I.
MUKADIMAH
Setiap muslim pasti tidak menginginkan keimanan dalam relung kalbunya mengalami
kelemahan. Kelemahan ini akan terlihat dari kualitas dan kuantitas amal ibadah
dan kesolehannya, satu hal yang
merupakan barometer keimanan. Hal tersebut memperlihatkan kenaikan atau
degradasi keimanannya.
Karena itu, setiap muslim tentu menginginkan kesolehan dan kebaikannya
senantiasa eksis dalam ruang kepribadiannya, dan kemudian menjelma dalam ruang
sosialnya. Namun, kesolehan dan kebaikan ini bisa bertahan, atau bahkan
berkembang dengan ditentukan oleh
kondisi keimanannya. Sejauh mana ia berusaha
menyuburkan keimanannya dengan ketaatan dan kesolehan. Oleh karenanya,
Rasulullah dalam sebuah hadisnya mengajarkan kepada kita sebuah doa sebagai
berikut.
“Ya Allah, Engkau lah teman dalam perjalanan dan
khalifah dalam keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau
dari beratnya perjalanan dan keburukan kondisi, dari kekurangan setelah
kesetabilan, dari doa orang yang terdzalimi, dan dari buruknya pemandangan
terhadap keluarga dan harta.” (HR. At-Tirmidzi, hadits hasan shahih)
Dalam hadist ini, makna berlindung dari kekurangan adalah isyarat kepada
setiap muslim untuk khusyuk berdoa agar keimanannya tidak mengalami penurunan,
dan agar kesolehan dan kebaikannya dari hari ke hari semakin berkembang dan
berbuah.
Namun, dalam realitas kehidupan muslim, tidak dapat dipungkiri adanya
degradasi keimanan, kesolehan, dan kebaikan. Pada akhirnya hal ini melahirkan
penyimpangan dan kesesatan dalam kehidupan. Kondisi dan fenomena ini pernah
dialami oleh kaum sebelum kita. Secara eksplisit, Al-Qur`an menggambarkannya
dalam ayat berikut ini.
“Maka, datanglah sesudah mereka, pengganti (yang
jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka
kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)
Oleh karena itu, munculnya generasi terbiasa menyia-nyiakan shalat dan
mengikuti hawa nafsu—seperti yang disebutkan dalam ayat di atas, disebabkan
oleh tidak adanya perhatian dari generasi sebelumnya. Pendahulunya tidak
memberikan pemahaman dan pembinaan terhadap mereka secara kontinyu. Karena,
apabila manusia tidak memiliki pemahaman yang baik tentang agamanya, ia
cendrung mengikuti apa yang diinginkan hawa nafsunya. Itulah sebabnya, ketika
ia memiliki pemahan yang tidak baik, atau adanya intervensi syubhat dalam
paradigma pemikirannya, atau adanya dominasi syahwat yang berlebihan, ia akan
mempunyai kecendrungan meyimpang dari jalan kebenaran. Dalam Madaarijus
Salikin dan Zaadul Ma’aad, hal ini ditegaskan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziah,
ia berkata ”Bahwasanya akar penyimpangan dan kesesetan seseorang bermuara
pada dua faktor yaitu, syubhat dan syahwat”. Oleh karenanya, Allah SWT
mengingatkan Nabi Daud as. untuk berlaku adil, menegakkan seluruh nilai
kebenaran, dan tidak mengikuti libido atau hawa nafsunya, tatkala diberikan
amanah sebagai khalifah di muka bumi ini. Perhatikan ayat berikut ini.
“Hai Daud,
sesungguhnya Kami menjadikan
kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,
maka berilah keputusan (perkara)
di antara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu,
karena ia akan
menyesatkan kamu dari
jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang
yang sesat darin
jalan Allah akan mendapat
azab yang berat,
karena mereka melupakan
hari perhitungan.” (Shaad: 26)
Oleh karena itu, sangatlah urgen bagi seorang muslim untuk memahami
sebab-sebab degradasi kesolehan dan keimanan. Satu hal yang dapat mengakibatkan
kita terombang-ambing dalam lautan kesesatan.
II.
SEBAB SEBAB DEGRADASI KESOLEHAN
Degradasi atau penurunan kesolehan dan keimanan seseorang tidak lahir
begitu saja tanpa faktor-faktor
penyebab. Hal ini kembali kepada tabiat yang dimiliki “iman” itu sendiri, yaitu
iman mengalami fluktuasi. Terkadang ia mengalami penambahan dan penguatan yang
luar biasa, namun di saat lain ia mengalami penurunan yang drastis. Ibnu Hajar
Asqolani, dalam Fathul Baary, Syarah Shahih al-Bukhari menyatakan
bahwa semua ulama sependapat iman itu
dapat bertambah dengan ketaatan, dan dapat berkurang dengan kemaksiatan.
