Minggu, 12 Februari 2017

MANUVER-MANUVER DAKWAH


بسم الله الرحمن الرحيم

  1. Sebagai makhluk sosial kita tentu harus bergaul dengan manusia lain. Kemudian, mau tidak mau kita akan terpengaruh oleh mereka. Dan dakwah datang untuk mempengaruhi orang lain menempuh jalan kebenaran. Melakukan kebaikan dan menebarkannya. Mencegah kemungkaran dan memusnahkannya. Karena dakwah tak harus ceramah, maka banyak sekali manuver dakwah yang bisa kita lakukan. Yang penting niat ikhlas dan pesan yang disampaikan itu bersumber (berdalil), bismillah mulai! 
  2. KELUARGA. Orang yang paling dekat dengan kita. Kita menyayangi mereka bukan? Maka janganlah kita biarkan mereka terjatuh dalam kesalahan. Apa yang kau takutkan dari keluargamu? Tinggal kita poles caranya saja. Sebagaimana kita berkumpul di dunia ini dalam ikatan keluarga, semoga di surga nanti juga seperti ini. Jangan egois dong! 
  3. TEMAN DEKAT. Bahasa teman biasanya mudah dimengerti. Karena dia sebaya dan merasakan serta mengalami yang seperti kita alami. Banyak remaja mudah terpengaruh dengan temannya. Nah, kenapa kita tak beri pengaruh baik? Toh itu juga sebagai wujud bahwa kita adalah ‘teman’ bukan ‘perusak’. Bukan hanya dalam senang kita berteman, tapi dalam semua keadaan. Betapa indahnya pertemanan yang dijalin dengan ikatan Islam. 
  4.  GURU. Guru memberi kita ilmu dan mengajarkan kita bertingkah laku. Itu lazimnya. Jika begitu, apa alasan kita meninggalkannya saat salah? Bukankah guru juga manusia? Harus ada timbal baliknya. Kita harus peduli pada guru kita juga. 
  5.  ANAK-ANAK. Dunia mereka adalah bermain. Tapi ada satu keistimewaan mereka, yaitu ‘rasa ingin tahu’. Maka buatlah suatu hal yang memancing keingintahuan mereka. Sampaikan sesuai kemampuan akal mereka. Sambil santai dan rileks, kita ajak mereka pada kebaikan. 
  6.  KENALAN. Berapa tahun sudah berjalan? Berapa kenalan yang kita jumpai? Tidakkah terbetik di hati kita untuk berbagi dengan mereka? Apakah kita rela kesalahan, keburukan dan dosa senantiasa beserta mereka tanpa kita ingatkan, dan mereka tak tahu. Bisa saja dengan kita beritahu dia mau meninggalkan keburukan itu. Kenapa tidak kita coba? 
  7. ORANG JAUH. Yang tidak kita kenal. Baik yang telah kita jumpai maupun belum. Misalnya orang-orang yang sering berpapasan dengan kita di angkot, pasar, perkantoran, di jalanan dan lainnya. Atau orang yang belum pernah kita jumpai. Seperti orang di dunia maya. 
  8.  TARGET LAINNYA. Anak sekolah, mahasiswa, pegawai, petani, pedagang, artis, penyanyi, dan lainnya. 
  9.  Semoga dengan nasehat yang kita berikan bisa membuatnya dan diri kita juga menjadi lebih baik. Kalaupun tak mereka terima ya tak apa-apa. Toh kita akan tetap dihitung beramal shaleh. Wallahu a’lam.

Agar Pesan Sampai Ke Hati



Seorang pasien penderita penyakit kanker terbaring di atas tempat tidur di sebuah rumah sakit yang entah rumah sakit ke berapa yang pernah disinggahinya. Dan kali ini pun hasil yang didapat tidak jauh berbeda dengan perawatan sebelumnya. Bahkan dokter yang menanganinya sempat menghampirinya. Sambil mengangkat kedua tangannya ia berkata kepada si pasien, bahwa seluruh upaya medis telah ditempuh. Karena kondisi penyakit yang sangat kritis, agaknya harapan untuk sembuh sangat tipis.

