Peristiwa ini terjadi pada bulan Syawal tahun kelima hijriyah, menurut pendapat yang paling tepat. Karena sebagian ulama berbeda pendapat tentang waktu terjadinya peristiwa besar ini. Ibnu Hazm berpendapat bahwa kejadian ini terjadi pada tahun keempat hijriyah. Sedangkan ulama lainnya seperti Ibnul Qayyim merajihkan bahwa peristiwa ini terjadi tahun kelima hijriyah. (Zadul Ma’ad, 3/269-270)
Awal Mula Peperangan
Di antara sebab peristiwa ini ialah seperti yang diceritakan oleh Ibnul Qayyim (Zadul Ma’ad, 3/270). Beliau mengatakan:
Ketika orang-orang Yahudi melihat kemenangan kaum musyrikin atas kaum muslimin pada perang Uhud, dan mengetahui janji Abu Sufyan untuk memerangi muslimin pada tahun depan (sejak peristiwa itu), berangkatlah sejumlah tokoh mereka seperti Sallam bin Abil Huqaiq, Sallam bin Misykam, Kinanah bin Ar-Rabi’, dan lain-lain ke Makkah menjumpai beberapa tokoh kafir Quraisy untuk menghasut mereka agar memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan mereka menjamin akan membantu dan mendukung kaum Quraisy dalam rencana itu. Quraisy pun menyambut hasutan itu.
Kekuatan Pasukan Quraisy
Setelah itu, tokoh-tokoh Yahudi tadi menuju Ghathafan dan beberapa kabilah Arab lainnya untuk menghasut mereka. Maka disambutlah hasutan itu oleh mereka yang menerimanya. Kemudian, keluarlah Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan dengan 4.000 personil, diikuti Bani Salim, Bani Asad, Bani Fazarah, Bani Asyja’, dan Bani Murrah.
Namun musuh-musuh Allah dari umat Yahudi belum puas terhadap hasil yang dilakukan, setelah mereka mengetahui bahwa Quraisy telah menerima ajakan mereka untuk memerangi Rasulullah SAW dan orang-orang beriman di Madinah, mereka keluar dan pergi ke suku Gothofan dari Qais Gailan, mengajak mereka untuk memerangi Rasulullah SAW seperti halnya yang mereka lakukan terhadap Quraisy, dan menyatakan bahwa mereka (Yahudi) akan selalu bersama mereka. Mereka tetap tinggal di tempat mereka hingga suku Gotofhan menyetujuinya. Kemudian setelah itu mereka menemui Bani Fazarah dan Bani Murrah, dan berhasil mengajak mereka untuk memerangi Rasulullah SAW dan umat Islam di Madinah.
Oleh karena itulah pasukan begitu banyak dan peralatan begitu lengkap, suku Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb, suku Gotofahn di pimpin oleh Uyaynah bin Hisn bin Hudzaifah bin Badr pada Bani Fazarah, Bani Murrah di pimpin oleh Harits bin Auf, Bani Asyja’ di pimpin oleh Mas’ud bin Rakhilah bin Nuwairah bin Tharif bin Samhah bin Gotofahn. Mereka bergerak dengan jumlah yang banyak dan peralatan yang lengkap untuk satu tujuan; perang melawan Rasulullah SAW. Mereka bersepakat untuk berkumpul di Khaibar, dan jumlah mereka dari berbagai kelompok dan suku adalah 10 ribu pasukan, adapun pucuk pimpinan dalam perang tersebut dipegang oleh Abu Sufyan bin Harb
Strategi Parit dari Sahabat Salman Al-Farisi
Ketika mendengar langkah-langkah yang dilakukan oleh yahudi dan berhasil mengumpulkan pasukan dari berbagai suku Arab, Rasulullah melakukan musyawarah dengan para sahabat untuk menghadapi pasukan yang banyak tersebut. Pada saat itu jumlah umat Islam masih sedikit; hanya sekitar 3 ribu personil, padahal jumlah pasukan musuh telah mencapai 10 ribu personil. Tentunya mereka beranggapan tidak ada daya dan kekuatan untuk menghadapi mereka secara konfrontatif, kecuali dengan membangun benteng sehingga dapat menghalangi langkah musuh. Umat Islam ketika itu berhadapan dengan dua buah pilihan yang sama beratnya. Mereka tidak mungkin menyongsong pasukan lawan karena sama saja bunuh diri. Namun untuk bertahan pun, jumlah mereka terlampau sedikit.
Namun Salman Al-Farisi punya ide lain. Beliau berkata: ”Wahai Rasulullah, sewaktu kami di Persia, jika kami diserang, kami membuat parit, alangkah baik jika kita juga membuat Parit sehingga dapat menghalangi dari melakukan serangan”.
Secara cepat nabi saw menyutujui pendapat Salman. Maka dari itu, membuat parit menjadi peristiwa pertama yang disaksikan oleh Arab dan umat Islam, karena mereka belum pernah menyaksikan sebelumnya parit sebagai sarana untuk berperang.
Inilah asal muasal nama Perang Khandaq.
Pekerjaan Membuat Parit
Akhirnya Rasulullah dan para sahabat keluar dari kota Madinah dan berkemah di salah satu tempat di bukit gunung Sala’ sehingga membelakangi kota Madinah. Kemudian mereka mulai melakukan penggalian parit untuk memisahkan antara mereka dan musuh. Pada saat itu umat Islam berjumlah 3 ribu personil. Rasulullah mulai membuat peta penggalian; dimulai dari Ajam Syaikhain (benteng yang dekat dengan kota Madinah yang diberi nama Syaikhain) yang terletak di ujung Bani haritsah; dan memanjang hingga mencapai garis di Al-Madzadz –salah tempat di Madinah- dan kemudian lebarnya 40 hasta pada setiap 10 lubang.
Selama membangun parit dalam waktu 6 hari, pertahanan kota di bagian lain juga diperkuat. Wanita dan anak-anak dipindahkan ke rumah yang kokoh dan dijaga ketat. Bongkahan batu-batu diletakkan di samping parit untuk melempari pasukan lawan. Sementara sisi kota yang tidak dibuat parit, diserahkan pengamanannya pada Bani Quraizhah.
Penerapan strategi ini sangat tepat sebab pasukan lawan tidak mengetahui pertahanan menggunakan parit. Sebelumnya, mereka biasa berperang dengan tenik maju-mundur; menyerang, dan lari. Terbukti strategi ini cukup bisa membendung para sekutu. Selama satu bulan penuh, tidak ada kontak langsung antara kedua pihak kecuali saling lempar panah.
Umat Islam bersama Rasulullah saw mulai bekerja membuat parit dan mereka menganggapnya sebagai ibadah yang akan ada ganjarannya kelak, mereka saling bergotong royong dan saling membantu. Rasulullah saw begitu giat bekerja sehingga umat Islampun semangat melakukannya.
