Selasa, 24 Mei 2016

AKHLAQ DA’I





Dalam satu kaidah disebutkan : “Jangan remehkan soal peneguhan akhlak. Hati sekeras batu milik para kafir Quraisy pun dapat luluh dengan akhlak mulia”.
Islam bukan sekedar tujuan tapi juga cara. Artinya kalau kita mempunyai cita-cita menegakkan Islam maka tidak ada cara lain untuk mencapai kecuali dengan cara (akhlak) Islam.
Hal ini juga diisyaratkan oleh Allah swt. Dalam firman-Nya: “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang keluar dari rumah-rumah mereka dengan congkak dan ingin dilihat oleh manusia dan menghalang-halangi (orang lain) dari jalan Allah.” (QS. Al-anfal (8) : 47)
Orang-orang kafir, sekalipun membangkang dan bersikeras memerangi Rasulullah saw., namun mereka tidak kuasa menampik kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah saw. Mengapa?
Selain faktor hidayah dari Allah swt.- yang membuat hati banyak orang yang semula lebih keras dari batu, bisa tiba-tiba luluh, dan tak berdaya selain tunduk dan pasrah kepada seruan Rasulullah saw. adalah karena Islam adalah kebenaran mutlak yang pasti sesuai dengan fitrah manusia. Namun ada faktor lain yang menempati posisi amat bermakna untuk membuat seseorang tersentuh fitrahnya yakni: akhlak.

Ikhwah wal akhawat ad-da’iyah
Bahwa keindahan akhlak yang ditampilkan Rasulullah saw telah membungkam segala hujjah orang yang mendustakan Rasulullah saw. Karenanya hal yang paling mungkin mereka tuduhkan kepada Rasulullah saw. adalah bahwa beliau seorang tukang sihir atau berpenyakit gila. Meski akhirnya tuduhan itu tak dapat juga mereka buktikan.
Karena itu, semangat menegakkan kebenaran (syari’at Islam) bukan alasan untuk mengabaikan akhlak islami. Bahkan justeru semangat itu seharusnya mendorong untuk meningkatkan kualitas akhlak.
Prinsip itu berlaku universal dan dipraktikan oleh para nabi sebelum Rasulullah saw. Lihat, bagaimana Allah swt. mengutus Nabi Musa dan Nabi Harun untuk menghadapi Firaun. Bukan untuk semata-mata menawarkan kebenaran, namun untuk menawarkan kebenaran dengan memakai akhlak. “Pergilah kamu berdua kepada Firaun sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut (kepada Allah).” (QS. Thaha (20) : 43-44)
Rasulullah saw. pun mendapat perintah yang sama. “Siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh dan berkata, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. Dan tidaklah sama antara kebaikan dengan keburukan. Maka tolaklah (keburukan) itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dengan dia ada permusuhan menjadi seolah-olah telah menjadi teman setia.” (QS. Fush-shilat : 33-34)
Kedua ayat di atas menunjukkan akhlak dalam berdakwah dengan segala tantangannya sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang mau menerima kebenaran atau tidak, menjadi tunduk hatinya atau semakin congkak, menjadi suadara seiman atau semakin menjadi-jadi permusuhannya.
Karenanya, dakwah yang penuh cacian dan makian, kepada siapa pun: penguasa, kelompok lain yang tidak sehaluan, orang yang tidak mau mengikuti seruan dakwahnya adalah bertentangan dengan akhlak Islam. Selain tidak sesuai dengan esensi kebenaran itu sendiri cacian dan makian itu tidak akan menambah keimanan dan amal. Alih-alih meningkatkan pemahaman dan kesiapan untuk berjuang, hal itu justeru semakin menyuburkan penyakit-penyakit hati seperti iri, dengki, kebencian, dan kesumpekan dada.