Bisa dibayangkan bagaimana reaksi pasien tersebut. Sedih, gelisah, depresi, tidak ada lagi gairah dan upaya. Berbeda halnya jika si dokter yang merawatnya itu mengatakan hal lain, kondisinya memang sangat parah, namun, menurutnya, masih ada harapan untuk sembuh. Tentu si pasien sangat bergembira mendengarnya. Kata-kata dokter itu akan mempengaruhi semangatnya untuk sembuh.
Kata-kata mempunyai kekuatan yang luar biasa. Bahkan terkadang ia lebih ampuh daripada senjata. Dalam hal ini pepatah lama masih relevan, bahwa lidah lebih tajam daripada pedang. Betapa sering sebuah perang berkobar disebabkan oleh kata. Demikian pula sebaliknya, perang dapat dihentikan oleh sebuah diplomasi atau secarik kertas perjanjian damai. Seorang penulis wanita Jerman, Annemarie Schimmel, berbicara tentang kekuatan kata. “Kata yang baik laksana pohon yang baik. Kata diyakini sebagai suatu kekuatan kreatif oleh sebagian besar agama di dunia; katalah yang mengantarkan wahyu; kata diamanahkan kepada umat manusia sebagai titipan yang harus dijaga, jangan sampai ada yang teraniaya, terfitnah, atau terbunuh oleh kata-kata.”
Karena kata-kata seseorang bisa bergairah, bersemangat, terhibur dari duka, seorang pasien akan mempunyai harapan sembuh oleh kata-kata dokter. Yang terkadang kondisi sesungguhnya berlawanan dengan kata-kata itu, sekadar untuk menerbitkan semangat. Juga karena kata-kata, hati yang tadinya cerah berbunga-bunga menjadi redup sedih. Tadinya optimis menjadi pesimis. Bersemangat menjadi patah arang.
Kata-kata sebagai alat yang ampuh untuk berbagai kepentingan orang. Melobi, mempengaruhi, merayu, menghina, melecehkan, membalaskan sakit hati. Dan kata orang, ia adalah senjata bermata dua. Jika kata-kata itu keluar dari orang baik dan suka melakukan perbaikan, maka dampak yang ditimbulkannya akan positif. Namun jika ia diungkapkan oleh orang jahat dan mencintai tersebarnya kejahatan di muka bumi ini, dampak yang ditimbulkannya tentu kejahatan itu sendiri sebagai produk hatinya yang jahat itu.
Seorang dai dengan tugas dakwahnya mengajak orang kepada Allah dalam taat dan ibadah kepada-Nya. Aktivitas dakwahnya sangat didominasi oleh penyampaian kata-kata. Sebab sasaran yang hendak dituju adalah akal manusia itu sendiri. Jika tujuan dakwah adalah melakukan perubahan (taghyir), maka faktor utama yang dapat mempengaruhi proses perubahan adalah akal pikiran. Dengan adanya perubahan pada tataran pemahaman dan pola pikir, maka perubahan persepsi dan tingkah laku bisa terjadi.
Penyampaian kata-kata bahkan menjadi titik tekan tugas para nabi dan rasul. Seperti yang Allah tegaskan kepada Rasulullah saw. Allah berfirman, “Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah).” (As-Syura: 48).
Sebagai penerus tugas para nabi dan rasul, seorang dai berdakwah menyampaikan risalah kepada manusia. Hendaknya ia selalu meningkatkan kemampuan dan kreativitasnya dalam memasarkan risalah ini kepada manusia. Berbagai kajian dan petunjuk tentang kata-kata dan ceramah yang berkesan telah banyak ditulis para ulama. Namun muaranya tidak jauh berputar pada beberapa poin berikut ini:
1. Kuatnya Hubungan dengan Allah
Hubungan yang menguatkannya, yang menjadi rujukan, tempat menyandarkan diri, kepada-Nya ia mengadu, berdoa, dan berbagi. Seorang dai mengajak orang lain menuju Allah. Bagaimana mungkin ia dapat mengajak kepada sesuatu jika ia sendiri jauh dengannya dan lemah hubungannya dengan sesuatu itu. Syeikh Muhammad Ghazali menyebutkan sifat ini sebagai pilar utama seorang dai, yang tidak boleh diabaikan. Sebab jika setiap muslim berkewajiban membina hubungan baik dengan Allah, apatah lagi seorang dai.
Sejarah telah menjadi saksi bahwa tidak ada seorang nabi pun atau pelaku perbaikan kecuali ia mempunyai hubungan yang kuat dengan Allah. Jalinan mereka dengan Allah sangat kuat, hidup, dan selalu segar. Tidak pernah putus barang sekejap pun dan tidak pernah layu. Terlihat dalam aktivitas kesehariannya, saat bersama orang lain terlebih saat sendiri. Syeikh Abdurrahman As-Sa’ati, ayah Imam Syahid Hasan Al-Banna mengisahkan kegiatan anaknya ketika berada di rumah,
“Di antara akhlaqnya adalah berpaling dari banyak orang dan hanya menyendiri bersama Rabbnya, tidak ada yang tahu selain keluarga dekatnya saja. Di rumahnya –Allah yang menjadi saksi- tidak pernah lepas dari mushaf, tidak berhenti membaca, tidak pernah lalai dari zikir, ia membaca Al-Qur’an memperdengarkan bacaannya kepada salah seorang hafizh di antara kami. Jika tidak ada seorang hafizh kecuali anak kecil, ia pun muraja’ah hafalannya dengan anak itu. Rumahnya penuh dengan bacaan Al-Qur’an, sujud, larut dalam dzikir, dan mendaki ke ketinggian langit spiritual. Ketika ia tahu cara Nabi membaca Al-Qur’an maka ia praktekkan, termasuk waqaf-waqaf di mana Rasulullah berhenti, ia pun berhenti. Terkadang badannya gemetaran, hatinya penuh ketakutan, gelisah pada ayat-ayat ancaman, terhadap ayat-ayat gembira ia berbinar-binar, jauh dari suasana di mana ia hidup, jauh terbawa makna ayat-ayat itu.”
Dan semua orang yang pernah mendengar pidatonya mengakui, betapa Imam Syahid mempunyai kata-kata yang sangat kuat. “Jika ia berpidato, kata-katanya mengalir seolah-olah turun dari langit.” Kata seseorang yang pernah menghadiri ceramahnya.
2. Selalu Memperbaiki Diri
Setiap muslim wajib memperbaiki diri dari segala kekurangan. Apalagi seorang dai. Boleh jadi ini merupakan hasil dari hubungan yang baik dengan Allah. Sebab siapa yang mengingat Allah ia akan teringat akan semua dosa dan kekurangan dirinya serta menyadari semua aib pribadinya. Berbeda halnya dengan orang yang lalai dari zikir. Ia pun akan lalai kepada Allah bahkan lalai kepada dirinya sendiri. Ia berjalan tanpa arah dan petunjuk. Allah berfirman,
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr:19)
Sangat berbahaya jika seorang dai mengajak orang melakukan sesuatu sementara dirinya sendiri jauh darinya. Atau mencegah orang dari melakukan sesuatu ia sendiri belum bisa terlepas darinya. Jika demikian, maka seruan dakwah yang dikumandangkannya tak nyaring lagi. Seseorang berkata, “Kalau saya melihat seorang dai merokok, kepercayaan saya kepadanya berkurang dua puluh lima persen.”
Bahkan, tidak hanya ajakannya yang diabaikan orang, ia bisa mendapatkan murka dari Allah.
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (As-Shaf:3)
Tentu saja hal ini tidak dipahami secara tidak konstruktif, dengan menyibukkan diri sendiri serta tidak peduli kepada perbaikan sekitarnya. Aslih nafsaka wad’u ghairaka (perbaiki dirimu dan ajaklah orang lain), begitu kata orang.
3. Kecerdasan Akal, Kebersihan Hati, dan Pemahaman yang Dalam tentang Islam
Sifat ini hendaknya menjadi watak seorang dai. Yang dengan demikian ia bisa menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Menimbang persoalan dengan timbangan yang benar dan tidak memihak. Dalam bahasa dakwah hal ini bisa disebut sebagai hikmah. Seperti yang Allah firmankan,
“Allah menganugerahkan Al hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang banyak. dan Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah:269)
Menurut Muhammad Al-Ghazali, kecerdasan yang dimaksud, seseorang tidak perlu menjadi jenius. Namun hanya dengan memiliki kemampuan melihat suatu permasalahan apa adanya. Tidak menambah maupun mengurangi. Dengan cara pandang seperti ini seorang dari dapat mendiagnosa sebuah persoalan dengan baik dan pada gilirannya bisa memberikan terapi yang tepat sesuai dengan permasalahan yang dihadapinya. Kata-kata yang disampaikannya menjadi tepat sasaran.
Dengan kemampuan seperti inilah Rasulullah terlihat menyampaikan nasihat yang berbeda-beda, melihat kondisi dan latar belakang psikologis seseorang yang konsultasi kepada beliau. Suatu saat beliau hanya mengatakan, “Janganlah kamu marah.” Dan Jariyah bin Qudamah, orang yang bertanya itu pun puas dengan jawaban beliau. Bahkan menurut riwayat Thabrani, pahalanya surga, seperti yang beliau sabdakan, “Janganlah kamu marah, maka akan mendapat surga.” Suatu saat beliau hanya mengatakan, “Katakan, aku beriman kepada Allah. Lalu istiqamahlah.”
Kebersihan hati yang dimaksud tentu bukannya kebersihan hati yang setaraf dengan para malaikat. Cukuplah bagi seorang dai memiliki hati yang penuh cinta kepada manusia, cemburu kepada mereka, lembut dan tidak kasar memperlakukan mereka. Ia senang dengan kebaikan mereka dan bukannya senang melihat kesengsaraan mereka. Di hadapannya maupun tidak sikapnya selalu sama. Senantiasa berharap atas kebaikannya. Sehingga antara hatinya dan hati mereka terhadap tali yang menghubungkan. Ketulusan cintanya melahirkan getar saat tangannya berjabat, mulutnya berucap, dan matanya menatap. Doa yang dipanjatkan tanpa sepengetahuan mereka membuat nama-nama mereka selalu hadir dalam hidupnya. Sehingga ketika bertemu, pertemuan itu pun terasa hangat dirasakan oleh mereka.
Kejelasan pemahaman dimiliki karena penguasaannya terhadap konsep universalitas Islam. Hal ini membuatnya mampu mengidentifikasi setiap persoalan. Ia dapat membedakan mana yang bisa dikategorikan sebagai persoalan aqidah dan mana yang bukan. Dengan hal ini pula seorang dai dapat berinteraksi dengan semua lapisan masyarakat dan dapat melihat kekurangan serta kelebihan mereka. Ia juga memiliki skala prioritas dalam dakwahnya.
Dalam menyikapi berbagai perpecahan madzhab dan aliran di Mesir, Hasan Al-Banna dengan Ikhwannya mempunyai sikap yang jelas. “Karena Ikhwan meyakini bahwa perbedaan dalam hal-hal furu’ adalah sebuah keniscayaan. Harus terjadi. Sebab prinsip-prinsip Islam yang berupa ayat-ayat, hadits, amal Nabi bisa dipahami secara berbeda. Oleh karenanya perbedaan semacam ini juga terjadi di kalangan para sahabat. Dan perbedaan itu terus terjadi sampai hari Kiamat. Alangkah bijaknya Imam Malik ra saat ia berkata kepada Abu Ja’far yang ingin memaksa orang mengikuti buku Al-Muwattha’, “Para sahabat Rasulullah berpencar di negeri-negeri. Masing-masing kaum mempunyai ilmu. Jika Anda memaksa mereka kepada satu ilmu, akan terjadi fitnah.” Tidak ada salahnya dengan perbedaan, namun yang salah adalah sikap fanatik terhadap pendapat tertentu dan menutup diri dari pendapat orang lain. Cara pandang semacam ini dapat menyatukan hati yang bersengketa ke dalam kesatuan fikrah. Cukuplah orang-orang bersatu menjadi muslim sebagaimana yang dikatakan Zaid r.a. Pandangan seperti ini sangat penting dimiliki sebuah jamaah yang ingin menyebarkan fikrah pada suatu negeri di mana yang dilanda sebuah konflik tentang masalah yang tidak semestinya diperdebatkan.”
4. Keikhlasan
Keikhlasan merupakan tuntutan yang harus dipenuhi setiap muslim dalam ibadahnya kepada Allah. Sebab ia sebagai syarat diterimanya ibadah. Ibnu Atha’illah berkata, “Amal perbuatan merupkan tubuh yang tegak. Sedangkan ruhnya adalah adanya rahasia di balik amal yang berupa keikhlasan.” Terlebih lagi bagi seorang dai dan aktivis. Aktivitas dakwahnya adalah sebaik-baik amal dan sarana taqarrub kepada Allah, tentu keikhlasan menjadi lebih urgen lagi. Seorang da’i hendaknya menjauhkan kepentingan pribadi yang berupa sebutan, imbalan, dan pengaruh pribadi karena aktivitas dakwahnya.
Keikhlasan tentu saja ada buahnya. Aktivitas dakwah yang dilandasi dengan keikhlasan tentu berbeda hasilnya dengan yang dilakukan karena pamrih. Bersamaan dengan kata-kata yang diucapkan, interaksi yang dilakukan, dan kegiatan yang dilaksanakan seorang dai selalu menambatkan hatinya kepada Dzat yang menguasai dan membolak-balikkan hati. Kata orang Arab, “Kata-kata yang keluar dari hati akan sampai kepada hati pula.”
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima selain kebaikan.” Bagi seorang dari, kebaikan yang hendak dipersembahkan kepada Allah adalah keyakinannya terhadap keutamaan dakwahnya dan harapannya yang ditambatkan kepada ridha Allah semata.
5. Keluasan Wawasan
Dakwah di zaman modern sekarang ini harus didukung oleh keluasan wawasan. Karena seorang dai bertugas mengarahkan dan membimbing manusia dengan segala strata sosial dan intelektual mereka. Ia berbicara dengan dokter, pasien, guru, pegawai, kuli, insinyur, pedagang, orang pintar, dan orang bodoh. Mestinya ada penguasaan wawasan yang dapat memasuki pola pikir mereka semua.
Tidak harus menguasai semua disiplin ilmu secara mendalam, namun wawasan global tentang berbagai persoalan hendaknya dipahami. Kecuali wawasan keislaman yang secara asasi harus dikuasai. Pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Sunnah serta wawasan keislaman lain; budaya Islam, sejarah Islam, dan lain-lain. Oleh karena itulah Imam Syahid Hasan Al-Banna memberikan tekanan khusus kepada sisi ini dan itu sebagai salah satu karakter dakwahnya. Bahwa dakwah Ikhwan juga bercirikan Jamaah Ilmiyah Tsaqafiyah (organisasi ilmu pengetahuan dan wawasan). Dan semua sarana yang dimilikinya pada dasarnya untuk membina intelektual, hati, dan jasad para anggotanya.
Keluasan wawasan yang dimiliki seorang dai membuatnya mampu menemukan ‘pembuka hati’ bagi orang-orang yang menjadi objek dakwahnya. Ketika berkomentar tentang wawasan Abu Bakar yang paling tahu tentang nasab suku Quraisy dan paling tahu tentang apa yang baik dab buruk mereka, Munir Muhammad Al-Ghadhban berkata, “Pengetahuan tidak kalah penting daripada akhlaq. Yang dituntut dalam masalah ini bukan segala macam pengetahuan. Tetapi pengetahuan mengenai masyarakat dan kecenderungan-kecenderungannya. Pengetahuan yang menjelaskan karakteristik jiwa manusia. Pengetahuan inilah yang akan memberikan daya gerak kepada dai yang merupakan pintu masuk ka hati mad’u. Setiap hati memiliki ‘kunci’, dan tugas seorang dai adalah untuk mendapatkan kunci itu agar ia bisa memasuki hatinya lalu hati itu menyambutnya.”
6. Menguasai Metodologi Komunikasi
Sebab ada pepatah Arab mengatakan, likulli maqam maqal (bagi masing-masing momen ada ungkapannya). Dan masing-masing orang memiliki kecenderungan terhadap satu bentuk komunikasi tertentu. Ada yang suka dengan gaya bicara yang berapi-api. Ada yang tertarik dengan ceramah yang banyak ‘lawak’nya. Ada pula yang tidak suka terhadap hal-hal yang monoton dan serius dan ia lebih suka kalau ceramah banyak diselingi ilustrasi. Kemampuan memilih model komunkasi yang tepat akan menjadi daya tarik yang dapat menggait hati. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya kejelasan (komunikasi) adalah sihir.”
Al-Bahi Khauli merekomendasikan kepada seorang da’i agar menggunakan beberapa metodologi dalam aktivitas dakwah yang dilakukannya. Di antaranya adalah:
1. Kisah: karena dengan kisah sesuatu yang bersifat normatif bisa lebih mudah dipahami. Karena nilai-nilai itu berubah menjadi kaki yang berjalan, tangan yang bergerak, dan mulut yang berucap. Barangkali inilah di antara rahasia Al-Qur’an yang menggunakan metode kisah sebagai salah satu sarananya. Agar Islam dapat dipahami sebagai agama yang realistis dan tidak hanya bersifat kelangitan tanpa bisa diterapkan dalam kehidupan nyata. Terbukti para pelaku sejarah itu mampu melakukannya. Di samping ia juga menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman.
2. Perumpamaan: karena dengan perumpamaan dapat mendekatkan yang jauh dan menjelaskan yang buram, juga menentukan kadar sesuatu yang abstrak. Al-Qur’an dan hadits sendiri seringkali menggunakan perumpamaan sebagai sarana menjelaskan kepada kaum Muslimin tentang ajaran Islam. Tentang hakikat amal perbuatan orang-orang kafir Allah berfirman, ” Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (An-Nur:39)
3. Perbandingan: dan tujuannya adalah untuk menjelaskan kadar keterpautan sebuah nilai. Dalam salah satu sabdanya Rasulullah bersabda, “Shalat berjamaah lebih mulia daripada shalat sendiri dengan selisih dua puluh tujuh derajat.” Juga sabda beliau, “Perbandingan antara orang berilmu dan yang tidak berilmu seperti perbandinganku dengan sahabatku yang paling rendah (pengetahuannya.”

