Dalam asmaul husna, Allah swt. disebut sebagai Al ‘Alim (Yang Maha
Mengetahui).
Bahwasanya ilmu Allah tidak terbatas. Dia mengetahui apa saja yang ada
di langit dan di bumi, yang dahulu, sekarang, ataupun besok, baik yang ghaib
maupun yang nyata.
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa
saja yang ada di langit dan di bumi.”(QS. Al-Hajj: 70)
“Dialah Allah, Yang tiada Tuhan selain Dia. Yang mengetahui yang ghaib
dan yang nyata. Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hasyr:
22)
Tak ada satupun yang tersembunyi bagi Allah swt. Sebutir biji di dalam
gelap gulita bumi yang berlapis tetap diketahui Allah swt. “Di sisi-Nya segala
anak kunci yang ghaib, tiadalah yang mengetahui kecuali Dia sendiri. Dia
mengetahui apa-apa yang ada di daratan dan di lautan. Tiada gugur sehelai daun
kayu pun, melainkan Dia mengetahuinya, dan tiada sebuah biji dalam gelap gulita
bumi dan tiada pula benda yang basah dan yang kering, melainkan semuanya dalam
Kitab yang terang.” (QS. Al-An’am: 59)
Ilmu Allah swt. maha luas, tak terjangkau, dan tak terbayangkan oleh
akal pikiran, tiada terbatas. Dia mengetahui apa yang sudah dan akan terjadi
serta yang mengaturnya. Manusia, malaikat, dan makhluk manapun tak akan bisa
menyelami lautan ilmu Allah swt. Bahkan untuk mengetahui ciptaan Allah saja
manusia tidak akan mampu. Tentang tubuhnya sendiri saja, tidak semuanya
terjangkau oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dicapai
manusia. Semakin didalami semakin jauh pula yang harus dijangkau, semakin
banyak misteri yang harus dipecahkan, seperti jaringan kerja otak manusia masih
merupakan hal yang teramat rumit untuk dikaji.
Belum lagi tentang astronomi. Berapa banyak bintang, galaksi di langit,
berapa jauhnya, bagaimana cara mencapainya, proses terjadinya, apakah ada
penghuninya, dan seterusnya. Jika kita menatap ke luar angkasa betapa kecil
bumi ini bagaikan debu bahkan lebih kecil dari itu. Andaikan saja ada manusia
yang menguasai planet bumi sebagai miliknya pribadi, maka di hadapan alam di
ruang angkasa ini dia hanyalah memiliki debu tak berarti. Jika saja ada manusia
menguasai bumi, dia hanya menguasai debu. Sementara kekuasaan, kerajaan Allah
swt. tak akan tertandingi sedikitpun jua.
Allah swt. menggambarkan betapa kecil dan tak berdayanya manusia bila
dibandingkan dengan ilmu Allah swt., dengan perumpamaan air laut bahkan tujuh
lautan dijadikan tinta untuk menulis kalimat Allah swt., niscaya tidak akan
habis-habisnya kalimat Allah tersebut dituliskan.
“Katakanlah, kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis
kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis ditulis
kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu pula.”
(QS. Al Kahfi: 109)
“Dan seandainya pohon-pohon di muka bumi menjadi pena dan laut (menjadi
tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan lagi, niscaya tidak akan
habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Melihat.” (QS. Luqman: 27).
Allah swt. telah menciptakan langit dan bumi dengan segala isi dan
peristiwa yang terkandung di dalamnya merupakan fenomena yang sangat
mengesankan dan menakjubkan akal serta hati sanubari manusia. Itulah alam
semesta atau al-kaun (universum). Simaklah firman Allah swt. berikut ini:
“Dia lah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, yang membentuk rupa,
yang mempunyai nama-nama yang paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di
langit dan di bumi. Dan Dia lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS.
Al-Hasyr: 24).
Hendaknya manusia senantiasa men-taddaburi ayat-ayat-Nya, baik yang
qauliyah maupun kauniyah. Karena di sana terdapat lautan ilmu-Nya, serta
dorongan untuk mengkaji maupun mengimplementasikannya. “Hai jama’ah jin dan
manusia jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka
lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.” (QS.
