Selasa, 24 Mei 2016

AKHLAQ DA’I





Dalam satu kaidah disebutkan : “Jangan remehkan soal peneguhan akhlak. Hati sekeras batu milik para kafir Quraisy pun dapat luluh dengan akhlak mulia”.
Islam bukan sekedar tujuan tapi juga cara. Artinya kalau kita mempunyai cita-cita menegakkan Islam maka tidak ada cara lain untuk mencapai kecuali dengan cara (akhlak) Islam.
Hal ini juga diisyaratkan oleh Allah swt. Dalam firman-Nya: “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang keluar dari rumah-rumah mereka dengan congkak dan ingin dilihat oleh manusia dan menghalang-halangi (orang lain) dari jalan Allah.” (QS. Al-anfal (8) : 47)
Orang-orang kafir, sekalipun membangkang dan bersikeras memerangi Rasulullah saw., namun mereka tidak kuasa menampik kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah saw. Mengapa?
Selain faktor hidayah dari Allah swt.- yang membuat hati banyak orang yang semula lebih keras dari batu, bisa tiba-tiba luluh, dan tak berdaya selain tunduk dan pasrah kepada seruan Rasulullah saw. adalah karena Islam adalah kebenaran mutlak yang pasti sesuai dengan fitrah manusia. Namun ada faktor lain yang menempati posisi amat bermakna untuk membuat seseorang tersentuh fitrahnya yakni: akhlak.

Ikhwah wal akhawat ad-da’iyah
Bahwa keindahan akhlak yang ditampilkan Rasulullah saw telah membungkam segala hujjah orang yang mendustakan Rasulullah saw. Karenanya hal yang paling mungkin mereka tuduhkan kepada Rasulullah saw. adalah bahwa beliau seorang tukang sihir atau berpenyakit gila. Meski akhirnya tuduhan itu tak dapat juga mereka buktikan.
Karena itu, semangat menegakkan kebenaran (syari’at Islam) bukan alasan untuk mengabaikan akhlak islami. Bahkan justeru semangat itu seharusnya mendorong untuk meningkatkan kualitas akhlak.
Prinsip itu berlaku universal dan dipraktikan oleh para nabi sebelum Rasulullah saw. Lihat, bagaimana Allah swt. mengutus Nabi Musa dan Nabi Harun untuk menghadapi Firaun. Bukan untuk semata-mata menawarkan kebenaran, namun untuk menawarkan kebenaran dengan memakai akhlak. “Pergilah kamu berdua kepada Firaun sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut (kepada Allah).” (QS. Thaha (20) : 43-44)
Rasulullah saw. pun mendapat perintah yang sama. “Siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh dan berkata, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. Dan tidaklah sama antara kebaikan dengan keburukan. Maka tolaklah (keburukan) itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dengan dia ada permusuhan menjadi seolah-olah telah menjadi teman setia.” (QS. Fush-shilat : 33-34)
Kedua ayat di atas menunjukkan akhlak dalam berdakwah dengan segala tantangannya sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang mau menerima kebenaran atau tidak, menjadi tunduk hatinya atau semakin congkak, menjadi suadara seiman atau semakin menjadi-jadi permusuhannya.
Karenanya, dakwah yang penuh cacian dan makian, kepada siapa pun: penguasa, kelompok lain yang tidak sehaluan, orang yang tidak mau mengikuti seruan dakwahnya adalah bertentangan dengan akhlak Islam. Selain tidak sesuai dengan esensi kebenaran itu sendiri cacian dan makian itu tidak akan menambah keimanan dan amal. Alih-alih meningkatkan pemahaman dan kesiapan untuk berjuang, hal itu justeru semakin menyuburkan penyakit-penyakit hati seperti iri, dengki, kebencian, dan kesumpekan dada.

