Allah Ta’ala berfirman:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مُوسَى إِنَّهُ كَانَ مُخْلَصًا وَكَانَ رَسُولاً
نَّبِيًّا {51} وَنَادَيْنَاهُ مِن جَانِبِ الطُّورِ اْلأَيْمَنِ وَقَرَّبْنَاهُ
نَجِيًّا {52} وَوَهَبْنَا لَهُ مِن رَّحْمَتِنَآ أَخَاهُ هَارُونَ نَبِيًّا {53}
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada
mereka), kisah Musa di dalam Al-Kitab (al-Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah
seorang yang dipilih dan seorang rasul dan nabi. Dan Kami telah memanggilnya
dari sebelah kanan gunung Thur dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami di
waktu dia munajat (kepada Kami). Dan Kami telah menganugerahkannya kepadanya
sebagian rahmat Kami, yaitu saudaranya, Harun menjadi seorang Nabi.” (QS.
Maryam:51-53)
Allah Ta’ala telah menceritakan seraya menyebutkan risalah, kenabian,
keikhlasan dan upayanya mendekatkanndiri kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Dia
telah mengaruniainya, dengan mengangkat saudara kandungnya, Harun sebagai Nabi.
Dan Allah juga telah menceritakan dirinya dalam beberapa ayat al-Qur’an. Kisah
–kisah tersebut diceritakan, baik secara panjang maupun singkat. Dan masalah
ini telah kami uraikan secara panjang lebar dalam kitab at-Tafsir (tafsir Ibnu
Katsir). Di sini kami hanya akan mengemukakan sejarah kehidupannya dari awal
sampai akhir dengan bersandar pada al-Qur’an dan al-Hadits serta beberapa ulama
alaf dan juga ulama yang lainnya, insya Allah. Hanya kepada Allahlah kami
bersandar dan bertawakal.
Allah Ta'ala berfirman :
طسم {1} تِلْكَ ءَايَاتُ الْكِتَابِ الْمُبِينِ {2} نَتْلُوا عَلَيْكَ مِن نَّبَإِ
مُوسَى وَفِرْعَوْنَ بِالْحَقِّ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ {3} إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلاَ
فِي اْلأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَآئِفَةً مِّنْهُمْ
يُذَبِّحُ أَبْنَآءَهُمْ وَيَسْتَحْىِ نِسَآءَهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ
الْمُفْسِدِينَ {4} وَنُرِيدُ أَن نَّمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي
اْلأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِينَ {5} وَنُمَكِّنَ
لَهُمْ فِي اْلأَرْضِ وَنُرِىَ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا مِنْهُم
مَّاكَانُوا يَحْذَرُونَ {6}
“Thaa Siin Miim. Ini adalah ayat-ayat Kitab (al-Qur'an) yang nyata (dari
Allah). Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir'aun dengan
benar untuk orang-orang yang beriman.Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat
sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan
menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan
membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka.Sesungguhnya Fir'aun termasuk orang-orang
yang berbuat kerusakan.Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang
tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan
menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi),dan akan Kami teguhkan
kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan
Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu.”
(QS.Al-Qashash: 1-6)
Allah
subhanahu wa ta'ala hanya menceritakan kisah Musa 'alaihissalam
ini secara ringkas. Setelajh itu Dia menjelaskannya secara panjang lebar. Allah
menceritakan bahwa Dia telah mewhyukan kepada Nabi-Nya, Muhammad
shallallahu
'alaihi wasallam tentang kisah Musa 'alaihissalam dan fir’aun dengan benar,
sehingga bagaikan orang yang mendengar dan menyaksikan secara langsung
peristiwa tersebut.
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلاَ فِي اْلأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا…{4}
“Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat
sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah”(Al-Qashash:4)
Maksudnya, dia telah berlaku sombong, melampui batas, sewenang-wenang, dan
zhalim, serta lebih mengutamakan kehidupan dunia, bahkan menolak berbuat taat
kepada Rabbnya yang Mahatinggi. Dan maksud firman Allah Ta'ala,”dan menjadikan
penduduknya berpecah belah” Fir’aun membagi rakyatnya menjadi beberapa bagian,
kelompok, dan macam. Dan dia menindas satu kelompok dari mereka, yaitu bangsa
Bani Israil, yang termasuk keturunan Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim
khalilulah. Pada saat itu, Bani Israil adalah kaum pilihan di muka bumi. Kemudian
Fir’aun, si raja lalim, kafir, dan jahat itu menguasai dan mengendalikan
mereka. Dia menyuruh mereka menyembah dan melayaninya dalam wujud yang sangat
rendah, dan perbuatan yang tidak berarti, lagi hina. Dan demikian itu :
يُذَبِّحُ أَبْنَآءَهُمْ وَيَسْتَحْىِ نِسَآءَهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ
الْمُفْسِدِينَ {4}
“Dia menyembelih anak laki-laki mereka dan
membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka.Sesungguhnya Fir'aun termasuk
orang-orang yang berbuat kerusakan.”(Al-Qashash: 4)
Penyebab kebijakan Fir’aun yang sangat biadab tersebut adalah karena Bani
Israil senantiasa mempelajari ajaran yang turun-temurun, yang bermula dari
kakek mereka, yaitu Ibrahim
'alaihissalam. Dari ajaran tersebut muncul
sebuah keyakinan yang tersebar di antara mereka bahwa akan lahir seorang pemuda
yang akan menghancurkan Mesir melalui tangannya. Kisahnya-wallahu a’lam-,
adalah sebagai berikut:”Ketika raja Mesir hendak berniat jahat kepada istri
Ibrahim, Sarah, maka Allah subhanahu wa ta'ala melindungi dan menyelamatkannya.
Demikian pula dengan kelahiran Nabi Musa, di mana berita akan lahirannya pemuda
tersebut telah meyebar di kalangan Bani Israil. Ketika itu, masyarakat Qibthi
(kaum fir’aun) saling berbicara satu ssama lain sehingga terdengar oleh
Fir’aun. Kemudian sebagian pembantunya menceritakan hal tersbut kepadanya. Maka
Fir’aun pun mewnyuruh untuk membunuh semua laki-laki dari kalangan Bani Israil,
karena takut akan lahirnya pemuda tersebut. Tetapi rasa takut dan usahanya
tidak dapat mengalahkan taqdr Allah,” Oleh karena itu Allah berfirman:
وَنُرِيدُ أَن نَّمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي اْلأَرْضِ …{5}
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di
bumi (Mesir) itu …”(Al-Qashash: 5)
Yaitu, Bani Israil.
…وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِينَ {5}
” …Dan hendak menjadikan mereka pemimpin
dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)”(Al-Qashash: 5)
Yaitu, kami menyerahkan negeri tersebut kepada Bani Israil.
وَنُمَكِّنَ لَهُمْ فِي اْلأَرْضِ وَنُرِىَ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا
مِنْهُم مَّاكَانُوا يَحْذَرُونَ {6}
“Dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami
perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka
khawatirkan dari mereka itu.” (QS.Al-Qashash: 6)
Maksudnya, Kami akan merubah orang lemah menjadi kuat, yang tertindas
menjadi jaya (dalam sebuah naskah: menjadi berkuasa), dan yang terhina menjadi
mulia. Dan hal itu telah terbukti bagi Bani Israil. Sebagaimana yang
difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta'ala:
وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ اْلأَرْضِ
وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَى
عَلَى بَنِي إِسْرَاءِيلَ بِمَا صَبَرُوا وَدَمَّرْنَا مَاكَانَ يَصْنَعُ
فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَاكَانُوا يَعْرِشُونَ {137}
“Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah tertindas itu, negeri-negeri
bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya.
Dan telah sempurnalah perkataan Rabbmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil
disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir'aun
dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka.” (QS. Al-A’raf:137)
Dia juga berfirman:
فَأَخْرَجْنَاهُم مِّن جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ {57} وَكُنُوزٍ وَمَقَامٍ كَرِيمٍ {58}
كَذَلِكَ وَأَوْرَثْنَاهَا بَنِي إِسْرَاءِيلَ {59}
“Maka Kami keluarkan Fir'aun dan kaumnya
dari taman-taman dan mata air, dan (dari) perbendaharaan dan kedudukan yang
mulia,demikianlah halnya dan Kami anugerahkan semuanya (itu) kepada Bani
Israil.” (QS. Asy-Syu’ara: 57-59)
Maksudnya, bahwa Fir’aun berusaha keras dan mati-matian agar Musa
'alaihissalam tidak lahir ke dunia ini, bahkan dia mengutus beberapa orang
kabilah untuk mencari wanita-wanita yang sedang hamil dan mendata waktu
melahirkannya, sehingga tidak ada seorang wanita pun yang melahirkan anak
laki-laki melainkan akan dibunuh oleh orang-orang terlaknat tersebut.
Menurut Ahli Kitab (Kitab Perjanjian Lama): ‘Fir’aun menyuruh membunuh anak
laki-laki untuk memperlemah kekuatan Bani Israil, sehingga mereka tidak dapat
melawan, menghalang-halaangi, dan mengalahkan dirinya dan pengikutnya’. Yang
demikian itu masih perlu dikaji ulang, bahkan lebih cenderung manyimpang. Yang
benar,
Fir’aun mengeluarkan perintah untuk membunuh semua laki-laki itu setelah
diutusnya Musa 'alaihissalam, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:
فَلَمَّا جَآءَهُم بِالْحَقِّ مِنْ عِندَنَا قَالُوا اقْتُلُوا أَبْنَآءَ
الَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ وَاسْتَحْيُوا نِسَآءَهُمْ {25}
“Maka tatkala Musa datang kepada mereka membawa kebenaran dari sisi Kami
mereka berkata:"Bunuhlah anak-anak orang-orang yang beriman bersama dengan
dia dan biarkanlah hidup wanita-wanita mereka…”(QS.Al-Mu’min: 25)
Oleh karena itu, Bani Israil perbah berkata kepada Musa
'alaihissalam :
أُوذِينَا مِن قَبلِ أَن تَأْتِيَنَا وَمِن بَعْدِ مَاجِئْتَنَا{129}
"…Kami telah ditindas (oleh Fir'aun)
sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang…” (QS.Al-A’raf:129)
Yang benar pula, Fir’aun mengeluarkan perintah membunuh anak laki-laki,
pertama, karena dia takut akan lahirnya Musa 'alaihissalam .
Demikianlah, dan ketetapan taqdir
menyebutkan:”Hai Raja perkasa yang tertipu karena memiliki balatentara dan
kekuasaan yang angat luas, sesungguhnya Allah Yang Mahaagung, yang tidak dapat
dikalahkan dan ditentang serta tidak dapat dihindari ketetapan-Nya, Dia telah
menetapkan ketetapan yang pasti, bahwa kelahiran anak laki-laki itu (Musa)
adalah sesuatu yang pasti. Karena anak itu pula, Fir’aun telah membunuh yang
banyak jiwa, yang tidak terhitung jumlahnya. Sasungguhnya, hai Fir’aun, anak
itu tidak lain berada di rumah dan tempat tidurmu. Dia tidak makan dan minum
melainkan dari makanan dan minuman yang terdapat di tempat tinggalmu. Engkau
sendiri yang mengangkat anak itu sebagai anak angkatmu, mendidik dan
membesarkannya. Hingga akhirnya di tangannya pula, kebinasaanmu di dunia dan akherat
kelak, karena kamu telah menentang kebenaran yang dibawanya dank arena kamu
telah mendustakan apa yang diwahyukan kepadanya. Yang demikian itu agar kamu
dan juga seluruh ummat manusia megetahui bahwa Rabb pencipta langit dan bumi
itu akan melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya, Dia pula Yang Mahakuat lagi
Mahaperkasa, tiada daya, kekuatan serta upaya melainkan hanya milik-Nya semata,
dan tidak dapat ditentang.”
Banyak ahli tafsir yang mengatakan:”Masyarakat Qibthi pernah mengadu kepada
Fir’aun mengenai minimnya jumlah orang-orang Bani Israil, akibat pembantaian
dan pembinasaan anak laki-laki mereka. Dan mereka khawatir generasi tua mereka
akan bepergian sedangkan generasi mudanya dibantai. Kemudian Fir’aun
memerintahkan agar anak laki-laki dibunuh selama satu tahun dan dibiarkan satu
than berikutnya. Mereka menyebutkan bahwa Harun 'alaihissalam dilahirkan pada
tahun dibiarkannya anak laki-laki tetap hidup, sedangkan Musa 'alaihissalam
dilahirkan ketika semua anak laki-laki dibunuh. Hal itu menjadikan Ibu Musa
takut sehingga dia berhati-hati ketika hendak melahirkan anaknya dari sejak
awal khamilan. Setlah melahirkan, dia mendapatkan ilham untuk mengambil peti
guna menaruh anaknya. Lalu dia mengikat peti itu dengan tali, kebetulan tempat
tinggalnya tidak jauh dari sungai Nil. Dan dia masih tetap menyusuinya. Setelah
benar-benar merasa takut, dia meletakkan anaknya ke dalam peti yang sudah
dipersiapkan, lalu dia menghanyutkannya ke sungai, tetapidia masih tetap
memegang ujung tali yang mengikat peti terebut. Setelah yakin bahwa orang-orang
Fir’aun pergi, dia kembali menarik peti itu ke tepian.
