Dalam satu kaidah
disebutkan : “Jangan remehkan soal peneguhan akhlak. Hati sekeras batu milik
para kafir Quraisy pun dapat luluh dengan akhlak mulia”.
Islam bukan sekedar tujuan
tapi juga cara. Artinya kalau kita mempunyai cita-cita menegakkan Islam maka
tidak ada cara lain untuk mencapai kecuali dengan cara (akhlak) Islam.
Hal ini juga diisyaratkan
oleh Allah swt. Dalam firman-Nya: “Dan janganlah kalian seperti orang-orang
yang keluar dari rumah-rumah mereka dengan congkak dan ingin dilihat oleh
manusia dan menghalang-halangi (orang lain) dari jalan Allah.” (QS.
Al-anfal (8) : 47)
Orang-orang kafir,
sekalipun membangkang dan bersikeras memerangi Rasulullah saw., namun mereka
tidak kuasa menampik kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah saw. Mengapa?
Selain faktor hidayah dari
Allah swt.- yang membuat hati banyak orang yang semula lebih keras dari batu,
bisa tiba-tiba luluh, dan tak berdaya selain tunduk dan pasrah kepada seruan
Rasulullah saw. adalah karena Islam adalah kebenaran mutlak yang pasti sesuai
dengan fitrah manusia. Namun ada faktor lain yang menempati posisi amat
bermakna untuk membuat seseorang tersentuh fitrahnya yakni: akhlak.
Ikhwah wal akhawat
ad-da’iyah
Bahwa keindahan akhlak
yang ditampilkan Rasulullah saw telah membungkam segala hujjah orang yang
mendustakan Rasulullah saw. Karenanya hal yang paling mungkin mereka tuduhkan
kepada Rasulullah saw. adalah bahwa beliau seorang tukang sihir atau
berpenyakit gila. Meski akhirnya tuduhan itu tak dapat juga mereka buktikan.
Karena itu, semangat
menegakkan kebenaran (syari’at Islam) bukan alasan untuk mengabaikan akhlak
islami. Bahkan justeru semangat itu seharusnya mendorong untuk meningkatkan
kualitas akhlak.
Prinsip itu berlaku
universal dan dipraktikan oleh para nabi sebelum Rasulullah saw. Lihat,
bagaimana Allah swt. mengutus Nabi Musa dan Nabi Harun untuk menghadapi Firaun.
Bukan untuk semata-mata menawarkan kebenaran, namun untuk menawarkan kebenaran
dengan memakai akhlak. “Pergilah kamu berdua kepada Firaun sesungguhnya dia
telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata
yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut (kepada Allah).” (QS.
Thaha (20) : 43-44)
Rasulullah saw. pun
mendapat perintah yang sama. “Siapakah yang lebih baik perkataannya dari
pada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh dan berkata,
sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. Dan tidaklah sama
antara kebaikan dengan keburukan. Maka tolaklah (keburukan) itu dengan cara
yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dengan dia ada
permusuhan menjadi seolah-olah telah menjadi teman setia.” (QS. Fush-shilat
: 33-34)
Kedua ayat di atas
menunjukkan akhlak dalam berdakwah dengan segala tantangannya sebagai salah
satu faktor yang mempengaruhi seseorang mau menerima kebenaran atau tidak,
menjadi tunduk hatinya atau semakin congkak, menjadi suadara seiman atau
semakin menjadi-jadi permusuhannya.
Karenanya, dakwah yang
penuh cacian dan makian, kepada siapa pun: penguasa, kelompok lain yang tidak
sehaluan, orang yang tidak mau mengikuti seruan dakwahnya adalah bertentangan
dengan akhlak Islam. Selain tidak sesuai dengan esensi kebenaran itu sendiri
cacian dan makian itu tidak akan menambah keimanan dan amal. Alih-alih
meningkatkan pemahaman dan kesiapan untuk berjuang, hal itu justeru semakin
menyuburkan penyakit-penyakit hati seperti iri, dengki, kebencian, dan
kesumpekan dada.
Ikhwah wal akhawat
hafidzokumullah
Marilah kita saksikan
salah satu dari banyak sudut akhlak Rasulullah saw. Al-kisah di sudut pasar
Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata
kepada setiap orang yang mendekatinya, "Wahai saudaraku, jangan dekati
Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila
kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya" .
Namun, setiap pagi
Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa
berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW
menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan
pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah
Rasulullah SAW. Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.
menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan
pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah
Rasulullah SAW. Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.