Ikhwah wal akhawat hafidzokumullah
Marilah kita saksikan salah satu dari banyak sudut akhlak Rasulullah saw. Al-kisah di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, "Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya" .
Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW
menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan
pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah
Rasulullah SAW. Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari sahabat terdekat Rasulullah SAW yakni Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yang tidak lain tidak bukan merupakan isteri Rasulullah SAW dan beliau bertanya kepada anaknya itu, : "Anakku, adakah kebiasaan kekasihku yang belum aku kerjakan?". Aisyah RA menjawab,: "Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu saja". "Apakah Itu?", tanya Abubakar RA. "Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada di sana ", kata Aisyah RA. Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abubakar RA mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya.
Ketika Abubakar RA mulai menyuapinya, sipengemis marah sambil
menghardik, "Siapakah kamu?". Abubakar RA menjawab, : "Aku orang yang biasa (mendatangi engkau)." "Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku" , bantah si pengemis buta itu.
"Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak
susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut, setelah itu ia berikan padaku", pengemis itu melanjutkan perkataannya.
Abubakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, ;"Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW".
Seketika itu juga pengemis itu pun menangis mendengar penjelasan Abubakar RA, dan kemudian berkata, :"Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikit pun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia.... " Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA, saat itu juga dan sejak hari itu menjadi muslim.
Demikianlah akhi da’iyah, bisakah kita meneladani kemuliaan akhlaq Rasulullah SAW? Atau adakah setidaknya niatan untuk meneladani beliau? Beliau adalah ahsanul akhlaq  (semulia-mulia akhlaq).
Kalaupun tidak bisa kita meneladani beliau seratus persen, alangkah
baiknya kita berusaha meneladani sedikit demi sedikit, kita mulai dari
apa yang kita sanggup melakukannya.
Ikhwani wa akhawati as’adakumullah hayatakum
Untuk mengeksiskan akhlak dalam tubuh seorang da’iyah maka harus dilakukan dengan dua langkah secara bersamaan. Langkah pertama adalah takhliyah, yakni membesihkan diri dari segala akhlak yang buruk. Dintaranya adalah al-bathar (congkak) dan riya (beramal demi untuk dilihat manusia). Mengapa dua penyakit hati itu disebut secara khusus?
Kesombongan akan melemahkan posisi da’i dalam menghadapi perjuangan, baik yang muncul karena sebab kelebihan ilmu, wawasan, atau informasi. Ini sering mengakibatkan dirinya mudah mengambil kesimpulan, keputusan, atau bahkan memvonis keadaan. Jelas cara ini sangat berbahaya. Karena dengan cara seperti itu seorang da’i bisa terjebak dalam pandangan yang over estimasi tentang dirinya dan sebaliknya under estimasi tentang orang lain dan keadaan yang dihadapinya. Ini pernah menjadi catatan pahit kaum muslimin di masa lalu, sebagaimana Allah rekam dalam ayat-Nya:
“Sungguh Allah telah menolong kalian di banyak tempat dan pada hari (perang) Hunain, saat jumlah kalian yang banyak membuat kalian bangga tapi ternyata tidak berguna sama sekali bagi kalian (jumlah tersebut), dan bumi kalian rasakan menjadi sempit padahal ia luas, kemudian kalian berpaling dengan membelakang. Kemudian Allah menurunkan ketenteraman-Nya atas rasul-Nya dan atas orang-orang beriman dan menurunkan bala tentara yang kalian tidak dapat melihatnya, dan menyiksa orang-orang kafir. Dan itulah balasan bagi orang-orang kafir.” (QS. At-Taubah (9) : 25-26)
Kesombongan juga bisa muncul dalam bentuk mengangkat diri sendiri melebihi kapasitas sebenarnya. Sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada kemenangan yang dicapai oleh kesendirian, namun kemenangan Islam adalah kemenangan kolektif dan dihasilkan dari “amal jama’i yang segala keputusannya lahir dari musyawarah (syura).
Riya juga menempati posisi penting dalam faktor-faktor penyebab kegagalan dakwah dan perjuangan Islam. Sebelum riya itu berdampak buruk dalam kaitan interaksi sesama manusia, ia terlebih dahulu merupakan penyakit yang dimurka Allah swt. Sampai-sampai Rasulullah saw. menjelaskan bahwa alih-alih mendapatkan pahala, orang yang beramal dengan riya lebih layak menjadi penghuni neraka. Karena memang orang yang riya bukan mencari ridho Allah dengan amalnya. Atau mencari ridho Allah sambil mencari pujian manusia. Dan Allah tidak suka cara seperti itu. Lalu, bagaimana bisa mendapatkan pertolongan Allah swt. jika dalam beramal yang diinginkan adalah keridhoan manusia?
Sombong dan riya ini merupakan induk dari akhlak buruk yang akan memunculkan perilaku buruk lainnya. Karena itu dapat dimengerti jika larangan sombong dan riya kemudian diikuti larangan menghalang-halangi orang lain dari jalan Allah. Apa maksudnya?
Bukan dakwah dan perjuangannya, tentu, yang menghalang-halangi manusia dari jalan Allah, melainkan sifat dan akhlak buruk yang menyertai dakwah dan perjuangan itu. Akhlak buruk bisa menyebabkan orang lari dari dakwah dan bahkan dari Islam itu sendiri. Dan jika ada orang yang lari dari Islam gara-gara kita berakhlak buruk kita dianggap telah menghalang-halangi orang lain dari jalan Allah.
Maka, sifat-sifat buruk ini perlu dibersihkan dari diri kita, para da’i. itulah takhliyah. Namun tidak cukup dengan hanya takhliyah. Sikap berikutnya adalah tahliyah yakni menghiasi diri dengan segala akhlak terpuji. Dan Rasulullah saw. telah melakukan keduanya, yang karenanya Allah swt. memujinya, “Dan engkau sungguh memiliki akhlak yang agung.”
Ikhwah fillah…
Setiap manusia mempunyai fitrah untuk menghiasi diri. Tapi sayangnya, banyak manusia yang tidak mengetahui perhiasan yang terbaik bagi dirinya. Ada yang menghiasi diri dengan logam mulia seperti emas dan berlian. Ada pula yang menghiasi diri dengan kosmetik. Semua ditujukan guna menampilkan diri dalam bentuk yang paling indah.
Bagi seorang Muslim terutama seorang da’iyah, perhiasan terindah adalah akhlak mulia. Inilah perhiasan yang dapat dikenang sepanjang masa. Inilah perhiasan yang menjadikan pemiliknya mulia di hadapan manusia dan Allah SWT. Dengan akhlak mulia, seorang Muslim akan terlihat anggun dan cantik. Setiap orang yang melihatnya akan terkesima dan kagum oleh keindahan akhlaknya.
Dalam pandangan Rasulullah SAW, akhlak mulia menjadi bukti kemuliaan seorang Muslim. Beliau bersabda, ''Sesungguhnya orang yang paling baik keislamannya adalah yang paling indah akhlaknya.'' (HR. Ahmad) Menghiasi diri dengan akhlak mulia berarti mempertegas diri sebagai manusia, karena dengan akhlak akan terlihat perbedaan manusia dengan hewan. Dengan akhlak pula akan terlihat sisi keteraturan hidup manusia yang tidak dimiliki hewan.
Dengan demikian, manusia yang tidak peduli dengan akhlak sesungguhnya ia sedang menuju derajatnya yang paling rendah. Tanpa akhlak, manusia akan seenaknya melakukan apa saja tanpa peduli apakah tindakannya berbahaya bagi orang lain atau tidak.
Allah SWT berfirman, ''Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna. Kemudian Kami kembalikan manusia kepada derajat yang paling rendah.'' (QS al-Tin [95]: 5-6).
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, akhlak mulia menjadi kunci keberlangsungan suatu masyarakat. Artinya, keberadaan suatu masyarakat hanya bernilai jika telah mempraktikkan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, jika akhlak mulia sudah ditinggalkan oleh suatu masyarakat, maka lonceng kematian masyarakat itu hanya tinggal menunggu waktu.
Masyarakat tanpa akhlak mulia seperti masyarakat rimba di mana pengaruh dan wibawa diraih dari keberhasilan menindas yang lemah, bukan dari komitmen terhadap integritas akhlak dalam diri.
Dalam Islam, akhlak bukanlah ajaran yang layak dipandang sebelah mata. Perhatian Islam terhadap akhlak sama seperti perhatian terhadap masalah akidah dan syariah. Ini menjadi bukti bahwa Islam bukanlah agama yang hanya kaya dengan teori normatif tetapi juga agama yang menekankan kepada pengamalan praktis.

Perjalanan dakwah Islam membuktikan bahwa keberhasilan Nabi Muhammad SAW berdakwah bukanlah hanya karena keluhuran ajaran Islam tetapi juga karena akhlak mulia yang langsung dipraktikkan oleh beliau dalam setiap langkah kehidupannya.

Jumat, 20 Mei 2016

ILTIZAM


      Iltizam adalah bentuk ikatan. Iltizam yang kita harapkan adalah yang tumbuh dengan baik yaitu kesadaran sendiri dari dalam diri seseorang yang dilandasi pengetahuan yang utuh. Untuk itu seseorang perlu mengetahui ruang lingkup iltizam yang baik, sehingga akan mendapatkan berkah dari Allah Taala. Iltizam secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu iltizam dengan syariah dan dengan jamaah. Dari iltizam tersebut diharapkan terbentuk seseorang yang mempunyai kepribadian yang utuh dan sempurna.

Iltizam adalah suatu komitmen yang lahir dari dalam diri (wa’yu dzati) dan bukan sesuatu yang bersifat kamuflase (kepura-puraan)ataupun paksaan.
Menurut Fathi Yakan, iltizam adalah sebuah komitmen terhadap Islam dari hukum-hukumnya secara utuh dengan menjadikan Islam sebagai siklus kehidupan, tolak pikir dan sumber hukum dalam setiap tema pembicaraan dan permasalahan. Sebagaimana perintah Allah Taala dalam, QS. 2:208 agar seorang muslim masuk ke dalam Islam secara kaffah.
Jika seorang muslim telah menjadikan Islam sebagai titik tolak berfikir dalam segala hal maka sikap dan perilakunya bukan sekadar dibuat-buat melainkan dilakukan dengan kesadaran.
Dari ilmu dan pemahaman diharapkan menumbuhkan keyakinan dan iman yang kemudian mensibghah dan pada akhirnya membentuk sikap serta perilaku yang Islami.
Imam syahid Hasan Al-Bana membagi manusia ke dalam tiga kelompok berdasarkan pemahaman dan tingkatan akidahnya:
Kelompok yang menerima iman Islam secara doktrin atau dogmatis yang tidak disertai ilmu dan pemahaman yang memadai. Kualitas keyakinannya minim dan biasanya berubah menjadi keragu-raguan bila ada hal yang menimbulkan keraguan pada dirinya.
Kelompok yang menerima iman Islam karena sesuai dengan logika dan pemikiran bila diungkapkan dengan dalil-dalil berupa logika qurani, maka keimanan dan keyakinan semakin mantap dan bertambah kuat. Hanya saja amalnya masih kurang nampak atau belum terealisir secara baik. Jadi keyakinannya baru sampai tataran logika.
Kelompok yang menerima iman Islam karena memadukan unsur pikir, pemahaman dan ketaatan. Jadi semakin yakin ia akan semakin taat melaksanakan amal shaleh dan memperbaiki ibadahnya hatinya selalu diterangi cahaya Allah.