(Kisah Shahih Para Nabi, Pustaka Imam
Syafi’i, Abu Yusuf Sujono)
SILSILAH KISAH NABI MUSA (Dihanyutkannya Nabi Musa 'Alaihis
Salam ke Sungai)
Rabu, 16 Desember 09
Allah
subhanahu wa ta'ala berfirman,
وَأَوْحَيْنَآ إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ
فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلاَتَخَافِي وَلاَتَحْزَنِي إِنَّا رَآدُّوهُ إِلَيْكِ
وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ {7} فَالْتَقَطَهُ ءَالُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ
لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا كَانُاوا
خَاطِئِينَ {8} وَقَالَتِ امْرَأَتُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِّي وَلَكَ
لاَتَقْتُلُوهُ عَسَى أَن يَنفَعَنَآ أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا وَهُمْ
لاَيَشْعُرُونَ {9}
“Dan Kami wahyukan (ilhamkan) kepada ibu Musa:"Susuilah dia,
dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil).Dan
janganlah kamu khawatir dan jangan (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya
Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para
rasul. Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya dia menjadi
musuh dan kesedihan bagi mereka.Sesungguhnya Fir'aun dan Haman beserta
tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. Dan berkatalah istri
Fir'aun:"(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu.Janganlah kamu
membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfa'at kepada kita atau kita ambil ia
menjadi anak", sedangkan mereka tiada menyadari.” (QS.Al-Qashash:9)
Wahyu yang domaksud dalam ayat di atas adalah ilham dan bimbingan, sebagaimana
yang difirmankan Allah
Subhanahu wa Ta'ala berikut ini:
وَأَوْحَى رَبُّكِ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ
بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ {68} ثُمَّ كُلِي مِن كُلِّ
الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلَلاً يَخْرُجُ مِن بُطُونِهَا شَرَابٌ
مُّخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَآءٌ لِّلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَةً
لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ {69}
“Dan Rabbmu mewahyukan kepada lebah:"Buatlah sarang-sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin
manusia".kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan
tempuhlah jalan Rabbmu yanng telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu
keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, didalamnya terdapat obat
yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda (kebesaran Rabb) bagi orang-orang yang memikirkan.”(QS.
An-Nahl:68-69)
Maksudnya, bukan wahyu kenabiam seprti yang dikemukakan Ibnu Hazm didalam kitab
beliau al-Fashl Bainal Milal wa Nihal dan beberapa ulama lainnya dari kalangan
Ahli Ilmu Kalam. Dan yang benar adalah pendapat pertama, (wahyu berarti ilham
dan bimbingan) sebagaimana yang diceritakan oleh Abu Hasan al-‘Asy-ari,
mengenai Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Maksudnya, ibunda Musa
'alaihissalam dibimbing ke arah yang telah
kami sebutkan tadi, lalu hati dan jiwanya ditenangkan agar tidak takut dan
bersedih hati. Diberitahukan kepadanya, meskipun pergi, sesungguhnya dia (Musa)
pasti akan Aku kembalikan lagi kepadamu, karena Allah hendak menjadikannya
sebagai seorang Nabi sekaligus Rasul, yang akan meninggikan kalimat-Nya di
dunia dan di akhirat.
Ibundanya melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Di mana pada suatu
hari dia menghanyutkan anak laki-lakinyaitu dengan cara meletakannya di peti,
lalu mengikatnya dengan tali, baru kemudian dia menghanyutkannya. Hingga
akhirnya anak (di dalam peti) itu melewati tempat tinggal Fir’aun.
فَالْتَقَطَهُ ءَالُ فِرْعَوْنَ …{8}
“Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun……”(QS. Al-Qashash: 8)
Allah Ta’ala berfirman:
ِ …لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا …{8}
…”Yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka..”(QS.Al-Qashash:
8)
Sebagian ulama mengatakan:”Huruf Laam tersebut merupakan Laam al-‘aaqibah.
Dan hal itu sangat jelas meskipun berkaitan/bergantung dengan firman-Nya:
فَالْتَقَطَهُ …{8}
“ Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun……”(QS. Al-Qashash: 8)
Jika dikatakan bahwa Laam itu bergantung pada kandungan pembicaraan, maka
itu berarti bahwa keluarga Fir’aun memungut bayi itu yang pada akhirnya menjadi
musuh dan kesedihan bagi mereka, sedang Laam itu Mu’alilah (memberikan
dampak/akbat) seperti yang lainnya.
Wallahu A’lam.”
Perkiraan yang kedua ini diperkuat oleh firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala:
….إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ…{8}
“…Sesungguhnya Fir'aun dan Haman……”(al-Qashash:8)
(Haman) Yaitu seorang menteri yang jahat
….وَجُنُودَهُمَا… {8}
“ …..beserta tentara keduanya…”(al-Qashash:8)
Yaitu, pengikut mereka berdua.
كَانُاوا خَاطِئِينَ {8}
“…Adalah orang-orang yang bersalah…”(al-Qashash:8)
Yaitu, yang bertolak belakang dengan kebenaran, sehingga mereka memang
berhak memperoleh hukuman dan kerugian tersebut.
Para ahli tafsir menyebutkan bahwa para
budak perempuan Fir’aun telah memungut Musa
'alaihissalam yang
dihanyutkan ke sungai dalam peti tertutup. Namun mereka tidak berani
membukanya, hingga mereka meletakkannya di hadapan isteri Fir’aun yang bernama
‘Asiyah
binti Muzahim. Setelah isteri Fir’aun membuka penutup peti tesebut dan
menyingkap tabirnya, dia melihat wajah cerah bersinar dengan cahaya kenabian
dan keagungan. Begitu melihatnya, dia langsung menyukai dan mencintainya,
sehingga pada saat datang Fir’aun bertanya:”Siapakah ini?”Fir’aun sempat
menyuruh untuk menyembelih anak tersebut, tetapi isterinya memintanya agar
tidak membunuhnya seraya berkata:
قُرَّتُ عَيْنٍ لِّي وَلَكَ…{9}
"…(Dia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu…
(QS.Al-Qashash:9)
Maka Fir’aun berkata kepadanya:”Bagimu hal itu mungkin saja benar, tetapi
bagiku itu sama sekali tidak benar.” Artinya, tidak ada kepentingan bagi Fir’aun
padanya.
Dan ucapan isterinya:
… عَسَى أَن يَنفَعَنَآ…{9}
“…Mudah-mudahan ia bermanfa'at bagi kita…”(QS.Al-Qashash:9)
Dengan demikian, Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah menganugerahkan apa
yang diharapkannya itu. Di dunia dia mendapatkan petunjuk melalui anak tersebut
(Musa), sedangkan di akherat, maka dia akan menempati Surga karenanya.
… أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا…{9}
“….Atau kita atau kita ambil ia menjadi anak…"(QS.Al-Qashash:9)
Yaitu, dengan cara mengadopsinya, karena keduanya belum dikaruniai
keturunan. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
…وَهُمْ لاَيَشْعُرُونَ…. {9}
“....Sedangkan mereka tiada menyadari….” (QS.Al-Qashash:9)
Maksudnya, mereka tidak mengetahui apa yang dikehendaki Allah
Subhanahu
wa Ta'ala terhadap mereka, dengan menjadikan mereka mau memungut anak yang
akan menjadi malapetaka besar bagi Fir’aun dan bala tentaranya?
Menurut Ahli Kitab (Perjanjian Lama), yang memungut dan memelihara Musa
adalah puteri Fir’aun dan bukan isterinya. Yang demikian ini termasuk kesalahan
dan penyimpangan mereka terhadap Kitab Allah
Subhanahu wa Ta'ala
(Kisah Shahih Para Nabi, Ibnu Katsir, Pustaka Imam Syafi’i hal 30-34. Abu
Yusuf Sujono)
KEMBALINYA MUSA 'Alaihissalam KE PANGKUAN IBUNYA
Senin, 04 Januari 10
وَأَصْبَحَ فُؤَادُ أُمِّ مُوسَى فَارِغًا إِن كَادَتْ لَتُبْدِي بِهِ
لَوْلآ أَن رَّبَطْنَا عَلَى قَلْبِهَا لِتَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ {10}
وَقَالَتْ لأُخْتِهِ قُصِّيهِ فَبَصُرَتْ بِهِ عَن جُنُبٍ وَهُمْ لاَيَشْعُرُونَ
{11} وَحَرَّمْنَا عَلَيْهِ الْمَرَاضِعَ مِن قَبْلُ فقَاَلَتْ هَلْ أَدُلُّكُمْ
عَلَى أَهْلِ بَيْتٍ يَكْفُلُونَهُ لَكُمْ وَهُمْ لَهُ نَاصِحُونَ {12}
فَرَدَدْنَاهُ إِلَى أُمِّهِ كَيْ تَقَرَّ عَيْنُهَا وَلاَتَحْزَنَ وَلِتَعْلَمَ
أَنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَيَعْلَمُونَ {13}
“Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa.Sesungguhnya hampir saja ia
menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya
ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah). Dan berkatalah ibu
Musa kepada saudara Musa yang perempuan:"Ikutilah dia".Maka kelihatan
olehnya Musa dari jauh, sedang mereka tidak mengetahuinya,dan Kami cegah Musa
dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(nya) sebelum itu;
maka berkatalah saudara Musa:"Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul
bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik
kepadanya?" Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya
dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah
benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS.al-Qashash
:10-13)
Ibnu Abbas
radhiyallahu 'anhu, Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Abu
‘Ubaidah, al-Hasan, Qatadah, adh-Dhahak, dan ulama lainnya , mengenai firman
Allah
Subhanahu wa Ta'ala
وَأَصْبَحَ فُؤَادُ أُمِّ مُوسَى فَارِغًا … {10}
“Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa…”(QS.al-Qashash: 10)
Mereka mengatakan:“Yaitu dari segala permasalahan dunia kecuali hanya diri
Musa
'alaihissalam saja.”
…إِن كَادَتْ لَتُبْدِي بِهِ… {10}
“…Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa…”
(QS.al-Qashash: 10)
Maksudnya, dia menampakkan rahasia itu dan menanyakan anaknya itu secara
terang-terangan.
... لَوْلآ أَن رَّبَطْنَا عَلَى قَلْبِهَا … {10}
“…Seandainya tidak Kami teguhkan hatinya…” (QS.al-Qashash: 10)
Maksudnya, Kami jadikan dia sabar dan Kami teguhkan pula hatinya.
…لِتَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ {10} وَقَالَتْ لأُخْتِهِ … {11}
“…Supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah). Dan
berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan…(QS.al-Qashash:
10-11)
Yaitu, anak perempuannya yang paling tua.
...ِ قُصِّيهِ…{11}
“…Ikutilah dia…”(QS.al-Qashash: 11)
Maksudnya ikutilah jejaknya dan cari berita tentang dirinya untukku
.…فَبَصُرَتْ بِهِ عَن جُنُبٍ… {11}
"…Maka kelihatan olehnya Musa dari jauh…”(QS. Al-Qashash: 11)
Saudara perempuannya itu sempat melihatnya, dan seakan-akan dia tidak
menginginkan Musa
'alaihissalam. Oleh karena itu, Allah
Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
…وَهُمْ لاَيَشْعُرُونَ… {11}
“…Sedang mereka tidak mengetahuinya.” (QS. Al-Qashash: 11)
Yang demikian itu terjadi karena setelah Musa
'alaihissalam tinggal
di rumah Fir’aun, wanita-wanita dekat Fir’aun ingin menyusuinya, tetapi Musa
menolak menetek pada mereka dan tidak pula mau makan. Melihat itu mereka
bingung menangani anak tersebut sehingga mereka berusaha keras memberikan makan
kepadanya, tetapi dia tetap saja menolak menetek dan mengambil makanan.
Selanjutnya, mereka pun bertukar pikiran dan berusaha memberinya makan dengan
segala cara yang memungkinkan, tetapi dia (Musa) tetap tidak mau. Sebagaimana
yang difirmankan-Nya:
وَحَرَّمْنَا عَلَيْهِ الْمَرَاضِعَ مِن قَبْلُ… {12}
“Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau
menyusui(nya) sebelum itu…”(QS. Al-Qashash: 12)
Kemudian mereka mengirimkan anak itu bersama beberapa kabilah dan beberapa
wanita ke pasar, mudah-mudahan di
sana
mereka mendapatkan wanita yang tepat menyusuinya. Ketika mereka tengah berdiri
di suatu tempat dengan menggendongnya, sedang orang-orang mengelilinginya,
tiba-tiba saudara (Musa) melihatnya, tetapi dia memperlihatkan seolah-olah dia
tidak mengenalnya, dan bahkan berkata:
…هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى أَهْلِ بَيْتٍ يَكْفُلُونَهُ لَكُمْ
وَهُمْ لَهُ نَاصِحُونَ {12}
"…Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan
memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?” (QS.
Al-Qashash: 12)
Ibnu Abbas
radhiyallahu 'anhuma mengatakan: Setelah saudara
perempuannya itu berkata demikian, mereka pun berkata kepadanya:”Dari mana kamu
tahu kalau mereka akan memelihara mereka dan berlaku baik terhadapnya?”Saudara
perempuannya itu menjawab:”Mereka hanya ingin membahagiakan raja dan
mengharapkan kebaikannya.” Kemudian mereka mengikuti wanita itu dan pergi
bersamanya ke rumah yang dimaksud. Lalu ibunda Musa langsung mengambilnya.