Setelah wafatnya
Rasulullah SAW, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada
pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari sahabat terdekat Rasulullah SAW yakni
Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yang tidak lain tidak bukan
merupakan isteri Rasulullah SAW dan beliau bertanya kepada anaknya itu, :
"Anakku, adakah kebiasaan kekasihku yang belum aku kerjakan?". Aisyah
RA menjawab,: "Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir
tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu
saja". "Apakah Itu?", tanya Abubakar RA. "Setiap pagi
Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk
seorang pengemis Yahudi buta yang ada di sana
", kata Aisyah RA. Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa
makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abubakar RA mendatangi pengemis
itu lalu memberikan makanan itu kepadanya.
Ketika Abubakar RA mulai
menyuapinya, sipengemis marah sambil
menghardik, "Siapakah kamu?". Abubakar RA menjawab, : "Aku orang yang biasa (mendatangi engkau)." "Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku" , bantah si pengemis buta itu.
menghardik, "Siapakah kamu?". Abubakar RA menjawab, : "Aku orang yang biasa (mendatangi engkau)." "Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku" , bantah si pengemis buta itu.
"Apabila ia datang
kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak
susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut, setelah itu ia berikan padaku", pengemis itu melanjutkan perkataannya.
susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut, setelah itu ia berikan padaku", pengemis itu melanjutkan perkataannya.
Abubakar RA tidak dapat
menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, ;"Aku
memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari
sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah
SAW".
Seketika itu juga pengemis
itu pun menangis mendengar penjelasan Abubakar RA, dan kemudian berkata,
:"Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia
tidak pernah memarahiku sedikit pun, ia mendatangiku dengan membawa makanan
setiap pagi, ia begitu mulia.... " Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya
bersyahadat di hadapan Abubakar RA, saat itu juga dan sejak hari itu menjadi
muslim.
Demikianlah akhi da’iyah,
bisakah kita meneladani kemuliaan akhlaq Rasulullah SAW? Atau adakah setidaknya
niatan untuk meneladani beliau? Beliau adalah ahsanul akhlaq (semulia-mulia akhlaq).
Kalaupun tidak bisa kita
meneladani beliau seratus persen, alangkah
baiknya kita berusaha meneladani sedikit demi sedikit, kita mulai dari
apa yang kita sanggup melakukannya.
baiknya kita berusaha meneladani sedikit demi sedikit, kita mulai dari
apa yang kita sanggup melakukannya.
Ikhwani wa akhawati
as’adakumullah hayatakum
Untuk mengeksiskan akhlak
dalam tubuh seorang da’iyah maka harus dilakukan dengan dua langkah secara
bersamaan. Langkah pertama adalah takhliyah, yakni membesihkan
diri dari segala akhlak yang buruk. Dintaranya adalah al-bathar
(congkak) dan riya (beramal demi untuk dilihat manusia). Mengapa dua
penyakit hati itu disebut secara khusus?
Kesombongan akan
melemahkan posisi da’i dalam menghadapi perjuangan, baik yang muncul karena
sebab kelebihan ilmu, wawasan, atau informasi. Ini sering mengakibatkan dirinya
mudah mengambil kesimpulan, keputusan, atau bahkan memvonis keadaan. Jelas cara
ini sangat berbahaya. Karena dengan cara seperti itu seorang da’i bisa terjebak
dalam pandangan yang over estimasi tentang dirinya dan sebaliknya under
estimasi tentang orang lain dan keadaan yang dihadapinya. Ini pernah menjadi
catatan pahit kaum muslimin di masa lalu, sebagaimana Allah rekam dalam
ayat-Nya:
“Sungguh Allah telah
menolong kalian di banyak tempat dan pada hari (perang) Hunain, saat jumlah
kalian yang banyak membuat kalian bangga tapi ternyata tidak berguna sama
sekali bagi kalian (jumlah tersebut), dan bumi kalian rasakan menjadi sempit
padahal ia luas, kemudian kalian berpaling dengan membelakang. Kemudian Allah
menurunkan ketenteraman-Nya atas rasul-Nya dan atas orang-orang beriman dan
menurunkan bala tentara yang kalian tidak dapat melihatnya, dan menyiksa
orang-orang kafir. Dan itulah balasan bagi orang-orang kafir.” (QS. At-Taubah (9) :
25-26)
Kesombongan juga bisa
muncul dalam bentuk mengangkat diri sendiri melebihi kapasitas sebenarnya.
Sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada kemenangan yang dicapai oleh
kesendirian, namun kemenangan Islam adalah kemenangan kolektif dan dihasilkan
dari “amal jama’i yang segala keputusannya lahir dari musyawarah (syura).
Riya juga menempati posisi
penting dalam faktor-faktor penyebab kegagalan dakwah dan perjuangan Islam.
Sebelum riya itu berdampak buruk dalam kaitan interaksi sesama manusia, ia
terlebih dahulu merupakan penyakit yang dimurka Allah swt. Sampai-sampai
Rasulullah saw. menjelaskan bahwa alih-alih mendapatkan pahala, orang yang beramal
dengan riya lebih layak menjadi penghuni neraka. Karena memang orang yang riya
bukan mencari ridho Allah dengan amalnya. Atau mencari ridho Allah sambil
mencari pujian manusia. Dan Allah tidak suka cara seperti itu. Lalu, bagaimana
bisa mendapatkan pertolongan Allah swt. jika dalam beramal yang diinginkan
adalah keridhoan manusia?