Indikasi-Indikasi Iltizam

Paling tidak harus ada dua indikator yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki iltizam atau komitmen:
Ada indikator lahiriah yang jelas dan kongkrit. Misalnya seorang muslim yang shaleh akan hampir selalu terlihat shalat berjamaah di masjid atau muslimahnya menutup aurat dengan memakai jilbab. Jadi logikanya tidak bisa dibalik bahwa orang yang shalat di masjid belum atau muslimah berjilbab belum tentu baik. Hal tersebut di atas memang tidak bisa digeneralisir dan kita sulit mengatakan seseorang memiliki iltizam jika ia enggan shalat atau enggan ke masjid dan enggan menutup aurat.
Adanya muraqabah dzatiyah. Kita memang tidak boleh hanya mengandalkan muta ba’ah zhahiriyah, melainkan juga harus menumbuhkan muraqabah dzatiyah agar amal yang dilakukan tidak dinodai kepura-puraan, kamuflase, nifaq, dan riya. Artinya di manapun dan dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun apakah ada orang atau tidak, giat atau malas, suka atau tidak suka, dicaci atau di puji kita tetap konsisten dalam melakukan amal shaleh. Sebagaimana Rasulullah saw. berpesan kepada seorang sahabat yang belum mau pulang atau kembali ke daerah asalnya untuk berdakwah.
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Allah di manapun kamu berada dan iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”

Urgensi Iltizam

Iltizam merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi seorang muslim apalagi bagi aktivis Islam atau para dai, karena iltizam merupakan indikasi amal yang sangat diperlukan dalam konteks kehidupan berjamaah.
Tidak mungkin ahdaful jamaah dapat terealisir tanpa ada junud atau anggota-anggota jamaah yang akan melaksanakan ahdaf dan beriltizam terhadap uslub untuk mencapai ahdaf tersebut.
Hasan Al-Bana menegaskan bahwa awal kesiapan seseorang untuk memasuki tahapan takwin dan tanfidz ialah jika ia memiliki at thaat kaamilah atau ketaatan yang sempurna. Oleh karena itu sasaran atau ahdaf dalam berjamaah tidak akan terwujud tanpa adanya junud yang komit atau berilitizam dalam melaksanakan uslub untuk mencapai ahdaf.
Padahal jamaah Islam sebagai sebuah harakah yang tertata memiliki ahdaf (tujuan-tujuan) dan berusaha untuk mencapainya ahdaf yang dimaksud ialah mendapatkan mardhatillah, meninggikan kalimat Allah, mengibarkan panji-panji Islam kemudian menegakkan Islam di seluruh muka bumi.
Dalam mencapai ahdaf tersebut jamaah memiliki aqayiz dan auzan (kriteria-kriteria dan aturan-aturan). Berdasarkan kriteria-kriteria dan aturan-aturan tersebut diseleksilah para dai dan aktivis yang layak untuk terlibat dalam jamaah (jadi memiliki pola taqwim). Beberapa di antara kriteria tersebut adalah thaat, iltizam, dan jiddiah (kesungguh-sungguhan).
Sehingga sekalipun ada seorang ulama yang paling bertaqwa atau wara’ namun tidak mau komit atau beriltizam, maka ia tidak layak masuk jamaah dan tidak dianggap sebagai anggota atau a’dha jamaah, melainkan sekadar sebagai seorang muslim yang dicintai jamaah.
Kualitas seorang a’dha dalam jamaah dapat dilihat dari sejauh mana kualitas iltizamnya. Semakin besar kadar keiltizamannya seseorang berdasarkan kriteria-kriteria tersebut di atas, maka semakin berbobot pula kualitas dirinya.


Dua Jenis Iltizam

Iltizam secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yakni iltizam terhadap syariat dan iltizam terhadap jamaah.
Iltizam terhadap syariat meliputi aqidah salimah, ibadah shahihah, akhlaq hamidah, dakwah wal jihad, syumul wa tawazun. Sedangkan iltizam terhadap jamaah melingkupi bai’ah, ansyitah, wadzifah, infaq, qararat dan taat kepada pemimpin.
Dimilikinya kedua jenis iltizam tersebut dalam diri seseorang diharapkan akan membentuk manusia yang utuh (insan mutakamil).

1. Iltizam terhadap Syariat

Beriltizam atau memiliki komitmen terhadap aqidah shahihah. Yang dimaksud dengan aqidah salimah ialah akidah yang sehat, bersih dan murni terbebas dari segala unsur nifaq dan kemusyrikan. Dalam QS 2: 165 disebutkan bahwa ada orang–orang yang menjadikan tuhan-tuhan selain Allah sebagai tandingan bagi Allah. Dan mereka mencintai ilah-ilah tandingan tersebut sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat sangat dicintainya kepada Allah, dari ayat tersebut terlihat bahwa kita tidak boleh mengambil sesuatu selain Allah sebagai Tuhan yakni sesuatu yang dicenderungi, dicintai, disembah dan mendominasi hidup kita. Demikian pula dalam segala hal prioritas cinta, kita harus meletakkan cinta kepada Allah dan kemudian jihad di jalan-Nya sebagai prioritas pertama dibanding dengan orang tua, anak, suami/istri, kerabat, harta perniagaan atau rumah kediaman (QS 9: 24), seperti nampak pada keikhlasan muhajirin meninggalkan segala-galanya yang ada di Makkah dan keridhaan para sahabat Anshar untuk menolong mereka. Bagi mereka ridha Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya.
Beriltizam atau berkomitmen terhadap ibadah yang salimah dan istimrar (kontinyu). Seorang a’dha sebagai muslim memiliki kewajiban untuk melakukan ibadah yang shahih terbebas dari segala bid’ah dan khurafat. Dan ia terikat kepada kewajiban tersebut. Sayid Qutb pernah mengatakan bahwa kualitas iltizam seseorang pertama-tama diukur dari komitmennya terhadap shalat baik dari segi ketepatan waktu maupun kekhusyuannya. Shalahuddin Al-Ayyubi, pahlawan pembebasan Al-Quds selalu memantau di malam hari sebelum perang siapa-siapa saja yang tendanya terang karena menegakkan shalat malam dan tilawah Al-Quran dan mereka itulah yang kemudian diberangkatkan ke medan jihad keesokan harinya. Dan ada seorang ulama salafus shaleh yang memimpikan Junaid Al-Baghdadi setelah ia wafat. ketika ditanya apa yang diperhitungkan oleh Allah terhadapnya. Ia ternyata menjawab, “Hilang semua amalku tak ada yang memberi manfaat kecuali beberapa rakaat di waktu malam. Hal itu menunjukkan bobot nilai shalat tahajud.
Memiliki komitmen atau beriltiazam kepada akhlaq hamidah (akhlak terpuji). Akhlaq hamidah jelas harus dimiliki oleh seorang a’dha yang beriltizam. Dan akhlaq hamidah yang dimaksud tentu saja akhlak yang Islami dan qurani. Sebagaimana mana Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia dan dipuji Allah sebagai orang yang berbudi pekerti agung. (QS 68: 4) Aisyah ra. Mengatakan bahwa akhlak beliau adalah Al-Quran. Artinya jika ingin melihat bagaimana Al-Quran dijabarkan secara konkret dalam sikap, perilaku, dan tindak tanduk di segala aspek kehidupan, lihatlah diri Rasulullah. Rasulullah boleh dikatakan “the living quran” atau Al-Quran yang hidup. Bila seorang dai memiliki akhlak yang Islami ia akan mendapat manfaat antara lain bahwa dirinya patut menjadi teladan. Akhlak terpujinya itu juga menjadi daya tarik dakwah dan dirinya juga akan selalu terhindar dari fitnah. Rasulullah saw misalnya pernah dikatakan dukun, tukang sihir, gila dan sebagainya, tetapi akhirnya fitnah-fitnah itu terlepas dengan sendirinya melihat keutamaan pribadi Rasulullah. Begitu pula fitnah keji berupa tuduhan zina terhadap ummul mukiminin Aisyah ra yang dikenal dengan peristwa ‘haditsul ifki’. Beliau akhirnya mendapatkan pembelaan langsung dari Allah dalam surat An-Nur.
Komit atau memiliki iltizam terhadap dakwah wa jihad, dakwah dan jihad. Seorang a’dha yang memiliki komitmen terhadap jamaah dengan harakah, tentu saja harus memiliki iltizam terhadap dakwah dan jihad. Dakwah dan jihad memang tidak bisa dipisahkan satu sama lain seperti dua sisi mata uang. Dakwah adalah upaya untuk meraih keberuntungan di sisi Allah dengan jalan menyeru kepada kebaikan, menyuruh orang berbuat ma’ruf dengan mencegah yang mungkar (QS 3: 104). Sedangkan keutamaan jihad sudah tidak diragukan lagi. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang tidak pernah melakukan jihad dan tidak pernah berniat untuk berjihad, maka matinya dalam keadaan mati jahiliyah” jihad memang dapat dilakukan dengan berbagai bentuk seperti jihad bil mal, bil lisan, dan lain-lain, namun jihad tertinggi adalah qital. Ada konsekuensi logis ketika seseorang beriltizam pada jihad yakni ia juga harus beriltizam terhadap segala sesuatu yang merupakan persiapan untuk itu seperti tarbiah takwiniah yang istimrar dan lain-lain.
Berkomitmen atau beriltizam terhadap syumul wa tawazun. Dienul Islam ajaran yang syamil (integral, komprehensif) dan mutakamil (utuh) serta mutawazinah (seimbang). Pendek kata Islam adalah agama yang sempurna dan diridhai Allah (QS 5:3, 3:19) Sebagaimana alam semesta diciptakan sempurna, tidak ada kekurangan (QS 67: ) dan dalam harmoni tawazun (keseimbangan) seperti dalam (QS 55: 7-9), maka manusia pun bagian dari alam semesta diciptakan Allah dalam keadaan sebaik-baik rupa (QS 95: ). Umat Islam juga dikatakan sebagai “umatan wasatha’“ (umat pertengahan). Ajaran sarat dengan kesyumuliahan dan ketawazunan. misalnya ajaran Islam menyentuh seluruh aspek kehidupan mulai dari hal sepele sampai yang paling berat dan kompleks, (syamil). Kemudian Islam mengajarkan manusia berikhtiar maksimal (QS 13: 11) tetapi juga menyuruh bertawakal (QS 65: ). Islam melarang manusia kikir, tetapi juga tidak membolehkan berlaku boros, israf ataupun melakukan kemubadziran. Jadi seorang a’dha dalam Iltizamnya terhadap syariah harus memiliki komitmen pada syumuliatul dan ketawazunan Islam.

