Dari Umar bin Khattab r.a.
berkata, bahwa beliau mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sekiranya kalian
benar-benar bertawakal kepada Allah swt. dengan tawakal yang sebenar-benarnya,
sungguh kalian akan diberi rezeki (oleh Allah swt.), sebagaimana seekor burung
diberi rezeki; ia pergi pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang di sore hari
dalam keadaan kenyang. (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu Majah)
Sekilas tentang Hadits
Hadits ini merupakan hadits marfu’ dari Umar bin
Khattab r.a., yang diriwayatkan melalui jalur sanad Abdullah bin Hubairah, dari
Abu Tamim Al-Jaisyani, dari Umar bin Khattab, dari Rasulullah saw.,
diriwayatkan oleh:
- Imam
Turmudzi dalam Sunan/ Jami’nya, Kitab Al-Zuhud An Rasulillah saw., Bab
Fi Attawakkal Alallahi, hadits no 2344.
- Imam
Ibnu Majah dalam sunnannya, Kitab Al-Zuhud, Bab Attawakkal Wal Yaqin,
hadits no 4164.
- Imam
Ahmad bin Hambal dalam tiga tempat dalam musnadnya, yaitu pada hadits
nomor 205, 372, dan 375.
Makna Hadits Secara Umum
Hadits di atas menjelaskan tentang hakekat tawakal
dengan perumpamaan seekor burung. Dimana burung pergi (baca ; mencari karunia
Allah) pada pagi hari dengan perut kosong karena lapar, namun di sore hari ia
pulang dalam keadaan perut kenyang dan terisi penuh. Karena pada hakekatnya
Allah swt.-lah yang memberikan rezekinya sesuai dengan kebutuhannya. Demikian
juga manusia, sekiranya manusia benar-benar bertawakal kepada Allah swt. dengan
mengamalkan hakekat tawakal yang sesungguhnya, tentulah Allah swt. akan
memberikan rezeki sebagaimana seekor burung yang berangkat pagi hari dengan
perut kosong dan pulang sore hari dengan perut kenyang. Artinya, insya Allah
rezekinya akan Allah cukupi.
Makna dan Hakikat Tawakal
Dari segi bahasa, tawakal berasal dari kata ‘tawakala’
yang memiliki arti; menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan. (Munawir, 1984 :
1687). Seseorang yang bertawakal adalah seseorang yang menyerahkan,
mempercayakan dan mewakilkan segala urusannya hanya kepada Allah swt.
Sedangkan
dari segi istilahnya, tawakal didefinisikan oleh beberapa ulama salaf, yang
sesungguhnya memiliki muara yang sama. Di antara definisi mereka adalah:
1. Menurut Imam Ahmad bin Hambal.
Tawakal merupakan aktivitas hati,
artinya tawakal itu merupakan perbuatan yang dilakukan oleh hati, bukan sesuatu
yang diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota
tubuh. Dan tawakal juga bukan merupakan sebuah keilmuan dan pengetahuan. (Al-Jauzi/
Tahdzib Madarijis Salikin, tt: 337)
2. Ibnu Qoyim al-Jauzi
“Tawakal merupakan amalan dan
ubudiyah (baca; penghambaan) hati dengan menyandarkan segala sesuatu hanya
kepada Allah, tsiqah terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas
sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan
memberikannya segala ‘kecukupan’ bagi dirinya…, dengan tetap melaksanakan
‘sebab-sebab’ serta usaha keras untuk dapat memperolehnya.” (Al-Jauzi/ Arruh fi
Kalam ala Arwahil Amwat wal Ahya’ bidalail minal Kitab was Sunnah, 1975 : 254)
Sebagian ulama salafuna shaleh lainnya memberikan
komentar beragam mengenai pernak pernik takawal, diantaranya adalah ungkapan:
Jika dikatakan bahwa Dinul Islam secara umum meliputi dua aspek; yaitu al-isti’anah
(meminta pertolongan Allah) dan al-inabah (taubat kepada Allah), maka
tawakal merupakan setengah dari komponen Dinul Islam. Karena tawakal
merupakan repleksi dari al-isti’anah (meminta pertolongan hanya kepada
Allah swt.): Seseorang yang hanya meminta pertolongan dan perlindungan kepada
Allah, menyandarkan dirinya hanya kepada-Nya, maka pada hakekatnya ia
bertawakal kepada Allah.