Sombong dan riya ini
merupakan induk dari akhlak buruk yang akan memunculkan perilaku buruk lainnya.
Karena itu dapat dimengerti jika larangan sombong dan riya kemudian diikuti
larangan menghalang-halangi orang lain dari jalan Allah. Apa maksudnya?
Bukan dakwah dan
perjuangannya, tentu, yang menghalang-halangi manusia dari jalan Allah,
melainkan sifat dan akhlak buruk yang menyertai dakwah dan perjuangan itu.
Akhlak buruk bisa menyebabkan orang lari dari dakwah dan bahkan dari Islam itu
sendiri. Dan jika ada orang yang lari dari Islam gara-gara kita berakhlak buruk
kita dianggap telah menghalang-halangi orang lain dari jalan Allah.
Maka, sifat-sifat buruk
ini perlu dibersihkan dari diri kita, para da’i. itulah takhliyah.
Namun tidak cukup dengan hanya takhliyah. Sikap berikutnya adalah tahliyah
yakni menghiasi diri dengan segala akhlak terpuji. Dan Rasulullah saw. telah
melakukan keduanya, yang karenanya Allah swt. memujinya, “Dan engkau sungguh
memiliki akhlak yang agung.”
Ikhwah fillah…
Setiap manusia mempunyai
fitrah untuk menghiasi diri. Tapi sayangnya, banyak manusia yang tidak
mengetahui perhiasan yang terbaik bagi dirinya. Ada yang menghiasi diri dengan logam mulia seperti
emas dan berlian. Ada
pula yang menghiasi diri dengan kosmetik. Semua ditujukan guna menampilkan diri
dalam bentuk yang paling indah.
Bagi seorang Muslim
terutama seorang da’iyah, perhiasan terindah adalah akhlak mulia. Inilah
perhiasan yang dapat dikenang sepanjang masa. Inilah perhiasan yang menjadikan
pemiliknya mulia di hadapan manusia dan Allah SWT. Dengan akhlak mulia, seorang
Muslim akan terlihat anggun dan cantik. Setiap orang yang melihatnya akan
terkesima dan kagum oleh keindahan akhlaknya.
Dalam pandangan Rasulullah
SAW, akhlak mulia menjadi bukti kemuliaan seorang Muslim. Beliau bersabda,
''Sesungguhnya orang yang paling baik keislamannya adalah yang paling indah
akhlaknya.'' (HR. Ahmad) Menghiasi diri dengan akhlak mulia berarti mempertegas
diri sebagai manusia, karena dengan akhlak akan terlihat perbedaan manusia
dengan hewan. Dengan akhlak pula akan terlihat sisi keteraturan hidup manusia
yang tidak dimiliki hewan.
Dengan demikian, manusia
yang tidak peduli dengan akhlak sesungguhnya ia sedang menuju derajatnya yang
paling rendah. Tanpa akhlak, manusia akan seenaknya melakukan apa saja tanpa
peduli apakah tindakannya berbahaya bagi orang lain atau tidak.
Allah SWT berfirman, ''Sungguh
telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna. Kemudian Kami
kembalikan manusia kepada derajat yang paling rendah.'' (QS al-Tin [95]:
5-6).
Dalam konteks kehidupan
bermasyarakat, akhlak mulia menjadi kunci keberlangsungan suatu masyarakat.
Artinya, keberadaan suatu masyarakat hanya bernilai jika telah mempraktikkan
akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, jika akhlak mulia sudah
ditinggalkan oleh suatu masyarakat, maka lonceng kematian masyarakat itu hanya
tinggal menunggu waktu.
Masyarakat tanpa akhlak
mulia seperti masyarakat rimba di mana pengaruh dan wibawa diraih dari
keberhasilan menindas yang lemah, bukan dari komitmen terhadap integritas
akhlak dalam diri.
Dalam Islam, akhlak
bukanlah ajaran yang layak dipandang sebelah mata. Perhatian Islam terhadap
akhlak sama seperti perhatian terhadap masalah akidah dan syariah. Ini menjadi
bukti bahwa Islam bukanlah agama yang hanya kaya dengan teori normatif tetapi
juga agama yang menekankan kepada pengamalan praktis.
Perjalanan dakwah Islam
membuktikan bahwa keberhasilan Nabi Muhammad SAW berdakwah bukanlah hanya
karena keluhuran ajaran Islam tetapi juga karena akhlak mulia yang langsung
dipraktikkan oleh beliau dalam setiap langkah kehidupannya.