2. Al-Iltizam Bil Jamaah

a. Iltizam terhadap bai’ah.
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْءَانِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 9: 111)
Satu-satunya ayat Al-Quran yang berkaitan dengan masalah harta dan jiwa, tetapi mendahulukan jiwa adalah ayat di atas. Dan transaksi ‘jual-beli’ antara Allah sebagai pembeli dan mukmin sebagai penjual ini erat kaitannya dengan masalah bai’ah. Sikap iltizam terhadap bai’ah yang telah diucapkan nampak jelas pada tokoh Anshar, Nusaibah binti Ka’ab dan Habibi bin Zaid. Nusaibah dengan bai’ah Aqabah II, bertempur mati-matian melindungi dan menjadi perisai Rasulullah di perang Uhud tatkala kebanyakan tentara Islam lain kocar-kacir panik terhadap serangan balik mendadak Khalid bin Walid. Atau Habib bin Zaid yang disiksa Musailamah Al-Kadzab karena tidak mau mengakuinya sebagai nabi, tidak rela menodai bai’ah yang telah Habib bin Zaid diucapkannya walaupun untuk itu ia harus menebusnya dengan nyawa. Tubuhnya dicabik-cabik dan disayat-sayat selagi masih hidup. Sekali kita mengucapkan bai’ah seumur hidup kita terikat untuk beriltizam kepadanya.
b. Komit terhadap ansyithah (kegiatan-kegiatan) baik yang kharijiah (eksternal) maupun dakhiliyah (internal). Seorang a’dha seyogianya memiliki komitmen terhadap semua ansyithah (kegiatan) dalam jamaah baik yang bersifat dakhiliyah (internal) maupun kharijiah (eksternal). Kegiatan internal seperti berusaha selalu hadir dengan tepat waktu dalam acara rutin liqa’ usari dan liqa’ tatsqifi serta daurah-daurah pembekalan dan pengayaan seperti daurah siyasi, daurah murabbi, jalasah ruhiyah dan lain-lain yang diadakan secara berkala. Kemudian bila jamaah terutama dalam era hizbiyah/kepartaian ini banyak melakukan manuver-manuver keluar seperti bakti sosial di daerah-daerah bencana, pengerahan logistik berupa nasi bungkus untuk acara ‘muzhaharah’, penggalangan masa atau demo, tentu saja semuanya harus diikuti pula dengan penuh semangat. Intensitas keterlibatan kita yang tinggi dengan semua kegiatan jama’ah insya Allah akan membuat iltizam kita kepada jamaah semakin kokoh.
c. Beriltizam terhadap wazhifah (tugas-tugas) yang dibebankan jamaah kepadanya. Iltizam atau komitmen terhadap tugas yang dipikulkan pada kita merupakan aspek yang pokok dan mendasar dalam hubungan struktural tanzhim, seorang a’dha harus menyesuaikan diri dengan segala tugas yang dipikulkan ke pundaknya. Baik tugas itu disukai atau tidak dan baik ia sedang rajin maupun malas. Bukan tugas atau wadzhifah yang harus disesuaikan dengan kondisi dirinya, melainkan a’dha tersebut yang harus menyesuaikan diri dengan tugas-tugas yang diamanahkan kepadanya. Sikap seorang a’dha dalam masalah wadzhifah tanzhimiyah hendaklah bijak. Ia tidak akan pernah mencari-cari atau meminta jabatan ataupun wadzhifah tanzhimiyah, namun bila kemudian diamanahi, ia tidak boleh mengelak atau menolak. Seperti Said bin Amir yang dimarahi oleh Umar bin Khathab karena tidak mau mengemban amanah sebagai gubernur di Himsh (Suriah sekarang). “Celaka engkau hai Said, kau bebankan di pundakku beban yang berat (dibaiah sebagai amirul mu’minin), tetapi kau tak mau membantuku “ Akhirnya barulah Said bin Amir mau menerima amanah tersebut.
d. Iltizam atau komit terhadap infaq, baik yang wajib maupun yang sunnah. Sahabat ada yang pernah meminta cuti atau dispensasi (keringanan) dalam hal jihad dan infaq. Rasulullah pun menjawab dengan sangat tajam, “Wa la shadaqah wa la jihadu fiima tadkhulul jannata araan? “Tidak mau bersedekah  dan tidak berjihad, jadi dengan apa kalian akan memasuki surga“. Keutamaan berinfaq atau berjuang dengan harta dan jiwa (QS 9: 111, 61:10-11) sangat sering diungkapkan dalam firman-firman Allah. Bahwa ia akan membalasnya dengan beratus-ratus kali lipat, bahkan dengan surga. Bahkan contoh-contoh keutamaan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurahman bin Auf, Sa’ad bin Raby, Abu Thalhah dan Ummu Sulaim, Aisyah dan Asma binti Abu Bakar, Zainab binti Jahsy, Khadijah, dan lain-lain terukir indah dalam sejarah Islam. Maka suatu kewajaranlah bila kita yang telah berbaiat ini terikat untuk memenuhi kewajiban berinfaq, baik yang wajib maupun yang sunnah.
e. Beriltizam terhadap qararat (keputusan-keputusan) jamaah. Seorang a’dha muntadzim yang bukan hanya beriltizam terhadap syariat tetapi juga pada jamaah seharusnya selalu berada dalam shaf jamaah. Ia berusaha menjalankan tugasnya sebaik-baiknya di manapun ia diputuskan oleh jamaah untuk ditempatkan. Bahkan dalam hadits dikatakan, “Surga untuk seorang hamba jika ia mendapat bagian jaga ia berjaga dengan baik.” Ia pun akan komit pada kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan jamaah dalam amal dan uslub dakwah. Ia terikat dengan keputusan-keputusan, kebijakan-kebijakan jamaah dengan perintah-perintah qiyadah. Sekalipun bertentangan dengan keinginan dan pendapat pribadi. Hendaknya kita harus selalu berprasangka baik bahwa keputusan tersebut adalah yang paling tepat untuk mendatangkan kemaslahatan. Kita bisa mengambil ibrah dari fiqhus shalat agar senantiasa taat dan husnuz zhan pada qiyadah. Dalam shalat bila kita sebagai ma’mum sedang membaca al-fatihah, tetapi imam sudah takbir akan ruku, kita harus segera mengikuti imam, walaupun kita belum siap atau belum selesai membaca al-fatihah.
f. Komit terhadap “tha’atul qiyadah” taat terhadap pemimpin. Ketaatan seorang muslim yang total, utuh dan bulat, memang hanya kepada Allah dan Rasul-Nya (QS 3: 31, 32, 132, 4: 59, 80). Namun di ayat 4: 59 itu pun disebutkan kewajiban taat kepada pemimpin atau ulil amri yang beriman sepanjang tidak dalam rangka kemaksiatan dijalan Allah. Karena laa thaata li makhluqin fi ma’siatil Khaliq’ (tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Sang Pencipta). Seorang a’dha yang telah mengucapkan bai’ah untuk taat dalam giat atau malas, suka atau tidak suka keadaan harus menaati qiyadahnya atau naqibnya sebagai sosok kepemimpinan dalam jamaah yang terdekat dengannya.
Untuk mengefektifkan iltizam seorang a’dha baik dalam ruang lingkup syar’i maupun tanzhimi, hendaknya seorang a’dha memiliki pemahaman yang baik tentang perjalanan yang benar dalam melakukan amal Islam yang kemudian keimanan dan ketakwaan yang senantiasa terjaga.
Iltizam kepada kewajiban-kewajiban syariah membuat seorang muslim menjadi syakhshiyah muslimah atau pribadi Islami. Segala sikap dan tindak–tanduknya tidak akan menyimpang dari koridor syar’i.
Dan bila ia kemudian memiliki cita-cita luhur tak hanya ingin menjadi shalih atau shalihah, namun juga berusaha membuat orang lain menjadi shalih (muslih), maka ia akan berjuang bersama dalam sebuah jamaah atau gerakan dakwah. Ia bergabung dengan harakah yang bertujuan membebaskan negeri-negeri Islam, menyadarkan umatnya dalam menyerukan kalimat-Nya di muka bumi. Bergabungnya ia dengan gerakan dakwah tersebut membuat ia terikat atau beriltizam dengan kewajiban-kewajiban yang ada dalam jamaah tersebut. Maka jadilah syaksiah harakiah atau pribadi yang haraki, dinamis bergerak dan berjuang.
Seorang a’dha yang dalam dirinya terdapat kedua jenis iltizam tadi, maka ia muncul menjadi syakhshiyah muslimah mutakamilah atau pribadi Islami yang utuh.
Semakin banyak orang yang terbentuk menjadi syakhshiyah muslimah mutakamilah insya Allah harapan Syahid Sayid Qutb, “A- Mustaqbal li haadza dien(Masa Depan Di Tangan Islam) akan dapat terwujud. Amin