Namun di dalam pekerjaan, kaum munafiqin melakukan manuver untuk memperlambat pekerjaan, mereka kadang lamban bekerja, pergi lalu lalang kesana kemari tanpa tujuan yang jelas dan bahkan mereka sengaja pergi ke keluarga mereka tanpa sepengetahuan Rasulullah saw, disamping ada sebagian umat Islam yang jika terdesak untuk pulang maka dia memberikan wakil dari pekerjaannya dan meminta kepada Rasulullah saw izin agar dapat memenuhi hajatnya, dan jika selesai menunaikan hajatnya, mereka kembali lagi pada pekerjaan semula, karena berharap kebaikan di dalamnya dan keridhaan Allah.
Dari peristiwa tersebut turunlah Firman ALLAH SWT:
“Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka Itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS An-Nuur:62)
Merekapun mulai bekerja siang malam menggali parit itu. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut serta mencangkul, mengangkat pasir dan seterusnya. Demikian diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya dari Al-Barra` radhiyallahu ‘anhu:
“Saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada peristiwa Khandaq sedang mengangkut tanah sampai tanah itu menutupi bulu dada beliau. Dan beliau adalah laki-laki yang lebat bulu dadanya. Ketika itu beliau melantunkan syair Abdullah bin Rawahah sambil menyaringkan suaranya: “Ya Allah kalau bukan karena Engkau niscaya kami tidak mendapat petunjuk Tidak bersedekah dan tidak pula shalat. Maka turunkanlah ketenangan atas kami. Dan kokohkan kaki kami ketika bertemu (musuh). Sesungguhnya musuh-musuh telah mendzalimi kami. Bila mereka menginginkan fitnah, tentu kami menolaknya”
Dan ditengah pekerjaan mereka, umat Islam dikejutkan dengan suatu peristiwa, seperti yang diriwayatkan oleh Amru bin Auf; ketika saya bersama Salman, Hudzaifah bin Al-Yamani, Nu’man bin Muqrin Al-Mazni, serta 6 sahabat dari Anshar dalam lubang 40 hasta, kami membuat lubang dibawah salah satu pintu hingga sampai ada bau wangi, maka Allah mengeluarkan dari perut bumi batu besar berwarna putih, batu putih itu bersinar dan terdapat di dalamnya api dan keluar darinya, namun batu itu membuat patah alat yang kami gunakan untuk menggali, sehingga membuat kami cemas. Maka kamipun berkata: “Wahai Salman, pergilah menghadap Rasul dan sampaikan berita peristiwa tentang batu besar ini!! Apakah kita akan menyimpangkan lubang darinya karena tempatnya begitu dekat, atau apakah beliau punya perintah lain; karena kami tidak mau menyimpang dari peta yang telah beliau buat..
Maka Salmanpun pergi menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikan peristiwa yang terjadi, sehingga Rasulullah saw datang dan melihat apa yang terjadi; maka Salman berkata: “Wahai Rasulullah, demi Allah, telah keluar batu besar berwarna putih dan bersinar dari parit ini, hingga mematahkan besi yang kami pergunakan untuk menggali parit, dan membuat kami khawatir, karena itu perintahanlah kepada kami, apa yang seharusnya kami lakukan, karena kami tidak ingin menyimpang (melanggar) dari garis yang telah engkau buat”.
Maka Rasulullah saw pun turun bersama Salman ke dalam Khandaq, dan bersama sahabat lainnya.
Dalam riwayat Ahmad dan An-Nasa`i, dari Abu Sukainah radhiyallahu ‘anhu dari salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya dengan sanad yang jayyid, disebutkan:
“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan penggalian khandaq, ternyata ada sebongkah batu sangat besar menghalangi penggalian itu. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit mengambil kapak tanah dan meletakkan mantelnya di ujung parit, dan berkata: “Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Terpecahlah sepertiga batu tersebut. Salman Al-Farisi ketika itu sedang berdiri memandang, dia melihat kilat yang memancar seiring pukulan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau memukul lagi kedua kalinya, dan membaca: “Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Pecah pula sepertiga batu itu, dan Salman melihat lagi kilat yang memancar ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul batu tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul sekali lagi dan membaca: “Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Dan untuk ketiga kalinya, batu itupun pecah berantakan. Kemudian beliau mengambil mantelnya dan duduk. Salman berkata: “Wahai Rasulullah, ketika anda memukul batu itu, saya melihat kilat memancar.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Wahai Salman, engkau melihatnya?” Kata Salman: “Demi Dzat Yang mengutus anda membawa kebenaran. Betul, wahai Rasulullah.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketika saya memukul itu, ditampakkan kepada saya kota-kota Kisra Persia dan sekitarnya serta sejumlah kota besarnya hingga saya melihatnya dengan kedua mata saya.” Para shahabat yang hadir ketika itu berkata: “Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar membukakannya untuk kami dan memberi kami ghanimah rumahrumah mereka, dan agar kami hancurkan negeri mereka dengan tangan-tangan kami.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa. “Kemudian saya memukul lagi kedua kalinya, dan ditampakkan kepada saya kota-kota Kaisar Romawi dan sekitarnya hingga saya melihatnya dengan kedua mata saya.” Para shahabat berkata: “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar membukakannya untuk kami dan memberi kami ghanimah rumah-rumah mereka, dan agar kami hancurkan negeri mereka dengan tangan-tangan kami.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa. “Kemudian pada pukulan ketiga, ditampakkan kepada saya negeri Ethiopia dan desa-desa sekitarnya hingga saya melihatnya dengan kedua mata saya.” Lalu beliau berkata ketika itu: “Biarkanlah Ethiopia (Habasyah) selama mereka membiarkan kalian, dan tinggalkanlah Turki selama mereka meninggalkan kalian.”
Sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, terjadilah apa yang diberitakan oleh beliau. Kedua negara adikuasa masa itu berhasil ditaklukkan kaum muslimin, dengan izin Allah.
Dan diriwayatkan oleh Anas ra bahwa kaum Anshar dan Muhajirin mensenandungkan syair saat menggali parit dan memindahkan tanda dari tempatnya:
Kamilah yang telah membai’at nabi Muhammad
Sehingga Islam menjadi keyakinan kami selamanya
maka nabipun menjawab senandung mereka dengan ungkapan
“Sesungguhnya kebaikan itu adalah kebaikan akhirat, atau dalam ungkapan lain : Sesungguhnya tidak ada kebaikan kecuali kebaikan akhirat, Ya Allah ampunilah kaum muhajirin dan anshar” [6]
Peperangan dimulai
Ketika kaum musyrikin sampai di kota Madinah, mereka terkejut melihat pertahanan yang dibuat kaum muslimin. Belum pernah hal ini terjadi pada bangsa Arab. Akhirnya mereka membuat perkemahan mengepung kaum muslimin. Tidak terjadi pertempuran berarti di antara mereka kecuali lemparan panah dan batu. Namun sejumlah ahli berkuda musyrikin Quraisy, di antaranya ‘Amr bin ‘Abdi Wadd, ‘Ikrimah dan lainnya berusaha mencari jarak lompat yang lebih sempit. Beberapa orang berhasil menyeberangi parit. Merekapun menantang para pahlawan muslimin untuk perang tanding.