Ketika menyusuinya, bayi yang tidak lain adalah Musa itu lamgsung menyedot dan
meminum susunya. Mereka pun merasa sangat senang dan bahagia. Selanjutnya salah
seorang dari mereka pergi untuk menyampaikan kabar gembira kepada Asiyah. Maka
Asiyah pun memanggil wanita itu yang tidak lain adalah ibu Musa itu sendiri dan
menawarkan supaya dia mau tinggal bersamanya, tetapi ibu Musa menolak dengan
berkata:”Kammi mempunyai suami dan beberpa orang anak, yang tidak bisa aku
tinggalkan kecuali jika engkau membawa mereka bersamaku.”Kemudian istri Fir’aun
mengirim utusan untuk mengambil suami dan anak-anaknya.elah tinggal di
sana dan menyusui, dia
pun digaji dan diberi nafkah, pakaian, dan segalakebutuhannya. Hingga akhirnya,
Allah
Subhanahu wa Ta'ala menyatukan antara keduanya (Musa dan ibunya)
Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَرَدَدْنَاهُ إِلَى أُمِّهِ كَيْ تَقَرَّ عَيْنُهَا وَلاَتَحْزَنَ
وَلِتَعْلَمَ أَنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ{13}…
"Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan
tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah
benar….” (QS.al-Qashash: 13)
Yaitu, sebagaimana yang telah Kami (Allah) janjikan untuk mengembalikan Musa
kepadanya dan mengangkatnya sebagai Rasul. Hal itu merupakan bentuk
pengembaliannya dan itu pula yang menjadi bukti kebenaran kabar gembira tentang
kerasulannya. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Yakni, sebagaimana
Kami (Allah) telah menjanjikan untuk mengembalikannya (Musa) dan memberi
risalah kepadanya. Maka demikianlah cara pengembaliannya. Dan itu merupakan
dalil yang menunjukkan kebenaran berita gembira tentang risalahnya.
… وَلَكِنّ أَكْثَرَهُمْ لاَيَعْلَمُونَ {13}
َ
”…Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS.al-Qashash :13)
Allah mewahyukan kepada Musa
'alaihissalam pada suatu malam dan
mengajaknya berbicara. Dan berfirman kepadanya sebagai berikut:
وَلَقَدْ مَنَنَّا عَلَيْكَ مَرَّةً أُخْرَى {37} إِذْ أَوْحَيْنَآ
إِلَى أُمِّكَ مَايُوحَى {38} أَنِ اقْذِفِيهِ فِي التَّابُوتِ فَاقْذِفِيهِ فِي
الْيَمِّ فَلْيُلْقِهِ الْيَمُّ بِالسَّاحِلِ يَأْخُذْهُ عَدُوٌّ لِّي وَعَدُوٌّ
لَّهُ وَأَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِّنِّي وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِى {39}
“Dan sesungghnya Kami telah memberi nikmat kepadamu pada kali yang lain,
yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan,
Yaitu:"Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke
sungai(Nil), maka pasti sungai itu akan membawanya ke tepi, supaya diambil oleh
(Fir'aun) musuh-Ku dan musuhnya; Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih
sayang yang datang dari-Ku, dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.”(QS.
Thaha: 37-39)
Maksudnya, tidak ada seorang pun yang melihatnya kecuali akan mencintainya.
وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِى {39}
“…Dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.”(QS. Thaha:39)
Sejumlah ulama Salaf mengemukakan:”Yakni, diberi makan dan minum dengan
makanan yang baik-baik, diberi pakaian yang bagus dengan senantiasa berada
dalam pengawasan-Ku. Semua perlakuan terhadapmu itu berada dalam pemeliharaan
dan penjagaan-Ku, serta Kami jadikan dia mampu melakukan sesuatu yang tidak
mungkin bisa dilakukan kecuali dengan pertolongan-Ku saja.”
إِذْ تَمْشِي أُخْتُكَ فَتَقُولُ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَن
يَكْفُلُهُ فَرَجَعْنَاكَ إِلَى أُمِّكَ كَيْ تَقَرَّ عَيْنُهَا وَلاَتَحْزَنَ
وَقَتَلْتَ نَفْسًا فَنَجَّيْنَاكَ مِنَ الْغَمِّ وَفَتَنَّاكَ فُتُونًا
فَلَبِثْتَ سِنِينَ فِي أَهْلِ مَدْيَنَ ثُمَّ جِئْتَ عَلَى قَدَرٍ يَامُوسَى {40}
“(Yaitu) ketika saudaramu yang permpuan berjalan, lalu ia berkata kepada
(keluarga Fir'aun):"Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan
memeliharanya?". Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang
hatinya dan tidak berduka cita. Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu
Kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan…
(QS. Thaha :40)
Mengenai pembahasan tentang
cobaan ini, akan kami kemukakan lebih
lanjut pada pembahasan berikutnya, insya Allah. Hanya kepada-Nya kepercayaan
disandarkan dan kepada-Nya pula tawakkal ditujukan.
(Kisah Shahih Para Nabi, Ibnu Katsir, Pustaka Imam Syafi’i hal 34-39. oleh
Abu Yusuf Sujono)
SILSILAH NABI MUSA 'Alaihissalam
Jumat, 15 Januari 10
PERTOLONGAN NABI MUSA KEPADA SEORANG BANI ISRAIL TERHADAP ORANG QIBHTI
(MESIR)
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى ءَاتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ
نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ {14} وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِّنْ
أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلاَنِ هَذَا مِن شِيعَتِهِ وَهَذَا
مِنْ عَدُوِّهِ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِن شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ
عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ قَالَ هَذَا مِنْ عَمَلِ
الشَّيْطَانِ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُّضِلٌّ مُّبِينٌ {15} قَالَ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ
نَفْسِى فَاغْفِرْ لِي فَغَفَرَ لَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ {16}
قَالَ رَبِّ بِمَآ أَنعَمْتَ عَلَىَّ فَلَنْ أَكُونَ ظَهِيرًا لِلْمُجْرِمِينَ
{17}
“Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya
hikmah (kenabian) dan pengetahuan.Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik. Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika
penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang
laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan
seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir'aun).Maka orang yang dari golongannya
meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu
Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu.Musa berkata:"Ini adalah
perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu musuh yang menyesatkan lagi nyata
(permusuhannya)". Musa berdo'a:"Ya Rabbku, sesungguhnya aku telah
menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku".Maka Allah
mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Musa berkata:"Ya Rabbku, demi nikmat yang telah Engkau
anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi
orang-orang yang berdosa". (QS. Al-Qashash :14-17)
Setelah Allah
Subhanahu wa Ta'ala menceritakan bahwa Dia telah
menganugerahkan kepada ibunda Musa
'alaihissalam dengan mengembalikan
Musa ke pangkuannya dan menerangkan kebaikan yang telah Dia karuniakan
kepadanya, maka Allah
Subhanahu wa Ta'ala menceritakan:
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى … {14}
“Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya,…”(QS al-Qashash
:14)
Yakni, mulai sempurna fisik dan akhlaknya, yang menurut pendapat mayoritas
ulama, adalah usia empat puluh tahun. Allah
Subhanahu wa Ta'ala
memberikan hikmah dan pengetahuan kepadanya, dalam bentuk kenabian dan
kerasulan yang dulupernah disampaikan kepada ibundanya, yaitu ketika Dia
berfirman:
…إِنَّا رَآدُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ {7}
“…Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya
(salah seorang) dari para rasul”. (QS al-Qashash :7)
Kemudian Allah
Subhanahu wa Ta'ala menceritakan kepergian Nabi Musa
'alaihissalam
dari Mesir menuju negeri Madyan, dan menetap di
sana, hingga usianya benar-benar dewasa.
Kemudian Dia mengajaknya berbicara, serta memberikan kemuliaan dan penghormatan
kepadanya.
Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِّنْ أَهْلِهَا…{15}
“Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah,…” (QS.
Al-Qashash: 15)
Ibnu Abbas
radhiyallahu 'anhuma, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, Qatadah,
dan as-Suddi mengatakan:”Yaitu pada pertengahan siang hari.”Sementara dari Ibnu
Abbas
radhiyallahu 'anhuma”Yakni antara dua waktu Isya’”
فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلاَنِ … {15}
“…Maka didapatinya di dalam kota
itu dua orang laki-laki yang berkelahi…”(QS. Al-Qashash: 15)
Maksudnya, saling memukul.
…هذَا مِن َشِيعَتِهِ… {{15}
“
…Yang seorang dari golongannya (Bani Israil) …”(QS. Al-Qashash: 15)
Yaitu dari kalangan Bani Israil.
… وَهَذا مِنْ عَدُوِّهِ… {15}
“…Dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir'aun) …”(QS. Al-Qashash:
15)
Yaitu, seorang Qibthi (kaum fir’aun)
…فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِن شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ
عَدُوِّهِ… {15}
“…Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk
mengalahkan musuhnya…”(QS. Al-Qashash: 15)
Yang demikian terjadi karena di wilayah Mesir, Musa
'alaihissalam
memang terkenal dengan keberanian dan kegagahannya karena penisbatan dirinya
sebagai anak angkat Fir’aun dan didikannya di rumah raja lalim tersebut.
Sedangkan Bani Israil pun merasa bangga dengan dirinya karena mereka merasa
telah menyusuinya. Setelah orang Israil itu meminta tolong kepadanya atas
musuhnya dari bangsa Qibthi, Musa
'alaihissalam pun memenuhi permintaan
tersebut.
…فَوَكَزَهُ مُوسَى
“…Lalu Musa meninjunya, …”(QS. Al-Qashash: 15)
Mujahid
rahimahullah mengatakan:”Musa
'alaihissalam memukul
orang Qibthi itu dengan seluruh telapak tangannya.”Sedangkan Qatadah
rahimahullah
mengemukakan:”Musa
'alaihissalam memukulnya menggunakan tongkatnya.”
…فَقَضَى عَلَيْهِ…{15}
“…Maka matilah musuhnya itu…”(QS. Al-Qashash: 15)
Orang Qibthi itu adalah seorang kafir lagi menyekutukan Allah (musyrik). Dan
Musa
'alaihissalam sendiri pada prinsipnya tidak bermaksud membunuhnya,
tetapi hanya ingin memberi pelajaran dan peringatan. Oleh karena itu, Musa
berkata:
هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُّضِلٌّ مُّبِينٌ
{15} قَالَ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِى فَاغْفِرْ لِي فَغَفَرَ لَهُ إِنَّهُ
هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ {16} قَالَ رَبِّ بِمَآ أَنعَمْتَ عَلَىَّ …{17}
“…Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu musuh yang
menyesatkan lagi nyata (permusuhannya)". Musa berdo'a:"Ya Rabbku,
sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah
aku".Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Musa berkata:"Ya Rabbku, demi nikmat yang
telah Engkau anugerahkan kepadaku…”(QS. Al-Qashash: 15)
Yaitu, berupa keperkasaan dan kehormatan.
فَلَنْ أَكُونَ ظَهِيرًا لِلْمُجْرِمِينَ {17}
“…Aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi orang-orang yang
berdosa". (QS. Al-Qashash :17)
(Sumber: Kisah Shahih Para Nabi, Syaikh Salim bin I’ed al-Hilali, Edisi
terjemah Pustaka Imam Syafi’i, Disadur oleh Abu Yusuf Sujono)
SILSILAH NABI MUSA 'Alaihissalam (Persekongkolan Untuk Membunuh
Nabi Musa)
Jumat, 29 Januari 10
فَأَصْبَحَ فِي الْمَدِينَةِ خَآئِفًا يَتَرَقَّبُ فَإِذَا الَّذِي
اسْتَنصَرَهُ بِاْلأَمْسِ يَسْتَصْرِخُهُ قَالَ لَهُ مُوسَى إِنَّكَ لَغَوِيٌّ
مُّبِينٌ {18} فَلَمَّآ أَنْ أَرَادَ أَن يَبْطِشَ بِالَّذِي هُوَ عَدُوٌّ
لَّهُمَا قَالَ يَامُوسَى أَتُرِيدُ أَن تَقْتُلَنِي كَمَا قَتَلْتَ نَفْسًا
بِاْلأَمْسِ إِن تُرِيدُ إِلآ أَن تَكُونَ جَبَّارًا فِي اْلأَرْضِ وَمَاتُرِيدُ
أَن تَكُونَ مِنَ الْمُصْلِحِينَ {19} وَجَآءَ رَجُلٌ مِّنْ أَقْصَا الْمَدِينَةِ
يَسْعَى قَالَ يَامُوسَى إِنَّ الْمَلأَ يَأْتَمِرُونَ بِكَ لِيَقْتُلُوكَ
فَاخْرُجْ إِنِّي لَكَ مِنَ النَّاصِحِينَ {20} فَخَرَجَ مِنْهَا خَآئِفًا
يَتَرَقَّبُ قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ {21}
“Karena itu, jadilah Musa di kota
itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya), maka
tiba-tiba orang yang meminta pertolongan kemarin berteriak meminta pertolongan
kepadanya.Musa berkata kepadanya:"Sesungguhnya kamu benar-benar orang
sesat yang nyata (kesesatannya)". Maka tatkala Musa hendak memegang dengan
keras orang yang menjadi musuh keduanya, musuhnya berkata:"Hai Musa,
apakah kamu bermaksud hendak membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah
membunuh seorang manusia? Kamu tidak bermaksud melainkan hendak menjadi orang
yang berbuat sewenang-wenang di negeri (ini), dan tiadalah kamu hendak menjadi
salah seoramg dari orang-orang yang mengadakan perdamaian". Dan datanglah
seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas
seraya berkata:"Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding
tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang memberi nasehat kepadamu". Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa
takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdo'a:"Ya Rabbku,
selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu". (QS. Al-Qashash:
18-21)
Allah
Subhanahu wa Ta'ala menceritakan bahwa Musa
'alaihissalam
merasa benar-benar takut berada di Mesir. Yakni, takut kepada fir’aun dan bala
tentaranya, karena dia khawatir mereka mengetahui bahwa pembunuh seorang Qibthi
(kaum fir’aun) itu adalah dirinya. Padahal sebenarnya, pembunuhan itu dilakukan
untuk membela salah seorang Bani Israil. Sehingga hal itu akan memperkuat
perkiraan mereka bahwa Musa
'alaihissalam memang bagian dari mereka, dan
pasti hal itu hanya akan mengakibatkan munculnya permasalahan yang sangat
besar. Maka pagi-pagi buta Musa
'alaihissalam berangkat menuju ke
kota.