Ar-Rahman: 33). Dengan ayat ini manusia akan mengerti jika ingin menembus langit
diperlukan energi yang besar.
Maka dengan segala bahan-bahan yang ada di alam ini manusia harus mampu
mengkonversi energi tersebut. Masih banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan
dengan ilmu pengetahuan dan cabang-cabangnya. Allah swt. telah menciptakan alam
beserta isi dan sistemnya dan juga telah mengajarkannya kepada manusia. Dengan
mencermati Al-Qur’an, akan melahirkan kajian-kajian yang lebih detail tentang
keberadaan ciptaan-Nya.
Timbulnya ilmu pengetahuan disebabkan kebutuhan-kebutuhan manusia yang
berkemauan hidup bahagia. Dalam mencapai dan memenuhi kebutuhan hidupnya itu,
manusia menggunakan akal pikirannya. Mereka menengadah ke langit, memandang
alam sekitarnya dan melihat dirinya sendiri. Dalam hal ini memang telah menjadi
qudrat dan iradat Nya, bahwa manusia dapat memikirkan sesuatu kebutuhan
hidupnya. Telah tercantum dalam Al-Qur’an perintah Allah swt.: “Katakanlah,
perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda
kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang
tidak beriman.” (QS. Yunus: 101).
Hasil dari pemikiran manusia itu melahirkan ilmu pengetahuan dengan
berbagai cabangnya. Maka ilmu pengetahuan bukanlah musuh atau lawan dari iman,
melainkan sebagai wasailul hayah (sarana kehidupan) dan juga nantinya yang akan
membimbing ke arah iman. Sebagaimana kita ketahui, banyak ahli ilmu pengetahuan
yang berpikir dalam, telah dipimpin oleh pengetahuannya kepada suatu pandangan,
bahwa di balik alam yang nyata ini ada kekuatan yang lebih tinggi, yang
mengatur dan menyusunnya, memelihara segala sesuatu dengan ukuran dan
perhitungan.
Herbert Spencer dalam tulisannya tentang pendidikan, menerangkan
sebagai berikut: “Pengetahuan itu berlawanan dengan khurafat, tetapi tidak
berlawanan dengan agama. Dalam kebanyakan ilmu alam kedapatan paham tidak
bertuhan (atheisme), tetapi pengetahuan yang sehat dan mendalami kenyataan,
bebas dari paham yang demikian itu. Ilmu alam tidak bertentangan dengan agama.
Mempelajari ilmu itu merupakan ibadat secara diam, dan pengakuan yang membisu
tentang keindahan sesuatuyang kita selidiki dan kita pelajari, dan selanjutnya
pengakuan tentang kekuasaany Penciptanya. Mempelajari ilmu alam itu tasbih
(memuji Tuhan) tapi bukan berupa ucapan, melainkan tasbih berupa amal dan
menolong bekerja. Pengetahuan ini bukan mengatakan mustahil akan memperoleh
sebab yang pertama, yaitu Allah.”
“Seorang ahli pengetahuan yang melihat setitik air, lalu dia
mengetahuinya bahwa air itu tersusun dari oksigen dan hidrogen, dengan
perbandingan tertentu, dan kalau sekiranya perbandingan itu berubah, niscaya
air itu akan berubah pula menjadi sesuatu yang bukan air. Maka dengan itu ia
akan meyakini kebesaran Pencipta, kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Sebaliknya
orang yang bukan ahli dalam ilmu alam, akan melihatnya tidak lebih dari setitik
air.”
Manusia sejak zaman dahulu telah mengerahkan daya akal untuk
menyelidiki rahasia serta mencari hubungannya dengan kebutuhan dan tujuan
hidupnya di atas bumi ini. Maka lahirlah para ahli ilmu alam seperti astronom,
meteorolog, geolog, fisikawan, dan sebagainya, beserta para ahli filsafatnya di
bidang tersebut.
Penemuan di bidang astronomi menyebabkan kosmologi terbagi dalam dua
kelompok, yaitu kelompok yang beranggapan bahwa alam semesta ini statis, dari
permulaan diciptakannya samapai sekarang ini tak berubah dan kelompok yang
beranggapan bahwa alam semesta ini dinamis, bergerak atau berubah.