Perang Tanding
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menyambut tantangan tersebut. ‘Ali berkata: “Wahai ‘Amr, kau pernah menjanjikan kepada Allah, bahwa tidak seorangpun lelaki Quraisy yang menawarkan pilihan kepadamu salah satu dari dua hal melainkan kau terima hal itu darinya.”
Kata ‘Amr:
“Betul.”
Kata ‘Ali: “Maka
sungguh, saya mengajakmu kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kepada Islam.”
‘Amr menukas: “Aku
tidak membutuhkan hal itu.”
Kata ‘Ali pula:
“Kalau begitu saya menantangmu agar turun (bertanding).”
Kata ‘Amr: “Wahai
anak saudaraku, demi Allah. Aku tidak suka membunuhmu.”
‘Ali menjawab
tegas: “Tapi saya demi Allah, ingin membunuhmu.”
‘Amr terpancing,
diapun turun dan membunuh kudanya, lalu menghadapi ‘Ali.
Mulailah keduanya saling serang, tikam menikam dengan
serunya. Namun pedang ‘Ali bin Abi Thalib berhasil membunuh ‘Amr. Akhirnya para
prajurit berkuda kafir Quraisy lainnya melarikan diri.Tanda-tanda Nubuwwah dalam Peristiwa Khandaq
Dalam peristiwa bersejarah ini, banyak terdapat kejadian luar biasa sebagai salah satu tanda kenabian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sejarawan menukilkan sebagiannya:
Di antaranya apa yang dikisahkan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu, dalam Shahih Al-Bukhari (Kitabul Maghazi), bahwa para sahabat mengadukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adanya tanah keras yang tidak sanggup mereka gempur. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun, dalam keadaan mereka (termasuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak merasakan makanan sejak tiga hari. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikatkan dua buah batu ke perut beliau untuk menahan lapar.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun ke dalam parit lalu meminta seember air, beliau berdoa dan meludahi air itu lalu menuangkannya ke bongkahan tanah keras tersebut. Kemudian beliau memukul tanah itu dengan cangkul hingga menjadi debu.
Ibnu Hisyam menukil pula dari Ibnu Ishaq yang menerima dari Sa’id bin Mina, bahwa dia diceritakan tentang puteri Nu’man bin Basyir yang masih kecil, diperintah oleh ibunya, ‘Amrah bintu Rawahah (saudara perempuan Abdullah bin Rawahah) membawa beberapa butir kurma untuk bekal makan siang ayah dan khali (pamannya). Setelah bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia ditanya tentang apa yang dibawanya. Gadis kecil itu menjawab beberapa butir kurma yang akan diberikan kepada ayah dan pamannya untuk makan siang. Oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kurma itu diminta, kemudian beliau letakkan di atas sehelai kain dan beliau doakan. Setelah itu beliau suruh orang memanggil para penggali untuk makan. Merekapun datang mengambil kurma yang ada di atas kain itu dan makan sampai kenyang, sementara kurma itu tetap berserakan di atas kain tersebut.
Hidangan Keluarga Jabir radhiyallahu ‘anhu
Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula dalam Shahih keduanya dari Jabir bin Abdullah:
“Ketika penggalian khandaq, aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sangat lapar, maka akupun kembali kepada isteriku dan berkata kepadanya: “Apakah engkau punya sesuatu? Karena aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sangat lapar”.
Isteriku mengeluarkan karung kulit yang di dalamnya terdapat segantang gandum. Dan kami masih punya seekor kambing kecil. Akupun mulai menyembelih kambing itu sementara isteriku mengadon tepung (membuat roti). Dia pun menyelesaikan pekerjaannya bersamaan dengan aku menyelesaikan pekerjaanku. Lalu aku memotong-motongnya di dalam burmah (periuk dari batu), kemudian aku kembali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Isteriku berkata: “Jangan membuatku malu di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya”.
Akupun menemui beliau dan membisiki beliau, aku katakan: “Wahai Rasulullah, kami sudah menyembelih seekor kambing kecil dan mengadon segantang gandum yang kami punyai. Jadi, kemarilah engkau dan beberapa sahabatmu”.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berseru: ‘Wahai para penggali parit, sesungguhnya Jabir sudah menyiapkan hidangan. Marilah segera, kalian semua!’
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Jangan turunkan periuk dan adonan kalian sampai aku datang.’
Akupun pulang dan datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahului kaum muslimin hingga aku menemui isteriku.
Dia berkata: ‘Gara-gara kamu, gara-gara kamu.’
Aku katakan: ‘Sudah aku lakukan apa yang kamu katakan.’
Lalu dia pun mengeluarkan adonan itu dan menyerahkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaupun meludahinya (meniup/menyemburkan sedikit air liur) dan mendoakan keberkahan padanya, kemudian menuju periuk kami, lalu meludahi dan mendoakan keberkahan padanya. Kemudian beliau berkata: ‘Panggil si pembuat roti agar dia buat roti bersamaku dan ciduklah dari periuk kalian, tapi jangan diturunkan.’
Mereka ketika itu berjumlah seribu orang. Aku bersumpah demi Allah, sungguh semuanya makan sampai mereka tinggalkan (bersisa) dan kembali pulang, sementara periuk kami benar-benar masih mendidih (isinya) sebagaimana awalnya, dan adonan itu juga masih seperti semula.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma)
Setibanya pasukan sekutu di pinggir kota Madinah, mereka terkejut melihat “benteng” pertahanan yang dibuat kaum muslimin bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Strategi semacam ini sama sekali belum pernah dikenal di kalangan bangsa Arab. Mereka berusaha mencari celah sempit untuk masuk ke garis pertahanan kaum muslimin, namun tidak berhasil kecuali beberapa gelintir ahli berkuda mereka seperti ‘Amr bin Abdi Wadd, ‘Ikrimah, dan lainnya. Namun mereka inipun lari tunggang langgang setelah jago andalan mereka mati dibunuh ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Akhirnya, sekutu membuat perkemahan di seberang parit mengepung kaum muslimin selama satu bulan. Saling lempar panah dan batu masih terjadi dari kedua belah pihak.
Pengkhianatan Yahudi Quraizhah
Sebagaimana telah diceritakan diatas, beberapa tokoh Yahudi menemui para pemimpin Quraisy dan kabilah Arab lainnya untuk menghasut mereka agar memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin. Orang-orang Yahudi ini menjanjikan akan membantu Quraisy dan sekutu-sekutunya untuk menumpas kaum muslimin. Kemudian tokoh-tokoh Yahudi ini menemui pimpinan Yahudi Bani Quraizhah, Ka’b bin Asad. Mulanya Ka’b menolak menerima kedatangan Huyyai bin Akhthab, tapi dia terus membujuk sampai diterima oleh Ka’b.