Di dalam Al-Qur`an, banyak terdapat ayat yang berkaitan dengan fluktuasi
imam seseorang.
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan
apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya
kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (al-Anfal: 2)
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di
antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, "Siapakah diantara kamu yang bertambah
imannya dengan (turannya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman,
maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Dan adapun
orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu
bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka
mati dalam keadaan kafir.” (at-Taubah: 124-125)
“Aku akan memalingkan orang-orang yang
menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda
kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya.
Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau
menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus
memenempuhnya. Yang demikian itu adalah karena
mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai daripadanya.” (al-A’raaf: 146)
Adapun sebab-sebab degradasi kesolehan seseorang adalah sebagai berikut.
Pertama, lemahnya iman.
Apabila seorang muslim lemah imannya, maka ia
tidak akan pernah merasakan nikmatnya iman tersebut. Ia senantisa
terombang-ambing dalam panggung kehidupannya, dan tidak memiliki jati diri lagi
sebagai muslim yang sebenarnya. Sebaliknya, manusia muslim yang memiliki
kekuatan iman yang sebenarnya—bukan hanya sebatas keyakinan saja, ia akan
merasa tentram, damai, percaya diri, dan bahkan mampu melukiskan karya-karya
besar dalam kanvas kehidupannya. Inilah hamba-hamba yang dijanjikan Allah
sebagai pewaris bumi-Nya, sebagaimana dinyatakan ayat-ayat berikut ini.
“Dan Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh,
bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh
Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan
Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan
menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan
sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji)
itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (an-Nuur: 55)
“Orang yang selalu merasakan kenikmatan
iman adalah orang yang rela menjadikan Allah sebagai Robb, Islam sebagai agama,
dan Muhamad sebagai Nabi.” (HR. Muslim)
“Ada tiga perkara, yang jika seseorang
memilikinya, ia akan merasakan manisnya iman, yaitu mencintai Allah dan
Rasul-Nya lebih daripada yang lain,
menncintai orang lain karena Allah, dan benci kepada kekufuran, sebagaimana ia
benci dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Maka, kelemahan dan penurunan iman secara otomatis mempengaruhi kuantitas
dan kualitas kesolehan dan kebaikan seseorang. Semakin kuat iman dalam jiwa
seseorang, semakin kuat pula amal seseorang. Sebaliknya, semakin lemah iman
seseorang, semakin lemah pula kuantitas dan kualitas amalnya.
Kedua, tertinggal dalam
ilmu pengetahuan.
Kekuatan dan kemenangan umat yang selalu
dijanjikan Allah SWT kepada mereka, bukan hanya bertumpu pada sisi aqidah atau
ibadah saja, melainkan harus diiringi dengan ilmu pengetahuan Islam dan
ekspansi kebaikan atau amal islami dalam kehidupan. Namun, kekuatan dan
kemenangan itu baru akan tegak kokoh jika berdiri di atas tiga pilar, yang satu
sama lainnya tidak boleh terpisahkan, yaitu iman, ilmu, dan amal (ibadah). Saat
ini, ketika umat mulai meninggalkan tsaqafah islamiah dan ilmu
pengetahuan lainnya yang bermanfaat, maka kekuatan dan kemenangan tersebut
berangsur-angsur akan hilang, dan akhirnya berganti dengan ketidakberdayaan
serta kelemahan. Sebagaimana yang Allah nyatakan dalam firman-Nya.
“…Katakanlah: "Adakah sama orang-orang
yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya
orang yang berakal lah yang dapat menerima
pelajaran.” (az-Zumar:
9)
“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Mujaadilah: 11)
Mengenai hal ini, Imam Syafi’i berkata, “Demi Allah, sesungguhnya jati diri
seorang pemuda ada dalam ilmu dan ketakwaannya. Apabila keduanya tidak ada
dalam dirinya, maka ia bukanlah pemuda sebenarnya.”
Adapun Ibnu Taimiah berkata, “Pencabutan amanah dan iman bukanlah berarti
pencabutan ilmu. Karena, manusia terkadang diberikan keimanan, namun tidak
diberikan keilmuan. Keimanan seperti ini mudah hilang dari jiwanya, sebagaimana
hilangnya iman Bani Israil tatkala mereka melihat anak sapi (yang akhirnya
disembah). Adapun jika seseorang diberikan ilmu serta iman, maka ilmu dan
imannya tidak akan hilang dari jiwanya, dan ia tidak akan keluar dari Islam.