Wallahu a’lam

Selasa, 17 Mei 2016

Makna Muhasabah





Dari Syadad bin Aus r.a., dari Rasulullah saw., bahwa beliau berkata, ‘Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt. (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan’)
Gambaran Umum Hadits
Hadits di atas menggambarkan urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Karena hidup di dunia merupakan rangkaian dari sebuah planing dan misi besar seorang hamba, yaitu menggapai keridhaan Rab-nya. Dan dalam menjalankan misi tersebut, seseorang tentunya harus memiliki visi (ghayah), perencanaan (ahdaf), strategi (takhtith), pelaksanaan (tatbiq) dan evaluasi (muhasabah). Hal terakhir merupakan pembahasan utama yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam hadits ini. Bahkan dengan jelas, Rasulullah mengaitkan evaluasi dengan kesuksesan, sedangkan kegagalan dengan mengikuti hawa nafsu dan banyak angan.
Indikasi Kesuksesan dan Kegagalan
Hadits di atas dibuka Rasulullah dengan sabdanya, ‘Orang yang pandai (sukses) adalah yang mengevaluasi dirinya serta beramal untuk kehidupan setelah kematiannya.’ Ungkapan sederhana ini sungguh menggambarkan sebuah visi yang harus dimiliki seorang muslim. Sebuah visi yang membentang bahkan menembus dimensi kehidupan dunia, yaitu visi hingga kehidupan setelah kematian.
Seorang muslim tidak seharusnya hanya berwawasan sempit dan terbatas, sekedar pemenuhan keinginan untuk jangka waktu sesaat. Namun lebih dari itu, seorang muslim harus memiliki visi dan planing untuk kehidupannya yang lebih kekal abadi. Karena orang sukses adalah yang mampu mengatur keinginan singkatnya demi keinginan jangka panjangnya. Orang bertakwa adalah yang ‘rela’ mengorbankan keinginan duniawinya, demi tujuan yang lebih mulia, ‘kebahagian kehidupan ukhrawi.’
Dalam Al-Qur’an, Allah swt. seringkali mengingatkan hamba-hamba-Nya mengenai visi besar ini, di antaranya adalah dalam QS. Al-Hasyr (59): 18–19.
Muhasabah atau evaluasi atas visi inilah yang digambarkan oleh Rasulullah saw. sebagai kunci pertama dari kesuksesan. Selain itu, Rasulullah saw. juga menjelaskan kunci kesuksesan yang kedua, yaitu action after evaluation. Artinya setelah evaluasi harus ada aksi perbaikan. Dan hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya dalam hadits di atas dengan ’dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian.’ Potongan hadits yang terakhir ini diungkapkan Rasulullah saw. langsung setelah penjelasan tentang muhasabah. Karena muhasabah juga tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya tindak lanjut atau perbaikan.
Terdapat hal menarik yang tersirat dari hadits di atas, khususnya dalam penjelasan Rasulullah saw. mengenai kesuksesan. Orang yang pandai senantiasa evaluasi terhadap amalnya, serta beramal untuk kehidupan jangka panjangnya yaitu kehidupan akhirat. Dan evaluasi tersebut dilakukan untuk kepentingan dirinya, dalam rangka peningkatan kepribadiannya sendiri.
Sementara kebalikannya, yaitu kegagalan. Disebut oleh Rasulullah saw, dengan ‘orang yang lemah’, memiliki dua ciri mendasar yaitu orang yang mengikuti hawa nafsunya, membiarkan hidupnya tidak memiliki visi, tidak memiliki planing, tidak ada action dari planingnya, terlebih-lebih memuhasabahi perjalanan hidupnya. Sedangkan yang kedua adalah memiliki banyak angan-angan dan khayalan, ’berangan-angan terhadap Allah.’ Maksudnya, adalah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, sebagai berikut: Dia (orang yang lemah), bersamaan dengan lemahnya ketaatannya kepada Allah dan selalu mengikuti hawa nafsunya, tidak pernah meminta ampunan kepada Allah, bahkan selalu berangan-angan bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosanya.
Urgensi Muhasabah
Imam Turmudzi setelah meriwayatkan hadits di atas, juga meriwayatkan ungkapan Umar bin Khattab dan juga ungkapan Maimun bin Mihran mengenai urgensi dari muhasabah.
1. Mengenai muhasabah, Umar r.a. mengemukakan:
‘Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.
Sebagai sahabat yang dikenal ‘kritis’ dan visioner, Umar memahami benar urgensi dari evaluasi ini. Pada kalimat terakhir pada ungkapan di atas, Umar mengatakan bahwa orang yang biasa mengevaluasi dirinya akan meringankan hisabnya di yaumul akhir kelak.  Umar paham bahwa setiap insan akan dihisab, maka iapun memerintahkan agar kita menghisab diri kita sebelum mendapatkan hisab dari Allah swt.
2. Sementara Maimun bin Mihran r.a. mengatakan:
‘Seorang hamba tidak dikatakan bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisab pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya’.
Maimun bin Mihran merupakan seorang tabiin yang cukup masyhur. Beliau wafat pada tahun 117 H. Beliaupun sangat memahami urgensi muhasabah, sehingga beliau mengaitkan muhasabah dengan ketakwaan. Seseorang tidak dikatakan bertakwa, hingga menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri. Karena beliau melihat salah satu ciri orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa mengevaluasi amal-amalnya. Dan orang yang bertakwa, pastilah memiliki visi, yaitu untuk mendapatkan ridha Ilahi.
3. Urgensi lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah swt. dengan kondisi sendiri-sendiri untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya. Allah swt. menjelaskan dalam Al-Qur’an: “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” [QS. Maryam (19) : 95, Al-Anbiya’ (21) : 1].
Aspek-Aspek Yang Perlu Dimuhasabahi
Terdapat beberapa aspek yang perlu dimuhasabahi oleh setiap muslim, agar ia menjadi orang yang pandai dan sukses.
1.Aspek Ibadah
Pertama kali yang harus dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena ibadah merupakan tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi ini. [QS. Adz-Dzaariyaat (51): 56]
2. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki 
Aspek kedua ini sering kali dianggap remeh, atau bahkan ditinggalkan dan ditakpedulikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Karena sebagian menganggap bahwa aspek ini adalah urusan duniawi yang tidak memberikan pengaruh pada aspek ukhrawinya. Sementara dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda :
Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang  5 perkara; umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudanya, kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, dan ilmunya sejauh mana pengamalannya.’ (HR. Turmudzi)
3.Aspek Kehidupan Sosial Keislaman 
Aspek yang tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan sosial, dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengan sesama manusia. Karena kenyataannya aspek ini juga sangat penting, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits :
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?’ Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain. Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)
Melalaikan aspek ini, dapat menjadi orang yang muflis sebagaimana digambarkan Rasulullah saw. dalam hadits di atas. Datang ke akhirat dengan membawa pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga datang ke akhirat dengan membawa dosa yang terkait dengan interaksinya yang negatif terhadap orang lain; mencaci, mencela, menuduh, memfitnah, memakan harta tetangganya, mengintimidasi dsb. Sehingga pahala kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya. Bahkan karena kebaikannya tidak cukup untuk menutupi keburukannya tersebut, maka dosa-dosa orang-orang yang dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya. Hingga jadilah ia tidak memiliki apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat tidak memperhatikan aspek ini. Na’udzubillah min dzalik.
4. Aspek Dakwah 
Aspek ini sesungguhnya sangat luas untuk dibicarakan. Karena menyangkut dakwah dalam segala aspek; sosial, politik, ekonomi, dan juga substansi dari da’wah itu sendiri mengajak orang pada kebersihan jiwa, akhlaqul karimah, memakmurkan masjid, menyempurnakan ibadah, mengklimakskan kepasrahan abadi pada ilahi, banyak istighfar dan taubat dsb.
Tetapi yang cukup urgens dan sangat substansial pada evaluasi aspek dakwah ini yang perlu dievaluasi adalah, sudah sejauh mana pihak lain baik dalam skala fardi maupun jama’i, merasakan manisnya dan manfaat dari dakwah yang telah sekian lama dilakukan? Jangan sampai sebuah ‘jamaah’ dakwah kehilangan pekerjaannya yang sangat substansial, yaitu dakwah itu sendiri.
Evaluasi pada bidang dakwah ini jika dijabarkan, juga akan menjadi lebih luas. Seperti evaluasi dakwah dalam bidang tarbiyah dan kaderisasi, evaluasi dakwah dalam bidang dakwah ‘ammah, evaluasi dakwah dalam bidang siyasi, evaluasi dakwah dalam bidang iqtishadi, dsb?
Pada intinya, dakwah harus dievaluasi, agar harakah dakwah tidak hanya menjadi simbol yang substansinya telah beralih pada sektor lain yang jauh dari nilai-nilai dakwah itu sendiri. Mudah–mudahan ayat ini menjadi bahan evaluasi bagi dakwah yang sama-sama kita lakukan: Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [QS. Yusuf (12): 108]