Setelah Huyyai masuk, dia berkata: “Aku datang membawa kemuliaan masa. Aku datang dengan Quraisy, Ghathafan, dan Asad berikut para pemimpin mereka untuk memerangi Muhammad.” Aku datang kepadamu dengan membawa pasukan Quraisy beserta para pemimpinnya yang telah kuturunkan di sebuah lembah di dekat Raumah, dan suku Ghatfahan beserta para tokohnya yang telah kuturunkan di ujung Nurqma di samping Uhud. Mereka telah berjanji kepadaku untuk tidak meninggalkan temapat sampai kita berhasil menumpas Muhammad dan orang-orang yang bersamanya”
Ka‘ab menjawab: “Demi Allah, kamu datang kepadaku dengan membawa kehinaan sepanjang jaman … Celaka engkau wahai Huyay. Tinggalkan dan biarkanlah aku karena aku tidak melihat Muhammad kecuali sebagai seorang yang jujur dan setia.“
Namun lama kelamaan karena bujuk rayu Huyay, Ka’b termakan bujukan tersebut. Diapun melanggar perjanjian yang telah disepakati antara orang-orang Yahudi Bani Quraizhah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin. Namun dia mensyaratkan, apabila mereka tidak berhasil mengalahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hendaknya Huyyai masuk ke dalam bentengnya bergabung bersamanya menerima apa yang ditimpakan kepada mereka. Huyyai menyetujuinya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar pula pengkhianatan ini. Beliau mengutus beberapa sahabat; Sa’d bin ‘Ubadah, Sa’d bin Mu’adz, dan Abdullah bin Rawahah serta Khawwat bin Jubair radhiyallahu ‘anhum untuk mencari berita. Ternyata keadaannya jauh lebih buruk dari yang mereka bayangkan. Dengan terang-terangan orang-orang Yahudi mencaci maki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menampakkan permusuhan mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir dan menenangkan para sahabat: “Bergembiralah kalian.”
Tapi keadaan semakin mencekam. Kaum muslimin mulai merasakan tekanan. Kemunafikan mulai muncul. Sebagian Bani Haritsah minta izin pulang ke kota, dengan alasan rumah-rumah mereka tidak terjaga. Bani Salimah pun mulai merasa lemah, tapi Allah Subhanahu wa Ta’ala mengokohkan hati mereka sehingga mereka tetap berjuang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menceritakan kejadian ini:
“(Yaitu) ketika mereka datang kepada kalian dari atas dan dari bawah kalian, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (kalian) dan hati kalian naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kalian berprasangka terhadap Allah dengan bermacam-macam sangkaan. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat. Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata: ‘Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.’ Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata: ‘Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagi kalian, maka kembalilah kalian.’ Dan sebagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata: ‘Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga).’ Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari.” (Al-Ahzab: 10-13)
Melihat hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin mengajak damai ‘Uyainah bin Hishn dan Al-Harits bin ‘Auf, pemuka suku Ghathafan dengan menyerahkan sepertiga kurma Madinah agar mereka menarik pasukannya. Tawar menawarpun terjadi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta pendapat Sa’d bin ‘Ubadah dan Sa’d bin Mu’adz tentang masalah ini.
Keduanya memberikan jawaban tegas: “Wahai junjungan kami, kalau Allah yang memerintahkan anda melakukan ini, kami dengar dan taat. Tapi kalau ini hanya sekedar siasat dari anda, maka kami tidak membutuhkannya. Sungguh, dahulu kami dan mereka sama-sama dalam keadaan menyekutukan Allah dan menyembah berhala, namun mereka tidak pernah bisa menikmati kurma itu kecuali dengan membelinya. Sekarang, di saat Allah telah memuliakan kami dengan Islam, memberi kami hidayah/taufik kepadanya, memuliakan kami pula (dengan mengutus anda kepada kami), apakah kami akan serahkan harta kami kepada mereka?! Demi Allah, kami tidak berikan kepada mereka apapun kecuali pedang!”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui pendapat mereka berdua. Beliau berkata: “Itu hanyalah siasat yang aku buat karena aku melihat bangsa Arab menyerang kalian secara serentak.
Strategi Sahabat Nu’man bin Mu’az
Pertolongan Allah yang kedua lahir melalui kepiawaian Nu‘aim bin Mas‘du, seorang dari Kabilah Gatafan yang menjadi muallaf tanpa sepengetahuan teman-temannya. Ia meminta tugas kepada Rasulullah, Dia datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya saya telah masuk Islam. Perintahkanlah saya berbuat sesuatu apa yang anda inginkan.”
Kepadanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan :
“Diantara kita, engkau adalah satu-satunya orang yang dapat melaksanakan tugas itu. Bila engkau sanggup, lakukanlah tugas itu untuk menolong kita. Ketahuilah bahwa peperangan, sesungguhnya adalah tipu muslihat.“
Setelah itu Nu‘aim pergi mendatangi pemimpin-pemimpin Quraisy. Kepada mereka Nu‘aim memberitahukan bahwa Bani Quraidlah telah menyesal atas apa yang mereka lakukan dan secara sembunyi-sembunyi mereka telah melakukan kesepakatan bersama Nabi saw untuk menculik beberapa peimpin Quraisy dan Ghatfahan untuk diserahkan kepada Nabi saw untuk dibunuhnya. Karena itu, bila orang-orang Yahudi itu datang kepada kalian untuk meminta beberapa orang sebagai sandera, janganlah kalian menyerahkan seorang pun kepada mereka.
Kemudian dia berkata: “Wahai Bani Quraizhah sesungguhnya kalian telah memerangi Muhammad . Sementara jika orang-orang Quraisy mendapat kesempatan tentulah mereka manfaatkan. Jika tidak niscaya mereka akan segera kembali ke kampung halaman mereka dan membiarkan kalian menghadapi Muhammad . Sudah tentu dia akan menghabisi kalian.”
Mereka bertanya: “Lantas apa yg harus kami lakukan wahai Nu’aim?”
Kata Nu’aim: “Kalian jangan mau berperang bersama Quraisy sampai mereka memberi jaminan.” Mereka pun berkata: “Sungguh engkau telah memberikan saran yg tepat.”
Selanjutnya Nu’aim datang menemui orang-orang Quraisy kata kepada mereka: “Kalian sudah tahu kecintaanku kepada kalian juga nasihat-nasihatku.”
Kata mereka: “Benar.”
Kata Nu’aim lagi: “Sebetulnya orang-orang Yahudi menyesal melanggar perjanjian mereka dengan Muhammad dan para sahabatnya. Mereka sudah mengirim utusan kepada } bahwa mereka meminta jaminan dari kalian agar kalian serahkan kepada lantas mereka akan melobi kalian. Kalau mereka meminta jaminan kepada kalian janganlah kalian berikan.”
Setelah itu Nu’aim mendatangi orang-orang Ghathafan dan mengatakan kalimat yang sama dengan yang diucapkan kepada yang lainnya.
Begitu masuk malam Sabtu bulan Syawwal pasukan sekutu itu menemui tokoh-tokoh Yahudi dan mengatakan:
“Kami bukan penduduk asli di sini perbekalan dan sepatu khuf kami sudah rusak. maka marilah bangkit bersama kami agar kita bisa menumpas Muhammad .”
Mendengar hal ini orang-orang Yahudi mengatakan: “Sesungguhnya hari ini adalah hari Sabtu. Dan kalian sudah tahu apa yg menimpa para pendahulu kami ketika mereka mengada-adakan sesuatu pada hari itu. Namun demikian kami juga tidak akan berperang bersama kalian sampai kalian memberi jaminan kepada kami.”