Berbeda jika ia hanya diberi Al-Qur`an atau iman saja. Sebab, iman semacam ini terkadang hilang,
sebagaimana realitas yang ada dalam kehidupan. Hal ini terlihat pada kebanyakan
riddah (kemurtadan) yang kita temukan, yaitu terjadi pada orang yang
hanya memiliki Qur`an tanpa memiliki ilmu dan iman, atau memiliki iman tanpa
memiliki ilmu dan Qur`an. Karena itu lah, orang yang memiliki Al-Quran, iman,
dan ilmu pengetahuan, niscaya tidak akan kehilangan iman dari
jiwanya. Wallahu a’lam.” (al-Fataawa, 18/305)
Ketiga, meremehkan dosa dan kemaksiatan.
Ketika seseorang menganggap remeh dosa dan kemaksiatan, maka kesolehan dan
kebaikannya akan mengalami degradasi. Bahkan, dengan meremehkan dosa dan
kemaksiatan, ia akan mudah terjebak
dalam kubangan kemaksitan. Karena, tabiat dosa atau kemaksiatan adalah
senantiasa mengajak dan menggiring manusia untuk melakukan dosa lagi. Mengenai
masalah ini, Rasulullah saw. bersabda, “Takutlah kalian akan meremehkan
dosa-dosa, karena sesungguhnya dosa-dosa tersebut akan berkumpul, dan akhirnya
mencelakakannya. Perumpamaan dosa-dosa ini seperti kaum yang menuruni lembah
dan setiap orang membawa sebatang kayu bakar. Mereka mengumpulkannya dan
menjadikannya tumpukan, kemudian dinyalakan api dan semua yang dilemparkan ke
dalamnya menjadi matang.” (HR Ahmad dan at-Thabrani)
Selain menambah dosa dan kemaksiatan, meremehkannya dapat mengakibatkan
seseorang jauh dari jalan taubat, melemahkan hati untuk berjalan menuju Allah,
dan bahkan di Hari Akhirat nanti dapat
menjadi penghalang menuju ke haribaan-Nya.
Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya kebaikan melahirkan kecerahan di wajah,
cahaya di hati, kelapangan rizki, kekuatan badan, dan kecintaan di hati manusia
lain. Adapun kemaksiatan menimbulkan kepucatan di wajah, kegelapan di hati,
kelemahan badan, serta kesempitan dan kebencian di hati manusia.”
Abdullah bin Mubarak berkata dalam syairnya.
Aku melihat dosa-dosa itu mematikan hati
Membiasakannya bisa mewariskan kehinaan,
Sementara, meninggalkan dosa-dosa adalah kehidupan
bagi hati
dan kebaikan bagi jiwa,
Tidak ada yang merusak agama ini, kecuali para
raja dan cedekiawan yang rusak
Keempat, ujub dan ghurur (keterperdayaan).
Ujub dan ghurur merupakan dosa awal yang dimiliki Iblis, yaitu saat ia
menolak perintah Allah untuk bersujud
kepada Adam. Sebab, ia merasa mempunyai kelebihan dibandingkan Adam. Ia merasa
lebih baik, lebih kuat, dan lebih sempurna. Begitu lah halnya manusia yang
memilki sifat ujub dan ghurur, ia merasa lebih segala-galanya dari pada orang
lain. Ia akan lebih sibuk dengan urusan orang lain dibandingkan dengan dirinya
sendiri, dan ia merasa tidak butuh lagi untuk melakukan ekspansi kebaikan.
Perasaan ujub dan ghurur yang mendominasi jiwa seorang muslim akan mematikan
langkah-langkah kebaikannya, dan akan mengubur rasa jiddiyah (kerja keras)
dalam usaha untuk menambah kesolehan pribadi.
“Apabila kamu melihat kekiran yang ditaati, hawa
nafsu yang diikuti, dunia yang diutamakan, dan takjub jika semua orang mengikuti pendapatnya, maka
selamatkanlah dirimu.” (HR at-Tirmidzi)
Bersamaan dengan ujub, akan muncul ridha kepada hawa nafsu. Ridha kepada
hawa nafsu akan mengakibatkan banyak kekurangan dan penyakit, seperti ghurur,
meremehkan orang lain, dan tidak pernah mengintropeksi diri. Oleh karenanya,
Allah mencela sifat ini melalui berbagai ayat-ayat-Nya.
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para
mu'minin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain,
yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), maka jumlah
yang banyak itu tidak memberi manfa'at kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas
itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan
bercerai-berai.” (at-Taubah:
25)
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di
antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama
Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa
benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka
Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka.
Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan
rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mu'min.
Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang
mempunyai wawasan.” (al-Hasyr:
2)
Kelima, lemahnya tarbiyah.
Rasulullah saw. diutus ke bumi dengan mengemban misi khusus, yaitu untuk
membacakan ayat-ayat-Nya, serta mentazkiah dan mengajarkan Al-Kitab dan
Al-Hikmah kepada ummatnya. Hal ini dilakukan agar mereka memahami visi dan misi
kehidupannya, agar mata mereka terbuka akan peradaban yang ada di sekitarnya,
dan agar mereka menjadi saksi-saksi kebenaran dan kebaikan atas umat yang lain.
Maka, ketika taklim dan tarbiyah (pendidikan dan pembinaan), yang sesuai
dengan minhaj salafus shalih tidak dilirik kembali oleh ummat Islam, dan
bahkan ditinggalkan sama sekali, niscaya akan muncul syubhat pemikiran di
tengah-tengah ummat, merajalelanya syahwat dalam kehidupan, dan kebodohan
mewarnai masyarakat. Inilah fenomena masyarakat muslim ketika tarbiyah, taklim
dan dakwah tidak berperan lagi dalam masyarakat, sebagaimana yang diisyaratkan
ayat berikut ini.
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti
(yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka
kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)
Oleh karenanya, Allah menyerukan setiap mukmin untuk selalu melakukan amar
makruf dan nahi munkar.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari
yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ’Imran: 104)
Keenam, dominasi syahwat
Kesesatan dan jauhnya seseorang dari jalan petunjuk dan kebenaran bisa
disebabkan oleh salah satu diantara dua faktor ini, yaitu syubhat dan syahwat.
Syahwat yang mendominasi kehidupan seseorang akan memasung akalnya, menjadi
raja kecil dalam dirinya, dan akan menjadikannya tunduk kepada setiap
perintahnya. Semua organ tubuhnya digerakkan oleh keinginan hawa nafsu dan
harapan libidonya, sekalipun ia sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai
kebenaran dan kebaikan Islam.
Maka, tatkala dominasi syahwat sangat kuat dalam jiwa dan diri seseorang,
niscaya cahaya kebaikan dan kesolehannya akan semakin redup, dan bahkan sama
sekali tidak tampak. Ia akan berjalan di tengah-tengah masyarakatnya dengan
kegelapan, kemaksiatan, dan kemungkaran. Sebaliknya, orang yang mampu menahan
hawa nafsunya akan berjalan dengan cahaya kehidupan di tengah-tengah
masyarakatnya. Hal ini telah Allah nyatakan dalam firman-Nya.
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia
Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya
itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang
yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar
dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa
yang telah mereka kerjakan.” (al-An’aam: 122)
Rasulullah saw. mengkatagorikan
orang yang cerdas adalah orang yang mampu menahan hawa nafsunya, dan
perhatikan lah pahala yang diberikan Allah kepada orang semacam ini.
“Orang yang cerdas ialah orang yang mampu menahan
hawa nafsunya, dan beramal untuk hari sesudah kematiannya.”
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih
mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan
adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggalnya.” (an-Naazi’aat: 37-41)
Ketujuh, berlebihan dalam mencintai dunia.
Sepatutnya, seorang muslim selalu berharap dalam kehidupannya kebaikan di
dunia dan di akhirat, bukan hanya salah satunya saja. Ia hidup di dunia ini dan
menikmati limpahan karunia serta rizki dari Allah untuk menegakkan nilai-nilai
kebenaran Islam. Ia menguasai dunia untuk menebarkan nilai-nilai kebaikan di
tengah-tengah masyarakatnya. Inilah suatu kebahagian tersendiri yang tidak
pernah dirasakan hamba-hamba yang mengingkari kebenaran risalah ilahiah.
“Tidak boleh hasud, kecuali kepada dua orang ini,
seorang yang diberikan Al-Qur`an oleh Allah, kemudian ia mengamalkannya setiap
hari dan setiap malam, dan seorang hamba yang diberikan Allah harta, kemudian
ia menginfakkannya setiap hari dan setiap malam.” (Hadits shahih)
Namun, ketika jiwa seorang muslim sangat mencintai dunia, maka hal
tersebut akan mematikan langkah-langkah
kebaikannya. Ia akan memiliki pemahaman bahwa hidup adalah untuk mengumpulkan
harta yang sebanyak-banyaknya, bahwa dunia adalah sesuatu yang pasti dan
akhirat adalah sesuatu yang belum pasti, dan bahwa dunia adalah kenikamatan
cash dan akhirat adalah kenikmatan yang tertunda. Pernyataan-pernyataan ini
muncul karena adanya talbis iblis pada jiwa seorang muslim. Oleh karenanya,
Rasulullah sangat menakutkan fitnah dunia ini menimpa ummatnya.