Kelompok yang beranggapan bahwa alam semesta ini dinamis ditunjang oleh
ilmu pengetahuan modern. Menurut teori evolusi, pengembangan seperti dibuktikan
oleh adanya red shift, ditafsirkan bahwa alam semesta ini dimulai dengan satu
ledakan dahsyat. Materi yang terdapat dalam alam semesta itu mula-mula
berdesakan satu sama lain dalam suhu dan kepadatan yang sangat tinggi, sehingga
hanya berupa proton, neutron, dan elektron, tidak mampu membentuk susunan yang
lebih berat. Karena mengembang, maka suhu menurun sehingga proton dan neutron
berkumpul membentuk inti atom. Kecepatan mengembang ini menentukan macam atom
yang terbentuk.
Para ahli ilmu alam telah menghitung bahwa masa mendidih itu tidak
lebih dari 30 menit. Bila kurang artinya mengembung lebih cepat, alam semesta
ini akan didominasi oleh unsur hidrogen. Apabila lebih dari 30 menit, berarti
mengembung lambat, unsur berat akan dominan.
Selama 250 juta tahun sesudah ledakan dahsyat, energi sinar dominan
terhadap materi, transformasi di antara keduanya bisa terjadi sesuai dengan
rumus Einstein, E = mc2. Dalam proses pengembungan ini energi sinar banyak
terpakai dan meteri semakin dominan. Setelah 250 juta tahun maka masa dari
meteri dan sinar menjadi sama. Sebelum itu, tidak dibayangkan bahwa materi
larut dalam panas radiasi, seperti garam larut di air.
Pada masa itu, setelah lewat 250 juta tahun, materi dan gravitasi dominan,
terdapat differensiasi yang tadinya homogen. Bola-bola gas masa galaksi
terbentuk dengan garis tengah kurang lebih 40.000 tahun cahaya dan masanya 200
juta kali massa matahari kita. Awan gas gelap itu kemudian berdifferensiasi
atau berkondensasi menjadi bola-bola gas bintang yang berkontraksi sangat
cepat. Akibat kontraksi sangat cepat. Akibat kontraksi atau pemadatan itu maka
suhu naik sampai 20.000.000 derajat, yaitu threshold reaksi inti, dan bintang
itupun mulai bercahaya.
Karena sebagian dari materi terhisap ke pusat bintang, maka planet
dibentuk dari sisa-sisanya. Yaitu butir-butir debu berbenturan satu sama lain
dan membentuk massa yang lebih besar, berseliweran di ruang angkasa dan makin
lama makin besar.
Proses kondensasi bintang pembentukan planet membutuhkan waktu beberapa
ratus juta tahun. Kita mengetahui bahwa bulan bergerak menjauhi bumi, hal ini
berarti bahwa beberapa milyar tahun yang lalu bumi dan bulan itu satu, dan
bulan merupakan pecahan dari bumi yang memisahkan diri. Firman Allah swt.:
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit
dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan
antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka
mengapakah mereka tiada juga beriman.” (QS. Al Anbiya: 30)
Konsep ini jelas menunjang teori kedinamisan alam semesta. Orang Rusia,
berdasarkan umur batu bulan, telah menetapkan bahwa bulan berumur 4,5 milyar
tahun.
Dalam mempelajari red shift, jarak diukur dengan tahun cahaya, bukan
dengan kilometer. Kecepatan cahaya adalah 300.000 km per detik, sedangkan
beberapa galaksi beberapa juta tahun cahaya jauhnya. Pada waktu kita memandang
galaksi yang sangat jauh itu, sebetulnya kita sedang meneropong jauh ke masa
yang silam. Dalam mempelajari galaksi yang jauhnya satu milyar tahun cahaya ,
sebetulnya membuktikan bahwa satu milyar tahun yang lalu alam semesta ini
mengembung dengan kecepatan yang lebih tinggi dari sekarang. Hal ini berarti
pula bahwa kita berada di alam semesta yang dinamis, bukan statis.