Ketika utusan itu datang menyampaikan hasil kepada mereka orang-orang Quraisy berkata: “Sungguh benar apa yang dikatakan Nu’aim.” Merekapun mengirim utusan lagi kepada orang-orang Yahudi dan mengatakan: “Sungguh kami demi Allah tidak akan menyerahkan apapun kepada kalian. Keluarlah bersama kami sampai dapat menghabisi Muhammad .”
Orang-orang Quraizhah berkata pula: “Sungguh benar apa yg dikatakan Nu’aim.” Lalu kedua saling mengejek.
Demikianlah akhirnya terjadi salah paham di antara mereka dan saling tidak mempercayai. Sehingga masing-masing dari mereka menuduh terhadap yang lainnya sebagai berkhianat.
Pertolongan Allah SWT berupa Angin Topan
Pada suatu malam, badai datang. Angin topan mengacak-ngacak perkemahan pasukan Ahzab. Mereka ketakutan, menyangkan Kaum Muslimin akan datang menyerang pada saat itu. Abu Sufyan segera memerintahkan mereka kembali ke Mekkah. Begitu juga dengan Kabilah Gatafan.
Muslim meriwayatkan dengan sanad-nya dari Hudzaifah bin al-Yaman ra, ia berkata:
“Pada suatu malam dalam situasi perang Ahzab, kami bersama Rasulullah saaw merasakan tiupan angin yang sangat kencang, dan dingin mencekam. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Adakah orang yang bersedia mencari berita musuh dan melaporkannya kepadaku, mudah-mudahan Allah menjadikannya bersamaku pada Hari Kiamat.“ Kami semua diam, tak seorang pun dari kami menjawabnya. Rasulullah saw mengulangi pertanyaan itu sampai tiga kali. Kemudian berkata:”Bangkitlah wahai Hudzaifah, carilah berita dan laporkanlah kepadaku.“ Maka tidak boleh tidak aku harus bangkit, karena beliau menyebut namaku. Nabi saw berpesan: “Berangkatlah mencari berita musuh dan janganlah engkau melakukan tindakan apapun.“ Ketika aku berangkat dari sisinya aku berjalan seperti orang yang sedang dicengkeram kematian, hingga aku tiba di basis mereka. Kemudian aku lihat Abu Shofyan sedang menghangatkan punggungnya di perapian. Lalu aku pasang anak panah di busur untuk memanahnya, tetapi aku segera teringat pesan Rasulullah saw, “Janganlah engkau melakukan tindakan apapun.“ Kalau aku panahkan pasti akan mengenai pahanya. Kemudian aku kembali dengan berjalan seperti orang yang sedang dalam cengkeraman maut. Setelah aku datang kepada Nabi saw dan menyampaikan berita tentang kaum Musyrikin, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelimuti aku dengan kainnya yang biasa dipakai untuk shalat. Malam itu aku tidur sampai pagi dan dibangunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Bangun, hai tukang tidur.“
Ibnu Ishaq meriwayatkannya dengan tambahan : Kemudian aku masuk di kalangan kaum Musyrikin, ketika angin dan tentara-tentara Allah sedang mengobrak-abrik mereka, menerbangkan kuali, memadamkan api, dan menumbangkan perkemahan. Kemudian Abu Shafyan bangkit seraya berkata: “Wahai kaum Quraisy, setiap orang hendaknya melihat siapa teman duduknya?“ Hudzaifah berkata: “Kemudian aku memegang tangan orang yang berada di sampingku lalu aku bertanya kepadanya: “Siapakah anda?“ Dia menjawab: “Fulan bin Fulan”. Selanjutnya Abu Shofyan berkata: “Wahai kaum Quraisy, demi Allah swt, kalian tidak mungkin lagi dapat terus berada di tempat ini. Banyak ternak kita yang mati. Orang-orang Bani Quraidlah telah menciderai janji dan kita mendengar berita yang tidak menyenangkan tentang sikap mereka. Kalian tahu sendiri kita sekarang sedang menghadapi angin taufan yang hebat. Karena itu, pulang sajalah kalian, dan aku pun akan berangkat pulang.“
Pada keesokan harinya seluruh kaum Musyrikin kembali meninggalkan medang perang, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersama para sahabatnya kembali ke Madinah.
Kaum Muslimin segera menyebut Syukur atas pertolongan Allah SWT. Bertambahlah keimanan mereka dan kepercayaan bahwa Allah SWT selalu memenuhi janji-Nya.
Dalam perang Khandaq ini yang gugur sebagai syuhada dari kalangan kaum muslimin sekitar sepuluh orang.
Hukuman bagi Pengkhianat Yahudi
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat kembali ke Madinah serta meletakkan senjata mereka.
Namun Jibril ‘alaihissalam menemui beliau yang sedang mandi di rumah Ummu Salamah dan berkata: “Engkau sudah meletakkan senjatamu? Sesungguhnya para malaikat belum meletakkan senjata mereka. Majulah menyerang mereka ini yakni Bani Quraizhah. maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru:
“Siapa yang mendengar dan taat maka janganlah dia shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.”
Tinggallah Bani Quraizah sendiri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya segera mengepung kaum Yahudi tersebut selama 25 hari. Ketika harapan makin tipis, Pimpinan Bani Quraizah, Ka’ab bin Asad, melontarkan 3 pilihan pada kaumnya: (1) menyerah dan mengikuti agama Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam; (2) Membunuh kaum wanita dan anak-anak, kemudian berperang melawan Umat Islam; atau (3) Tunduk kepada keputusan Muhammad.
Pilihan mereka adalah yang ketiga.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempercayakan persoalan ini pada Sa’ad bin Mu’az. Beliau memerintahkan mereka untuk melucuti senjata dan turun dari benteng. Sa’ad memutuskan mereka yang terlibat kejahatan perang akan dihukum mati, sedangkan kaum wanita dan anak-anak ditawan. Harta benda dibagikan pada Kaum Muslimin. Sebuah keputusan yang disetujui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beberapa Ibrah
Peperangan ini juga terjadi karena pengkhianatan dan tipu muslihat orang-orang Yahudi. Merekalah yang menggerakkan menghasut dan menghimpun golongan (Ahzab). Kejahatan dan pengkhianatan ini tidak cukup dilakukan oleh orang-orang Yahudi Bani Nadlir yang telah diusir dari Madinah. Bahkan Banu Quraidlah pun yang masih terikat perjanjian bersama kaum Muslimin kini telah melakukannya. Padahal tidak ada satu pun tindakan kaum Muslimin yang mengundang mereka untuk melanggar perjanjian tersebut.
Kita tidak perlu mengulas kembali peristiwa pengkhianatan ini, karena pengkhianatan-pengkhianatan seperti ini telah menjadi catatan sjearah yang sudah dikenal pada setiap jaman dan tempat.
Sekarang, mari kita kembali kepada peristiwa-peristiwa yang telah kami bentangkan dalam peperangan ini, untuk mencatat beberapa pelajaran dan hukum yang terkandung di dalamnya.
