi wal ‘udwaan. Dan tolong menolonglah dalam melaksanakan kebaikan dan taqwa. dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” tidak menjadi indah lagi.

Simaklah Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi`ar-syi`ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” QS. Al Maidah: 2.

Di sini nampak bahwa memerintahkan takwa setelah memerintahkan agar manusia saling tolong menolong dalam kebaikan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa. Ini menunjukkan bahwa tidak mungkin suatu kaum akan mencapai ketakwaan, semasih tetap berkompromi dalam kedzaliman. Cara-cara kompromi dalam rangka dosa inilah yang membantu munculnya para pemimpin yang korup. Karena itu tidak mungkin sebuah negeri dipimpin oleh seorang yang bersih dan jujur bila rakyatnya tetap kotor, terbiasa dengan dosa-dosa dan tidak pernah mau bersungguh-sungguh memahami ajaran Allah swt secara benar serta mengamalkannya secara ikhlas.

Wallahu a’lam bishshawab.