Salafus saleh lainnya, Sahl bin Abdillah al-Tasattiri
juga mengemukakan bahwa ‘ilmu merupakan jalan menuju penghambaan kepada Allah. Penghambaan
merupakan jalan menuju kewara’an (sifat menjauhkan diri dari segala
kemaksiatan). Kewaraan merupakan jalan menuju kezuhudan. Dan kezuhudan
merupakan jalan menuju ketawakalan. (Al-Jauzi, tt : 336)
Tawakal sangat diperhatikan dalam Islam. Oleh karena
itulah, banyak sekali ayat-ayat ataupun hadits-hadits yang memiliki muatan
mengenai tawakal kepada Allah swt. Demikian juga para salafus shaleh, juga
sangat memperhatikan masalah ini. Sehingga mereka memiliki ungkapan-ungkapan
khusus mengenai tawakal.
Derajat Tawakal
Tawakal merupakan gabungan berbagai unsur yang menjadi
satu, dimana tawakal tidak dapat terealisasikan tanpa adanya unsur-unsur
tersebut. Unsur-unsur ini juga merupakan derajat dari tawakal itu sendiri:
1. Ma’rifat
kepada Allah swt. dengan segala sifat-sifat-Nya minimal meliputi tentang
kekuasaan-Nya keagungan-Nya, keluasan ilmu-Nya, keluasan kekayaan-Nya, bahwa
segala urusan akan kembali pada-Nya, dan segala sesuatu terjadi karena
kehendak-Nya, dsb.
2. Memiliki keyakinan akan keharusan melakukan usaha.
Karena siapa yang menafikan keharusan adanya usaha, maka tawakalnya tidak benar
sama sekali. Seperti seseorang yang ingin pergi haji, kemudian dia hanya duduk
di rumahnya, maka sampai kapanpun ia tidak akan pernah sampai ke Mekah. Namun
hendaknya ia memulai dengan menabung, kemudian pergi kesana dengan kendaraan
yang dapat menyampaikannya ke tujuannya tersebut.
3. Adanya
ketetapan hati dalam mentauhidkan (mengesakan) Dzat yang ditawakali, yaitu
Allah swt. Karena tawakal memang harus disertai dengan keyakinan akan
ketauhidan Allah. Jika hati memiliki ikatan kesyirikan dengan sesuatu selain
Allah, maka batallah ketawakalannya.
4.
Menyandarkan hati sepenuhnya hanya kepada Allah swt., dan menjadikan situasi
bahwa hati yang tenang hanyalah ketika mengingatkan diri kepada-Nya. Hal ini
seperti kondisi seorang bayi, yang hanya bisa tenang dan tentram bila berada di
susuan ibunya. Demikian juga seorang hamba yang bertawakal, dia hanya akan bisa
tenang dan tentram jika berada di ‘susuan’ Allah swt.
5. Husnudzan
(baca: berbaik sangka) terhadap Allah swt. Karena tidak mungkin seseorang
bertawakal terhadap sesuatu yang dia bersu’udzan kepadanya. Tawakal hanya dapat
dilakukan terhadap sesuatu yang dihusndzani dan yang diharapkannya.
6.
Memasrahkan jiwa sepenuhya hanya kepada Allah swt. Karena orang yang bertawakal
harus sepenuh hatinya menyerahkan segala sesuatu terhadap yang ditawakali.
Tawakal tidak akan mungkin terjadi, jika tidak dengan sepenuh hati memasrahkan
hatinya kepada Allah.
7.
Menyerahkan, mewakilkan, mengharapkan, dan memasrahkan segala sesuatu hanya
kepada Allah swt. Dan hal inilah yang merupakan hakekat dari tawakal. (Ghaafir
: 44)
Tawakal Dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an sangat menaruh perhatian terhadap
permasalahan tawakal ini. Kita mendapatkan bahwa setidaknya terdapat 70 kali,
kata tawakal disebut oleh Allah dalam Al-Qur’an. Jika disimpulkan ayat-ayat
tersebut mencakup tema berikut:
1. Tawakal merupakan perintah Allah swt.
“Dan bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Anfal: 61).