1.
Di antara
sarana perang yang digunakan oleh kaum Muslimin dalam peperangan ini ialah
penggalian parit. Perang dengan menggali parit ini merupakan peperangan yang
pertama kali dikenal dalam sejarah bangsa Arab dan Islam. Karena taktik dan
teknik peperangan seperti ini biasanya dikenal oleh bangsa Ajam (non-Arab).
Seperti anda ketahui bahwa orang yang mengusulkan cara ini dalam perang Ahzab
ialah Salman al-Farisi. Rasulullah sa sendiri mengagumi usulan ini dan segera
mengajak para sahabatnya untuk melaksanakannya.
Ini merupakan salah satu dari
sejumlah dalil yang menunjukkan bahwa, “Pengetahuan adalah milik kaum Muslimin
yang hilang. Di mana saja didapatinya maka mereka berhak mengambilnya daripada
orang lain.“ Sesungguhnya syariat Islam, sebagaimana melarang kaum Muslimin
mengikuti orang lain secara membabi buta, juga mengajukan kepada mereka untuk
mengambil dan mengumpulkan nilai-nilai kebaikan dan prinsip-prinsip yang
bermanfaat di mana saja didapatinya. Kaidah Islam dalam masalah ini ialah bahwa
seorang Muslim tidak boleh mengabaikan akalnya yang merdeka dan pikirannya yang
cermat dalam segala perilaku dan urusannya. Dengan demikian maka dia tidakakan
dapat dikuasai dan dibawah ke mana saja oleh sistem yang bisa diterima oleh
akal sehat dan sesuai dengan pirnsip-prinsip syariat Islam.
Sikap yang digariskan Allah swt
kepada seorang Muslim ini hanya munculdari sumber utama yaitu kehormatan yang
ditetapkan Allah swt kepada manusia sebagai tuan (pemimpin) segenap makhluk.
Praktek ubudiyah kepada Allah swt dan kepatuhan tehradap Hukum-hukum Syariatnya
hanyalah merupakan jaminan untuk memelihara kehormatan dan kepemiminan
tersebut.
2.
Apa yang
telah kami sebutkan tentang kerja para sahabat bersama Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam menggali parit merupakan suatu pelajaran besar yang
menjelaskan hakekat persamaan yang ditegakkan oleh masyarakat Islam di antara
seluruh anggotanya. Ia juga bukan sekedar slogan yang menarik untuk mengelabui
masyarakat. Tetapi merupakan asas yang benar-benar memancarkan semua nilai dan
prinsip Islam baik secara lahiriah ataupun batiniah.
Anda lihat bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kaum Muslimin untuk menggali
parit sementara dia sendiri pergi ke istana mengawasi mereka dari kejauhan.
Beliau juga tidak datang kepada mereka dalam suatu pesta yang meriah untuk
meletakkan batu pertama pertanda dimulainya pekerjaan kemudian setelah itu
pergi meninggalkan mereka. Tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
secara langsung berperan aktif menggali bersama para sahabatnya sampai pakaian
dan badannya kotor bertaburan debu dengan tanah galian sebagaimana para
sahabatnya. Mereka bersahut-sahutan mengucapkan senandung ria, maka beliau pun
ikut bersenandung untuk menggairahkan semangat mereka. Mereka merasakan letih
dan lapar, maka beliau pun yang yang paling letih dan lapar di antara mereka.
Itulah hakekat persamaan antara penguasa dan rakyat, antara orang kaya dan
orang miskin, antara Amir dan rakyat jelata, yang ditegakkan oleh syariat
Islam. Seluruh cabang syariat dan hukum Islam didasarkan kepada prinsip ini dan
untuk menjamin terlaksananya hakekat ini.
Tetapi janganlah anda menamakan
hal ini dengan istilah demokrasi dalam perilaku atau pemerintahan. Prinsip
persamaan dan keadilan ini sama sekali tidak dapat dipersamakan dengan
demokrasi manapun. Karena sumber keadilan dan persamaan dalam Islam ialah
ubudiyah kepada Allah swt yang merupakan kewajibab seluruh manusia. Sedangkan
sumber demokrasi ialah pendapat mayoritas atau mempertuankan pendapat mayoritas
atas orang lain, betapa pun wujud dan tujuan pendapat tersebut.
Oleh karena itu, Syariat Islam
tidak pernah memberikan hak istimewa kepada golongan atau orang tertentu. Juga
tidak pernah memberikan kekebalan kepada kelompok tertentu betapapun motivasi
dan sebabnya, karena sifat ubudiyah (kehambaan kepada Allah swt) telah
meleburkan dan menghapuskan semua itu.
3.
Dalam
peristiwa sirah ini pula terkandung pelajaran lain yang mengungkapkan potret
Kenabian dalam sosok kepribadian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menampakkan kecintaan para sahabat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan kasih sayangnya kepada mereka. Dan memberikan contoh lain dari perkara luar
biasa dan mukjizat yang dianugerahkan Allah kepada Nabi-Nya.
Pribadi Kenabiannya tampak pada
perjuangannya menghadapi rasa lapar yang dialaminya pada saat bekerja bersama
para sahabatnya, sampai-sampai beliau mengikatkan batu pengganjal ke perutnya
untuk menghilangkan rasa nyeri dan sakit di lambungnya akibat lapar. Apakah
gerangan yang membuat beliau tahan menghadapi penderitaan dan kesulitan seperti
ini? Adakah karena ambisinya kepada kepemimpinan? Ataukah karena kerakusannya
terhadap harta kekayaan dan kekuasaan? Ataukah karena keinginannya untuk
mendapatkan pengikut yang selalu mengawalnya setiap saat? Semua itu
bertentangan dengan diametral dengan penderitaan dan perjuangan yang
dilakukannya itu. Orang yang tamak atas kedudukan, kekuasaan atau kekayaan
tidak akan tahan bersabar menanggung penderitaan seperti ini.
Yang membuatnya sanggup
menghadapi semua itu hanyalah tanggung jawab risalah dan amanah yang dibebankan
kepadanya untuk menyampaikan dan memperjuangkannya kepada manusia dalam suatu
perjuangan yang memiliki tabiat seperti itu. Itulah pribadi Kenabian yang
tampak pada kerjanya bersama sahabat ketika menggali parit.
Sedangkan kecintaan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya dapat anda lihat jelas
dalam sikap responsifnya terhadap undangan Jabir untuk menikmati hidangan yang
hanya sedikit itu.
Sesuatu yang mendorong Jabir
untuk mengundang Nabi saw ialah pemandangan yang menyedihkan. Yaitu ketika
melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikatkan batu ke perutnya
karena menahan lapar. Jabir tidak mendapatkan makanan di rumahnya kecuali untuk
beberapa orang, sehingga dia mengundang beberapa orang saja.
Tetapi mungkinkah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan para sahabatnya bekerja sambil
menahan lapar sementara dirinya bersama tiga atau empat orang sahabatnya
beristirahat menikmati hidangan? Sesungguhnya kasih sayang Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya lebih besar ketimbang
kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.
