Selasa, 01 Desember 2015

Pemimpin: Cerminan Masyarakatnya



 


Allah swt. dalam Al Qur’an sering bercerita tentang Fir’aun, supaya sosok pemimpin seperti Fir’aun tidak muncul lagi dalam hidup manusia. Cukuplah Fir’un sebagai contoh manusia paling kafir, dan jangan sampai ada lagi masyarakat yang mencetak pemimpin seperti dia. Cukuplah Fir’aun sebagai pelajaran, jangan sampai berulang lagi muncul masyarakat seperti masyarakat Fir’aun yang mau dibodohi. Padahal sebenarnya Fir’aun itu sangat lemah. Ia menjadi raja karena dapat dukungan rakyatnya. Coba rakyatnya bersepakat untuk menghancurkannya, Fir’aun pasti tidak akan berdaya apa-apa.

Sayangnya banyak manusia tidak mau belajar dari sejarah. Dari masa ke masa pemipin korup bermunculan di tengah-tengah masyarakat. Sebab memang masyarakat itu sendiri yang korup dan kotor. Akibatnya mereka seperti terjebak dalam lingkaran syetan. Mereka ingin negaranya adil dan damai. Sementara mereka sendiri korup dan kotor. Akibatnya terpilihlah pemimpin yang korup. Akibat lebih jauh, ya terimalah buah perbuatan mereka sendiri. Penderitaan demi penderitaan terus menyertai. Kesengsaraan semakin mencekam. Kelaparan di mana-mana membuat mereka tidak takut lagi untuk menempuh segala cara.

Pemimpin Korup Lahir Dari Masyarakat Yang Korup

Pemimpin yang korup lahir dari masayarakat yang korup. Masyarakat yang kotor dan suka berbuat maksiat. Masyarakat yang tidak serius menjalankan ketaatannya kepada Allah swt. Masyarakat yang suka disogok dan berani menukar idealisme dengan hanya 300 ribu rupiah atau bahkan dua liter beras atau satu kardus mie. Masyarakat yang suka main-main dan menganggap dosa adalah sesuatu yang biasa. Masyarakat yang tidak takut kepada Allah swt. Masyarakat yang tidak berwawasan luas. Masyarakat yang mau dibodohi. Masyarakat yang tidak mau belajar dari sejarah kegagalan masa lalu.

Sungguh tidak ada jalan untuk mengubah sebuah negeri kecuali masyarakatnya harus berubah. Masyarakatnya harus berwawasan luas, bukan masyarakat berwawasan kepentingan sesat. Pun bukan masyarakat yang meterialistis. Melainkan masyarakat yang berani berjuang mempertahankan idealisme. Sebab tidak mungkin masyarakat meterialistis berjuang untuk idealisme. Mereka hanya mampu bertahan ketika kebutuhan materi mereka terpenuhi.

Sungguh bila kita belajar dari perjalanan para sahabat, kita menemukan fakta masyarakat yang berani berkorban apa saja demi sebuah idealisme (baca: iman). Mereka berani hijrah meninggalkan tanah air bahkan harta dan rumah yang sangat mereka banggakan, demi idealisme. Mereka bahkan berani mengorbankan jiwa mereka dalam berbagai pertempuran demi idealisme.

Masyarakat materialistis adalah masyarakat yang mati jiwanya. Mereka hanyalah rangka berjalan, sementara jiwa mereka kosong. Seakan mereka hidup, padahal dalam jiwa mereka tidak ada kemanusiaan. Mereka bergerak bagai binatang buas, yang siap menerkam siapapun yang lemah. Kedzaliman dianggap biasa. Bahkan mereka sambil terbahak-bahak mendzalimi orang lain. Allah swt. menceritakan dalam surat Al Muthafifin 29-32: “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat orang-orang mu’min, mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat”.

Mereka Lahir dari kebiasaan Berbuat Dosa

Perhatikan ayat yang disebut diatas, betapa kebiasaan berbuat dosa ada hubungannya dengan ketidak seriusan hidup. Mengapa?. Sebab:

Pertama, kebiasaan berbuat dosa membuat mereka tidak takut lagi kepada Allah swt. Akibatnya mereka berani melakukan segala cara, tidak peduli halal atau haram yang penting tujuan tercapai. Bila rasa takut kepada Allah swt tidak ada, maka otomatis rasa takut kepada manusia lebih tidak ada. Dari susana seperti inilah pemimpin seperti Fir’un muncul. Dan puncak keberanian Fir’un kepada Allah swt kian terlihat ketika ia berkata di depan khalayak pendukungnya: ana rabbukumul a’laa (aku tuhanmu yang paling tinggi). Di sini Fir’un menemukan dirinya sebagai yang paling berkuasa. Perhatikan betapa kebiasaan berbuat dosa telah menyeret seorang pemimpin kehilangan kontrol sehingga ia merasa bebas, bahkan ia merasa bebas dari Allah swt.

Kedua, kebisaan berbuat dosa akan mencabut keberkahan sebuah negeri. Allah swt. berfirman:

”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Al A’raf : 96-99).

Ketiga, kebiasaan berbuat dosa membuat mereka lalai akan kewajiban yang harus dipikul. Dari kelalaian ini banyak dosa-dosa dengan segala dimensinya terjadi. Akibatnya hati mereka menjadi keras. Ketika hati keras, mereka tidak tersentuh lagi dengan teguran Allah swt. Bahkan mereka semakin yakin bahwa dengan dosa-dosa itu mereka kuat dan banyak pendukung. Dari sini kebiasaan mempermainkan Allah swt, merendahkan-Nya, dan mengabaikan tuntunan-Nya, bemunculan bagai jamur. Allah swt yang memiliki langit dan bumi tidak mungkin membiarkan ini tanpa ada konsekwensinya.

Allah swt berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan. Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” QS. Al An’am : 42-44.

Keempat, kebiasaan berbuat dosa membuat mereka bersepakat untuk tolong menolong dalam dosa dan kedzaliman. Pada saat itu firman Allah swt: “Wata’aawanuu ‘alal birri wat taqwaa walaa ta’aawanuu ‘alal itsmi wal ‘udwaan. Dan tolong menolonglah dalam melaksanakan kebaikan dan taqwa. dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” tidak menjadi indah lagi.

Simaklah Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi`ar-syi`ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” QS. Al Maidah: 2.

Di sini nampak bahwa memerintahkan takwa setelah memerintahkan agar manusia saling tolong menolong dalam kebaikan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa. Ini menunjukkan bahwa tidak mungkin suatu kaum akan mencapai ketakwaan, semasih tetap berkompromi dalam kedzaliman. Cara-cara kompromi dalam rangka dosa inilah yang membantu munculnya para pemimpin yang korup. Karena itu tidak mungkin sebuah negeri dipimpin oleh seorang yang bersih dan jujur bila rakyatnya tetap kotor, terbiasa dengan dosa-dosa dan tidak pernah mau bersungguh-sungguh memahami ajaran Allah swt secara benar serta mengamalkannya secara ikhlas.

Wallahu a’lam bishshawab.


0 komentar:

Posting Komentar