…خَآئِفًا يَتَرَقَّبُ…{18}
“…Merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya)… ”(QS.al-Qashash:
18)
Yaitu, sambil menoleh ke
sana
ke mari. Pada saat itulah orang Bani Israil yang kemarin meminta tolong
kepadanya itu berteriak lagi meminta pertolongan untuk melawan orang yang telah
menyerangnya. Maka Musa
'alaihissalam mencela dan memakinya atas
banyaknya perbuatan jahat dan tindakannya membuat keonaran. Musa
'alaihissalam
berkata kepadanya:
…إِنَّكَ لَغَوِيٌّ مُّبِينٌ {18}
"…Sesungguhnya kamu benar-benar orang sesat yang nyata
(kesesatannya)" (QS. Al-Qashash: 18)
Kemudian ketika orang Qibthi, yang merupakan musuh Musa
'alaihissalam
musuh Bani Israil itu hendak menyerangnya, maka Musa menahan dan menyelamatkan
orang Bani Israil itu darinya. Ketika Musa
'alaihissalam menghadap ke
orang Qibthi itu, maka orang Qibthi itu berkata:
قَالَ يَامُوسَى أَتُرِيدُ أَن تَقْتُلَنِي كَمَا قَتَلْتَ نَفْسًا بِاْلأَمْسِ
إِن تُرِيدُ إِلآ أَن تَكُونَ جَبَّارًا فِي اْلأَرْضِ وَمَاتُرِيدُ أَن تَكُونَ
مِنَ الْمُصْلِحِينَ {19}
“…(musuhnya) berkata:"Hai Musa, apakah kamu bermaksud hendak
membunuhku, sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia? Kamu tidak
bermaksud melainkan hendak menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di negeri
(ini), dan tiadalah kamu hendak menjadi salah seoramg dari orang-orang yang
mengadakan perdamaian".(QS. Al-Qashash: 19)
Sebagian ulama mengatakan:”Ucapan tersebut dilontarkan oleh orang Bani Israil
yang mengetahui apa yang telah dilakukan Musa
'alaihissalam kemarin.
Seolah-olah ketika ia menyaksikan Musa menghadap ke arah orang Qibthi itu,
orang Israil itu yakin bahwa Musa datang kepadanya karena celaan yang diberikan
sebelum ini, yaitu ucapannya:
…إِنَّكَ لَغَوِيٌّ مُّبِينٌ {18}
"…Sesungguhnya kamu benar-benar orang sesat yang nyata
(kesesatannya)" (QS. Al-Qashash: 18)
Maka diapun mengatakan apa yang dikatakan kepada Musa
'alaihissalam
seraya menjelaskan apa yang telah diperbuatnya terhadap orang Qibthi
sebelumnya. Kemudian orang Qibthi itu pun pergi, Lalu Fir’aun mencari Musa
'alaihissalam
untuk membuat perhitungan. Dan inilah yang tidak disebutkan oleh banyak orang
selain dia. Mungkin juga orang yang melontarkan ucapan tersebut adalah orang
Qibthi itu, di mana ketika dia melihat Musa menghadap ke arahnya, maka dia
merasa takut darinya. Dia pun melihat adanya sikap dukungan dan pembelaan Musa
'alaihissalam
kepada Bani Israil. Lalu dengan berdasar pada prasangka, orang Qibthi itu
mengatakan:”Mungkin dia inilah pembunuh orang Qibthi kemarin.”Atau mungkin saja
dari teriakan orang Israil di atas, orang Qibthi itu mengerti bahwa dia itulah
pembunuhnya.
Maksudnya Fir’aun mendengar laporan bahwa Musa yang membunuh orang Qibthi
kemarin. Maka dia mengutus beberapa orang untuk mencarinya. Tetapi mereka
didahului oleh seorang pemberi nasihat y6ang mempunyai jarak lebih dekat dengan
Musa
'alaihissalam.Waallahu a’lam. :
وَجَآءَ رَجُلٌ مِّنْ أَقْصَا الْمَدِينَةِ يَسْعَى ….{20}
“Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas…” (QS. Al-Qashash:
20)
Yakni, berlari kecil dan merasa kasihan kepadanya seraya berkata:
… يَامُوسَى إِنَّ الْمَلأَ يَأْتَمِرُونَ بِكَ لِيَقْتُلُوكَ فَاخْرُجْ … {20}
"Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang
kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah …” (QS. Al-Qashash: 20)
Dari
kota ini.
...إِنِّي لَكَ مِنَ النَّاصِحِينَ {20}
“…Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat
kepadamu(orang yang tulus dalam memberi nasehat)…” QS. (Al-Qashash: 20)
Yakni, terhadap apa yang aku katakan kepadamu.
Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
…فَخَرَجَ مِنْهَا خَآئِفًا يَتَرَقَّبُ…{21}
“…Maka keluarlah Musa dari kota
itu dengan rasa takut…” (QS. Al-Qashash: 21)
Maksudnya, dia pergi meninggalkan
kota
Mesir dengan segera tanpa memperoleh petunjuk jalan dan bahkan dia tidak
mengenal jalan sama sekali. Maka dia berdo’a:
… رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ {21}
"…Ya Rabbku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim
itu". (QS. Al-Qashash: 21)
(
Sumber: Kisah Shahih Para Nabi, Syaikh Salim al Hilali, Edisi terjemah
Pustaka Imam Syafi’i, disadur oleh Abu Yusuf Sujono)
KISAH NABI MUSA AS DAN NABI HARUN AS (1-3)
Rabu, 23 April 08
Allah telah menceritakan kisah Nabi Musa AS bin Imran bersama saudaranya
Nabi Harun AS secara panjang lebar, dan Allah menceritakan kisah-kisahnya dalam
beberapa tempat di dalam kitab-Nya (al-Qur’an) dengan
gaya bahasa yang berbeda baik yang singkat
ataupun yang panjang lebar sesuai dengan konteksnya. Dalam Al-Qur’an tidak
terdapat kisah yang porsi penuturannya lebih banyak dari kisah Nabi Musa AS,
karena ia harus menghadapi Fir’aun dan bala tentaranya dan harus menghadapi kaum
Bani Israil yang sangat besar tantangannya. Ia merupakan salah satu nabi
terbesar dari kalangan Bani Israil. Syari’at serta kitabnya adalah Taurat. Ia
menjadi rujukan para nabi dan para ulama dari kalangan Bani Israil dan
pengikutnya lebih banyak dari pengikut para nabi yang lainnya, selain Nabi
Muhammad SAW. Ia memiliki kekuatan yang besar dalam menegakan agama Allah serta
menyerukannya dan memiliki semangat yang tinggi yang tidak dimiliki terhadap
utusan yang lainnya.
Nabi Musa AS dilahirkan di saat Fir’aun memperlakukan Bani Israil secara
sewenang-wenang, dimana ia menyembelih bayi laki-laki yang baru dilahirkan dari
Bani Israil dan ia membiarkan bayi wanita untuk dijadikan pelayan dan
dihinakan.
Saat ibunya melahirkannya, maka ia dihinggapi perasaan takut yang luar biasa,
karena Fir’aun menyebarkan mata-mata untuk mengawasi para wanita dan bayi-bayi
mereka. Rumahnya terletak di tepi sungai Nil, dan saat ia melahirkannya maka
Allah mengilhaminya supaya meletakkan bayinya dalam sebuah peti; jika merasa
takut akan diketahui seseorang, kemudian ia menghanyutkannya ke sungai Nil
serta mengikatnya dengan tali supaya tidak terbawa arus sungai yang sangat
deras. Di antara kasih sayang Allah Ta’ala kepada ibunya, bahwa Allah Ta’ala
mewahyukan kepadanya,
“Dan janganlah kamu khawatir dan jangan (pula)
bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan
menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (Al-Qashash: 7).
Setelah ibunya menghanyutkan peti tersebut, maka pada suatu hari tali pengikat
peti tersebut terlepas, sehingga peti yang berisi Nabi Musa AS tersebut hanyut
terbawa air. Di antara kekuasaan Allah ialah menjatuhkan Nabi Musa AS di tangan
keluarga Fir’aun dan membawanya kepada istri Fir’aun yang bernama Asiyah.
Ketika istri Fir’aun melihatnya, maka ia langsung jatuh hati kepadanya dengan
kecintaan yang luar biasa. Allah telah menumbuhkan perasaan cinta di dalam
hati-hati. Berita itu tersebar luas sehingga terdengar oleh Fira’un, dan ia
memintanya dengan tujuan untuk membunuhnya. Istrinya berkata, “Janganlah engkau
membunuhnya, karena ia merupakan penyejuk mata hati bagiku dan bagimu,
mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi kita atau kita mengangkatnya sebagai anak.”
Dengan sebab itu; maka keduanya menyelamatkan Nabi Musa AS dari pembunuhan
mereka. Hal tersebut merupakan langkah dan pendahuluan yang baik dari suatu
usaha yang patut disyukuri di sisi Allah dan hal itu merupakan sebab datangnya
hidayah dan tumbuhnya keimanan kepada istri Fir’aun terhadap Nabi
Musa AS
di kemudian hari.
Adapun berkenaan dengan ibunya Nabi Musa AS, maka ia merasa khawatir mendengar
kabar itu serta hatinya diliputi perasaan cemas, sehingga kesabarannya hampir
saja hilang,
“Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja
ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya,
supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah). Dan
berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: “Ikutilah dia.” (Al-Qashash:
10-11). Yakni carilah berita tentangnya.
Istrinya Fir’aun telah mendatangkan sejumlah wanita untuk menyusui Nabi Musa
AS, tetapi Nabi Musa AS tidak mau menghisap puting susu mereka sehingga ia
mengalami kehausan dan kelaparan. Akhirnya mereka membawanya ke jalan dengan
harapan mudah-mudahan ada seorang wanita yang melintas yang dapat menyusuinya.
Kemudian saudara perempuan ibunya Nabi Musa AS mendekat dan mengarahkan
pandangannya ke arah Nabi Musa AS dari arah samping, tetapi mereka tidak
mengetahui perbuatannya itu. Ketika ia mendatanginya serta mengetahui tujuan
mereka dari informasi yang dituturkan oleh sebagian dari mereka bahwa mereka
sedang mencari seorang wanita yang dapat menyusui Nabi Musa AS, maka ia berkata
kepada mereka,
“Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan
memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?” Maka Kami
kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita.” (Al-Qashash:
12-13).
Kemudian dalam
surat
ini (Al-Qashash) Allah menuturkan kisah yang rinci dan jelas mengenai bagaimanakah
perubahan keadaan Nabi Musa AS, dan untuk mengetahuinya cukup dengan membaca
maknanya secara cermat karena maknanya sudah sangat jelas serta detail.
Tidaklah Allah menjelaskan kepada kita dengan detail, kecuali supaya kita dapat
mengambil manfaat dan pelajaran dari kisah tersebut. Adapun berkenaan dengan
pelajaran dan faidah yang terkandung di dalamnya sangatlah banyak dan kami
hanya akan mengemukakan sebagiannya. BERSAMBUNG
KISAH NABI MUSA AS DAN NABI HARUN AS (2-3)
Adapun faidah yang dapat diambil dari kisah Nabi Musa AS adalah:
Kasih sayang Allah kepada ibunya Nabi Musa AS dengan memberinya ilham untuk
menyelamatkan putranya (dari pembunuhan). Kemudian Allah memberinya kebahagiaan
dengan mengembalikan putranya ke pangkuannya dengan menyusuinya, menerima upah
menyusui serta disebut sebagai ibunya menurut syara’ dan pandangan manusia,
sehingga hal itu menentramkan hatinya serta menambah keimanannya. Dalam
kejadian tersebut terdapat pengakuan terhadap kebenaran firman Allah Ta’ala,
“Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.” (Al-Baqarah:
216). Yakni Allah SWT tidak membenci ibunya Nabi Musa AS dengan menjatuhkan
puteranya (Nabi
Musa AS) ke tangan keluarga Fir’aun; dan di balik
kejadian itu, maka tampaklah akibat dan pengaruhnya yang baik.
Faidah lainnya, bahwa tanda-tanda kekuasaan Allah dan pelajaran yang terdapat
dalam peristiwa yang menimpa umat-umat terdahulu mendatangkan faidah dan
menjadi pelita bagi kaum mukminin, dan Allah menceritakan kisah-kisah umat-umat
terdahulu sebagai pelajaran bagi kaum mukminin, sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman,
“Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir'aun
dengan benar untuk orang-orang yang beriman.” (Al-Qashash: 3).
Faidah lainnya, bahwa jika Allah menghendaki sesuatu, niscaya Ia akan
menyiapkan sebab-sebabnya dan memberikannya sedikit demi sedikit secara
berangsur-angsur dan tidak akan memberikannya sekaligus.
Faidah lainnya, bahwa umat yang lemah meskipun tingkat kelemahannya mencapai
puncaknya tidak semestinya memelihara kelemahannya; sehingga malas berusaha
dalam memenuhi hak-haknya serta tidak berputus asa untuk meraih kedudukan yang
lebih tinggi khususnya jika mereka menjadi orang-orang yang teraniaya,
sebagaimana Allah telah membebaskan Bani Israil dari kelemahannya serta
penghambaannya terhadap Fir’aun dan para pembantunya dari kalangan mereka dan
Allah mengokohkan mereka di bumi dan menguasakan mereka atas negeri mereka.
Faidah lainnya, bahwa suatu umat selama berada dalam posisi tertindas dan
terjajah niscaya tidak dapat menuntut haknya, sehingga tidak menunaikan urusan
agamanya dan tidak pula urusan dunianya.