Lihat juga Ar-Ra’d: 123; Al-Furqaan: 58, Asy-Syu’araa: 217, An-Naml: 79,
Al-Ahzab: 3 dan 48.
2. Larangan bertawakal selain kepada Allah (menjadikan
selain Allah sebagai penolong) (Al-Isra: 2)
3. Orang yang beriman; hanya kepada Allah lah ia
bertawakal (Ali Imran: 122). Lihat juga Ali Imran: 160, Al-Maidah: 11 dan 23,
Al-A’raf: 89, Al-Anfal: 2, At-Taubah: 51, Al-Mujaadilah: 10, At-Taghabun: 13.
4. Tawakal harus senantiasa mengiringi suatu azam
(baca: keingingan/ambisi positif yang kuat) (Ali Imran: 159)
5. Allah sebaik-baik tempat untuk menggantungkan
tawakal (pelindung) (Ali Imran: 173). Lihat juga An-Nisa: 81, 109, 132, dan
171.
6. Akan mendapatkan perlindungan, pertolongan dan
anugerah dari Allah (Al-Anfal: 49). Lihat juga Al-Isra: 65.
7. Mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat
(surga) (An-Nahl: 41-42). Lihat juga Al-Ankabut: 58-59.
8. Allah akan mencukupkan orang yang bertawakal
kepada-Nya. (Ath-Thalaaq: 3)
Tawakal Dalam Hadits
Selain dalam Al-Qur’an, dalam hadits pun, tawakal
memiliki porsi yang sangat banyak. Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam
Nawawi mencantumkan 11 hadits. Dalam kitab lain, sekitar 900-an hadits yang
terdapat kata yang berasal dari kata tawakal –dari 9 kitab hadits induk, yaitu
Shahih Bukhari, Muslim, Sunan Abu Daud, Timidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Addarimi,
Muwatha’ Malik dan Musnad Imam Ahmad bin Hambal. Sebelas hadits yang
dicantumkan Imam Nawawi dalam Riyadus Shalihin telah mencakup sebagian
besar hadits-hadits tentang tawakal. Dari hadits-hadits tentang tawakal ini,
kita dapat menyimpulkan beberapa poin:
1. Orang yang bertawakal hanya kepada Allah, akan
masuk surga tanpa hisab.
Dalam hadits Rasulullah saw.
bersabda: Dari Abdullah bin Abbas r.a., Rasulullah saw. bersabda: Telah
ditunjukkan kepadaku keadaan umat yang dahulu, hingga saya melihat seorang nabi
dengan rombongan yang kecil, dan ada nabi yang mempunyai pengikut satu dua
orang, bahkan ada nabi yang tiada pengikutnya. Mendadak telihat padaku
rombongan yang besar (yang banyak sekali), saya kira itu adalah umatku, namun
diberitahukan kepadaku bahwa itu adalah Nabi Musa a.s. beserta kaumnya.
Kemudian dikatakan kepadaku, lihatlah ke ufuk kanan dan kirimu, tiba-tiba di
sana saya melihat rombongan yang besar sekali. Lalu dikatakan kepadaku, Itulah
umatmu, dan di samping mereka ada tujuh puluh ribu yang masuk surga tanpa
perhingungan (hisab).
Setelah itu Nabi bangun dan masuk ke
rumahnya, sehingga orang-orang banyak yang membicarakan mengenai orang-orang
yang masuk surga tanpa hisab itu. Ada yang berpendapat; mungkin mereka adalah
sahabat-sahabat Rasulullah saw. Ada pula yang berpendapat, mungkin mereka yang
lahir dalam Islam dan tidak pernah mempersekutukan Allah, dan ada juga
pendapt-pendapat lain yang mereka sebut.
Kemudian Rasulullah saw. keluar
menemui mereka dan bertanya, ‘Apakah yang sedang kalian bicarakan?’ Mereka
memberitahukan segala pembicaraan mereka. Beliau bersabda, ‘Mereka tidak pernah
menjampi atau dijampikan dan tidak suka menebak nasib dengan perantaraan
burung, dan hanya kepada Rabb-nya lah, mereka bertawakal.”