6. Berdoa
Setelah seluruh upaya dan sarana dikerahkan untuk menggait orang menuju Allah dalam aktivitas dakwah, seorang dai tidak boleh menyandarkan hasil kepada kemampuan dan upayanya. Upaya itu harus dikembalikan kepada Allah yang menguasai hati dan pikiran. Ini akan menjaganya dari sikap ghurur apabila dakwahnya mendapatkan kemenangan dan menjauhkannya dari berputus asa jika menemui kegagalan. Sebab ia yakin, seberapa hebat sarana yang dikuasainya, ia hanyalah senjata bisa mengenai sasaran dan bisa tidak. Doa juga dapat menutupi segala kekurangan dan kelemahannya. Sebab tidak ada orang yang memiliki semua dan menguasai segalanya secara ideal. Adakalanya seseorang memiliki kelebihan pada satu sisi, namun ia juga memiliki kekurangan pada sisi lain. Dan berdoa adalah ibadah. Adalah senjata seorang mukmin di saat senjata lain tidak mempan. Ketajaman doa dapat menembus sesuatu yang tidak bisa ditembus senjata biasa.
7. Selanjutnya, Hidayah dari Allah
Karena dai hanya menyeru dan menggerakkan potensi yang diberikan Allah. Selanjutnya hasilnya dikembalikan kepada Allah. Sebuah kegagalan, selain harus disikapi secara proporsional dengan melakukan evaluasi aktivitas dakwah dan motivasi amal da’awi, tentu harus dikembalikan kepada kehendak Allah yang berhak memberi hidayah atau tidak memberi. Dan tentu saja tidak berhenti di situ. Optimisme harus selalu ditanamkan dalam diri seberat apapun medan dakwah yang dilalui. Sebab perjalanan belum berakhir. Hidup manusia tidak berhenti sampai di sini. Masih ada harapan untuk berubah dan kembali ke jalan yang benar.
Dengan pemahaman inilah kita tidak pernah menganggap Nabi Nuh gagal dalam dakwahnya. Luth gagal. Shalih gagal. Sebab semua sarana dan prasarana telah dikerahkan untuk mengetuk pintu hati mereka. Rasulullah juga tidak pernah gagal ketika berambisi agar paman tercinta Abu Thalib mendapatkan hidayah. Karena “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al-Qashash:56)
Kegagalan adalah jika si da’i itu sendiri terhapus pahala aktivitas dakwahnya karena dosanya atau is sendiri terpental dari aktivitas dakwah, melempar handuk untuk meninggalkan kancah pertarungan. Lalu ia hanya duduk-duduk bersama ‘qa’idin’. Semoga Allah mengokohkan kaki kita dengan kata-kata-Nya yang tetap. Wallahu A’lam. []


Enam Perusak Ukhuwah




Pada masyarakat Islam, persatuan dan kesatuan atau lebih sering disebut dengan ukhuwah Islamiyah merupakan sesuatu yang sangat penting dan mendasar, apalagi hal ini merupakan salah satu ukuran keimanan yang sejati. Karena itu, ketika Nabi Saw berhijrah ke Madinah, yang pertama dilakukannya adalah Al-Muakhah, yakni mempersaudarakan sahabat dari Makkah atau muhajirin dengan sahabat yang berada di Madinah atau kaum Anshar. Ini berarti, ketika seseorang atau suatu masyarakat beriman, maka seharusnya ukhuwah Islamiyah yang didasari oleh iman menjelma dalam kehidupan sehari-hari, Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” [QS Al-Hujurat (49):10]
Satu hal yang harus diingat bahwa, ketika ukhuwah islamiyah hendak diperkokoh atau malah sudah kokoh, ada saja upaya orang-orang yang tidak suka terhadap persaudaraan kaum muslimin, mereka berusaha untuk merusak hubungan di antara sesama kaum muslimin dengan menyebarkan fitnah dan berbagai berita bohong. Dalam kehidupan umat Islam, kita akui bahwa ukhuwah Islamiyah belum berwujud secara ideal, namun musuh-musuh umat ini tidak suka bila ukhuwah itu berwujud, mereka terus berusaha menghambatnya. Karena itu, setiap kali ada berita buruk, kita tidak boleh langsung mempercayainya, tapi lakukan tabayyun atau cek dan ricek terlebih dahulu kebenaran berita itu. Allah swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu.” [QS Al-Hujurat (49): 6]
Asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) tersebut di atas adalah, suatu ketika Al-Harits datang menghadap Nabi Muhammad saw., beliau mengajaknya masuk Islam, bahkan sesudah masuk Islam ia menyatakan kemauan dan kesanggupannya untuk membayar zakat. Kepada Rasulullah, Al-Harits menyatakan, “Saya akan pulang ke kampung saya untuk mengajak orang untuk masuk Islam dan membayar zakat dan bila sudah sampai waktunya, kirimkanlah utusan untuk mengambilnya.” Namun ketika zakat sudah banyak dikumpulkan dan sudah tiba waktu yang disepakati oleh Rasul, ternyata utusan beliau belum juga datang. Maka Al-Harits beserta rombongan berangkat untuk menyerahkan zakat itu kepada Nabi.
Sementara itu, Rasulullah saw. mengutus Al-Walid bin Uqbah untuk mengambil zakat, namun di tengah perjalanan hati Al-Walid merasa gentar dan menyampaikan laporan yang tidak benar, yakni Al-Harits tidak mau menyerahkan dana zakat, bahkan ia akan dibunuhnya. Rasulullah tidak langsung begitu saja percaya, beliau pun mengutus lagi beberapa sahabat yang lain untuk menemui Al-Harits. Ketika utusan itu bertemu dengan Al-Harits, ia berkata, “Kami diutus kepadamu.” Al-Harits bertanya, “Mengapa?” Para sahabat menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah telah mengutus Al-Walid bin Uqbah, ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan zakat bahkan mau membunuhnya.”
Al-Harits menjawab, “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya dan tidak ada yang datang kepadaku.” Maka ketika mereka sampai kepada Nabi saw., beliau pun bertanya, “Apakah benar engkau menahan zakat dan hendak membunuh utusanku?” “Demi Allah yang telah mengutusmu dengan sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian.” Maka turunlah ayat itu.
Surat Al Hujurat ayat 6 di atas menggunakan kata naba’ bukan khabar. M. Quraish Shihab dalam bukunya Secercah Cahaya Ilahi halaman 262 membedakan makna dua kata itu. “Kata naba’ menunjukkan berita penting, sedangkan khabar menunjukkan berita secara umum. Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa berita yang perlu diperhatikan dan diselidiki adalah berita yang sifatnya penting. Adapun isu-isu ringan, omong kosong, dan berita yang tidak bermanfaat tidak perlu diselidiki, bahkan tidak perlu didengarkan karena hanya akan menyita waktu dan energi.”
Enam Perusak Ukhuwah
Mengingat kedudukan ukhuwah islamiyah yang sedemikian penting, maka memeliharanya menjadi sesuatu yang amat ditekankan. Disamping harus mengecek kebenaran suatu berita buruk yang menyangkut saudara kita yang muslim, ada beberapa hal yang harus kita hindari agar ukhuwah islamiyah bisa tetap terpelihara. Allah swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan) dan jangan pula wanita wanita-wanita mengolok-olokan wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” [QS Al-Hujurat (49): 11-12]
Dari ayat di atas, ada enam hal yang harus kita hindari agar ukhuwah islamiyah tetap terpelihara: Pertama, memperolok-olokan, baik antar individu maupun antar kelompok, baik dengan kata-kata maupun dengan bahasa isyarat karena hal ini dapat menimbulkan rasa sakit hati, kemarahan dan permusuhan. Manakala kita tidak suka diolok-olok, maka janganlah kita memperolok-olok, apalagi belum tentu orang yang kita olok-olok itu lebih buruk dari diri kita. Kedua, mencaci atau menghina orang lain dengan kata-kata yang menyakitkan, apalagi bila kalimat penghinaan itu bukan sesuatu yang benar. Manusia yang suka menghina berarti merendahkan orang lain, dan iapun akan jatuh martabatnya.
Ketiga, memanggil orang lain dengan panggilan gelar-gelar yang tidak disukai. Kekurangan secara fisik bukanlah menjadi alasan bagi kita untuk memanggil orang lain dengan keadaan fisiknya itu. Orang yang pendek tidak mesti kita panggil si pendek, orang yang badannya gemuk tidak harus kita panggil dengan si gembrot, begitulah seterusnya karena panggilan-panggilan seperti itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Memanggil orang dengan gelar sifat yang buruk juga tidak dibolehkan meskipun sifat itu memang dimilikinya, misalnya karena si A sering berbohong, maka dipanggillah ia dengan si pembohong, padahal sekarang sifatnya justru sudah jujur tapi gelar si pembohong tetap melekat pada dirinya. Karenanya jangan dipanggil seseorang dengan gelar-gelar yang buruk.
Keempat, berburuk sangka, ini merupakan sikap yang bermula dari iri hati (hasad). Akibatnya ia berburuk sangka bila seseorang mendapatkan kenimatan atau keberhasilan. Sikap seperti harus dicegah karena akan menimbulkan sikap-sikap buruk lainnya yang bisa merusak ukhuwah islamiyah. Kelima, mencari-cari kesalahan orang lain, hal ini karena memang tidak ada perlunya bagi kita, mencari kesalahan diri sendiri lebih baik untuk kita lakukan agar kita bisa memperbaiki diri sendiri. Keenam, bergunjing dengan membicarakan keadaan orang lain yang bila ia ketahui tentu tidak menyukainya, apalagi bila hal itu menyangkut rahasia pribadi seseorang. Manakala kita mengetahui rahasia orang lain yang ia tidak suka bila hal itu diketahui orang lain, maka menjadi amanah bagi kita untuk tidak membicarakannya.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa ketika ukhuwah islamiyah kita dambakan perwujudannya, maka segala yang bisa merusaknya harus kita hindari. Bila ukhuwah sudah terwujud, yang bisa merasakan manfaatnya bukan hanya sesama kaum muslimin, tapi juga umat manusia dan alam semesta, karena Islam merupakan agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Karenanya mewujudkan ukhuwah Islamiyah merupakan kebutuhan penting dalam kehidupan ini.