Faidah lainnya, bahwa perasaan takut yang alami adalah akhlak yang tidak akan
menafikan dan menghilangkan keimanan seperti yang terjadi pada ibunya Nabi Musa
AS karena merasa takut dengan kejadian yang menimpa putranya.
Faidah lainnya, bahwa keimanan itu terkadang bertambah dan terkadang berkurang,
berdasarkan firman Allah,
“Supaya ia termasuk orang-orang yang percaya
(kepada janji Allah).” (Al-Qashash: 10). Yang dimaksud dengan iman
(percaya) dalam ayat ini adalah bertambah keimanannya dan ketentramannya.
Faidah lainnya, bahwa di antara ni’mat Allah SWT yang besar kepada hamba-Nya
adalah dengan memberinya keteguhan hati di saat menghadapi sesuatu yang
menggelisahkan dan menakutkan. Ketika keimanan dan pahalanya bertambah, maka
kondisinya itu memungkinkannya melahirkan perkataan dan perbuatan yang benar
dan meneguhkan pendirian dan pikirannya. Sedang orang yang tidak berhasil mendapatkan
keteguhan tersebut, niscaya kegelisahan serta ketakutannya akan menyempitkan
pikirannya dan menumpulkan akalnya, sehingga dalam kondisi demikian ia akan
menganggap dirinya tidak bermanfaat.
Faidah lainnya, bahwa seseorang walaupun mengetahui bahwa qadha dan qadar itu
adalah sesuatu yang hak dan janji Allah kepadanya pasti benar, tetapi ia tidak
boleh mengabaikan sebab-sebab yang bermanfaat (dalam menyelesaikan persoalan
yang dihadapinya), karena sebab-sebab dan usaha di dalamnya adalah bagian dari qadar
(taqdir) Allah. Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada ibunya Nabi
Musa AS;
bahwa Ia akan mengembalikan putranya kepadanya. Meskipun demikian ketika
keluarga Fir’aun menemukan putranya, maka ibunya Nabi Musa AS tetap
mengusahakan sebab-sebab yang dapat menyelamatkan puteranya dengan mengutus
saudara perempuannya untuk mengikuti atau mengawasinya serta mengerjakan
sebab-sebab yang sesuai dengan kondisi yang dihadapinya saat itu.
Faidah lainnya, bahwa diperbolehkan bagi kaum wanita pergi ke luar rumah untuk
memenuhi sejumlah keperluannya dan berbicara kepada kaum laki-laki jika tidak
ada sesuatu yang dikhawatirkan, sebagaimana yang dilakukan oleh saudara
perempuan Nabi Musa AS dan kedua puteri ahli Madyan (Nabi Syu’aib AS).
Faidah lainnya, bahwa diperbolehkan menerima bayaran (upah) mengasuh serta
menyusui, sebagaimana yang dilakukan oleh ibunya Nabi Musa AS, karena syari’at
umat sebelum kita adalah syari’at bagi kita selama dalam syari’at kita tidak
ada ketentuan hukum yang merubahnya.
Faidah lainnya, bahwa membunuh orang kafir yang telah mengadakan perjanjian
baik melalui akad atau tradisi tidak dibolehkan, karena Nabi Musa AS juga
merasa menyesal atas pembunuhan yang dilakukannya terhadap orang Qibthi dan ia
memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dari perbuatan tersebut.
Faidah lainnya, bahwa orang yang membunuh jiwa-jiwa tanpa alasan yang
dibenarkan termasuk orang yang lalim yang selalu membuat kerusakan di muka
bumi, meskipun tujuannya ialah menghindari ancaman dan meskipun ia menduga
bahwa pembunuhan itu mendatangkan kemaslahatan sehingga ada alasan syara’ yang
membolehkan pembunuhan jiwa tersebut.
Faidah lainnya, bahwa memberitahu orang lain mengenai peristiwa yang akan
menimpanya atau pembicaraan menyangkut dirinya dengan tujuan sebagai peringatan
baginya mengenai keburukkan yang akan menimpanya tidaklah termasuk namimah
(mengadu domba), bahkan terkadang hal itu termasuk sesuatu yang wajib,
sebagaimana Allah ‘Azza Wa Jalla menceritakan berita yang disampaikan seorang
laki-laki yang datang dari pinggir kota yang berusaha memberi peringatan kepada
Nabi Musa AS dengan tujuan berterima kasih kepadanya.
Faidah lainnya, bahwa jika seseorang merasa khawatir dengan pembunuhan yang
akan menimpanya tanpa sesuatu alasan yang dibenarkan (agama) sehubungan dengan
keberadaannya di suatu tempat, hendaklah ia tidak menjatuhkan dirinya dalam
kerusakan dan menyerah pada kerusakan, melainkan ia harus pergi dari tempat itu
jika mampu; seperti yang dilakukan oleh Nabi Musa AS.
Faidah lainnya, bahwa jika seseorang dengan terpaksa harus melakukan salah satu
dari dua kerusakan, hendaklah ia menentukan kerusakan yang lebih ringan
resikonya dengan menolak kerusakan yang lebih besar serta lebih mengerikan.
Karena ketika Nabi Musa AS harus menetapkan suatu tindakan antara ia tetap
tinggal di Mesir dengan resiko akan dibunuh atau ia pergi ke negeri lain yang
jauh yang tidak diketahui jalan menuju ke negeri tersebut, dimana tidak ada
petunjuk yang menunjukinya selain petunjuk Rabbnya. Perlu diketahui, bahwa
tindakan itu diambil karena mengharapkan keselamatan, bukan karena Nabi Musa AS
ingin melengkapi kesalahannya.
Faidah lainnya, bahwa di dalam kisah tersebut terdapat peringatan secara
tersirat; bahwa seseorang yang mengkaji suatu ilmu; ketika membutuhkan
pengamalan atau pembicaraan mengenai ilmu tersebut, sedang menurut pandangannya
tidak ada salah satu pendapat pun yang lebih shahih di antara dua pendapat yang
ada maka hendaklah ia memohon petunjuk kepada Rabbnya dan memohon kepada-Nya
supaya menunjukinya ke arah pendapat yang benar setelah ia menghendaki
kebenaran dengan hatinya dan mengkajinya dengan seksama, karena sesungguhnya
Allah tidak akan mengecewakan permohonannya dan tidak akan menggagalkan
usahanya, sebagaimana yang dilakukan Nabi Musa AS ketika bermaksud pergi ke
negeri Madyan, dimana ia tidak mengetahui jalan menuju ke negeri tersebut,
seraya berkata,
“Mudah-mudahan Rabbku memimpinku ke jalan yang benar.” (Al-Qashash:
22). Kemudian Allah menunjukinya serta memberinya apa yang menjadi harapannya.
Faidah lainnya, bahwa seseorang yang memberikan kasih sayang serta melakukan
kebaikan terhadap mahluk baik yang dikenalnya atau yang tidak dikenalnya
termasuk akhlak para nabi, dan dari sekian banyak kebaikan itu ialah memberikan
pertolongan berupa memberi minum binatang ternak; terutama menolong orang yang
lemah, sebagaimana yang dilakukan Nabi Musa AS terhadap kedua puteri ahli
Madyan (Nabi Syu’aib AS) ketika menolong keduanya mengambilkan air minum di
saat ia melihat keduanya tidak mampu memberi minum binatang ternak keduanya
sebelum para pengembala yang lainnya memulangkan binatang ternak mereka.
Faidah lainnya, bahwa sebagaimana Allah SWT mencintai seseorang yang memohon
dengan bertawasul kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya dan
ni’mat-ni’mat-Nya baik secara umum maupun secara khusus, maka Allah juga
mencintai seseorang yang memohon dengan bertawasul kepada-Nya dengan menuturkan
kelemahan, ketidakmampuan, kefakiran serta ketidaksanggupannya mencapai sesuatu
yang bermanfaat baginya dan menolak kemadharatan dari dirinya, sebagaimana yang
dikatakan Nabi Musa AS,
“Ya Rabbku sesungguhnya aku sangat memerlukan
sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (Al-Qashash: 24). Karena
permohonan yang seperti itu memperlihatkan ketawadhuan, ketentraman serta
kebutuhan terhadap Allah yang menjadi tujuan setiap hamba.
Faidah lainnya, bahwa kehidupan dan balasan yang baik selalu menjadi jalan
umat-umat yang shalih.
Faidah lainnya, bahwa jika seseorang mengerjakan suatu amal kebaikan dengan
ikhlas karena Allah Ta’ala, kemudian ia memperoleh balasan karenanya; tanpa ia
maksudkan amalnya itu untuk mendapatkan balasan tersebut, maka ia tidak boleh
mencelanya dan balasan itu tidak akan mengurangi keikhlasan dan pahala amalnya,
sebagaimana halnya Nabi Musa AS juga menerima balasan dari ahli Madyan (Nabi
Syu’aib AS) atas kebaikannya yang tidak dimintanya dan tidak memintanya agar
memberikan upah yang lebih tinggi.
Faidah lainnya, bahwa dibolehkan memberikan upah atas setiap amal yang telah
diketahui manfaatnya yang dikerjakan dalam waktu tertentu menurut adat
kebiasaan, dan dibolehkan memberikan upah dengan nikah, seperti yang dikatakan
oleh ahli Madyan (Nabi Syu’aib AS),
“Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan
kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini.” (Al-Qashash: 27)
Dibolehkan bagi seseorang meminang seorang laki-laki untuk puterinya dan
sebaliknya asalkan ia termasuk walinya dan hal itu tidak mengurangi keabsahan
pinangan, bahkan hal itu terkadang mendatangkan manfaat dan kesempurnaan
seperti yang dilakukan ahli Madyan (Nabi Syu’aib AS) terhadap Nabi
Musa AS.
Faidah lainnya, bahwa firman Allah SWT,
“Salah seorang dari kedua wanita itu
berkata, “Perkataan salah seorang puteri Nabi Syu’aib AS, “Ya bapakku ambillah
ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang
paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat
lagi dapat dipercaya.” (Al-Qashash: 26) Dengan kedua sifat tersebut niscaya
seluruh pekerjaan akan selesai dengan sempurna. Seluruh pekerjaan baik yang
berhubungan dengan pemerintahan, pelayanan, industri serta pekerjaan-pekerjaan
lainnya yang memerlukan penjagaan serta pengawasan terhadap para pekerja dan
pekerjaan mereka. Jika dalam diri seseorang berkumpul dua sifat, yaitu kuat
dalam melaksanakan pekerjaan itu sesuai dengan kemestiannya serta dapat
dipercaya dalam melaksanakannya niscaya pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan
sempurna, kemudian tujuannya atau hasilnya niscaya sesuai dengan yang
diharapankan. Sedangkan penyebab suatu kegagalan dan kekurangan dalam
menyelesaikan perkerjaan dan dalam mencapai hasil yang diharapkan karena adanya
kekurangan pada kedua sifat tersebut atau pada salah satunya.
Faidah lainnya, bahwa di antara akhlak yang agung dan terpuji adalah berlaku
baik terhadap mahluk, di samping berlaku baik terhadap semua orang yang
memiliki hubungan dengan dirimu, seperti: pembantu, tetangga, istri, anak,
pekerja dan yang lainnya. Juga termasuk akhlak yang agung dan terpuji adalah
meringankan pekerjaan dari pekerja. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah
Ta’ala,
“… maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (Al-Qashash: 27).
Dalam ayat tersebut terkandung faidah, bahwa tidaklah menjadi masalah bagi
seorang pekerja menginginkan bayaran dan upah dengan memperlihatkan dirinya
sebagai pekerja yang baik dalam melaksanakan pekerjaannya dengan syarat ia
jujur dalam melaksanakannya.
Faidah lainnya, bahwa diperbolehkan melangsungkan akad yang berkaitan dengan
masalah upah serta yang lainnya tanpa dihadiri saksi, sebagaimana firman Allah
Ta’ala,
“Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan.” (Al-Qashash:
28). Hanya saja adanya saksi dapat memelihara hak dan mengurangi perselisihan,
karena pihak-pihak yang terlibat dalam suatu akad memiliki kedudukan dan hak
yang berbeda.
Faidah lainnya, bahwa tanda-tanda kekuasaan Allah yang nyata; yang dijadikan
Allah sebagai penguat atas kebenaran yang dibawa Nabi Musa AS adalah: merubah
tongkatnya seperti telah diketahui menjadi
“seekor ular yang merayap dengan
cepat.” (Thaha: 20). Kemudian Allah mengembalikannya kepada keadaan semula.
Allah juga menjadikan tangan Nabi Musa AS ketika dimasukan ke sakunya, maka
tangannya itu berubah menjadi putih bersih tanpa ada cacat sedikitpun di
hadapan orang-orang yang melihatnya. Juga di antara rahmat Allah dan
perlindungan-Nya terhadap Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS, bahwa keduanya
diselamatkan dari kejahatan Fir’aun dan para penguasanya. Juga Allah telah
membelah lautan ketika Nabi Musa AS memukulnya dengan tongkatnya hingga
membentuk dua belas buah jalan, sehingga Nabi Musa AS beserta para pengikutnya
dapat menyembaranginya dengan selamat, sedang Fir’aun serta para pengikutnya
mengalami kebinasaan. Masih banyak tanda kekuasaan Allah yang lainnya sebagai
bukti dan tanda kekuasaan-Nya bagi orang-orang yang berkenan melihat atau
menyaksikannya dan sebagai bukti bagi orang-orang yang mau mendengarkan
firman-Nya, dimana sumber-sumber keyakinan yang agung yaitu kitab-kitab suci
samawi telah menuturkan dan menjelaskannya serta seluruh generasi di sepanjang
masa telah menceritakannya, dan tidaklah ada yang mengingkari tanda-tanda
kekuasaan Allah kecuali orang bodoh yang sombong dan kufur. Semua tanda-tanda
kekuasaan Allah yang diperlihatkan para nabi dimaksudkan untuk menguatkan
kebenaran risalah yang dibawa oleh mereka.