Lalu bangunlah Ukasyah bin Mihshan
dan berkata, ‘Ya Rasulullah saw., doakanlah aku supaya masuk dalam golongan
mereka.’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Engkau termasuk golongan mereka.’ Kemudian
berdiri pula orang lain, dan berkata, ‘Doakan saya juga supaya Allah menjadikan
saya salah satu dari mereka.’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Engkau telah didahului
oleh Ukasyah.” (Bukhari & Muslim)
2. Tawakal merupakan sunnah Rasulullah saw.
Rasulullah saw. sendiri senantiasa
menggantungkan tawakalnya kepada Allah swt. Salah satu contohnya adalah bahwa
beliau selalu mengucapkan doa-doa mengenai ketawakalan dirinya kepada Allah
swt.: Dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Rasulullah saw. senantiasa berdoa, “Ya Allah,
hanya kepada-Mu lah aku menyerahkan diri, hanya kepada-Mu lah aku beriman,
hanya kepada-Mu lah aku bertawakal, hanya kepada-Mu lah aku bertaubat, hanya
karena-Mu lah aku (melawan musuh-musuh-Mu). Ya Allah, aku berlindung dengan
kemuliaan-Mu dimana tiada Tuhan selain Engkau, janganlah Engkau menyesatkanku.
Engkau Maha Hidup dan tidak pernah mati, sedangkan jin dan manusia mati.”
(Muslim)
3. Allah merupakan sebaik-baik tempat untuk
bertawakal.
Dalam hadits Rasulullah saw.
bersabda: Dari Ibnu Abbas r.a., “Hasbunallah wani’mal Wakil’ kalimat yang
dibaca oleh Nabi Ibrahim a.s. ketika dilempar ke dalam api, dan juga telah
dibaca oleh Nabi Muhammad saw. ketika diprovokasi oleh orang kafir, supaya
takut kepada mereka; ‘sesungguhnya manusia telah mengumpulkan segala
kekuatannya untuk menghancurkan kalian, maka takutlah kamu dan janganlah
melawan, tapi orang-orang beriman bertambah imannya dan membaca, Hasbunallah
wa ni’mal Wakil (cukuplah Allah yang mencukupi kami dan cukuplah Allah
sebagai tempat kami bertawakal.” (Bukhari)
4. Tawakal akan mendatangkan nasrullah.
Ini sebagaimana yang terdapat dalam
hadits no 5, dalam kitab Riyadhus Shalihin. Dimana dikisahkan pada saat
Perang Dzatur-riqa’, ketika Rasulullah saw. sedang beristirahat di bawah sebuah
pohon, sedangkan pedang beliau tergantung di pohon. Ketika tiba-tiba datang
seorang musyrikin yang mengambil pedang beliau sambil berkata, siapa yang dapat
melindungimu dariku? Namun dengan sangat tenang Rasulullah saw menjawab, ‘Allah.’
Setelah tiga kali bertanya, tiba-tiba pedang yang dipegangnya jatuh. Lalu
Rasulullah saw. mengambil pedang tersebut seraya bertanya, ‘Sekarang siapakah
yang dapat melindungimu dariku?’
5. Tawakal yang benar tidak akan menjadikan seseorang
kelaparan.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw.
bersabda: Dari Umar r.a., aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sekiranya
kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, pastilah
Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rezeki
pada seekor burung. Pergi pagi hari dalam keadaan perut kosong, dan pulang sore
hari dalam keadaan perut kenyang.” (Tirmidzi)
6. Tawakal setelah usaha.
Dalam sebuah
hadits diriwayatkan: Dari Anas bin Malik r.a., ada seseorang berkata kepada
Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah saw., aku ikat kendaraanku lalu aku
bertawakal, atau aku lepas ia dan aku bertawakal?” Rasulullah saw. menjawab,
“Ikatlah kendaraanmu lalu bertawakallah.” (HR. Tirmidzi)
Tawakal yang merupakan perintah
Allah dan sunnah Rasulullah saw., jika dilakukan dengan baik dan benar, insya
Allah tidak akan menjadikan seorang hamba menjadi hina dan tidak memiliki
apa-apa. Karena tawakal tidak identik dengan kepasrahan yang tidak beralasan.
Namun tawakal harus didahului dengan usaha yang maksimal. Hilangnya usaha,
berarti hilanglah hakikat dari tawakal itu.
0 komentar:
Posting Komentar