Lain dari itu penurunan kecepatan mengembung meramalkan bahwa pada
suatu waktu pengembungan itu akan berhenti, kemudian berkontraksi, pada
akhirnya kembali kepada situasi kepadatan seperti asalnya lebih kurang lima
milyar tahun yang lalu.
Dari uraian di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa alam semesta ini
mengembung dan mengempis. Untuk lebih lanjut perhatikan uraian George Gemov
dalam bukunya The Creation of the Universe, hal. 36: “…bahwa tekanan raksasa
yang terjadi pada permulaan sejarah alam semesta, adalah akibat dari suatu
kehancuran yang terjadi sebelumnya , dan bahwa pengembungan yang sekarang ini
sebenarnya hanyalah suatu gerak kembali yang elastis yang terjadi segera
setelah tercapai kepadatan maksimun yang diizinkan.”
Kita tidak mengetahui secara pasti bagaimana besarnya tekanan yang
tercapai pada kepadatan yang maksimum itu, tetapi menurut semua petunjuk
tekanan itu sungguh-sungguh amat tinggi. Besar kemungkinan seluruh massa alam
semesta yang mempunyai kemungkinan bentuk yang bagaimanapun dalam masa pra
kehancuran telah dimusnahkan secara sempurna, dan bahwa atom-atom dan intinya
telah dipecahkan menjadi proton, neutron, dan elektron serta partikel dasar
lainnya, jadi tak ada satupun yang bisa dituturkan tentang masa alam sebelum
pemadatan alam semesta itu. Segera setelah kepadatan massa alam semesta itu
mencapai titik maksimum, kepadatan yang sangat tinggi itu hanya bertahan dalam
waktu sebentar saja.
Segala sesuatu yang berada dalam alam semesta, adalah merupakan ciptaan
(makhluk) Allah swt. sebegai refleksi dan manifestasi dari wujud Allah swt.
dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Karena itu manusia tidak habis-habisnya
mengagumi isi al-kaun ini terus mengambil pelajaran dan ibroh yang bermanfaat
dari padanya.
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali
tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang.
Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?
Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihtaanmu akan kembali kepadamu
dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan
payah.” (QS. Al Mulk: 3-4)
Tegaknya langit, keseimbangan benda-benda langit sesuai dengan ciptaan
dan pengaturan dari Penciptanya.
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca
(keadilan).” (QS. Ar Rahman: 7)
“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan
sungguh jika keduanya akan lenyap tidaka tidak ada seorang pun yang dapat
menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah maha Penyantun lagi Maha
Pengampun” (QS. Faathir: 41)
Ayat di atas menyatakan adanya semacam penahan yang membawa kepada
ketenangan benda-benda langit, meskipun benda-benda langit itu saling bergerak.
Hal ini menunjukkan kenyataan kebenarannya terhadap umat manusia.
Para ahli fisika sudah cukup lama mengenal gaya gravitasi antara
benda-benda bermassa yang bekerja secara luas dalam alam ini. Setelah Issac
Newton pada tahun 1686 merumuskan hukum gravitasi, maka orang dapat dengan
mudah memahami dan menerangkan berbagai peristiwa dalam jagat raya ini.
Hukum-hukum Kepler yang sudah ada sebelum Newton, ternyata dapat dipahamkan
sebagai akibat saja dari hukum gravitasi Newton tersebut.
Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa universum itu berjalan
dengan eksak, kokoh, teratur, rapi, dan harmonis, yang tidak akan ada
habis-habisnya menjadi tantangan yang menakjubkan bagi manusia. Setelah beriman
kepada Allah, maka menjadi mudah bagi kita untuk menerima bahwa hukum-hukum itu
adalah sunatullah atau aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah bagi
makhluk-Nya yang tidak berubah-ubah.
“Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka)
yang jahat. Rencana jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang
merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan
(berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang
terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan menemui perubahan bagi sunnah
Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah
itu.” (QS. Faathir: 43)
Demikianlah Allah swt. telah menciptakan segala sesuatu dengan
sempurna, seimbang, beraturan, sistemik. Maka Dia jualah yang paling tahu
hakikat dan tujuan penciptaa-Nya, dan telah dikabarkannya ciptaan Allah swt.
itu kepada manusia. Manusia telah diperintahkan untuk bertafakur atas
ciptaan-Nya, sehingga mampu memanfaatkannya. Dan agar manusia mampu mengenal
pencipta-Nya serta mengagungkan-Nya; Dia lah Allah swt. tiada Tuhan selain-Nya.
Dengan ilmu-Nya Allah mengajarkan kepada hamba-Nya apa-apa yang telah
diciptakan dengan proses terjadinya, sehingga manusia akan menjadi tahu dan
berilmu. Setelah itu akan lahir cabang-cabang ilmu pengetahuan yang menyebar ke
setiap penjuru ufuk kehidupan manusia. Dengan ilmunya manusia diharapkan
menemukan kebenaran dan menjadikannya sebagai landasan kehidupan.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an
itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya
Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilat: 53)
Ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyah
Allah swt. menuangkan sebagian kecil dari ilmu-Nya kepada umat manusia
dengan dua jalan. Pertama, dengan ath-thariqah ar-rasmiyah (jalan resmi) yaitu
dalam jalur wahyu melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Rasul-Nya, yang
disebut juga dengan ayat-ayat qauliyah. Kedua, dengan ath-thariqah ghairu
rasmiyah (jalan tidak resmi) yaitu melalui ilham secara kepada makhluk-Nya di
alam semesta ini (baik makhluq hidup maupun yang mati), tanpa melalui
perantaraan malaikat Jibril. Karena tak melalui perantaraan malaikat Jibril,
maka bisa disebut jalan langsung (mubasyaratan). Kemudian jalan ini disebut
juga dengan ayat-ayat kauniyah.
Wahyu dalam pengertian ishtilahi adalah: “kalamullah yang diturunkan
kepada Nabi-nabi dan Rasul-rasul yang menjadi hudan (petunjuk) bagi umat
manusia”, baik yang diturunkan langsung, dari belakang tabir (min wara’ hijab)
maupun yang diturunkan melalui malaikat Jibril, seperti firman Allah swt:
“Tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali
dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seseorang
(malaikat) lalu diwahyukan kepadaNya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia
Maha Tinggi lagi maha Bijaksana” (QS. Asy Syura: 51)
Pengertian wahyu secara ishtilahi perlu dipertegas karena makna wahyu
secara lughawi memiliki pengertian yang bermacam-macam, antara lain:
1. Ilham Fithri, seperti wahyu yang diberikan kepada ibu Nabi Musa
untuk menyusukan Musa yang masih bayi.
“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; susuilah dia, dan apabila kamu
khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil)…” (QS. Al-Qashash:
7).
2. Instink Hayawan, seperti wahyu yang diberikan kepada lebah untuk
bersarang di bukit-bukit, pohon-pohon, dan dimana saja dia bersarang.
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: buatlah sarang-sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”
(QS. An-Nahl: 68).
3. Isyarat, seperti yang diwahyukan oleh Nabi Zakaria kepada kaumnya
untuk bertasbih pagi dan sore.
“Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat
kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang” (QS. Maryam:
11).
4. Perintah Allah kepada malaikat, untuk mengerjakan sesuatu seperti
perintah Allah kepada malaikat untuk membantu kaum muslimin dalam Perang Badar.
“(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat; Sesungguhnya
Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman…”
(QS. Al Anfal: 12).
5. Bisikan syaitan
“…Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar
mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu
tentulah menjadi orang-orang yang musrik.” (QS. Al-An’am: 121).
Dalam ayat tersebut ada kata layuhuna (mewahyukan) yang berarti
membisikkan.
6. Hadits Qudsi, juga termasuk dalam wahyu (hadits yang maknanya dari
Allah swt., sedangkan redaksinya dari Rasulullah saw.)
7. Hadits Nabawiy, (makna dan redaksinya dari Rasulullah saw.) karena
pada hakekatnya apa saja yang berasal dari Rasulullah saw. mempunyai nilai
wahyu.