Faidah lainnya, bahwa tanda-tanda kekuasaan Allah yang menunjukkan kebenaran
risalah para nabi (mu’jizat), karamah para wali, kejadian-kejadian yang diperlihatkan
oleh Allah di luar jangkauan akal seperti: perubahan sebab-sebab, atau
terhalangnya sebab-sebab, atau kebutuhan kepada sebab-sebab yang lain, atau
adanya sejumlah penghalang yang menghalangi terlaksananya sebab-sebab tersebut,
semuanya itu merupakan bukti nyata yang menunjukkan keesaan Allah dan
sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan tidak ada satu pun
peristiwa yang agung serta tidak juga yang hina yang keluar dari jangkauan
kekuasaan Allah. Semua mu’jizat, karamah dan perubahan yang terjadi tidak
menafikan sesuatu yang telah diciptakan Allah di alam ini seperti sebab-sebab
yang dapat diindera serta aturan-aturan yang telah diketahui, dan kamu
sekali-kali tidak akan menemukan perubahan serta pergantian pada sunnah
(ketentuan hukum) Allah.
KISAH NABI MUSA AS DAN NABI HARUN AS (3-3)
Sunnah Allah dalam seluruh peristiwa baik yang terjadi di masa lampau maupun
di masa yang akan datang terbagi dua bagian, yaitu:
Pertama, sejumlah peristiwa, segala sesuatu yang ada di jagad (alam
semesta), hukum-hukum syari’at, hukum-hukum taqdir dan hukum-hukum balasan
tidak akan berubah dari apa yang telah diketahui manusia, dan mereka mengetahui
sebab-sebabnya. Bagian ini juga tercakup dalam qadar dan qadhanya Allah SWT.
Dari pengetahuan ini dapat diambil faidah yaitu mengetahi kesempurnaan
kebijaksanaan Allah dalam penciptaan dan syari’at-Nya. Berkenaan dengan sebab
dan akibat, bahwa orang yang menempuh jalan-jalannya dengan sempurna, niscaya
akan memetik hasil dan buahnya. Sedang orang yang tidak menempuhnya atau
menempuhnya dengan tidak sempurna, niscaya ia tidak akan memetik hasil atau
buahnya yang menyertai amal-amal baik menurut hukum syari’at maupun hukum
taqdir. Berkaitan dengan hal tersebut, maka diwajibkan bagi seorang hamba menemukan
dan mengusahakan sebab-sebab yang bersifat keagamaan serta keduniaan yang
bermanfaat lalu dibarengi dengan permohonannya kepada Allah serta menghaturkan
pujian kepada Rabbnya supaya memberinya kemudahan serta dimudahkan
sebab-sebabnya atau alat-alat yang dipergunakannya sesuai dengan kemampuannya.
Kedua, kejadian-kejadian sebagai mu’jizat para nabi yang terjadi secara
berturut-turut dalam selang waktu; yang tidak akan terjadi kejadian serupa pada
seluruh berita dan seluruh generasi mengetahuinya. Demikian juga halnya dengan
karamah (kemuliaan) yang dikaruniakan Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya
seperti dikabulkannya sejumlah permohonan, dihilangkannya sejumlah penderitaan,
tercapainya keinginan yang bermacam-macam, terhindarnya sejumlah rintangan yang
tidak mampu dihindari oleh seorang hamba, terbukanya pintu-pintu Rabbani,
turunnya ilham-ilham Ilahi serta memancarnya cahaya-cahaya yang Allah pancarkan
di dalam hati mahluk-mahluk-Nya tertentu, sehingga mereka mendapatkan
keyakinan, ketentraman serta ilmu yang bermacam-macam yang tidak dapat dicapai
hanya dengan pencarian dan mengerjakan sebab-sebab. Di antara pertolongan Allah
kepada para rasul dan pengikut-pengikut mereka dan tipu daya-Nya kepada
musuh-musuh mereka merupakan bukti pada kebanyakan waktu. Sunnah Allah pada
bagian yang ini di hadapan mahluk bukanlah merupakan petunjuk yang mengarahkan
mereka kepada sebab-sebab terjadinya kejadian-kejadian tersebut dan pada
dasarnya mereka tidak akan dapat mengetahui hakikatnya, karena kejadian-kejadian
itu semata-mata karena kekuasaan Allah Yang Maha Agung lagi Maha Kuasa atas
segala sesuatu; yang di dalamnya termasuk menciptakan sebab-sebab, hukum-hukum
serta ketentuan-ketentuan di luar jangkauan pikiran mahluk. Penginderaan dan
percobaan mereka dari berbagai segi, niscaya tidak akan mengantarkan mereka
kepada pengetahuan mengenai hakikat kejadian-kejadian itu. Dengan
kejadian-kejadian tersebut semestinya mereka beriman kepada para rasul dari
rasul yang pertama hingga rasul yang terakhir dan mengikuti petunjuk para rasul
baik mereka yang hidup terdahulu maupun mereka yang hidup kemudian. Dengan
kejadian-kejadian itu maka diketahuilah keagungan Allah dan sesungguhnya
ubun-ubun setiap hamba berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, sehingga apa yang
dikehendaki Allah niscaya terjadi serta apa yang tidak dikehendaki-Nya niscaya
tidak akan terjadi. Juga dengan kejadian-kejadian tersebut dapat diketahui
kebenaran risalah yang dibawa para rasul. Juga dengan kejadian-kejadian
tersebut dapat diketahui sunnah Allah pada bagian yang pertama. Juga dengan
kejadian-kejadian tersebut dapat diketahui bahwa tidak ada jalan bagi
hamba-hamba Allah di dunia ini untuk mengetahui hakikat kejadian hari kiamat
dan hakikat surga dan neraka, melainkan mereka hanya mengetahui sebatas
pengetahuan yang telah diajarkan para rasul dan yang telah diberitakan
kitab-kitab suci, dan tidak ada jalan bagi penghuni bumi untuk mengetahui
hakikat penghuni langit. Juga tidak ada jalan bagi mereka (penghuni bumi) untuk
dapat menghidupkan orang-orang yang mati serta mengadakan ruh-ruh pada
benda-benda mati, dimana kejadian-kejadian tersebut adalah bagian yang besar
dari kejadian-kejadian alam.
Meskipun kami memperpanjang pembahasan tentang masalah tersebut, tetapi sikap
yang muncul dalam menyikapinya tidak lebih dari dua sikap, yaitu:
Pertama, kaum zindiq modern yang mengingkari adanya Pencipta dan segala
yang diberitakan para rasul dan kitab-kitab suci samawi seperti hal-hal yang
ghaib, dan mereka tidak menetapkan keyakinan berdasarkan ilmu-ilmu, melainkan
berdasarkan penginderaan dan percobaan mereka yang terbatas yang disandarkan
kepada sebagian ilmu alam dan mereka tidak mau bersandar kepada selainnya.
Mereka menyangka bahwa alam dunia ini dan aturan-aturan yang berlaku di
dalamnya tidak mungkin dirubah oleh sesuatu, atau tidak mungkin terjadi
perubahan pada salah satu dari sebab-sebabnya. Kalaupun hal itu terjadi,
niscaya hal itu hanya kebetulan tanpa ada yang merubahnya. Mereka menyangka
bahwa alam ini adalah sebuah alat yang berjalan dengan sendirinya dan menurut
tabiatnya, dimana ia tidak memiliki Pengatur, Rabb dan Pencipta. Semua ahli
agama mengetahui kesombongan dan kebodohan kaum zindiq tersebut, karena mereka
tidak memiliki agama sama sekali, sehingga akal mereka melepaskan (mengabaikan)
kebenaran, karena mereka telah mengingkari kebenaran yang sangat jelas dan
nyata yang telah dijelaskan dalam sejumlah dalil dan ayat-ayat Al-Qur’an.
Mereka dibingungkan dengan akal mereka yang tidak waras dan pandangan mereka
yang kacau. Meskipun mereka mengetahui keadaan mereka, akan tetapi mereka
enggan menerima kebenaran karena kosombongan dan kekufuran mereka.
Kedua, sebagian ilmuan modern yang menyatakan membela Islam yang
terlibat langsung dalam suatu perdebatan dengan para zindik dalam masalah itu
memaksakan ijtihad mereka atau lebih tepatnya tipu daya mereka supaya sunnah
Ilahiyah sesuai dengan kehendak mereka dan menjelaskan urusan-urusan akhirat
sesuai dengan pemahaman yang dipahami orang-orang yang didasarkan kepada
penginderaan serta percobaan mereka, sehingga mereka menafsirkan sejumlah
mu’jizat dengan salah. Mereka mengingkari ayat-ayat dan bukti-bukti nyata,
dimana mereka tidak memperoleh manfaat selain kemadharatan yang menimpa diri
mereka dan orang yang membaca buku-buku karya mereka yang membahas masalah
tersebut. Karena kelemahan iman mereka kepada Allah SWT, sehingga mereka
menafsirkan mu’jizat-mu’jizat para nabi dengan penafsiran yang keliru yang
menyebabkan timbulnya pengingkaran terhadap mu’jizat-mu’jizat itu sendiri dan
pengingkaran terhadap para nabi, yang merupakan suatu kejadian besar dari qadha
dan qadar Allah Ta’ala. Pandangan-pandangan yang disangkakan mereka tidak
menghasilkan keteguhan dalam mengikuti petunjuk serta agama. Bahkan mereka
bertambah giat dalam membuat tipu daya dalam madzhab mereka, karena mereka
berpendapat sebagaimana pendapat yang dikemukakan para zindiq yang merujukan
nash-nash agama, mu’jizat-mu’jizat para nabi dan hal-hal ghaib kepada
pengetahuan-pengetahuan mereka yang sangat terbatas yang berdasarkan percobaan
dan penginderaan. Sungguh besar bencana yang menimpa dan kesalahan yang
terjadi, akan tetapi karena lemahnya penglihatan dan besarnya kekaguman
terhadap para zindiq modern sehingga memaksa mereka tunduk dan mengikuti
pendapat para zindiq tersebut. Tidak ada daya dan upaya, kecuali atas
pertolongan Allah Ta’ala.
Faidah lainnya, bahwa di antara akibat terburuk yang menimpa seseorang adalah
menjadi pemimpin dan penyeru dalam kejahatan, sebagaimana ni’mat Allah terbesar
atas seseorang adalah menjadi pemimpin dan penunjuk dalam kebaikan. Allah SWT
berfirman berkenaan dengan keberadaan Fir’aun dan para penguasanya: “Dan Kami
jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari
kiamat mereka tidak akan ditolong.” (Al-Qashash: 41). Sedang dalam ayat lain
Allah Ta’ala berfirman, “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai
pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami
wahyukan kepada mereka mengerjakan kebaikan, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah.” (Al-Anbiya: 73).
Faidah lainnya, bahwa di dalam kisah tersebut terdapat dalil yang menunjukan
kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW, dimana Allah telah menceritakan kisah
tersebut serta kisah lainnya secara rinci dan mengkisahkannya dengan kisah yang
membenarkan risalah yang dibawa para rasul serta menguatkan kebenaran yang
nyata sehingga tidak pernah diadakan diskusi untuk membahas sesuatu dari materi
tersebut, tidak pernah dilakukan studi untuk mengetahui sesuatu dari uraian
kisah tersebut dan tidak pernah dilakukan sebuah pertemuan serta pengutipan
pendapat seorang ulama untuk menjelaskan sesuatu yang terdapat dalam kisah
tersebut. Hal tersebut tidak akan terjadi, kecuali pada risalah Allah Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang serta wahyu yang diturunkan Allah Yang Maha Mulia
lagi Maha Pemurah sebagai peringatan terhadap seluruh hamba-hamba-Nya.
Berkenaan dengan hal itu, maka Allah Ta’ala berfirman pada akhir kisah
tersebut: “Dan tiadalah kamu berada di dekat gunung Thur.” (Al-Qashash: 46).
Allah berfirman, “Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah
barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa.” (Al-Qashash: 44). Allah
berfirman, “… dan tiadalah kamu tinggal bersama-sama penduduk Madyan.” Al-Qashahsh:
45). Ini salah satu bukti yang menunjukkan kebenaran risalah Allah Ta’ala.
Faidah lainnya, bahwa sejumlah ulama telah menjelaskan tentang faidah yang
dapat diambil dari firman Allah Ta’ala yang merupakan jawaban Nabi Musa AS
terhadap Rabbnya ketika bertanya kepadanya tentang tongkat yang dibawanya:
“Apakah itu yang di tanganmu, hai Musa?” Musa berkata, “Ini adalah tongkatku,
aku bertelekan padanya dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku.” (Thaha:
17-18). Nabi Musa AS suka sekali membawa tongkatnya, karena di dalamnya
memiliki sejumlah manfaat tertentu dan manfaat-manfaat lainnya yang terkandung
dalam perkataannya: “… dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.”
(Thaha: 18).
Di antara manfaat lain yang dapat diperoleh Nabi Musa AS dengan membawa
tongkatnya, bahwa ia dapat menunjukkan kasih sayang dan kebaikannya kepada
binatang, dan berusaha menghilangkan sesuatu yang memadharatkannya.