Silaturahim




Kata tersebut sudah menjadi bahasa Indonesia. Penulisan alih kata (translatter) yang tepat untuk ”shilatur rahim” adalah silaturahim, sesuai dengan pengertian bahasa dan etimologi yang akan kita bahas dalam tulisan ini.
Penulisan alih kata yang kurang tepat, dan sering kita temukan di media cetak untuk “shilatur rahim” adalah dengan “silaturahmi” karena tidak sesuai dengan pengertian etimologi dan terminologi.
Secara etimologi, silaturahim adalah ungkapan gabungan antara mudhaf (yang disandarkan), yakni ‘Shilah’ dan mudhaf ilaihi (tempat penyandaran mudhaf), yakni ‘Rahim’. Shilah merupakan mashdar dari washala, artinya menggabungkan sesuatu kepada sesuatu saat ada kaitan dengannya, lawan kata dari hijran (meninggalkan). Sedangkan ar-rahimu pecahan kata rahima.
Sedangkan secara terminologi, Imam Nawawi memberi batasan, “Shilatur rahim artinya berbuat baik kepada kerabat sesuai dengan kondisi yang menyambung maupun yang disambung. Kadang kala dengan harta benda, pelayanan, kunjungan, salam, dan lain-lain.”
Ibnu Manzhur menjelaskan adanya kaitan antara kedua pengertian etimologi dan terminologi. Ia katakan, “Shilatur rahim merupakan kiasan tentang berbuat baik kepada kerabat yang ada hubungan nasab maupun perkawinan, bersikap sayang dan santun kepada mereka, memperhatikan kondisi mereka, meskipun mereka jauh atau menyakiti. Qath’ur rahim adalah lawan katanya. Seolah-olah dengan berbuat baik kepada mereka hubungan kekerabatan, perkawinan, dan hubungan sah telah terjalin.”
Mengenai batasan rahim yang wajib disambung, Nawawi berkata, “Para ulama berbeda pendapat tentang batasan rahim yang wajib disambung. Ada yang berpendapat, setiap rahim itu muhrim. Di mana jika salah satunya perempuan dan yang lain laki-laki, tidak boleh menikah. Ada lagi yang berpendapat, ia bersifat umum mencakup semua yang ada hubungan rahim dalam hak waris. Antara yang muhrim dan tidak, sama saja. Inilah pendapat yang benar sesuai dengan sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya kebaikan yang paling baik adalah jika seseorang menyambung kerabat cinta ayahnya.”
Berikut ini ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi perintah bagi kaum mukminin untuk melaksanakan silaturahim.
1.    “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.” (Al-Baqarah: 83)
2.    “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 177)
3.    “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (Al-Baqarah: 215)
4.    “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa’: 36)
5.    “Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia. Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Anfal: 74-75)
6.    “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)
7.    “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nur: 22)
8.    “Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung.” (Rum: 38)
9.    “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).” (Al-Ahzab: 6)
10. “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An-Nisa’: 1)
11. “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (Ar-Ra’du: 19-21)


Berikut ini hadits-hadits tentang silatur rahim:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: اِحْفَظُوْا أَنْسَابَكُمْ تَِِِِِِِِِِصِلُوا أَرْحَاَمَكُمْ، فَإنَّهُ لاَ بُعْدَ بِالرَحِمِ إِذَا قَرُبَتْ، وَإِنْ كَانَتْ بَعِيْدَةً، وَلاَ قُرْبَ بِهَا إِذَا بَعُدَتْ، وَإِنْ كَانَتْ قَرِيْبَةً، وَكُلُّ رَحْمَةٍ آتِيَةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمَامَ صَاحِبِهَا، وَتَشْهَدُ لَهُ بِصِلَةٍ إِنْ كَانَ وَصَلَهَا، وَعَلَيْهِ بِقَطِيْعَةٍ إِنْ كَانَ قَطَعَهَا


1. Ibnu Abbas r.a. berkata, Rasulullah saw bersabda, “Jagalah nasab kalian akan tersambung kekerabatan kalian. Sesungguhnya tidak ada (kata) jauh bagi rahim jika (nasab) dekat, walaupun ia (nasab) itu sendiri jauh dan tidak ada kedekatan (rahim) jika (nasab) jauh walaupun ia (nasab) itu jauh. Setiap rahim akan datang pada hari Kiamat kepada si empunya dan menyaksikannya (telah) menyambung silatur-rahmi jika ia telah menyambungnya. Ia juga menjadi saksi bahwa ia telah memutuskannya jika memang telah memutuskannya.” [Al-Adab Al-Mufrid serta Syarahnya (1/256 hadits nomor 73) para perawinya Tsiqat. Di Al-Mustadrak diungkapkan dengan redaksi yang mirip. Al-Hakim berkata, “Shahih menurut kriteria Syaikhain namun salah satu dari keudnya tidak ada yang mengeluarkannya. Adz-Zahabi dalam At-Talkhis-nya tidak berkomentar tentang hadits tersebut. Sedangkan pada (4/161) ia berkata, “Shahih menurut kriteria Syaikhain dan Adz-Zahabi sepakat.”]

عَنْ عَمْرو بْنِ عَبَسَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: أَتَيْتُ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَوَّلِ مَا بُعِثَ وَهُوَ بِمَكَّةَ، وَهُوَ حِيْنَئِذٍ مُخْتَفٍّ، فَقُلْتُ: مَا أَنْتَ؟ قَالَ: ” إِنِّي نَبِيٌّ ” قُلْتُ: وَمَا النَّبِيُّ؟ قَالَ: “رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” قُلْتُ: بِمَا أُرْسِلْتَ؟ قَالَ: “بِأَنْ يُعْبَدَ اللهُ، وَتُكْسَرَ الأَوْثَانُ ، وَتُوْصَلَ الأَرْحَامُ بِالْبِرِّ وَالصِّلَةِ ”


2. Amr bin Abasah ra berkata, “Aku mendatangi Rasulullah di permulaan diutusnya beliau kala beliau berada di Mekah. Saat itu beliau sedang bersembunyi. Aku tanyakan, “Kamu ini apa?” Beliau menjawab, “Aku nabi.” Aku tanyakan, “Apa itu nabi?” Beliau menjawab, “Utusan Allah.” Aku tanyakan lagi, “Dengan (misi) apa kamu diutus?” Beliau menjawab, “Agar Allah disembah, patung-patung dihancurkan, dan kekerabatan disambung dengan kebajikan hubungan.” [Al-Hakim (4/149) ia berkata, “Hadits ini shahih menurut kriteria Syaikhain namun keduanya tidak mengeluarkannya, Adz-Zahabi mengakuinya.”]

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رِجَالاً مِنَ الأَعْرَابِ لَقِيَهُ بِطَرِيْقِ مَكَّةَ، فَسَلَّمَ عَلَيْهِ عَبْدُ اللهِ، وَحَمَّلَهُ عَلَى حِمَارٍ كَانَ يَرْكَبُهُ، وَأَعْطَاهُ عِمَامَةً كَانَتْ عَلَى رَأْسِهِ. فَقَالَ ابْنُ دِيْنَارٍ: فَقُلْنَا لَهُ: أَصْلَحَكَ اللهُ إِنَّهُمُ الأَعْرَابُ وَإِنَّهُمْ يَرْضَوْنَ باِلْيَسِيْرِ. فَقَالَ عَبْدُ اللهِ: إِنَّ أَبَا هَذَا كَانَ وِدًّا لِعًمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، وَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: “إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وِدِّ أَبِيْهِ ”


3. Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa ia pernah menemui seorang Arab Baduwi di satu jalan di Mekah. Abdullah mengucapkan salam kepada mereka. Ia lalu membawa orang itu naik keledai yang tadinya dinaikinya dan memberi surban yang tadi berada di kepalanya. Ibnu Dinar berkata, “Kami berkata kepadanya, “Mudah-mudahan Allah memperbaikimu. Mereka itu orang-orang Arab Baduwi. Mereka terima barang sederhana itu.” Abdullah berkata, “Ayah orang itu dulu merupakan kekasih Umar bin Khatthab. Sedangkan aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya kebajikan paling baik adalah seorang anak menyambung hubungan dengan orang dekat ayahnya.” [Muslim, hadits no. 2552]

عَنْ أَبِي أَيُّوْبَ الأَنْصَارِي رَضِيَ َاللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ. قَالَ: “مَالُهُ مَالُهُ “. وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَرِبَ مَالُهُ تَعْبُدُ اللهَ ، وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئاً، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ ”


4. Abu Ayyub Al-Anshari r.a. meriwayatkan, seseorang berkata kepada Nabi saw, “Katakan kepadaku tentang suatu amal yang memasukkanku ke surga.” Beliau menjawab, “Hak-Nya, hak-Nya.” Nabi melanjutkan, “Hak-Nya adalah agar kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan silatur-rahim.” [Bukhari, Fathul Bari III (1396) dengan redaksi miliknya. Muslim (14)]