ENAM HAK SOSIAL SEORANG MUSLIM



Rasulullah saw menggambarkan hubungan sosial orang-orang beriman bagaikan sebuah bangunan yang saling menguatkan. (Muttafaq alaih). Dalam kesempatan lain Rasulullah menggambarkan kasih sayang, dan tenggang rasa sesama mu’min bagaikan satu tubuh, yang jika ada salah satu bagian yang sakit maka sekujur tubuh akan ikut bersimpati dengan panas dan berjaga (Muttafaq alaih).
Demikianlah Islam membangun sebuah masyarakat. Mereka tidak diikat dengan kebangsaan dan hubungan darah tetapi mereka diikat dengan aqidah. Berdasar aqidak yang bersih itulah Islam membentuk pola hubungan kemasyarakatan yang memancarkan nilai-nilai kemanusiaan, kasih sayang, dan tenggang rasa. Nilai-nilai itu tidak dibiarkan tumbuh dalam improvisasi personal masing-masing individu anggota masyarakat, akan tetapi Islam meletakkan batas pijakan hak dan kewajiban antar individu dalam masyarakat itu. Sehingga tidak akan terjadi tuntutan hak yang berlebihan dari satu fihak dan pengurangan hak di fihak lain. Rasulullah saw bersabda:

“Hak muslim atas muslim lainnya ada lima, yaitu: menjawab salam, membesuk di waktu sakit, mengantarkan jenazahnya, memenuhi undangannya, dan mendoakannya jika bersin (jika ia membaca alhamdulillah). Muttafa alaih. Dalm riwayat lain Iman Muslim dari Abu Hurairah: Hak muslim itu ada enam, yaitu: Jika bertemu berikan salam kepadanya, jika mengundang maka penuhilah, jika meminta nasehat maka nasehatilah, jika bersin dan memuji Allah maka doakanlah, jika sakit besoklah, dan jika mati antarkan jenazahnya”.

1.    Mengucapkan Salam
Salam yang berarti damai adalah cermin kepribadian orang beriman. Ia mengenali dan memperkenalkan dirinya kepada saudaranya seiman. Perkenalan adalah qadliyah basyariyah (masalah kemanusiaan) sebelum qadliyah imaniyah (masalah keimanan) . Firman Allah:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات:13) 
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. 49:13)
Aktualisasi diri pengenalan seseorang terhadap sesamanya dapat terjadi dalam bermacam-macam, bahasa,  bentuk dan warna. Dan dengan berbagai macam perbedaan itu gaya itu membuat komunikasi antar bangsa yang berbeda bahasa, suku, dan adat kebiasaan menjadi tersumbat.
Islam membuka sumbatan itu dengan mengajarkan kalimat pembuka yang akan menyambung komunikasi antara sesama manusia, dengan pendekatan ruhiyah. Dengan salam itulah jalinan rasa antara sesama mu’min terbina. Komunikasi imaniyah adalah komunikasi ruhiyah. Di situlah salam memerankan diri sebagai penyambung hati antara orang-orang beriman. Sabda Nabi:

“… Dan kamu ucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan yang belum kamu kenal”. (Muttafaq alaih).
Salam yang diberikan seorang mukmin kepada saudaranya seiman adalah salam yang datangnya dari Allah swt. Firman Allah:
... فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتاً فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً ... (النور:61) 
“… Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik…” QS. 24:61 
Dalam semangat salam itulah Islam menyusun barisan umat ini untuk menegakkan sebuah peradaban mulia. Masyarakat yang merekatkan diri pada jalinan nilai yang memadukan hati, bukan hanya kedekatan fisik semata. Rekatan imaniyah dalam bangunan sosial inilah yang akan menjauhkan masyarakat itu dari faktor-faktor yang dapat menimbulkan perpecahan, perselisihan, kelemahan, yang menjadi penyebab kegagalan dan kekalahan. Firman Allah:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ (لأنفال:46)
“Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. QS. 8:46
Dengan kesatuan dan kebersamaan umat ini akan dapat dengan mudah merealisasikan tujuan-tujuan mulianya. Oleh karen itu awal pertemuan seorang mukmin dengan sesama mukmin dibuka dengan ucapan salam. Rasulullah saw menjadikan salam ini sebagai salah satu ciri orang beriman, dan sekaligur kunci masuk surga.