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah dia; dan bertakwa-lah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Ayat-ayat qauliyah mengisyaratkan kepada manusia untuk mencari ilmu
alam semesta (ayat-ayat kauniyah), oleh sebab itu manusia harus berusaha
membacanya, mempelajari, menyelidiki dan merenungkannya, untuk kemudian
mengambil kesimpulan. Allah swt. berfirman: “Bacalah (ya Muhammad) dengan nama
Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah,
dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan
alam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS.
Al-‘Alaq:1-5)
“Dialah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan padanya semua
buah-buahan berpasang-pasangan. Allah menutupkan malam kepada siang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
kaum yang memikirkan.” (QS. Ar Ra’du: 3)
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian tanah yang berdampingan, dan
kebun-kebun anggur, tanam-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak
bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian
tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
berpikir.” (QS. Ar-Ra’du: 4)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.
Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran:
190-191)
Dengan mempelajari, mengamati, menyelidiki, dan merenungkan alam
semesta (al-kaun) dengan segala isinya, manusia dapat melahirkan berbagai
disiplin ilmu seperti: Kosmologi, Astronomi, Botani, Meterologi, Geografi,
Zoologi, Antropologi, Psikologi, dan sebagainya. Sedangkan dari mempelajari
wahyu manusia melahirkan berbagai disiplin ilmu seperti: Tafsir, Ilmu Tafsir,
Hadits, Ilmu Hadits, Fiqih, Ushul Fiqih, dan sebagainya.
Dengan memahami bahwa semua ilmu itu adalah dari Allah swt., maka dalam
mendalami dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan pun (al-kaun) harus mengacu
firman Allah swt. sebagai referensi, sehingga akan semakin meneguhkan keimanan.
Selain itu penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi akan terkendali serta
mengenal adab.
Sebagai misal dalam dunia teknologi kedokteran, pengalihan sperma ke
sebuah rahim seorang wanita –dalam proses bayi tabung– harus memperhatikan
sperma itu diambil dari siapa diletakkan ke rahim siapa. Proses kesepakatan,
perizinan juga harus jelas. Jangan sampai bayi lahir menjadi tidak jelas nasabnya.
Di bidang astronomi tidak boleh diselewengkan untuk meramal nasib,
padahal antara keduanya tak ada hubungan sama sekali. Dalam hal menikmati
keindahan alam, akan menjadi suatu kedurhakaan jika dalam menikmatinya dengan
membangun vila-vila untuk berbuat maksiat. Namun seorang mukmin menjadikan alam
semesta adalah untuk tafakur agar dekat dengan-Nya.
Konsep Kebenaran Ilmu
Wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunnah) memiliki nilai kebenaran yang mutlak
(al-haqiqah al-muthlaqah) karena langsung berasal dari Allah swt. dan
Rasul-Nya. Tetapi pemahaman terhadap wahyu yang memungkinkan beberapa
alternatif pemahaman tidaklah bersifat mutlak. Sedangkan ilmu yang didapat dari
alam semesta memiliki nilai kebenaran yang nisbi (realtif) dan tajribi
(eksprimentatif) atau dengan istilah al-haqiqah at-tajribiyah.
Kebenaran yang mutlak harus dijadikan burhan atau alat untuk mengukur
kebenaran yang nisbi. Jangan sampai terbalik, justru kebenaran yang mutlak
diragukan karena bertentangan dengan kebenaran yang nisbi (relatif dan eksprimentatif).
Sejarah ilmu pengetahuan sudah membuktikan bahwa suatu penemuan atau teori yang
dianggap benar pada satu masa digugurkan kebenarannya pada masa yang akan
datang. Hal itu disebabkan keterbatasan manusia dalam mengamati, menyelidiki,
dan menyimpulkan segala fenomena yang ada dalam alam semesta. Oleh sebab itu
jika terjadi pertentangan antara kesimpulan yang didapat oleh manusia dari al
kaun dengan wahyu, maka yang harus dilakukan adalah menguji kembali kesimpulan
tersebut, atau menguji kembali pemahaman manusia terhadap wahyu. Logikanya,
wahyu dan alam semesta semuanya berasal dari Allah set. yang Mahabenar,
mustahil terjadi pertentangan satu sama lain.