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ اللهَ لَيُعَمِّرُ لِلْقَوْمِ الدِّيَارَ، وَيُثْمِرُ لَهُمُ الأَمْوَالَ، وَمَا نَظَرَ إِلَيْهِمْ مُنْذُ خَلَقَهُمْ بَغْضاً لَهُمْ” قِيْلَ: وَكَيْفَ ذَلِكَ يَا رَسُوْلَ اللهَ؟ قَالَ ” بِصِلَتِهِمْ لأَرْحَامِهِمْ”


5. Ibnu Abbas r.a. berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah pasti akan memakmurkan negeri suatu kaum, membuat harta benda mereka berkembang, dan sejak menciptakan mereka tidak pernah melihat mereka dengan kemurkaan.” Ada yang bertanya, “Bagaimana itu terjadi, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dengan silatur rahim mereka.” [Al-Hakim (4/336) dan ia berkata, “Hadits shahih gharib dan Adz-Zahabi sepakat. Haitsami berkata, “Diriwayatkan Thabrani dengan sanad hasan. Majma’ Az-Zawaid (8/152), Al-Munziri menukilnya di Targhib dan Tarhib (3/336), Haitsami juga menyebutkan teksnya]

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ الرَّحِمَ شَجِنَةٌ مُتَمَسِّكَةٌ بِالْعَرْشِ تَكَلَّمَ بِلِسَانٍ ذَلِقٍ، اَللَّهُمَّ صِلْ مَنْ وَصَلَنِي وَاقْطَعْ مَنْ قَطَعَنِي، فَيَقُوْلُ الله تَبَارَكَ وَتَعَالَي : أَنَا الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ، وَإِنِّي شَقَقْتُ لِلرَّحِمِ مِنْ اِسْمِي. فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ نَكَثَهَا نَكَثْتُهُ


6. Anas ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya rahim itu ikatan yang kokoh dengan Arasy yang berbicara dengan bahasa yang fasih, ‘Ya Allah, sambunglah orang yang menyambungku dan putuslah orang yang memutuskanku.’ Allah befirman, ‘Akulah Ar-Rahman dan Aku Ar-Rahim. Sesungguhnya Aku mengeluarkan (kata) rahim dari nama-Ku. Siapa menyambungnya Aku menyambungnya dan siapa memutusnya Aku juga memutusnya.” [Hadits ini mempunyai dasar di Bukhari, Al-Fath 10 (5988). Adabul Mufrid juz I hlm. 92-93 nomor hadiys 53, 54, 55. Majma’ Az-Zawaid (8/151). Sedangkan redaksi hadits di atas ada di kitab terakhir ini. Diriwayatkan Bazzar dengan sanad hasan. At-Targhib wa At-Tarhib (3/340), penulisnya berkata, “Hadits ini hasan dan ia didukung hadits berikutnya.”]

عَنْ أَبِّي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ اللهََ خَلَقَ الْخَلْقَ، حَتَّى إِذَا فَرِغَ مِنْ خَلْقِهِ قَامَتِ الرَّحِمُ فَقَالَتْ: هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنَ الْقَطِيْعَةِ، قَالَ نَعَمْ، أَمَّا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكَ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكَ ؟ قَالَتْ: بَلَي يَارَبِّ. قَالَ: فَذَاكَ لَكَ ” ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
)Îb ãt¡|ŠøFçOó ùsgy@ö }عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “اِقْرَءُوْا إِنْ شِئْتُمْ  &römy$Bt3äNö ru?è)sÜeÏèãqþ#( #${FöÚÇ ûÎ ?èÿø¡Åßr#( &rb ?squ9©ŠøêäL÷ ru&rãôJy# ùs'r¹|J£Sà/ö #$!ª 9sèyYogßNã #$!©%Ïïût &ér'9s»¯´Í7y ÈËËÇ ãt?n4 &rQô #$9ø)àöäu#cš ƒtGty/­ãrbt &rùsxŸ ÈÌËÇ &r/öÁ|»tdèNö { &r%øÿx$9ägy$! %è=èq>A
7. Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk. Setelah selesai menciptakan, rahim berdiri dan berkata, ‘Inilah tempat orang yang berlindung kepada-Mu dari memutuskan hubungan.’ Allah menjawab, ‘Benar. Ridhakah kamu jika Aku menyambung orang yang menyambungmu dan memutuskan orang yang memutuskanmu.’ Ia menjawab, ‘Mau, wahai Tuhanku.’ Allah berfirman, ‘Itu menjadi milikmu.’ Setelah itu Rasulullah saw bersabda, “Jika kalian mau, bacalah…”Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad: 22-24). [Bukhari, Fathul Bari I (5987). Muslim (2554). At-Targhib wa At-Tarhib (3/338,339)]

عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: أَوْصَانِي خَلِيْلِي أَنْ لاَ تَأْخُذَنِي فِي اللهِ لَوْمَةُ لاَئِمٌ، وَأَوْصَانِي بِصِلَةِ الرَّحِمِ وَإِنْ أَدْبَرَتْ


8. Abu Dzar r.a. berkata, “Kekasihku (Rasullullah) berpesan kepadaku agar aku tidak menghiraukan cercaan orang yang mencerca. Dia juga berpesan agar aku bersilatur-rahim walaupun ia menjauhiku.”

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَبَا سُفْيَانَ بْنِ حَرْبٍ رَضِيَ الله عَنْهُ أَخْبَرَهُ: أَنَّ هِرَقْلَ أَرْسَلَ إِلَيْهِ فِي رَكْبٍ مِنْ قُرَيْشٍ، وَكَانُوْا تُجَّاراً بِالشَّامِ فِي الْمُدَّةِ الَّتِي كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (ماد…؟ ) فِيْهَا أَبَا سُفْيَانَ وَكُفَّارَ قُرَيْشٍ، فَأْتُوْهُ وَهُمْ بإِيِلِيَاءِ، فَدَعَاهُمْ فِي مَجْلِسِهِ وَحَوْلَهُ عُظَمَاءُ الرُّوْمِ، ثُمَّ دَعَاهُمْ وَدَعَا بِتُرْجُمَانِهِ فَقَالَ: أَيُّكُمْ أَقْرَبُ نَسَبًا بِهَذَا الرَّجُلُ الََّذِى يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ ؟ فَقَالَ أَبُوْ سُفْيَانَ: فَقُلْتُ: أَنَا أَقْرَبُهُمْ نَسَبًا. فَقَالَ أَدْنُوهُ مِنِّي، وَقَرِّبُوْا أَصْحَابَهُ فَاجْعَلُوْهُمْ عِنْدَ ظَهْرِهِ، ثُمَّ قَالَ لِتُرْجُمَانِهِ: قُلْ لَهُمْ إِنِّي سَائِلُ هَذَا الرَّجُلِ، فَإِنْ كَذَّبَنِي فَكَذِّبُوْهُ. فَوَاللهِ لَوْلاَ الْحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَّبْتُ عَنْهُ .. الحديث وَفِيْهِ: مَاذَا يَأْمُرُكُمْ قُلْتُ :يَقُوْلُ: اعْبُدُوا اللهَ وَحْدَهُ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا، وَاتْرُكُوْا مَا يَقُوْلُ آبَاؤُكُمْ ، وَيَأمُرُنَا بِالصَّلاَةِ، وَالصِّدْقِ، وَالْعَفَافِ، وَالصِّلَةِ…)


9. Abdullah bin Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Abu Sufyan bin Harb r.a. bercerita kepadanya, Hiraclius mengutus seseorang bersama kafilah Quraisy, mereka para pedagang yang berdagang ke Syam. Dan pada saat itu Rasulullah saw. berdamai dengan Abu Sufyan serta orang-orang kafir Quraisy. Mereka mendatangi Abu Sufyan kala mereka berada di Iliya’. Orang itu mengundang mereka agar datang di majelisnya sedangkan di sekitarnya terdapat para pembesar Romawi. Ia juga memanggil penterjemah lalu bertanya, “Siapakah di antara kalian yang lebih dekat nasabnya dengan orang yang mengaku nabi itu?” Abu Sufyan menjawab, “Akulah yang paling dekat nasabnya.” Orang itu berkata lagi, “Dekatkan ia denganku.” Mereka mendekatkan Abu Sufyan dan dekatkan pula sahabat-sahabatnya, lalu tempatkan mereka di belakangnya. Orang itu berkata kepada para penerjemahnya, “Katakan kepadanya, aku akan bertanya kepada orang tersebut. Kalau ia berdusta, dustakan dia.” Demi Allah, seandainya bukan karena rasa malu hingga membuat mereka mengalamatkan dusta kepadaku, pastilah aku akan berbohong tentang dirinya. (Al-Hadits). Di hadits itu juga diceritakan, “Kalian diperintah apa olehnya?” Ia menjawab, “Sembahlah Allah dan sekutukan Dia dengan suatu apapun, juga tinggalkan apa yang dikatakan oleh nenek moyang mereka. Ia juga memerintahkan agar kami melakukan shalat, jujur, menjaga iffah, dan silatur-rahim.”