“Demi
Allah, bukanlah ujian kefakiran yang aku takutkan terhadap kalian, tetapi ujian kelapangan dunia sebagaimana yang telah
diberikan kepada kaum sebelum kalian. Kamu semua akan berlomba-lomba
mendapatkannya, seperti mereka dan ia akan menghancurkan kalian, sebagaimana
telah menghancurkan mereka.” (HR al-Bukhari Muslim)
Kedelapan, krisis identitas
Ketika kondisi keimanan seseorang dingin dan tidak
memiliki energi untuk melakukan perubahan dalam dirinya, serta keimananannya
tidak memiliki pengaruh dalam melahirkan amal ibadah, maka ia akan mengalami idzabatu
syakhshiat islamiah (krisis identitas keislaman). Ia menjadi minder ketika
disebut muslim, malu dan merasa terbelakang apabila ditanyakan tentang
identitas dirinya sebagai muslim, ketika
seharusnya mereka berani menunjukkan dengan jelas apa identitas dan
siapa mereka. Mengapa? Hal ini dikarenakan seorang muslim memiliki identitas
yang khas, kepribadian independen, dan loyalitas yang jelas. Ia adalah pemilik
risalah bumi, serta pemikul panji dakwah universal yang berkarekter rabbaniah,
insaniah, dan akhlakiah.
Maka,
seorang muslim yang tidak memahami hal ini akan kehilangan arah dan
pegangan hidupnya, dan ia merasa tidak berharga dalam masyarakatnya serta tidak
percaya diri sebagai muslim. Secara otomatis, ia akan melakukan apa saja yang
ia inginkan, tanpa berfikir apakah perbuatannya sesuai dengan ajaran Islam atau
tidak. Ia beribadah sekadarnya, dan beramal islam ala kadarnya. Akhirnya,
lama-kelamaan, ia akan jauh dari poros Islam, dan berjalan diluar bingkai
keislaman yang sebenarnya.
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang
jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka
kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)
III.
SOLUSI
Untuk menyelamatkan umat dari kesesatan, penyimpangan dan degradasi
kesolehan, maka semua muslim harus bersama-sama bahu-membahu dan berusaha keras
untuk mengantisipasinya dengan cara sebagai berikut.
Ø Tarbiah imaniah
“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini
dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada
Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (al-Kahfi: 13)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu
kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki
bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa
menta'ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan
yang besar.” (al-Ahzab:
70-71)
Ø Ikhlas dan jujur kepada Allah
“Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al
Quraan) dengan(membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta'atan
kepada-Nya.” (az-Zumar:
2)
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan :"Kami telah beriman",
sedang mereka tidak diuji lagi. Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang
yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang benar
dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabuut: 2-3)
Ø Menguatkan ilmu pengetahuan
“…Katakanlah: "Adakah sama orang-orang
yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya
orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran.” (az-Zumar:
9)
“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Mujaadilah: 11)
Imam Syafi’i berkata, “Sesungguhnya jati diri seorang pemuda, demi Allah,
ada dalam ilmu dan ketakwaannya. Apabila
keduanya tidak ada dalam dirinya, maka ia bukanlah pemuda sebenarnya.”
Ø Takut akan keburukan akhir hidup (su’ul
khatimah)
“Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah
menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku
sebahagian ta'bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta
langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku
dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (Yusuf: 101)
“Sesungguhnya amal manusia itu ditentukan pada
saat akhir kehidupannya.” (HR. Ibnu Hibban)
Dikisahkan bahwa Sufyan ats-Tsauri menangis sejak malam sampai pagi, dan
seseorang bertanya kepadanya, “Apakah tangisan anda ini karena dosa-dosa yang
anda perbuat? Sufyan ats-Tsauri lalu mengambil sehelai merang dari tanah seraya
berkata, “Dosa-dosa itu lebih ringan daripada ini. Sesungguhnya aku menangis
karena takut akan akhir hayat yang buruk (su’ul khatimah)”
Oleh karena itu, dengan adanya rasa takut akan akhir hayatnya, setiap
manusia muslim akan selalu berhati-hati dalam menjalani kehidupannya, dan
senantiasa terus menghiasi lembaran kehidupannya dengan sejuta warna kebaikan.
Ø Beramal shalih secara kontinyu
“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah
kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan.Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.
Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah
menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam
(Al Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu
semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang,
tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu,
maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (al-Hajj: 77-78)
Wallahu a’lam bish-shawwab.