Hikmah mengimani ilmu Allah swt.
Pertama, membuat manusia sadar bahwa betapa tidak berarti dirinya
dihadapan Allah swt., sebab seluruh ilmu yang dimiliki manusia adalah ibarat
setitik air laut dibandingkan dengan air laut secara keseluruhan. Oleh karena
itu manusia tidak ada alasan untuk sombong dan menjadikan ilmu menjadi penyebab
kekufuran dan kedurhakaan kepada Yang Maha Mengetahui segalanya. Seharusnya
manusia menjadikan ilmu untuk alat ber-taqarub kepada-Nya, sebagaimana perilaku
para ulil albab.
Kedua, dengan menyadari bahwa ilmu Allah swt. sangat luas, tidak ada
satupun –betapa pun kecil dan halusnya– yang luput dari ilmu-Nya, maka manusia
akan dapat mengontrol tingkah laku, ucapan amalan batinnya sehingga selalu
sesuai dengan yang diridhai Allah swt.
Ketiga, keyakinan terhadap ilmu Allah swt. akan menjadi terapi yang
ampuh untuk segala penyelewengan, penipuan dan kemaksiatan lainnya. Maka dalam
pemahamannya adalah dengan mengaplikasikan sifat Allah swt. tersebut dalam
kehidupan nyata sehari-hari, berusaha melaksanakan perintah dan larangan-Nya
baik di tempat ramai maupun sunyi. Kita tidak lagi terpengaruh dengan
“diketahui” atau “tidak diketahui” oleh orang lain untuk melakukan atau
meninggalkan sesuatu. Karena kita menyadari betapa Allah swt. Maha Mengetahui
yang pasti selalu melihat, mendengar, memperhatikan apa yang kita lakukan di mana
dan kapan saja.
Di zaman salafus saleh, kita masih ingat kisah seorang gadis shalihah
dengan ibunya menjual susu. Suatu saat ibunya menyuruh dagangannya untuk
dicampur dengan air, agar mendapatkan untung yang lebih. Namun putrinya
menolak. “Bukankah Khalifah Umar tidak melihat?” kata sang ibu. “Tapi Tuhannya
Umar mengetahui, Bu!” kata putrinya. Tak disangka percakapan itu didengar Umar
bin Khaththab. Maka gadis shalihah tersebut dipinang untuk putra Umar sang
Khalifah. Dan kita pun tahu persis bahwa dari seorang wanita shalihah ini,
akhirnya menurunkan seorang cucu yang menjadi tokoh besar dalam sejarah: Umar
Bin Abdul ‘Aziz yang legendaris.
Juga kisah seorang anak gembala dengan sekian banyak gembalaan milik
tuannya. Suatu saat Umar bin Khaththab menguji kekuatan muraqabatullah-nya.
Dikatakan kepada anak itu bahwa kambingnya akan dibeli dengan harga yang lebih.
Namun anak itu menolak. “Kamu bisa mengatakan kepada tuanmu kambingnya dimakan
binatang buas,” kata Umar r.a. “Lantas di mana Allah?” tanya anak tersebut.
Subhanallah..!.
Sebenarnya bagi seorang muslim yang sudah ber-iltizam akan selalu
merasa tenang, bahagia karena segala amal kebaikannya, tidak akan dirugikan
sedikitpun, baik diketahui ataupun tidak oleh orang lain, kerena dia yakin
bahwa Allah swt. telah mengawasinya. Sehingga seorang mukmin sejati akan
senantiasa beramal dengan ikhlas karena Allah swt. semata, bukan karena guru
ngajinya, apalagi karena calon istri ataupun mertuanya.
Tidak bangga karena pujian, tidak merasa lemah karena celaan. Tetap
semangat walau tak diketahui orang, tak takabur ketika dilihat banyak orang.
Juga tak takut dengan kegagalannya, atau tak bangga diri dengan
keberhasilannya. Apapun yang terjadi tak akan mengoncangkan jiwanya, atau
merusak muamalah dengan saudaranya, atau bahkan membahayakan akidahnya.
“Dan katakanlah; bekerjalah kamu maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya
kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105)