عَنْ أُمِّ رُوْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: بَيْنَ أَنَا عِنْدَ عَائِشَةَ إِذْ دَخَلَتْ عَلَيْنَا امْرَأَةٌ مِنَ الأَنْصَارِ، فَقَالَتْ: فَعَلَ الله بِاِبْنِهَا وَفَعَلَ. قَالَتْ عَائِشَةُ: وَلِمَ ؟ قَالَتْ: إِنَّهُ كَانَ فِيْمَنْ حَدَّثَ الْحَدِيْثَ . قَالَتْ عَائِشَةُ: وَأَىُّ حَدِيْثٍ؟ قَالَتْ: كَذَا وَكَذَا. قَالَتْ: وَقَدْ بَلَغَ ذَلِكَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَتْ: نَعَمْ قَالَتْ: وَبَلَغَ أَبَا بَكْرٍ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَتْ: فَخَرَّتْ عَائِشَةُ مَغْشِيًّا عَلَيْهَا فَمَا أَفَاقَتْ إِلاَّ زَائِدَةً وَعَلَيْهَا حُمَي بِنَافِضٍ قَالَتْ: فَقُمْتُ فَدَثَّرْتُهَا. قَالَتْ: وَدَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ” مَا شَأْنُ هَذِهِ” ؟ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَخَذَتْهَا حُمَي بِنَافِضٍ. قَالَ: “لِعِلَّةٍ فِي حَدِيْثٍ تَحَدَّثَ بِهِ”. قَالَتْ: فَاسْتَوَتْ لَهُ عَائِشَةُ قَاعِدَةً .قَالَتْ: وَالله لَئِنْ حَلَفْتُ لَكُمْ لاَ تُصَدِّقُوْنِي، وَلَئِنْ اعْتَذَرْتُ إِلَيْكُمْ لاَ تَعْذُرُوْنِي، فَمَثَلِي وَمَثَلُكُمْ كَمَثَلِ يَعْقُوْبَ وَبَنِيْهِ، وَاللهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُوْنَ. قَالَتْ: وَخَرَجَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَتْ: وَأَنْزَلَ اللهُ عُذْرَهَا، فَرَجَعَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهُ أَبُوْ بَكْرٍ فَدَخَلَ فَقَالَ: ” يَا عَائِشَةَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ أَنْزَلَ عُذْرَكِ ” . قَالَتْ: بِحَمْدِ اللهِ لاَ بِحَمْدِكَ. قَالَتْ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ لَهَا: تَقُوْلِيْنَ هَذَا رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَتْ نَعَمْ. فَكَانَ فِيْمَنْ حَدَّثَ الْحَدِيْثَ رَجُلٌ كَانَ يَعُوْلُهُ أَبُوْ بَكْرٍ، فَحَلَفَ أَبُوْ بَكْرٍ، أَنْ لاَ يَصِلَهُ،
{ ولا يأتل أولوا الفضل منكم والسعة }فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ  (النور /22) إلي آخر الآية . قَالَ أَبُوبَكْرٍ : بَلَي فَوَصَلَهُ )


10. Ummi Ruman r.a. berkata, “Ketika aku berada di tempat Aisyah, tiba-tiba seorang perempuan Anshar masuk lalu berkata, bahwa Allah telah memperlakukan sesuatu kepada anaknya.” Aisyah berkata, “Mengapa?” Wanita itu menjawab, “Orang itu (anaknya) termasuk yang meriwayatkan hadits…” Aisyah bertanya, “Hadits apa?” orang itu menjawab, “Hadits yang itu.” Aisyah bertanya, “Apakah berita ini sampai kepada Rasulullah?” Orang itu menjawab, “Sudah.” Ia bertanya lagi, “Apakah juga kepada Abu Bakar?” Ia menjawab, “Benar.” Lalu Aisyah jatuh pingsan. Itu tidak kunjung siuman kecuali menderita demam dan kejang-kejang. Ummi Ruman berkata, aku bangun dan menyelimutinya. Kemudian Rasulullah saw. masuk dan bertanya, “Kenapa dia?” Ia menjawab, “Ya Rasulullah, ia terkena demam kejang-kejang.” Beliau bersabda, “Karena ada cacat hadits yang dibicarakannya.” Ummu Ruman berkata, lalu Aisyah duduk tegak seraya berkata, “Demi Allah, kalau aku bersumpah di hadapan kalian pastilah kalian tidak percaya kepadaku dan jika aku meminta izin kepada kalian pastilah kalian tidak memberi izin kepadaku. Perumpamaan aku dengan kalian seperti Ya’qub dan anak-anaknya. Allah Tempat meminta pertolongan atas apa yang kalian katakan.” Lalu Rasulullah saw. keluar lalu turunlah ayat yang memberinya izin. Rasulullah lalu kembali bersama Abu Bakar seraya berabda, “Hai Aisyah, Allah telah menurunkan ayat tentang izinmu.” Ia berkata, “Dengan memuji Allah dan bukan memujimu.” Ia bercerita, kemudian Abu Bakar berkata, “Apakah kamu mengatakan hal ini kepada Rasulullah?” Ia menjawab, “Benar.” Maka yang termasuk orang yang menyampaikan hadits adalah orang yang pernah dipelihara Abu Bakar. Abu Bakar kemudian bersumpah untuk tidak bersilatur-rahim dengannya. Lalu turunlah ayat, “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nur: 22). Abu Bakar berkata, “Benar, lalu bersilatur-rahmi dengannya.”

عَنْ مَالِكِ بْنِ رَبِيْعَةَ السَّاعِدِيّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قال: بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَلَمَةَ. فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِمَا؟ قَالَ: ” نَعَمْ، الصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا، الاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا، وَإِنْفَاذُ عُهُوْدِهِمَا، وَإِكْرَامُ صَدِيْقِهِمَا، وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّذِى لاَ رَحِمَ لَكَ إِلا مِنْ قِبَلِهِمَا ”


11. Malik bin Rabi’ah As-Sa’idi r.a. berkata, “Ketika berada bersama Rasulullah tiba-tiba seseorang datang Bani Salamah lalu berkata, “Ya Rasulullah, apakah masih ada sisa kebaikan orang tuaku yang perlu aku lakukan sepeninggal mereka?” Beliau menjawab, “Ada. Berdoa untuk mereka, meminta ampunan untuk mereka, melaksanakan janji mereka, memuliakan teman-teman mereka, dan bersilatur-rahim dengan orang yang tidak ada hubungan keluarga selain melalui mereka.”

عَنْ أَبِي كَبْشَةَ الأَنْمَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: إِنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ :” ثَلاَثَةٌ أُقْسِمُ عَلَيْهِنَّ وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيْثًا فَاحْفَظُوْهُ، قَالَ: مَا نَقَصَ مَالُ عَبْدٍ مِنْ صَدَقَةٍ، وَلاَ ظُلِمَ عَبْدٌ مَظْلَمَةً فَصَبَرَ عَلَيْهَا إِلاَّ زَادَهُ اللهُ عِزًّا، وَلاَ فَتَحَ عَبْدٌ بَابَ مَسْأَلَةً إِلاَّ فَتَحَ اللهُ لَهُ بَابَ فَقْرٍ – أَوْ كَلِمَةٌ نَحْوَهَا – وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيْثًا فَاحْفَظُوْهُ، قَالَ : إِنَّمَا الدُّنْيَا لأرَبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٌ رَزَقَهُ الله مَالاً وَعَمَلاً فَهُوَ يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيْهِ رَحِمَهُ. وَيَعْلَمُ للهِ فِيْهِ حَقًّا. فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ. وَعَبْدٌ رَزَقَهُ الله عَزَّ وَجَلَّ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقُهُ مَالاً فَهُوَ صَادِقُ النِّيَةِ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ، فَهًوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ، وَعَبْدٌ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا وَهُوَ يُخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَلاَ يَصِلُ فِيْهِ رَحِمَهُ، وَلاَ يَعْلَمُ للهِ فِيْهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ. وَعَبْدٌ لَمْ يَرْزُقْهُ الله مَالاً وَلاَ عَمَلاً، فَهُوَ يَقُوْلُ لَوْ أَنَّ لِي مَالٌ لَعَمِلْتُ فِيْهِ بِعَمَلٍ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَتِهِ فَوِزْرُهًمَا سَوَاءٌ ”


12. Abu Kabsyah Al-Anmari r.a. berkata, ia pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Ada tiga hal yang aku bersumpah untuk hal itu dan aku sampaikan kepada kalian, maka peliharalah: Tidaklah harta hamba berkurang karena sedekah, tidaklah seorang tertimpa suatu kezhaliman kemudian ia bersabar kecuali Allah akan tambah kemuliannya kepadanya, dan tidaklah seorang hamba membuka pinta meminta-minta kecuali Allah akan bukakan untuknya pintu kemiskinan. Atau kata-kata lain seperti itu. Aku sampaikan pesan kepada kalian, peliharalah.” Beliau melanjutkan, “Dunia ini untuk empat kelompok: (1) Seorang hamba yang dikarunia harta dan amal, maka orang itu bertakwa kepada Tuhannya atas harta dan bersulatur-rahmi. Ia juga mengetahui bahwa Allah punya hak terhadap hartanya. Inilah kedudukan paling mulia. (2) Seorang hamba dikaruniai ilmu namun tidak dikaruniai harta. Orang itu jujur dengan niatnya ketika mengatakan, ‘Kalau saja aku punya harta, tentu aku akan melakukan amal sebagaimana orang itu. Dengan niatnya itu pahala mereka bedua sama. (3) Seorang hamba yang dikaruniai harta namun tidak dikarunia ilmu. Ia merusak harta tanpa ilmu. Tidak bertakwa kepada Allah atas hartanya dan tidak bersilatur-rahim serta tidak tahu bahwa Allah mempunyai hak atas hartanya. Ini kedudukan terburuk. (4) Seorang hamba yang tidak dikaruniai harta maupun ilmu. Ia pernah berkata, ‘Seandainya aku mempunyai harta, pasti aku akan melakukan seperti yang dilakukan orang itu (perbuatan buruk). Maka dengan niatnya itu dosa mereka berdua sama.”

عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ الصَّدَقَةَ عَلَي الْمِسْكِيْنِ صَدَقَةٌ، وَعَلَي ذِيْ الرَّحِمِ اثْنَتَانِ : صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ


13. Salman bin Amir r.a. berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya sedekah yang diberikan kepada orang miskin hanya satu sedekah. Sedangkan yang diberikan kepada keluarga terdapat dua pahala: sedekah dan silatur-rahim.”

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهُ: “صِلَةُ الرَّحِمِ وَحُسْنُ الْجِوَارِ، أَوْ حُسْنُ الْخُلُقِ يَعْمُرَانِ الدِّيَارَ، وَيَزِيْدَانِ فِي الأَعْمَارِ”


14. Aisyah r.a. berkata, “Silatur-rahim dan berbuat baik kepada tentangga, atau atau akhlak yang baik akan memakmurkan negeri dan menambah usia.”