Ikhwah wal akhawat hafidzokumullah
Marilah kita saksikan salah satu dari banyak sudut akhlak Rasulullah saw. Al-kisah di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, "Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya" .
Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW
menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan
pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah
Rasulullah SAW. Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari sahabat terdekat Rasulullah SAW yakni Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA yang tidak lain tidak bukan merupakan isteri Rasulullah SAW dan beliau bertanya kepada anaknya itu, : "Anakku, adakah kebiasaan kekasihku yang belum aku kerjakan?". Aisyah RA menjawab,: "Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu saja". "Apakah Itu?", tanya Abubakar RA. "Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada di sana ", kata Aisyah RA. Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abubakar RA mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya.
Ketika Abubakar RA mulai menyuapinya, sipengemis marah sambil
menghardik, "Siapakah kamu?". Abubakar RA menjawab, : "Aku orang yang biasa (mendatangi engkau)." "Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku" , bantah si pengemis buta itu.
"Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak
susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut, setelah itu ia berikan padaku", pengemis itu melanjutkan perkataannya.
Abubakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, ;"Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW".
Seketika itu juga pengemis itu pun menangis mendengar penjelasan Abubakar RA, dan kemudian berkata, :"Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikit pun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia.... " Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA, saat itu juga dan sejak hari itu menjadi muslim.
Demikianlah akhi da’iyah, bisakah kita meneladani kemuliaan akhlaq Rasulullah SAW? Atau adakah setidaknya niatan untuk meneladani beliau? Beliau adalah ahsanul akhlaq  (semulia-mulia akhlaq).
Kalaupun tidak bisa kita meneladani beliau seratus persen, alangkah
baiknya kita berusaha meneladani sedikit demi sedikit, kita mulai dari
apa yang kita sanggup melakukannya.
Ikhwani wa akhawati as’adakumullah hayatakum
Untuk mengeksiskan akhlak dalam tubuh seorang da’iyah maka harus dilakukan dengan dua langkah secara bersamaan. Langkah pertama adalah takhliyah, yakni membesihkan diri dari segala akhlak yang buruk. Dintaranya adalah al-bathar (congkak) dan riya (beramal demi untuk dilihat manusia). Mengapa dua penyakit hati itu disebut secara khusus?
Kesombongan akan melemahkan posisi da’i dalam menghadapi perjuangan, baik yang muncul karena sebab kelebihan ilmu, wawasan, atau informasi. Ini sering mengakibatkan dirinya mudah mengambil kesimpulan, keputusan, atau bahkan memvonis keadaan. Jelas cara ini sangat berbahaya. Karena dengan cara seperti itu seorang da’i bisa terjebak dalam pandangan yang over estimasi tentang dirinya dan sebaliknya under estimasi tentang orang lain dan keadaan yang dihadapinya. Ini pernah menjadi catatan pahit kaum muslimin di masa lalu, sebagaimana Allah rekam dalam ayat-Nya:
“Sungguh Allah telah menolong kalian di banyak tempat dan pada hari (perang) Hunain, saat jumlah kalian yang banyak membuat kalian bangga tapi ternyata tidak berguna sama sekali bagi kalian (jumlah tersebut), dan bumi kalian rasakan menjadi sempit padahal ia luas, kemudian kalian berpaling dengan membelakang. Kemudian Allah menurunkan ketenteraman-Nya atas rasul-Nya dan atas orang-orang beriman dan menurunkan bala tentara yang kalian tidak dapat melihatnya, dan menyiksa orang-orang kafir. Dan itulah balasan bagi orang-orang kafir.” (QS. At-Taubah (9) : 25-26)
Kesombongan juga bisa muncul dalam bentuk mengangkat diri sendiri melebihi kapasitas sebenarnya. Sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada kemenangan yang dicapai oleh kesendirian, namun kemenangan Islam adalah kemenangan kolektif dan dihasilkan dari “amal jama’i yang segala keputusannya lahir dari musyawarah (syura).