Faidah lainnya, bahwa firman Allah, “… dan dirikanlah shalat untuk mengingat
Aku.” (Thaha: 14) menjelaskan, bahwa seorang hamba diperintahkan supaya
mengingat Rabbnya karena untuk itulah ia diciptakan (yakni beribadah
kepada-Nya) dan dengan mengingat-Nya, niscaya ia akan mendapatkan kebaikan
serta kebahagiaan. Jadi tujuan dari pendirian shalat adalah untuk meraih tujuan
yang sangat besar tersebut. Jika tidak ada shalat yang diperintahkan kepada
kaum mukminin dalam sehari semalam untuk mengingatkan mereka kepada Allah yang
di dalamnya berisi bacaan Al-Qur’an, pujian kepada Allah, permohonan dan ketundukan
kepada-Nya, yang semuanya menjadi ruh (inti) zikir (mengingat Allah SWT), dan
jika tidak ada ni’mat tersebut (shalat), niscaya mereka termasuk golongan
orang-orang yang lalai.
Sebagaimana zikir (mengingat Allah) merupakan tujuan diciptakannya seorang
hamba, maka semua ibadah dimaksudkan untuk mengingat Allah, juga zikir dapat
membantu seorang hamba melaksanakan berbagai ketaatan meskipun terasa sulit,
memberikan kemudahan kepadanya dalam menyelesaikan masalah di hadapan
orang-orang yang lalim dan meringankannya untuk mengajukan permohonan kepada
Allah.
Dalam kisah Nabi Musa AS ini, Allah Ta’ala berfirman, “Supaya kami banyak
bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau.” (Thaha: 33-34). Di dalam
ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Pergilah kamu beserta saudaramu dengan
membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku.”
(Thaha: 42).
Faidah lainnya, bahwa kebaikan Nabi Musa AS terhadap Nabi Harun AS saudaranya
yaitu dengan memohon kepada Rabbnya agar menjadikan saudaranya sebagai nabi
yang menyampaikan dakwah bersamanya dan memohon pertolongan untuk saudaranya
supaya senantiasa melakukan kebaikan dan mendapatkan kebahagiaan, sebagaimana
terungkap dalam do’anya: “… dan jadikanlah aku seorang pembantu dari
keluargaku, (yaitu) Harun saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan
jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.” (Thaha: 29-32).
Faidah lainnya, bahwa kefasihan dan kejelasan termasuk sesuatu yang membantu
kelancaran pengajaran dan pelaksanaan dakwah. Karena itu maka Nabi Musa AS
memohon kepada Rabbnya supaya menghilangkan kegagapan dari lidahnya supaya
mereka dapat memahami perkataannya. Kegagapan bukan merupakan aib dalam
perkataan selama perkataan itu dapat dipahami. Adapun di antara kesempurnaan
etika Nabi Musa AS terhadap Rabbnya, bahwa ia tidak memohon supaya dihilangkan
kegagapan secara keseluruhan, tetapi ia memohon supaya dihilangkan kegagapannya
dalam perkataan yang dapat menghambat tercapainya pemahaman yang dimaksud.
Faidah lainnya, bahwa hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menyampaikan titah
kepada para raja dan para penguasa serta dalam menyeru dan menasehati mereka,
hendaklah titah, seruan dan nasehat tersebut disampaikan dengan lemah-lembut
dan turut kata yang sopan yang memberikan kepahaman, tanpa mengganggu serta
menimbulkan kebencian mereka. Tindakan itu dibutuhkan di semua tempat, tetapi
di tempat para raja dan para penguasa lebih dibutuhkan. Karena tindakan itu
dapat mendatangkan keberhasilan dalam mencapai tujuan atau maksud yang
diharapkan, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah SWT, “… maka berbicalah
kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat
atau takut.” (Thaha: 44).
Faidah lainnya, bahwa orang yang berada dalam ketaatan kepada Allah dengan
memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dan percaya terhadap janji-Nya seraya
mengharapkan balasan pahala dari-Nya, niscaya Allah selalu bersamanya.
Sedangkan orang yang selalu disertai Allah Ta’ala, niscaya tidak ada
kekhawatiran terhadapnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Jangan kamu berdua
khawatir.” (Thaha: 46). Kemudian Allah memberikan alasannya dengan firman-Nya,
“Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.” (Thaha: 46).
Sedangkan dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman, “… diwaktu dia berkata
kepada temannya: “Janganlah berduka cita, sesungguhya Allah bersama kita.”
(Taubah: 40).
Faidah lainnya, bahwa sebab-sebab turunnya adzab Allah terbatas pada kedua
sebab berikut ini: “Sesungguhnya telah diwahyukan kepada kami bahwa siksa itu
(ditimpakan) atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling.” (Thaha: 48).
Yakni mendustakan berita yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya dan berpaling
dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ayat tersebut setara dengan firman
Allah Ta’ala, “Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling
celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan (berpaling) dari iman.” (Al-Qashash:
15-16).
Fidah lainnya, bahwa berkenaan dengan firman Allah Ta’ala, “Dan sesungguhnya
Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian
tetap di jalan yang benar.” (Thaha: 82), maka Allah memberitahukan dengannya
sebab-sebab yang mendatangkan pengampunan Allah.
Adapun sebab-sebab tersebut adalah:
Pertama, taubat, yaitu kembali dari apa yang dimurkai Allah secara lahir
dan bathin kepada apa yang dicintai-Nya secara lahir dan bathin. Taubat wajib
dilakukan atas dosa-dosa yang telah diperbuat sebelumnya baik dosa kecil maupun
dosa besar.
Kedua, iman, yaitu mengakui dan meyakini dengan pasti serta menyeluruh
terhadap segala hal yang telah diberitakan Allah dan Rasul-Nya yang mendorong
perbuatan-perbuatan hati lainnya yang kemudian diikuti oleh perbuatan-perbuatan
anggota-anggota badan. Tidak diragukan lagi bahwa keyakinan di dalam hati
berupa iman kepada Allah, para Rasul-Nya dan hari akhir tanpa ada keraguan di
dalamnya merupakan sumber ketaatan; sekaligus merupakan bentuk ketaatan
terbesar dan sebagai pondasinya, dan tidak diragukan lagi bahwa kekuatan iman
dapat menolak sejumlah kejahatan, menolak kejahatan yang belum dikerjakan,
sehingga pemiliknya dapat terhindar dari keterjerumusan ke dalam kejahatan
tersebut dan menolak kejahatan yang telah dikerjakan dengan mengerjakan sesuatu
amal yang dapat menafikannya serta meniadakan kecenderungan hati terhadap
kejahatan tersebut. Seorang mukmin yang dalam hatinya terdapat iman yang
cahayanya meneranginya, niscaya ia tidak akan melakukan kemaksiatan, karena
iman tidak akan berkumpul dengan maksiat.
Ketiga, amal shalih, yang mencakup sejumlah amalan hati, sejumlah amal
anggota badan, sejumlah perkataan lisan serta sejumlah kebaikkan yang dapat
menghapuskan (dosa) sejumlah keburukkan.
Keempat, tetap di jalan yang benar, yakni berpegang teguh pada keimanan,
mengikuti petunjuk serta meningkatkan keimanan.
Seseorang yang memiliki kesempurnaan dalam sebab-sebab yang empat tersebut,
niscaya ia akan memperoleh kebahagiaan dengan mendapatkan pengampunan Allah
yang bersifat umum dan menyeluruh.
Berkenaan dengan hal itu, maka Allah SWT menyatakannya dengan pernyataan yang
sangat tegas, “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun.” (Thaha: 82).
Kami memandang cukup dengan mengutarakan faidah-faidah tersebut di atas
berkenaan dengan kisah Nabi Musa AS, meski di dalamnya masih banyak
faidah-faidah lainnya bagi orang-orang yang berkenan merenungkan dan
mengkajinya.
KISAH HIDHIR AS DAN NABI MUSA AS
Kisah ini berkaitan dengan Nabi Musa AS yang ketika itu memiliki kedudukan
yang agung di kalangan Bani Israil, dimana ia mengajari mereka sejumlah ilmu
dan masyarakat pun merasa kagum dengan kesempurnaan ilmunya.
Pada suatu hari seseorang bertanya kepadanya: “Wahai nabi Allah, apakah ada
atau engkau mengetahui seseorang di bumi ini yang lebih pintar darimu?”
Nabi Musa AS menjawab, “Tidak ada.”
Jawaban tersebut dilontarkan Nabi Musa AS berdasarkan kenyataan yang
diketahuinya dan dimaksudkan untuk mendorong semangat mereka dalam menimba ilmu
darinya. Kemudian Allah mengabarinya bahwa Dia memiliki seorang hamba yang
tinggal di tempat pertemuan dua buah lautan; yang memiliki sejumlah ilmu yang
tidak dimiliki Nabi Musa AS dan menerima wahyu di luar kebiasaan. Nabi Musa AS
ingin sekali menemuinya karena ingin menambah ilmunya. Kemudian ia memohon
kepada Rabbnya supaya mengizinkannya untuk menemuinya serta memberitahukan
tempatnya. Mereka (Nabi Musa AS dan muridnya) membawa ikan sebagai bekal dalam
perjalanan, seraya Dikatakan kepadanya, “Jika ikan itu hilang, maka di situlah
hamba-Ku tinggal.” Nabi Musa AS pergi dan berhasil menemukannya. Allah Ta’ala
telah menceritakan kisah keduanya di dalam
surat Al-Kahfi,
“Dan (ingatlah) ketika
Musa berkata kepada (muridnya):”Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum
sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai
bertahun-tahun.” (Al-Kahfi: 60) hingga firman Allah,
“Demikian itu
adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (Al-Kahfi:
82).
Dalam kisah ini terkandung sejumlah faidah, hukum dan kaidah yang terkait
dengan pertolongan Allah, dan kami akan mengemukakan hal-hal yang penting
darinya:
Di antara faidah yang dapat diambil dari kisah di atas adalah keutamaan serta
kemuliaan ilmu yang terkandung dalam kisah tersebut. Juga disyari’atkannya
melakukan perjalanan untuk menuntutnya dan menggolongkannya sebagai sesuatu
yang sangat penting. Nabi Musa AS pun telah melakukan perjalanan yang jauh
untuk menuntutnya serta merasakan kelelahan dalam melakukannya. Saat itu Nabi
Musa AS meninggalkan tugas yang diembannya pada Bani Israil, yaitu mengajari
dan membimbing mereka, dan ia memilih melakukan perjalanan untuk menambah
ilmunya.
Faidah lainnya, bahwa dalam menuntut ilmu, hendaklah dimulai dari ilmu yang
sangat penting dan diikuti oleh ilmu penting berikutnya. Menambah ilmu untuk
dirinya adalah lebih penting daripada meninggalkannya karena alasan sibuk
mengajar bahkan dia harus belajar untuk mengajarkan kepada yang lain.
Faidah lainnya, bahwa diperbolehkan mengambil pembantu ketika melakukan
perjalanan dan saat berada di tempat untuk mempersiapkan makanan dan
mendapatkan istirahat yang cukup, sebagaimana yang dilakukan Nabi
Musa AS.
Faidah lainnya, bahwa orang yang melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu,
berjihad serta perjalanan lainnya yang termasuk perjalanan dalam melakukan
ketaatan kepada Allah, jika kemaslahatan menghendakinya supaya memberitahukan
ilmu yang dituntutnya dan tempat yang ditujunya, niscaya hal itu dipandang
lebih sempurna daripada menyembunyikannya. Karena dengan memberitahukannya maka
di dalamnya terdapat sejumlah faidah, seperti: menyiapkan segala sesuatu
(bekal) yang diperlukannya, melaksanakan perbuatan tersebut dengan seksama dan
memberitahukan agar bersemangat dalam melakukan ibadah yang utama tersebut. Hal
tersebut didasarkan kepada perkataan Nabi
Musa
AS,
“Aku tidak akan berhenti
(berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan
sampai bertahun-tahun.” (Al-Kahfi: 60).
Ketika Nabi SAW bermaksud melakukan perang Tabuk, maka beliau memberitahukan
maksudnya itu kepada kaum muslimin, padahal pada umumnya ketika beliau hendak
berperang niscaya akan menutupi maksudnya itu dengan perbuatan yang lainnya.*
Perbedaan sikap Rasulullah SAW itu karena adanya perbedaan maslahat yang ada
dalam keduanya.
Faidah lainnya, bahwa kejahatan dan sebab-sebabnya disandarkan kepada syetan,
demikian juga halnya dengan kekurangan. Hal itu merujuk perkataan seorang
pemuda yang ditujukan kepada Nabi
Musa
AS,
“…dan tidak adalah yang
melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan ….” (Al-Kahfi: 63).
Faidah lainnya, bahwa diperbolehkannya seseorang untuk memberitahukan hal yang
dirasakannya menjadi tuntutan tabiat alami mamusia, misalnya: merasa letih,
lapar, atau dahaga, jika tidak dimaksudkan untuk menunjukkan kebencian dan
dikatakan dengan jujur, sebagaimana perkataan Nabi
Musa AS,
“Bawalah
ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan
kita ini.” (Al-Kahfi: 62).
Faidah lainnya, bahwa seseorang hendaklah mengambil pembantu yang cerdas dan
pintar supaya dapat membantu dalam mencapai tujuan yang dikehendakinya dengan
sempurna.
Faidah lainnya, bahwa dianjurkan bagi seseorang untuk memberikan makanan kepada
pembantunya dari makanannya serta keduanya makan bersama-sama. Karena Dzahir
perkataan Nabi
Musa AS,
“Bawalah ke mari makanan kita.” (Al-Kahfi:
62). Untuk dimakan bersama-sama.