عَنْ أَسْمَاءَ رَضِيَ الله عَنْهَا قَالَتْ قَدَمْتُ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ قُرَيْشٍ وَمُدَّتِّهِمْ، إذْ عَاهَدُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ أَبِيْهَا، فَاسْتَفْتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: إِنَّ أُمِّي قَدَمَتْ وَهِيَ رَاغِبَةٌ ( يَعْنِي فِي صِلَتَِها ) قَالَ: ” نَعَمْ، صِلِي أُمَّكِ ”


15. Asma’ r.a. berkata, “Aku datang kepada ibuku yang musyrik, ia berada pada kekuasaan orang-orang Quraisy ketika mereka mengadakan perjanjian dengan Nabi bersama ayahnya. Aku meminta fatwa kepada Nabi, “Ibuku datang dan sangat berharap (yakni silatur-rahim).” Beliau bersabda, “Bersilatur-rahimlah kepada ibumu.”

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ شَيْءَ أُطِيْعُ اللهَ فِيْهِ أَعْجَلُ ثَوَاباً مِنْ صِلَةِ الرَّحِمِ، وَلَيْسَ شَيْءَ أَعْجَلُ عِقَاباً مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ، وَالْيَمِيْنُ الفَاجِرَةُ تَدَعُ الدِّيَارَ بلاقع ..


16. Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada yang lebih besar ketaatannya kepada Allah dan lebih disegerakan pahalanya selain silatur-rahim, tidak ada yang lebih disegerakan hukumannya selain pembangkangan dan memutuskan silatur-rahim, dan sumpah jahat membuat negeri….”

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرُو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهِ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ. وَلَكِنَّ الوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا”


17. Abdullah bin Amr bin ‘Ash r.a. berkata, Rasulullah saw bersabda, “Bukanlah orang yang menyambung silatur-rahim itu yang memberi, tapi orang yang menyambung silatur-rahim adalah yang jika diputus rahimnya ia menyambung.”

 : ” من سره أن يمد له في
rعن علي ـ رضي الله عنه ـ قال : قال رسول الله  عمره ويوسع له في رزقه ، ويدفع عنه ميتة السوء ، فليتق الله ، وليصل رحمه ”


18. Ali r.a. berkata, Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang senang dipanjangkan umurnya, diluaskan rezekinya, dan dijauhkan dari kematian yang buruk, hendaknya ia bertakwa kepada Allah dan bersilatur-rahim.”
19. Abdullah bin Salam r.a. berkata, ketika Nabi sampai ke Madinah, orang-orang berbondong-bondong menuju beliau. Ada juga yang meriwayatkan, Rasulullah sudah sampai ke Madinah sejak tiga hari. Aku datang untuk melihatnya. Ketika wajahnya telah jelas, aku tahu bahwa wajah beliau bukan wajah pendusta. Hal pertama yang aku dengar darinya adalah saat beliau mengatakan, “Hai sekalian manusia, sebarkan salam, beri makan (orang miskin), bersilatur-rahimlah, dan shalatlah di malam hari saat orang-orang sedang tidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat.”
20. Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya memuliakan tetangganya. Siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya bersilatur-rahim. Dan siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendanya ia berkata baik atau diam.”
21. Seseorang dari Khaitsam meriwayatkan, aku datang menemui Nabi saw. yang kala itu beliau sedang bersama beberapa orang sahabatnya. Aku katakan, “Kamukah orangnya yang mengaku sebagai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Benar.” Ia berkata lagi, “Ya Rasulullah, amal apakah yang paling dicintai Allah.” Beliau menjawab, “Beriman kepada Allah.” Aku katakan, “Ya Rasulullah, lalu apa lagi?” Beliau menjawab, “Kemudian silatur-rahim.” Aku katakan, “Ya Rasulullah, lalu apa lagi?” Beliau menjawab, “Kemudian amar ma’ruf nahi mungkar.” Aku tanyakan, “Perbuatan apa yang paling dibenci Allah?” Beliau menjawab, “Menyekutukan Allah.” Aku tanyakan, “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab, “Memutuskan silatr-rahmi.” Aku tanyakan lagi, “Apa lagi?” Beliau menjawab, “Memerintahkan yang mungkar dan mencegah yang ma’ruf.”
22. Uqbah bin Amir meriwayatkan, aku menemui Rasulullah dan aku mulai mendahului beliau untuk memegang tangannya. Namun ternyata beliau mendahuluiku dan memegang tanganku seraya berkata, “Ya Uqbah, maukah kamu aku beritahu tentang akhlak terbaik milik penduduk dunia maupun akhirat? Kamu menyambung orang yang memutuskan silatur-rahim, memberi kepada orang yang mengharamkan (untuk memberimu), dan memaafkan orang yang menzhalimimu. Ketahuilah, siapa yang ingin dipanjangkan umurnya, dilapangkan rezkinya, hendaknya ia menyambung silatur-rahim.”