Demi Dzat yang diriku dalam genggaman-Nya, mereka tidak akan masuk surga sehingga mereka beriman, dan mereka tidak beriman sehingga mereka saling mencintai. Maukah kamu aku tunjukkan sesuatu yang jika kamu mengerjakan-nya kamu saling mencitai? Sebarkan salam di kalanganmu”. HR. Muslim
Kalimat salam ini lebih menegaskan bahwa agama mereka adalah agama damai dan aman, serta mereka adalah penganut salam (perdamaian) dan pecinta damai.
Salam adalah alat penghormatan internal antara kaum muslimin, termasuk kepada anak-anak yang masih kecil. Anas ra bertemu dengan anak-anak kecil, lalu memberikan salam kepada mereka, dan berkata: Bahwasannya Rasulullah melakukannya (Muttafaq alaih). Kepada orang yang tidak seiman tidak diperbolehkan memberi salam Sabda Nabi :

“Janganlah kamu memulai memberi salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Lalu jika kamu berpapasan dengan salah satunya di jalan, maka pepetlah ia samap ke jalan yang paling sempit”.
Rasulullah telah mengajarakan cara  memberi salam sesama muslim:

“Hendaklah orang yang berkendaraan mengucapkan salam kepada orang yang berjalan kaki, orang yang berjalan kaki kepada yang duduk, dan orang yang sediki kepada orang yang banyak”. (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Al Bukhari yang lain : “Orang yang lebih muda mengucapkan salam kepada yang lebih tua”.
Dalam kesempatan lain Rasulullah memotivasi kaum muslimin untuk memulai memberi salam, dengan bersabda:

“Orang yang paling mulia di sisi Allah, adalah yang memulai memberi salam”. (HR. Abu Dawud)
Dan seseorang tidak layak memulai pembicaraan kepada sesamanya sebelum ia memberi salam kepadanya. Karena salam adalah ungkapan rasa aman dan orang yang belum merasa aman akan sulit diajak berkomunikasi. Rasulullah bersabda:

“Barang siapa mulai berbicara sebelum salam maka jangan dijawab, sehingga ia memberi salam”. HR Ath Thabrani, dan Abu Nu’aim”.
Ada hal lain yang sering dikaitkan dengan salam adalah bersalaman, dalam bahasa Arab disebut Mushafahah (berjabat tangan). Berjabatan tangan lebih menunjukkan kedekatan, dan kemesraan hubungan. Rasulullah saw bersabda:

“Jika dua orang mukmin lalu keduanya berjabatan tangan maka Allah berikan kepadanya tujuh puluh ampunan, enam puluh sembilan untuk orang yang paling baik kegembiraannya”. HR Hakim.

2.    Memenuhi Undangan
Undangan yang diberikan seorang muslim kepada sesamanya menunjukkan penghormatan dan perhatian yang besar kepada orang yang diundang. Dan kehadiran orang yang diundang menjadi kebahgiaan besar bagi orang yang mengundang.
Islam sangat memperhatikan masalah ini. Ikut berbahagia atas kebahagiaan saudara seimana dan ikut berduka atas musibah yang menimpa saudara seiman menjadi ciri utama hubungan imaniyah, yakni: saling memperhatikan, berbagi suka dan duka dengan sesama.
Dalam pandangan Islam yang lebih rajih (kuat) , memenuhi undangan seorang muslim adalah wajib. Sabda Nabi:

“Barang siapa diundang suatu walimah maka penuhilah. (HR. Muslim)  Dalam riwayat lain: Barang siapa tidak memenuhi undangan tersebut maka ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Kewajiban memenuhi undangan itu dengan syarat:
a.    Undangan tidak membedakan miskin dan kaya. Rasulullah bersabda:

“Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah, tidak dihadiri orang yang menginginkannya (miskin) dan diundang orang yang tidak menghendakinya (kaya)”. HR. Muslim.
b.    Undangan ditujukan kepada seseorang secara khusus. Maka jika undangan dibuka untuk umum, bagi semua orang yang berminat, maka tidak wajib mengahdirinya. 
c.    Kehadirannya tidak karena takut atas kezaliman orang yang mengundang, atau karena ingin mendapatkan kedudukan, rekomendasi, dsb.
d.    Kehadirannya tidak membuat orang yang ada di sana mejadi terganggu.
e.    Tidak ada kemunkaran dalam undangan itu, seperti khamr, dsb.
f.     Undangan pada hari pertama. Jika seseorang mengadakan walimah tiga hari maka hari kedua dan ktiga, tidak wajib dihadiri.
Ketika seseorang menerima banyak undangan dalam waktu yang bersamaan, maka ia wajib mendatangi undangan yang paling awal. Dan jika undangannya itu datang bersamaan, maka ia hanya wajib menghadiri undangan orang yang paling dekat hubungan darahnya (rahim), kemudian orang yang lebih dekat jarak rumahnya.

3.    Memberi Nasehat
Beriman dan beramal shalih saja tidak cukup menjamin keberhasilan hidup manusia. Ada sisi lain yang sangat berpengaruh bagi keberhasilan hidup seseorang adalah sikap saling memberi nasehat dalam kebenaran dan saling memberi nasehat dalam kesabaran (QS. Al Ashr). Ini artinya orang beriman yang baik adalah orang yang  pandai menerima nasehat sebagaimana ia pandai memberi nasehat. Sabda Nabi:

“Agama adalah nasehat. Ada sahabat yang bertanya: Untuk siapa? Jawab Nabi: Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin muslim, dan Islam pada umumnya”. HR. Muslim.
Nasehat/masukan  kepada sesama muslim wajib diberikan ketika:
a.       Orang yang bersangkutan meminta nasehat/masukan, tentang apa yang hendak dikerjakan. Sabda Nabi:

“Jika salah seorang diantaramu meminta nasehat kepada saudaranya, maka hendaklah ia memberikan nasehat kepadanya”. HR. Al Bukhari
b.    Ketika orang yang bersangkutan melakukan kesalahan, maka saudara muslim yang lain wajib memberikan nasehat dengan cara yang bijak.
Nasehat yang baik akan mendorong orang lain untuk melakukan kebaikan. Nasehat yang tulus akan berpengaruh dan membekas dalam hati seseorang.
Adab dalam memberikan nsehat kepada saudara muslim adalah :
a.    Pemberi nasehat tidak merasa lebih baik daripada peminta nasehat.
b.    Nasehat dilakukan secara tertutup, tidak dengan terbuka di muka umum. Karena perbedaan antara mencemooh dan menasehati adalah forum terbuka atau tertutup.
c.    Pemberi nasehat hendaklah berusaha mengamalkan apa yang ia nasehatkan. Sebab nasehat yang tidak diamalkan oleh pemberi nsehat, bagaimana mungkin akan diterima peminta nasehat.
d.    Nasehat diberikan dengan ikhlas, tidak ada tendensi apapun kecuali karena Allah.