Jabir terpaksa melakukan
tindakan itu, sebenarnya wajar, karena dia sebagaimana manusia biasa tidak
dapat bertindak kecuali sesuai dengan sarana material yang dimilikinya. Makanan
yang ada padanya tidak mencukupi, menurut ukuran manusia biasa, kecuali untuk
beberapa orang saja, sehingga dia hanya mengundang Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan beberapa orang sahabatnya.
Namun Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak akan pernah terpengaruh oleh pandangan Jabir tersebut.
Pertama, karena tidaK mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengutamakan dirinya daripada para sahabatnya dalam menikmati hidangan dan
istirahat. Kedua, karena tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyerah kepada faktor-faktor material dan batas-batasnya yang bisa membelenggu
manusia. Tetapi karena Allah swt, semata sebagai Pencipta segala sebab maka
mudah bagi-Nya untuk memberkati makanan yang sedikit sehingga mencukupi orang
banyak.
Demikianlah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memiliki pandangan bahwa dirinya dan para
sahabatnya adalah saling takaful (sepenanggungan). Saling berbagi rasa baik
dalam suka atau pun duka. Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyuruh Jabir pulang untuk mempersiapkan makanan bagi mereka, sementara
itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil para sahabatnya untuk
menikmati hidangan besar di rumah Jabir.
Mukjizat yang terjadi dalam
kisah ini ialah berubahnya seekor kambing kecil milik Jabir menjadi makanan
yang banyak dan mencukupi ratusan sahabat, bahkan masih bersisa banyak sehingga
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusulkan kepada Shahibul bait
(istri Jabir) agar membaginya kepada orang lain. Mukjizat yang mengagumkan ini
dianugerahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
penghargaan Ilahi karena cintanya kepada para sahabatnya dan sikapnya yang
tidak mau menyerah kepada faktor-faktor material karena keyakinannya kepada
kekuasaan Allah swt, yang mutlaq.
Apa yang saya inginkan dalam
masalah ini ialah supaya para pembaca menyadari adanya dukungan Ilahi yang
diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui sebab-sebab
material. Hal itu merupakan salah satu faktor terpentig untuk menonjolkan
pribadi Kenabiannya kepada para pengkaji dan pemangat sirah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Faktor ini dapat kita jadikan sebagai dalil yang
kuat untuk menghadapi mereka yang tidak mau mengakui aspek Kenabian pada
pribadi Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4.
Apakah
gerangan hikmah musyawarah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
sebagian sahabatnya, untuk menawarkan perdamaikan kepada banu Ghatfahan dengan
imbalan memberikan sepertiga hasil panen kota Madinah kepada mereka asalkan
mereka bersedia menarik dukungannya kepada kaum Quraisy dan golongan-golongan
lainnya? Apakah dalil Syariat yang dapat dijadikan sebagai landasan pemikiran
ini ?
Hikmahnya ialah bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui sejauh mana para sahabatnya
itu telah memiliki kekuatan moral dan sikap tawakal kepada pertolongan Allah
swt pada saat menghadapi kepungan kaum Musyrikin secara mendadak itu, di
samping melihat pengkhianatan yang dilakukan oleh banu Quraidlah. Sudah menjadi
kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti telah anda ketahui
bahwa ia tidak suka menyeret para sahabatnya kepada suatu peperangan atau
petualangan yang mereka sendiri belum cukup memiliki keberanian untuk memasikunya,
atau tidak meyakini segi-segi positifnya. Hal ini termasuk salah satu uslub
tarbiyah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling menonjol kepada
para sahabatnya. Oleh sebab itu, beliau mengemukakan bahwa pandangan itu bukan
ketetapan dari Allah, tetapi sekedar pandangan yang dikemukakan dalam rangka
upaya menghancurkan kekuatan kaum Musyrikin apabila mereka (para sahabat) tidak
memiliki kemampuan untuk menghadapinya.
Dalil syariat yang menjadi
landasan pemikiran ini ialah prinsip bahwa syura itu dilakukan pada masalah
yang tidak ditegaskan oleh nash. Tetapi setelah itu tidak berarti bahwa kaum
Muslimin boleh memberikan sebagian tanah mereka atau hasil panen buminya kepada
musuh apabila mereka (musuh) menyerangnya, demi untuk menghentikan serangan.
Karena telah disepakati dalam dasar-dasar Syariat Islam bahwa tindakan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat dijadikan sebagai hujjah
(dalil) ialah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya yang telah
dilaksanakannya, kemudian tidak ditentang oleh kitab Allah (al-Quran). Adapun
hal-hal yang masuk ke dalam batas-batas usulan (dalam permusyawaratan) dan
dengar pendapat semata-mata, tidak dapat dijadikan sebagai dalil. Karena
diadakannya musyawarah itu, pertama, mungkin sekedar untuk menjajagi mentalitas
seperti yang disebutkan di atas. Yakni sebagai amal tarbawi (pembinaan)
semata-mata. Kedua, seandainya pun telah dilaksanakan mungkin setelah itu
datang sanggahan dari kitab Allah, sehingga tidak lagi memiliki nilai sebagai
dalil Syariat.
Tetapi para Ulama risah dalam
masalah ini telah menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak sampai menjadi mengadakan perdamaian dengan kabilah Ghatfahan. Bahkan
sebenarnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memiliki
keinginan untuk berdamai dengan Bani Ghatfahan. Apa yang diusulkan hanyalah
sekedar sebagai manuver dan penjajagan.
Hal ini kami katakan karena ada
sementara pihak di masa sekarang ini yang mengemukakan pendapat aneh : Bahwa
Kaum Muslimin harus membayar jizyah (upeti) kepada non-Muslim manakala
diperlukan. Dengan alasan bahwa Nabi saw pernah meminta pandangan para
sahabatnya ketika perang Ahzab untuk melakukan hal tersebut.
Mungkin anda bertanya:
“Seandainya kaum Muslimin terpaksa karena lemah harus melepas sebagian harta
mereka demi untuk melindungi kehidupan mereka dan khawatir akan dimusnahkan
semuanya, apakah mereka tidak boleh melakukan itu ?
Jawabannya, banyak sekali
kondisi yang menunjukkan betapa harta kaum Muslimin dirampas dan dijadikan
barang rampasan oleh musuh-musuhnya. Banyak kaum kafir yang telah menyerbu
negeri Islam dan menguras kekayaannya. Tetapi kaum Muslimin tidak menerima
kenyataan ini secara suka rela atau karena mengikuti fatwa. Mereka dipaksa
harus tunduk kepada kondisi tersebut. Kendatipun demikian mereka senantiasa
mencari dan menunggu kesempatan untuk melawan musuh mereka. Anda tentunya tahu
bahwa hukum-hukum Syariat Islam ditujukan kepada orang-orang yang tidak
dipaksa, sebagaimana tidak ditujukan kepada anak-anak kecil atau orang gila.
Oleh karena itu, adalah keliru
dan sia-sia belaka jika hukum taklif itu ditetapkan kepada orang-orang yang
berada di luar batas taklif.