Komentar para Ulama dan Ahli Tafsir tentang Silatur Rahim
1.      Umar bin Khatthab berkata, “Pelajarilah nasab kalian dan bersilatur-rahimlah kalian. Demi Allah, antar seseorang dengan saudaranya pasti ada sesuatu. Jika saja ia tahu silatur-rahim yang berada di antara dirinya dan saudaranya, pasti ia akan menjaganya agar tidak rusak.”
2.      Ali bin Abi Thalib berkata, “Jika aku bersilatur-rahim kepada saudara-saudaraku dengan satu dirham, tentu lebih aku sukai daripada menyedekahkan dua puluh dirham. Dan kalau aku bersilatur-rahim dengan seratus dirham, tentu lebih aku sukai daripada memerdekakan budak.”
3.      Sa’ad bin Musayyab berkata, pada saat itu ia telah meninggalkan beberapa dinar, “Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku tidak mengumpulkannya kecuali untuk memelihara agama dan nasabku. Tidak ada kebaikan bagi seseorang yang tidak mengumpulkan harta untuk membayar hutangnya, bersilatur-rahim, dan menutupi mukanya.”
4.      Amr bin Dinar berkata, “Ketahuilah olehmu, tidak ada langkah yang lebih agung setelah langkah untuk menunaikan kewajiban selain langkah menuju kerabat.”
5.      Sulaiman bin Musa berkata, ada yang berkata kepada Abdullah bin Muhairiz, “Apa hak rahim?” Ia menjawab, “Kamu menghadapnya dia menghadap dan mengikutinya jika ia berpaling.”
6.      Ibnu Jarir At-Thabari berkata, “Silatur-rahim itu dilakukan dengan menunaikan hak-haknya yang berupa hak-hak Allah yang lebih wajib ditunaikan dan berlaku lembut kepadanya sesuai dengan haknya untuk disikapi dengan lembut.”
Hukum Shilatur Rahim dan Tingkatan-tingkatannya
Al-Qadhi ‘Iyadh berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa shilatur rahim hukumnya wajib dan Qath’ur rahim merupakan kemaksiatan dan dosa besar. Banyak hadits yang mendukung hal ini. Shilatur rahim memiliki tingkatan-tingkatan. Salah satunya lebih tinggi dari yang lain. Sedangkan yang yang paling rendah adalah tidak mogok berbicara atau mengucapkan salam kepada kerabat. Tingkat anjurannya pun berbeda-beda tergantung kemampuan. Ada kalanya wajib dan ada kalanya mustahab (sunnah). Kalau seseorang menyambung shilatur rahim dengan sebagian dan tidak sampai kepada tujuannya, hal itu tidak dianggap sebagai memutuskan shilatur rahim. Juga kalau seseorang tidak melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, ia tidak terhitung sebagai orang yang menyambung silatur rahim.
As-Shilah dalam bentuk kebajikan dan perbuatan baik.
Abul Barakat Badruddin Muhammad Al-Ghazi berkata, “Dilakukan dengan cara pergaulan yang baik bersama keluarga, anak-anak, keluasan akhlak dan jiwa, nafkah yang mencukupi, mengajar adab dan sunnah, serta mengajak mereka agar taat. Firman Allah, ‘Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu. Padanya terdapat malaikat yang keras lagi tegas. Yang tidak pernah bermaksiat kepada Allah atas apa yang diperintahkannya dan selalu melaksanakan apa yang diperintahlkan kepada mereka.’ (At-Tahrim: 5). Memaafkan kesalahan mereka dan tidak mengungkit kekurangan mereka yang bukan dosa ata kemaksiatan.”
Al-Mutsanna berkata, “Aku berkata kepada Abu Abdullah, ‘Orang tadi mempunyai kerabat wanita. Mereka tidak berdiri di hadapannya. Kebaikan apa yang wajib ditunaikan? Dan selang berapa lama ia mesti datang kepada mereka.’ Ia menjawab, ‘Berlaku lembut dan mengucapkan salam.’”
Abu Al-Khatthab dan yang lain berkata dalam masalah pemerdekaan budak. Bahwa Allah akan melaknat dan menghapuskan amal orang yang memutuskan shilatur rahim. Perlu diketahui bahwa Islam tidak mewajibkan shilatur rahim kepada semua keluarga dan kerabat. Sebab jika begitu, berarti wajib bersilatur rahim kepada semua anak cucu Adam. Maka perlu ada pembatasan yang jelas bagi kerabat yang harus disilatur-rahimi dan dimuliakan serta diharamkan untuk diputuskan. Dan jelas yang dimaksudkan adalah kerabat rahim yang muhrim. Hal itu telah ditegaskan oleh sabda Rasulullah saw.:
لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَي عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَي خَالَتِهَا ، وَلاَ عَلَي بِنْتِ أَخِيْهَا وَأُخْتِهَا ، فَإِنَّكُمْ إِذَا فَعَلْتُمْ ذَلِكَ قَطَعْتُمْ أَرْحَامَكُمْ
“Tidaklah seorang wanita dinikahi bersama bibinya (dari jalur ayah) dan bibinya (dari jalur ibu), juga tidak dinikahi bersama anak saudara laki-laki dan saudara perempuannya. Sebab jika kalian lakukan itu, kalian telah memutuskan hubungan rahim kalian.”
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa tidak wajib bersilatur rahim selain kepada kerabat yang muhrim. Inilah pendapat sebagian ulama. Sedangkan Imam Ahmad berpendapat seperti yang pertama, bahwa yang wajib disilatur rahimi adalah kerabat yang muhrim atau bukan muhrim. Sementara Abu Al-Khatthab berpendapat kewajiban silatur rahim tidak sekedar salam. Pendapat Imam Ahmad terdapat beberapa interpretasi. Al-Fadhl bin Abdus Shamad berkata kepada Abu Abdullah, “Seseorang mempunyai beberapa orang saudara laki-laki dan perempuan di tanah ghasab (hasil sabotase). Apakah menurutmu, ia perlu berkunjung kepada mereka?” Ia menjawab, “Betul, ia perlu mengunjungi mereka serta memberi semangat kepada mereka agar keluar dari tanah sabotase itu. Itu jika mereka mau. Jika tidak mau, tidak perlu tinggal bersama mereka namun jangan sampai tidak mengunjungi mereka.”
Hak-hak Kerabat dan Keluarga
قال رسول الله r : يقول الله تعالي : أنا الرحمن وهذه الرحم شققت لها اسما من اسمي فمن وصلها وصلته ومن قطعها قطعته
Rasulullah saw. bersabda, “Allah berfirman, ‘Akulah Ar-Rahman, dan rahim ini dikeluarkanlah nama dari nama-Ku. Siapa menyambungnya Aku akan menyambungnya dan siapa memutusnya Aku memutusnya.”
وقيل لرسول الله  r  ” أي الناس أفضل” ، قال : ” أتقاهم لله وأوصلهم لرحمه وآمرهم بالمعروف وأنهاهم عن المنكر
Ada yang bertanya kepada Rasullullah saw., “Manusia yang manakah yang paling mulia?” Beliau menjawab, “Yang paling bertakwa, yang paling baik menyambung shilatur rahim, yang paling baik dalam memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar.”
Rasulullah saw bersabda:
الصدقة على المسكين صدقة وهي على ذي الرحم اثنتان :” صدقة وصلة
“Bersedekah kepada orang miskin itu satu sedekah (pahalanya) dan sedekah kepada kerabat dua sedekah (pahalanya): (pahala) sedekah dan (pahala) shilatur rahim.”
Ketika Abu Thalhah hendak menyedekahkan kebun yang sangat dicintainya demi merealisasikan firman Allah, “Tidaklah kalian mendapatkan kebajikan sampai kalian menginfakkan dari apa yang kalian cintai.” Ia berkata, “Ya Rasulullah, kebun itu (aku serahkan) di jalan Allah, untuk orang-orang fakir, dan orang-orang miskin.” Rasulullah bersabda:
وجب أجرك واقسمه في أقاربك
“Kamu berhak mendapatkan pahalamu dan bagilah untuk kerabatmu.”
Diriwayatkan bahwa Umar pernah menulis surat kepada para pegawainya, “Perintahkan kepada para keluarga agar saling mengunjungi dan tidak saling melampaui batas.” Dia katakan itu karena melampaui batas cenderung melahirkan sikap mengabaikan hak-hak, bahkan bisa melahirkan sikap kasar dan memutuskan shilatur rahim.
Ibnu Manshur berkata kepada Abu Abdullah, “Ada orang mencium seorang perempuan muhrim.” Ia menjawab, “Jika ia datang dari bepergian lalu tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri (boleh saja).” Nabi saw sendiri pernah melakukan hal serupa ketika beliau baru datang dari perang, beliau mencium Fathimah. Namun tidak pernah beliau mencium bagian mulut sama sekali. Kening atau kepala.
Realisasi Shilatur Rahim dalam Kehidupan Nabi
Abdul Muthallib bin Rabi’ah bin Al-Harits menceritakan, “Rabi’ah bin Al-Harits pernah berkumpul bersama Abbas bin Abdul Muthallib lalu keduanya berkata, ‘Demi Allah, bagaimana kalau kedua anak ini kita utus (yang dimaksudkan adalah aku dan Al-Fadhl bin Abbas) menemui Rasulullah saw. Namun Rabi’ah menimpali, ‘Demi Allah, Anda tidak melakukan hal ini selain karena rasa iri Anda kepada kami. Demi Allah, aku sendiri telah berhasil menjalin persaudaraan dengan Rasulullah dan kami tidak pernah dengki kepada Anda.’ Ali berkata, ‘Utus saja keduanya.’ Lalu keduanya pergi dan Ali pun kemudian berbaring. Dikisahkan, ketika Rasulullah selesai shalat Dzuhur, kami mendahului beliau ke kamar. Kami berdiri menunggu di sana. Sampai beliau datang lalu menjewer telinga kami. Beliau bersabda, ‘Sampaikan semua pembicaraan yang telah kalian lakukan.’ Beliau masuk dan kami pun ikut masuk. Dan kala itu beliau berada di rumah Zainab binti Jahsy. Kami pun memulai pembicaraan dan salah seorang di antara kami berkata, ‘Ya Rasulullah, engkau adalah manusia paling baik dan paling erat menyambung silatur rahim. Kami telah mencapai usia nikah. Kami minta agar engkau mengutus kami mengurus sebagian sedekah ini lalu kami beri bagian engkau sebagaimana kami beri juga orang lain. Kami juga mendapatkan bagian sebagaimana orang lain mendapat bagian. Lalu beliau diam lama sekali sampai-sampai kami ingin berbicara kepada beliau. Tiba-tiba Zainab memberi isyarat dari balik tabir agar tidak mengajak beliau berbicara dulu. Beliau bersabda, ‘Sedekah itu tidak layak bagi keluarga Muhammad, karena ia adalah harta sisa orang. Panggillah Mahmiyyah dan Naufal bin Al-Harits bin Abdul Muthallib. Kemudian kedua orang itu datang dan beliau bersabda kepada Mahmiyyah, ‘Nikahkan anak ini dengan anakmu (maksudnya Fadhl bin Abbas).’ Dan orang itu pun menikahkannya. Beliau juga bersabda kepada Naufal, ‘Setelah itu beliau bersabda lagi kepada Mahmiyyah, ‘Berilah bagian dari seperlima (hak Nabi) untuk mereka sekian dan sekian.’ (Muslim).
عن عمرو بن العاص رضي الله عنه قال : قال رسول الله r جهار غير سرر :” إن آل أبي قال عمرو في كتاب محمد بن جعفر بياض - ليسوا بأوليائي ، وإنما وليي الله وصالح المؤمنين ، زاد عنبسة بن عبد الواحد عن بيان ، عن قيس ، عن عمرو ابن العاص ، قال : سمعت رسول الله r  ” ولكن لهم رحم أبلها ببلالها يعني أصلها بصلتها
Amr bin Ash r.a. berkata, Rasulullah bersabda dengan terang-terangan dan tidak rahasia, “Sesungguhnya keluarga Abu –Amr mengatakan, pada tulisan Muhammad bin Ja’far– putih saja (nama kunyah itu tidak tertulis)– mereka bukan wali-waliku. Waliku adalah Allah dan orang-orang mukmin yang shalih.’ Anbasah bin Abdullah bin Abdul Wahid menambahkan dari Bayan dan dari Qais dan dari Amr bin Ash. Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Akan tetapi ia mempunyai kekerabatan dan yang paling baik adalah yang paling baik menyambung kekerabatan itu.”
عن المسور بن مخرمة رضي الله عنه قال : إن رسول الله r  قال : ” فاطمة بضعة مني ، فمن أغضبها أغضبني
Al-Musawwir bin Al-Mukhrimah r.a. berkata, sesungguhnya Rasulullah bersabda, “Fathimah adalah sebagian dari dagingku. Siapa membuatnya marah berarti ia juga membuatku marah.”
عن عائشة رضي الله عنها قالت : ما غرت على نساء النبي r  إلا علي خديجة ، وإني لم أدركها ، قالت : وكان رسول الله r إذا ذبح الشاة فيقول : ” أرسلوا بها إلي أصدقاء خديجة ” قالت : فأغضبته يوما فقلت : خديجة ؟ فقال رسول الله r  : ” إني رزقت حبها
Aisyah r.a. berkata, “Aku tidak cemburu kepada istri-istri Nabi (yang lain) selain kepada Khadijah. Dan aku tidak bisa menyainginya. Jika Rasulullah memotong kambing beliau selalu mengatakan, “Kirimlah ini ke teman-teman Khadijah.” Pada suatu hari aku membuat beliau marah. Kataku, ‘Khadijah?’ Beliau bersabda, “Aku dikaruniai kecintaan terhadapnya.” (Bukhari Muslim).
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : لما نزلت هذه الآية } وأنذر عشيرتك الأقربين { ( الشعراء /214) ، دعا رسول الله r  قريشا ليجتمعوا . فعم وخص . فقال: ” يا بني كعب بن لؤي ، أنقذوا أنفسكم من النار ، يا بني مرة بن كعب ! أنقذوا أنفسكم من النار ، يا بني عبد شمس ! أنقذوا أنفسكم من النار ، يا بني عبد مناف ! أنقذوا أنفسكم من النار ، يا بني هاشم أنقذوا أنفسكم من النار ، يا بني عبد المطلب ! أنقذوا أنفسكم من النار . إني لا أملك لكم من الله شيئا . غير أن لكم رحما سأبلها ببلالها
Abu Hurairah berkata, “Ketika ayat ini turun, ‘Dan berilah peringatan kepada kerabat dekatmu.’ (As-Syu’ara’: 214). Rasulullah mengundang orang-orang Quraisy agar mereka berkumpul. Beliau memanggil mereka secara umum maupun khusus. Beliau bersabda, ‘Hai Bani Ka’ab bin Lu’ay! Selamatkan diri kalian dari neraka! Hai Bani Murrah bin Ka’ab! Selamatkan diri kalian dari neraka! Hai Bani Abdu Syams! Selamatkan diri kalian dari neraka! Hai Bani Abdu Manaf! Selamatkan diri kalian dari neraka! Hai Bani Hayim! Selamatkan diri kalian dari neraka! Hai Bani Abdul Muthallibh! Selamatkan diri kalian dari neraka! Aku tidak memiliki sesuatu pun dari Allah untuk kalian. Hanya saja kalian mempunyai kekerabatan (denganku). Aku akan berbuat baik (melalui kekerabatan itu).” (Muslim).
Manfaat Shilatur Rahim
1.   Tergapainya keluasan rezeki dan keberkahan usia.
2.   Mendapatkan keridhaan Allah dan cinta hamba.
3.   Menguatkan tali penghubung masyarakat: antara satu pribadi dalam keluarga dan antara keluarga itu sendiri. Baik melalui perkawinan maupun nasab. Kendatipun tidak merambah kepada seluruh masyarakat.
4.   Merasakan kebersamaan Allah dan mendapatkan dukungan dari Allah yang Maha Kuat, Maha Perkasa, lagi Maha Menyambung.
5.   Menguatkan hubungan antar kerabat dekat. Dimana menyambung kerabat dekat lebih banyak pahalanya dari pada yang jauh.