4.    Mendoakannya ketika bersin
Bersin adalah sunnatullah untuk membantu manusia mengeluarkan kotoran/penyakit yang ada pada dirinya. Rasululah saw  bersabda:

orang yang bersin mengucapkan “alhamdulillah”, dan orang yang mendengarnya mengucapkan “yarhamukallah” (semoga Allah menyayangimu), dan yang bersin membalas: ”Yahdikumullah wa ysuhlihu baalakum” (semoga Allah menunjukimu dan memperbaiki keadaanmu. HR. Al Bukhari
Mendoakan orang yang bersin merupakan wujud perhatian dan kasih sayang sesama muslim. Ketika orang yang bersin membaca “alhamdulilllah” dengan serta merta orang yang mendengarnya mendoakan “yarhamukallah”, sebuah kalimat simpati dan doa atas kondisi saudara yang senantiasa memuji Allah dalam setiap keadaan khususnya saat bersin. Maka mendoakan dengan rahmat Allah layak diberikan kepada saudaranya yang telah memuji Allah. Dan saat mendapatkan doa dari sesamanya, orang yang bersin itupun membalas dengan mendoakannya pula.
Saling mendoakan sesama muslim ini menunjukkan jalinan tali persaudaraan yang erat, dan solid umat Islam. Di sisi lain, suasana ini menunjukkan bahwa kehidupan muslim adalah kehidupan yang dipenuhi dengan doa dan harapan baik.
Perhatian kepada orang yang bersin tidak hanya dalam ungkapan doa saja, tetapi kesehatan orang yang bersin itupun harus mendapatkan perhatian pula. Anas ra menceritakan:

“Rasulullah saw pernah mendoakan orang yang bersin, lalu ketika orang itu bersin lagi Rasulullah tidak mendoakannya. Ada sahabat yang bertanya: “ Ya Rasulallah, Sesungguhnya ia memuji Allah, tetapi Engkau diam saja? Jawab Nabi: Orang yang bersin didoakan oleh sesama muslim, jika ia bersin tiga kali, jika lebih dari itu, ia sedang menderita sakit”. HR. Abu Dawud.  Dalam riwayat lain: Kepada orang yang bersin lebih dari tiga kali itu Nabi katakan: Kamu sedang tidak enak badan (sakit)” HR. Muslim.
Orang yang bersin diajarkan pula untuk merndahkan suaranya, dan menutupi mulutnya. Abu Hurairah ra menceritakan:

Bahwa Rasulullah saw jika bersin, ia rendahkan suaranya dan ia tutupi mulutnya dengan kain atau tangannya”.   HR Abu Daud, dan At Tirmidzi.
Doa “yarhamukallah” hanya ditujukan kepada sesama muslim, sedang kepada orang yang tidak seiman, jika ia bersin dan membaca hamdalah, maka cukup didoakan dengan “ yahdikumullah” (semoga Allah menunjukimu),  bukan “yarhamukallah” (semoga Allah menyayangimu). Abu Al Asy’ari menceritakan:

“Bahwa ada orang Yahudi yang bersin di hadapan Rasulullah saw dengan harapan agar Rasulullah mendoakannya “yarhamukallah”, tetapi Rasulullah mendoakannya dengan “Yahdikumullah”. Hr. Abu Daud dan At Tirmidzi.  

5.    Menjenguknya ketika sakit
Orang yang sedang sakit adalah orang yang sedang mengalami ujian. Hari-harinya menjadi panjang. Keterbatasannya dalam melakukan aktifitas menempatkannya dalam kejenuhan. Dan hilangnya selera membuat hidupnya tidak menggairahkan.
Orang yang sedang sakti tidak hanya memerlukan obat-obat material dalam penyembuhannya, lebih dari itu ia sangat membutuhkan obat-obat moril sebagai dukungan untuk meringankan beban penderitaannya.
Kehadiran saudara seiman berkunjung kepada orang yang sedang sakit merupakan obat ma’nawiyah yang sangat berguna. Membuat orang yang sakit tidak lagi dalam keterasingan atau kesendirian. Maka Islam menjadikan kunjungan kepada orang yang sakit ini  menjadi salah satu kewajiban berukhuwwah (bersaudara)
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya Allah berfirman pada hari kiamat: “Wahai bani Adam, Aku sakit dan kamu tidak menjengukku”. Bani Adam berkata: “Wahai Rabbku, bagaimana bisa aku menjenguk-Mu, sedang Engkau adalah Tuhan sekalian alam? Allah menjawab: “Tidakkan kamu mengetahui bahwa seorang hamba-Ku –fulan- sakit dan kamu tidak menjenguknya? Tidakkah kamu mengetahui bahwa andaikata kamu menjenguknya, kamu mendapati-Ku di sisinya?” HR. Muslim.
Rasulullah saw memotovasi umat Islam agar menjenguk orang sakit dengan menempatkannya  di antara buah-buahan surga. Sabda Rasulullah:

“Sesungguhnya seorang muslim apabila menjenguk saudaranya sesama muslim, maka ia tetap berada di antara buah-buahan surga yang siap dipetik, samapi akhirnya ia kembali”.  HR. Muslim.
Dalam membesuk orang sakit, Islam mengajarkan beberapa doa yang dipanjatkan untuk mengharapkan kesembuhan orang yang sakit. Misalnya:
a.    La ba’sa Thahurun Isyaallah,
b.    Allahummasyfi antasysyafi, la syifa’a illa syifa’uka, syifaa’an la yughadiru saqama.
c.    Allahumma Rabbinnas, adzhibil baas, dst.
Ketika seseorang tidak dapat melaksanakan kewajiban ini sering kali berdalih bahwa ia tidak mengetahui jika si fulan itu sakit. Ditambah lagi dalam akhlaq Islam diajarkan bahwa, orang yang sakit tidak boleh mengadukan penyakitnya kepada sesama manusia.
Sebelum penegakan hak dan kewajiban ini, ada satu akhlaq Islam yang menjadi pengantar penegakannya, yaitu tafaqqud (mencari berita orang yang tidak dijumpainya). Nabi Sulaiman dalam pertemuan dengan seluruh rakyatnya, mempertanyakan ketidak hadiran burung Hud-hud. Rasulullah saw ketika bertemu dengan para shabatnya sering menanyakan keadaan sahabat yang tidak hadir, maksimal tiga hari. Jika sakit ia kunjungi, jika pergi ia pesankan kepada keluarganya, jika ada di rumah ia datangi.

6.    Mengiringi Jenazahnya
Persaudaraan sejati tidak terbatas di alam dunia ini saja. Tetapi ketika seseorang sudah menjadi mayit, persaudaraan itu masih terus terjalin yang disimbolkan dengan mengurusnya, memandikan, mengkafani mensolatkan dan mengantarkan jenazahnya ke peristirahatan terakhirnya, menyaksikan saudaranya memasuki liang lahd. Iringan terakhir di dunia dengan harapan agar bertemu kembali di surga nanti.
Mengantarkan jenazah saudara muslim memberikan manfaat besar, antara lain:
a.    Menunjukkan penghormatan kepada mayit dan keluarganya.
b.    Memberikan nasehat kematian kepada pribadi pengantar (dzikrul maut).
Mak-hul Ad Dimasyqi berkata:

“Ayo bergegaslah semua, karena kita semua akan segera berangkat, kematian adalah nasehat yang baligh (dalam) atas kelalaian kita yang sangat cepat”.
Ketika Malik bin Dinar mengantarkan jenazah saudaranya, ia menangis  dan berkata:

“Demi Allah, tidak akan berhenti mataku (berlinang air mata) sehingga aku yakin ke mana aku akan pulang. Demi Allah, hal itu tidak aku ketahui selama aku hidup di dunia ini”.

c.    Mendapatkan pahala besar. Sabda Nabi:

“Barang siapa yang mengantarkan jenazah, maka ia mendapatkan pahala satu qirath, dan jika ia menunggu hingga pemakamannya maka ia mendapatkan dua qirath. HR Al Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat lain : satu qirath adalah sebesar gunung Uhud”.
Abdullah bin Umar ketika mendengar hadits ini, ia berkomentar:
Sesungguhnya sampai sekarang kita telah banyak kehilangan beberapa qirath.


Wallahu a’lam.