5.
Bagaimana
dan dengan sarana apa kaum Muslimin berhasil memetik kemenangan atas kaum
Musyrikin dalam peperangan ini ?
Sebagaimana kita ketahui bahwa
sarana yang digunakan Rasulullah saw dalam peperangan ini (perang Khandaq) sama
dengan sarana yang pernah digunakan dalam perang Badr. Yaitu sarana mendekatkan
diri kepada Allah swt. Sarana inilah yang senantiasa digunakan Rasulullah saw
setiap kali menghadapi musuh di medan jihad. Sarana yang mutlak harus digunakan
oleh kaum Muslimin jika mereka ingin memetik kemenangan.
Bagaimana kaum Musyrikin yang
berjumlah banyak itu bisa terkalahkan, setelah kaum Muslimin menunjukkan
keteguhan, kesabaran, dan kesungguhan dalam meminta pertolongan kepada Allah
swt. Dapat kita baca dalam penjelasan Allah swt di dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah swt, (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin taufan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan. Yaitu ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lari perlihatanmu dan hatimu naik mendesak sampai ke tenggorokkan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka .. sampai dengan firman Allah, “Dan Alah yang menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereaka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang Mukmin dari peperangan . Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.“ QS al-Ahzab : 9-25
“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah swt, (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin taufan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan. Yaitu ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lari perlihatanmu dan hatimu naik mendesak sampai ke tenggorokkan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka .. sampai dengan firman Allah, “Dan Alah yang menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereaka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang Mukmin dari peperangan . Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.“ QS al-Ahzab : 9-25
Sesungguhnya pertolongan Allah
swt yang selalu terulang dalam peperangan-peperangan Rasulullah saw ini tidak
berarti menggalakkan kaum Muslimin untuk melakukan “petualangan“ dan jihad
tanpa persiapan dan perencanaan. Ia hanya menjelaskan bahwa setiap Muslim harus
mengethaui dan menyadari bahwa sarana kemenangan yang terpenting, disamping
sarana-sarana yang lainnya, ialah kesungguhan dalam meminta pertolongan kepada
Allah swt, dan mengikhlaskan ubudiyah hanya kepada-Nya. Seluruh sarana kekuatan
tidak akan berguna apabila sarana ini tidak terpenuhi secara baik. Jika sarana
ini telah dipersiapkan secara memadai oleh kaum Muslimin maka Allah swt akan
memberikan beraneka mukjizat kemenangan.
Jika bukan karena pertolongan
Allah swt dari manakah datangnya angin topan yang memporak-porandakan
tentara-tentara Musyrikin itu sementara kaum Muslimin tenang tanpa
merasakannya? Di pihak Musyrikin angin itu menghempaskan kemah-kemah mereka,
menerbangkan kuali-kuali mereka, dan mengguncangkan hati mereka. Tetapi di
pihak kaum Muslimin ia adalah angin sejuk yang menyegarkan.
6.
Pada
peperangan ini Rasulullah saw tidak sempat shalat Ashar karena kesibukkannya
menghadapi musuh sehingga beliau mengqadla-nya setelah matahari terbenam. Di
dalam beberapa riwayat, selain dari Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa shalat
yang terlewatkan lebih dari satu shalat, kemudian Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam melaksanakannya secara berturut-turut di luar waktunya.
Ini menunjukkan dibolehkannya
mengqadlah shalat yang terlewatkan. Kesimpulan ini tidak dapat dibantah oleh
pendapat yang mengatakan bahwa penundaan shalat karena kesibukkan seperti itu
dibolehkan pada waktu itu, namun kemudian dihapuskan ketika shalat khauf
disyariatkan kepada kaum Muslimin, baik yang berjalan kaki ataupun yang
berkendaraan. Tetapi penghapusan itu seandainya benar bukan terhadap dibolehkannya
mengqadlah. Ia hanya menghapuskan bolehnya menunda shalat karena kesibukkan.
Yakni penghapusan bolehnya menunda tidak berarti juga penghapusan terhadap
bolehnya mengqadlah. Dibolehkannya mengqadlah tetap sebagaimana ketentuan
semula. Di samping itu, dalil yang pasti menegaskan bahwa shalat khauf
disyariatkan sebelum peperangan ini, sebagaimana telah dibahas ketika
membicarakan perang Dzatur Riqaa‘.
Di antara dalil lain yang
menunjukkan bolehnya qadlah shalat ialah riwayat yang disebutkan di dalam Ash-Shahihain
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada waktu berangkat
kembali ke Madinah dari perang Ahzab. “Janganlah ada seorang pun yang shalat
Ashar (atau Zhuhur) kecuali setelah sampai di bani Quraidlah.“ Kemudian di
tengah perjalanan datanglah waktu shalat Ashar. Sebagian berkata, “Kami tidak
akan shalat sebelum smapai ke sana (Bani Quraidlah)“. Sedangkan sebagian yang
lainnya berkata, “Kami akan shalat, Beliau tidak memaksudkan itu (melarang
shalat)“. Akhirnya kelompok pertama melaksanakan shalat setelah sampai di Banu
Quraidlah sebagai shalat qadlah.
Kewajiban mengqadlah shalat
yang terlewatkan ini sama saja, baik terlewatkan karena tidur, lalai atau
sengaja ditinggalkan. Karena setelah adalnya dalil umum yang mewajibkan qadlah
shalat yang terlewatkan tidak ada dalil yang mengkhususkan syariat qadlah ini
dengan sebab-sebab tertentu. Para sahabat yang meninggalkan shalatnya di tengah
perjalannya menuju Bani Quraidlah itu bukan karena tidur atau lupa. Oleh sebab
itu, adalah keliru jika syariat qadlah shalat yang terlewatkan ini dikhususkan
bagi orang yang tidak sengaja melewatkannya. Tindakan ini seperti orang yang
mengkhususkan qadlah shalat dengan shalat wajib tertentu saja, tanpa landasan
syariat.
Barangkali ada sebagian orang
yang memahami hadits di bawah ini sebagai dalil yang mengkhususkan keumuman
syariat qadlah itu :
“Siapa saja yang shalatnya terlewatkan karena tertidur atau lupa maka hendaklah ia melaksanakan pada waktu ia teringat.“
“Siapa saja yang shalatnya terlewatkan karena tertidur atau lupa maka hendaklah ia melaksanakan pada waktu ia teringat.“
Tetapi pemahaman ini tidak
dapat diterima. Sebab, tujuan utama Hadits ini bukan hanya memerintahkan orang
yang lupa dan tertidur untuk mengqadlah shalatnya, tetapi tujuannya ialah untuk
menegaskan keterangan pada waktu ia teringat. Keterangan ini menjelaskan bahwa
orang yang ingin mengerjakan shalatnya yang terlewatkan tidak disyariatkan
untuk menunggu datangnya waktu shalat tersebut pada hari berikutnya. Tetapi ia
harus segera mengqadlah pada saat ia teringat, kapan saja. Dengan demikian
mafhum mukhalafah dari hadits di atas tidak dapat dibenarkan.
0 komentar:
Posting Komentar