Riya juga menempati posisi penting dalam faktor-faktor penyebab kegagalan dakwah dan perjuangan Islam. Sebelum riya itu berdampak buruk dalam kaitan interaksi sesama manusia, ia terlebih dahulu merupakan penyakit yang dimurka Allah swt. Sampai-sampai Rasulullah saw. menjelaskan bahwa alih-alih mendapatkan pahala, orang yang beramal dengan riya lebih layak menjadi penghuni neraka. Karena memang orang yang riya bukan mencari ridho Allah dengan amalnya. Atau mencari ridho Allah sambil mencari pujian manusia. Dan Allah tidak suka cara seperti itu. Lalu, bagaimana bisa mendapatkan pertolongan Allah swt. jika dalam beramal yang diinginkan adalah keridhoan manusia?
Sombong dan riya ini merupakan induk dari akhlak buruk yang akan memunculkan perilaku buruk lainnya. Karena itu dapat dimengerti jika larangan sombong dan riya kemudian diikuti larangan menghalang-halangi orang lain dari jalan Allah. Apa maksudnya?
Bukan dakwah dan perjuangannya, tentu, yang menghalang-halangi manusia dari jalan Allah, melainkan sifat dan akhlak buruk yang menyertai dakwah dan perjuangan itu. Akhlak buruk bisa menyebabkan orang lari dari dakwah dan bahkan dari Islam itu sendiri. Dan jika ada orang yang lari dari Islam gara-gara kita berakhlak buruk kita dianggap telah menghalang-halangi orang lain dari jalan Allah.
Maka, sifat-sifat buruk ini perlu dibersihkan dari diri kita, para da’i. itulah takhliyah. Namun tidak cukup dengan hanya takhliyah. Sikap berikutnya adalah tahliyah yakni menghiasi diri dengan segala akhlak terpuji. Dan Rasulullah saw. telah melakukan keduanya, yang karenanya Allah swt. memujinya, “Dan engkau sungguh memiliki akhlak yang agung.”
Ikhwah fillah…
Setiap manusia mempunyai fitrah untuk menghiasi diri. Tapi sayangnya, banyak manusia yang tidak mengetahui perhiasan yang terbaik bagi dirinya. Ada yang menghiasi diri dengan logam mulia seperti emas dan berlian. Ada pula yang menghiasi diri dengan kosmetik. Semua ditujukan guna menampilkan diri dalam bentuk yang paling indah.
Bagi seorang Muslim terutama seorang da’iyah, perhiasan terindah adalah akhlak mulia. Inilah perhiasan yang dapat dikenang sepanjang masa. Inilah perhiasan yang menjadikan pemiliknya mulia di hadapan manusia dan Allah SWT. Dengan akhlak mulia, seorang Muslim akan terlihat anggun dan cantik. Setiap orang yang melihatnya akan terkesima dan kagum oleh keindahan akhlaknya.
Dalam pandangan Rasulullah SAW, akhlak mulia menjadi bukti kemuliaan seorang Muslim. Beliau bersabda, ''Sesungguhnya orang yang paling baik keislamannya adalah yang paling indah akhlaknya.'' (HR. Ahmad) Menghiasi diri dengan akhlak mulia berarti mempertegas diri sebagai manusia, karena dengan akhlak akan terlihat perbedaan manusia dengan hewan. Dengan akhlak pula akan terlihat sisi keteraturan hidup manusia yang tidak dimiliki hewan.
Dengan demikian, manusia yang tidak peduli dengan akhlak sesungguhnya ia sedang menuju derajatnya yang paling rendah. Tanpa akhlak, manusia akan seenaknya melakukan apa saja tanpa peduli apakah tindakannya berbahaya bagi orang lain atau tidak.
Allah SWT berfirman, ''Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna. Kemudian Kami kembalikan manusia kepada derajat yang paling rendah.'' (QS al-Tin [95]: 5-6).
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, akhlak mulia menjadi kunci keberlangsungan suatu masyarakat. Artinya, keberadaan suatu masyarakat hanya bernilai jika telah mempraktikkan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, jika akhlak mulia sudah ditinggalkan oleh suatu masyarakat, maka lonceng kematian masyarakat itu hanya tinggal menunggu waktu.
Masyarakat tanpa akhlak mulia seperti masyarakat rimba di mana pengaruh dan wibawa diraih dari keberhasilan menindas yang lemah, bukan dari komitmen terhadap integritas akhlak dalam diri.
Dalam Islam, akhlak bukanlah ajaran yang layak dipandang sebelah mata. Perhatian Islam terhadap akhlak sama seperti perhatian terhadap masalah akidah dan syariah. Ini menjadi bukti bahwa Islam bukanlah agama yang hanya kaya dengan teori normatif tetapi juga agama yang menekankan kepada pengamalan praktis.

Perjalanan dakwah Islam membuktikan bahwa keberhasilan Nabi Muhammad SAW berdakwah bukanlah hanya karena keluhuran ajaran Islam tetapi juga karena akhlak mulia yang langsung dipraktikkan oleh beliau dalam setiap langkah kehidupannya.

0 komentar:

Posting Komentar