Faidah lainnya, bahwa pertolongan Allah akan diberikan (diturunkan) kepada
seorang hamba sesuai dengan ketaatannya dalam menunaikan perintah syara’
(agama), sedangkan suatu perbuatan yang sesuai dengan keridhaan Allah niscaya
akan mendatangkan pertolongan Allah kepada pelakunya yang tidak didatangkan
kepada selainnya. Hal itu merujuk perkataan Nabi Musa AS,
“Sesungguhnya kita
telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (Al-Kahfi: 62). Isyarat ini
ditujukan kepada perjalanan yang telah melewati tempat pertemuan dua buah
lautan. Sedangkan dalam perjalanan melewati laut yang pertama, maka Nabi Musa
AS tidak mengeluhkannya meskipun jauh.
Faidah lainnya, bahwa seorang hamba yang ditemui Nabi Musa AS bukanlah seorang
nabi, melainkan seorang hamba yang shalih yang berilmu dan mendapat ilham.
Karena Allah Ta’ala menceritakannya dengan menyebutkan ilmu, ibadah yang khusus
dan sifat-sifat terpuji, tanpa dibarengi dengan penyebutan nabi atau rasul.
Sedangkan firman Allah Ta’ala dalam akhir kisah ini,
“… dan bukanlah aku
melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.” (Al-Kahfi: 82) tidak
menunjukkan bahwa hamba yang dimaksud ialah seorang nabi, akan tetapi
menunjukkan kepada ilham dan pemberitahuan, dimana semua itu ditujukan kepada
selain para nabi. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan Rabbmu mewahyukan kepada
lebah.” (An-Nahl: 68). Sedang dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
“Dan
Kami ilhamkan kepada ibu Musa.” (Al-Qashash: 7).
Faidah lainnya, bahwa ilmu yang diajarkan Allah kepada seorang hamba terdiri
dari dua macam, yaitu:
1. Ilmu yang diperoleh seorang hamba melalui pencarian dan kesungguhannya.
2. Ilmu Ilahi dan bersifat pemberian Allah, yaitu ilmu yang diberikan Allah
kepada seseorang yang dikehendakinya dari hamba-hamba-Nya, seperti dijelaskan
dalam firman Allah Ta’ala,
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di
antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi
Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Al-Kahfi:
65). Jadi Hidhir AS ialah orang yang telah dikaruniai ilmu tersebut.
Faidah lainnya adalah keharusan berlaku sopan santun serta lemah-lembut dalam
bertutur kata terhadap guru. Hal tersebut merujuk perkataan Nabi Musa AS,
“Bolehkah
aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara
ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu.” (Al-Kahfi: 66). Nabi Musa AS
melontarkan perkataan tersebut dengan sikap yang sopan serta mengajak
musyawarah. Seakan-akan ia berkata,
“Apakah engkau mengizinkanku atau
tidak.” Nabi Musa AS memperlihatkan kebutuhannya kepada guru (yakni
Hidhir AS),
keinginannya untuk menimba ilmu darinya serta kerinduannya kepada ilmu yang ada
padanya. Berbeda sekali dengan orang-orang yang sombong dan bertabiat buruk,
dimana mereka tidak akan memperlihatkan kebutuhan mereka terhadap guru Bagi
seorang pelajar yang tidak memperlihatkan sikap yang sopan dan kebutuhannya
terhadap ilmu guru serta rasa syukurnya atas ilmu yang diajarkannya niscaya ia
tidak akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Faidah lainnya adalah keharusan bersikap tawadhu’ dari seseorang yang memiliki
kedudukan yang mulia; untuk belajar kepada orang yang kedudukannya lebih rendah
darinya. Tidak diragukan lagi bahwa kedudukan Nabi Musa AS adalah lebih utama
daripada
Hidhir AS.
Faidah lainnya adalah kemestian bagi seorang guru yang memiliki kedudukan yang
mulia untuk mempelajari ilmu yang belum dikuasainya kepada seseorang yang telah
menguasainya, meskipun kedudukan gurunya lebih rendah dalam sejumlah ilmu
daripadanya. Nabi Musa AS termasuk salah seorang ulul ‘azmi yang besar dari
para rasul yang dikaruniai sejumlah ilmu oleh Allah Ta’ala yang tidak
dikaruniakan kepada selain mereka, akan tetapi dalam kaitannya dengan ilmu
khusus yang dimiliki Hidhir AS, dimana Nabi Musa AS tidak memilikinya, maka ia
ingin sekali belajar darinya.
Faidah lainnya, harus menyandarkan ilmu serta keutamaan lainnya, kepada
kemurahan Allah dan rahmat-Nya, mengakui hal tersebut dan bersyukur kepada
Allah atas karunia yang diberikan kepadanya. Hal itu merujuk perkataan Nabi
Musa AS,
“… supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang
telah diajarkan kepadamu.” (Al-Kahfi: 66).
Faidah lainnya, bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membimbing serta
menunjukan kepada kebaikan. Setiap ilmu yang di dalamnya mengandung petunjuk
kepada kebaikan dan peringatan dari kejahatan atau hal-hal yang menyebabkan
terjerumus kepadanya niscaya termasuk ilmu yang bermanfaat. Sedangkan ilmu
selainnya baik yang menimbulkan kemadharatan atau di dalamnya tidak mengandung
faidah termasuk ilmu yang tidak bermanfaat. Hal itu merujuk perkataan Nabi
Musa AS,
“… supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang
telah diajarkan kepadamu.” (Al-Kahfi: 66).
Faidah lainnya, bahwa seseorang yang tidak sabar dalam menemani gurunya dan
tidak memiliki keteguhan hati di dalam menempuh pelajaran niscaya ia akan
menjadi orang yang picik dan tidak akan memperoleh ilmu. Jadi orang yang tidak
sabar niscaya tidak akan memperoleh ilmu, sedang orang yang sabar dan
membiasakannya niscaya akan memperolehnya, karena semua usaha akan diarahkan
untuk memperolehnya. Karena itu
Hidhir
AS memberikan alasan bahwa Nabi
Musa AS tidak akan bersabar dalam mempelajari ilmunya yang khusus tersebut.
Faidah lainnya, bahwa di antara hal yang akan membantu seseorang bersabar dalam
melakukan segala pekerjaan; ia harus menyadari; bahwa dengan mengerjakannya,
niscaya ia akan mendapatkan suatu ilmu, manfaat dan hasil darinya, dan orang
yang tidak menyadari hal tersebut, niscaya akan sulit baginya untuk bersabar.
Hal itu merujuk perkataan Hidhir:
“Dan bagaimana kamu dapat sabar atas
sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu.” (Al-Kahfi:
68).
Faidah lainnya adalah keharusan bersikap hati-hati, berketetapan hati dan tidak
terburu-buru dalam mempelajari hukum segala sesuatu; sehingga benar-benar
mengetahui hukum yang dikehendaki dan dimaksud.
Faidah lainnya adalah disyari’atkannya menggantungkan kejadian segala sesuatu
di masa mendatang kepada kehendak Allah. Hal itu merujuk perkataan Nabi Musa
AS,
“Insya Allah kamu akan mendapatkanku sebagai seorang yang sabar, dan aku
tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun.” (Al-Kahfi: 69). Meniatkan
sesuatu bukanlah berarti telah melakukannya, dimana Nabi Musa AS telah
meniatkan untuk bersabar, tetapi ia tidak dapat melakukannya.
Faidah lainnya, bahwa seorang guru jika melihat suatu kemaslahatan, hendaklah
memberitahukannya kepada muridnya, agar muridnya tidak mengawali belajarnya
dengan pertanyaan mengenai sebagian hal, tetapi gurunya yang menjelaskannya.
Karena kemaslahatan itu bersifat menyertai, misalnya: jika pemahaman muridnya
sempit, atau tidak menjelaskannya secara menjelimet, atau mengajukan sejumlah pertanyaan
yang tidak ada hubungannya dengan materi yang dipelajari.
Faidah lainnya, bahwa diperbolehkan mengarungi lautan, jika tidak ada sesuatu
yang mengkhawatirkan.
Faidah lainnya, bahwa seseorang yang lupa tidak akan disiksa; tidak pada hak
Allah SWT serta tidak pula pada hak manusia, kecuali jika hal itu berkaitan
dengan perusakan harta orang lain, maka dalam kasus itu terdapat pertanggung
jawaban, tanpa kecuali kepada orang yang lupa. Hal tersebut merujuk perkataan
Nabi Musa AS,
“Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku.” (Al-Kahfi:
73).
Faidah lainnya, bahwa dalam menyikapi perilaku manusia (masyarakat) dan bergaul
dengan mereka, hendaklah seseorang bersikap pemaaf terhadap perilaku mereka dan
juga toleran terhadap diri mereka dan tidak semestinya dia membebani mereka
dengan urusan yang tidak mampu mereka kerjakan, atau mendatangkan kesulitan
terhadap mereka, atau berbuat zhalim kepada mereka, karena perbuatan itu akan
menyebabkan mereka lari dari sisinya, tetapi ia harus membebani mereka dengan
urusan yang mudah yang mampu mereka kerjakan.
Faidah lainnya, bahwa segala sesuatu berjalan menurut lahirnya serta terkait
dengannya ketentuan-ketentuan hukum dunia dalam segala sesuatu. Nabi Musa AS
menentang Hidhir AS ketika merusakkan bahtera dan membunuh seorang anak
berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat umum, dan ia tidak melihat
sumber yang mendasarinya, dan Hidhir AS pun tidak bertanya kepada Allah dan
tidak pula menentang-Nya, tetapi Hidhir AS langsung melakukannya.
Faidah lainnya, bahwa dalam kisah tersebut terkandung suatu kaidah besar yang
masyhur, yaitu: “Menolak keburukan yang lebih besar dengan mengerjakan
keburukan yang ringan akibatnya, dan menjaga kemaslahatan yang lebih besar
dengan meninggalkan kemaslahatan di bawahnya (yang lebih kecil).” Membunuh
seorang anak kecil termasuk suatu kejahatan, tetapi membiarkannya tetap hidup
hingga dewasa dan menjadi fitnah bagi kedua orang tuanya dalam urusan agama
adalah kejahatan yang sangat besar. Membiarkan anak tersebut tetap hidup dan
tidak membunuhnya, meskipun secara lahir termasuk kebaikan, tetapi membiarkan
kedua orang tuanya tetap hidup dan berpegang teguh kepada agama keduanya adalah
lebih baik daripada membiarkannya (anak itu) tetap hidup. Karena itu, maka
Hidhir AS
membunuhnya setelah Allah memberinya ilham mengenai hakikat yang sesungguhnya,
karena kedudukan ilham yang bersifat bathin adalah setara dengan bukti nyata
dalam pandangan orang selainnya.
Faidah lainnya, bahwa kaidah besar yang lainnya, bahwa perbuatan seseorang yang
berkaitan dengan harta milik orang lain, jika ia bertujuan memelihara
kemaslahatan dan menolak kemadharatan maka diperbolehkan baginya melakukan
perbuatan tersebut tanpa meminta izin lebih dahulu kepada pemiliknya, meski
harus menghilangkan sebagian harta tersebut, seperti yang dilakukan Hidhir AS
yang merusak bahtera hingga tampak jelek dengan maksud supaya selamat dari
perampasan seorang raja yang zhalim. Di bawah kedua kaidah besar tersebut,
terdapat sejumlah faidah yang tidak terhingga.
Faidah lainnya, bahwa suatu amal boleh dikerjakan di lautan sebagaimana
diperbolehkan mengerjakannya di daratan. Hal tersebut merujuk perkataan
Hidhir AS,
“Adapun bahtera itu kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut.” (Al-Kahfi:
79).
Faidah lainnya, bahwa membunuh termasuk dosa besar.
Faidah lainnya, bahwa sesungguhnya seorang hamba yang shalih, niscaya Allah
akan memelihara dirinya, keturunannya dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Hal
tersebut merujuk perkataan
Hidhir
AS,
“… sedang ayahnya adalah
seorang yang shalih.” (Al-Kahfi: 82).
Pengabdian serta amal baik orang-orang shalih, niscaya lebih utama dari
pengabdian serta amal baik selain mereka, karena alasan pengerjaan amal-amal
mereka adalah kepatutan. Hal tersebut merujuk perkataan
Hidhir AS,
“…
sedang ayahnya adalah seorang yang shalih.” (Al-Kahfi: 82).
Faidah lainnya adalah keharusan memperhatikan etika di dalam menjalin
komunikasi dengan Allah Ta’ala hingga dalam perkataan, dimana Hidhir AS
menyandarkan perusakan bahtera kepada dirinya, seperti tertera dalam
perkataannya,
“… dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu.” (Al-Kahfi:
79). Sedang dalam kebaikan maka ia menyandarkannya kepada Allah seperti dalam
perkataannya,
“… maka Rabbmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada
kedewasaannya dan mengeluarkan simpanan itu, sebagai rahmat dari Rabbmu.” (Al-Kahfi:
82). Contoh lainnya, Nabi Ibrahim AS berkata,
“Dan apabila aku sakit, Dialah
Yang menyembuhkan aku.” (Asy-Syu’ara: 80). Contoh lainnya, jin berkata,
“Dan
sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah
keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Rabb mereka
menghendaki kebaikan bagi mereka.” (Al-Jin: 10). Padahal segala sesuatu
ditetapkan menurut qadha’ dan qadar Allah.
Faidah lainnya, bahwa seseorang tidak patut membiarkan sahabatnya dalam suatu
keadaan dan mengabaikan persahabatan yang telah dijalinnya, tetapi ia harus
tetap memeliharanya sehingga tidak ada lagi tempat bagi kesabaran (kesabarannya
telah habis). Kecocokan antara seseorang dengan sahabatnya dalam urusan-urusan
yang tidak menimbulkan bahaya merupakan motifasi atau sebab pendorong kekalnya
persahabatan mereka, dan sebagai lem perekat hubungan mereka, sebagaimana tidak
adanya kecocokan menjadi sebab putusnya persahabatan.