Allah swt. dalam Al Qur’an sering bercerita tentang Fir’aun,
supaya sosok pemimpin seperti Fir’aun tidak muncul lagi dalam hidup manusia.
Cukuplah Fir’un sebagai contoh manusia paling kafir, dan jangan sampai ada lagi
masyarakat yang mencetak pemimpin seperti dia. Cukuplah Fir’aun sebagai
pelajaran, jangan sampai berulang lagi muncul masyarakat seperti masyarakat
Fir’aun yang mau dibodohi. Padahal sebenarnya Fir’aun itu sangat lemah. Ia
menjadi raja karena dapat dukungan rakyatnya. Coba rakyatnya bersepakat untuk
menghancurkannya, Fir’aun pasti tidak akan berdaya apa-apa.
Sayangnya banyak manusia tidak mau belajar dari sejarah. Dari
masa ke masa pemipin korup bermunculan di tengah-tengah masyarakat. Sebab
memang masyarakat itu sendiri yang korup dan kotor. Akibatnya mereka seperti
terjebak dalam lingkaran syetan. Mereka ingin negaranya adil dan damai.
Sementara mereka sendiri korup dan kotor. Akibatnya terpilihlah pemimpin yang
korup. Akibat lebih jauh, ya terimalah buah perbuatan mereka sendiri.
Penderitaan demi penderitaan terus menyertai. Kesengsaraan semakin mencekam.
Kelaparan di mana-mana membuat mereka tidak takut lagi untuk menempuh segala
cara.
Pemimpin Korup Lahir Dari Masyarakat Yang Korup
Pemimpin yang korup lahir dari masayarakat yang korup.
Masyarakat yang kotor dan suka berbuat maksiat. Masyarakat yang tidak serius
menjalankan ketaatannya kepada Allah swt. Masyarakat yang suka disogok dan
berani menukar idealisme dengan hanya 300 ribu rupiah atau bahkan dua liter
beras atau satu kardus mie. Masyarakat yang suka main-main dan menganggap dosa
adalah sesuatu yang biasa. Masyarakat yang tidak takut kepada Allah swt. Masyarakat
yang tidak berwawasan luas. Masyarakat yang mau dibodohi. Masyarakat yang tidak
mau belajar dari sejarah kegagalan masa lalu.
Sungguh tidak ada jalan untuk mengubah sebuah negeri kecuali
masyarakatnya harus berubah. Masyarakatnya harus berwawasan luas, bukan
masyarakat berwawasan kepentingan sesat. Pun bukan masyarakat yang
meterialistis. Melainkan masyarakat yang berani berjuang mempertahankan
idealisme. Sebab tidak mungkin masyarakat meterialistis berjuang untuk
idealisme. Mereka hanya mampu bertahan ketika kebutuhan materi mereka
terpenuhi.
Sungguh bila kita belajar dari perjalanan para sahabat, kita
menemukan fakta masyarakat yang berani berkorban apa saja demi sebuah idealisme
(baca: iman). Mereka berani hijrah meninggalkan tanah air bahkan harta dan
rumah yang sangat mereka banggakan, demi idealisme. Mereka bahkan berani
mengorbankan jiwa mereka dalam berbagai pertempuran demi idealisme.
Masyarakat materialistis adalah masyarakat yang mati
jiwanya. Mereka hanyalah rangka berjalan, sementara jiwa mereka kosong. Seakan
mereka hidup, padahal dalam jiwa mereka tidak ada kemanusiaan. Mereka bergerak
bagai binatang buas, yang siap menerkam siapapun yang lemah. Kedzaliman
dianggap biasa. Bahkan mereka sambil terbahak-bahak mendzalimi orang lain. Allah
swt. menceritakan dalam surat Al Muthafifin 29-32: “Sesungguhnya orang-orang
yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang
yang beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka,
mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila orang-orang berdosa itu
kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka
melihat orang-orang mu’min, mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu
benar-benar orang-orang yang sesat”.
Mereka Lahir dari kebiasaan Berbuat Dosa
Perhatikan ayat yang disebut diatas, betapa kebiasaan
berbuat dosa ada hubungannya dengan ketidak seriusan hidup. Mengapa?. Sebab:
Pertama, kebiasaan berbuat dosa membuat mereka tidak takut
lagi kepada Allah swt. Akibatnya mereka berani melakukan segala cara, tidak
peduli halal atau haram yang penting tujuan tercapai. Bila rasa takut kepada
Allah swt tidak ada, maka otomatis rasa takut kepada manusia lebih tidak ada.
Dari susana seperti inilah pemimpin seperti Fir’un muncul. Dan puncak
keberanian Fir’un kepada Allah swt kian terlihat ketika ia berkata di depan
khalayak pendukungnya: ana rabbukumul a’laa (aku tuhanmu yang paling tinggi).
Di sini Fir’un menemukan dirinya sebagai yang paling berkuasa. Perhatikan
betapa kebiasaan berbuat dosa telah menyeret seorang pemimpin kehilangan
kontrol sehingga ia merasa bebas, bahkan ia merasa bebas dari Allah swt.
Kedua, kebisaan berbuat dosa akan mencabut keberkahan sebuah
negeri. Allah swt. berfirman:
”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman
dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang
tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan
siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka
sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak
terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang
yang merugi.” (Al A’raf : 96-99).
Ketiga, kebiasaan berbuat dosa membuat mereka lalai akan
kewajiban yang harus dipikul. Dari kelalaian ini banyak dosa-dosa dengan segala
dimensinya terjadi. Akibatnya hati mereka menjadi keras. Ketika hati keras,
mereka tidak tersentuh lagi dengan teguran Allah swt. Bahkan mereka semakin
yakin bahwa dengan dosa-dosa itu mereka kuat dan banyak pendukung. Dari sini
kebiasaan mempermainkan Allah swt, merendahkan-Nya, dan mengabaikan
tuntunan-Nya, bemunculan bagai jamur. Allah swt yang memiliki langit dan bumi
tidak mungkin membiarkan ini tanpa ada konsekwensinya.
Allah swt berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
(rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka
dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon
(kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak
memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan
Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan syaitanpun
menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan. Maka
tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun
membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka
bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka
dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” QS. Al
An’am : 42-44.
Keempat, kebiasaan berbuat dosa membuat mereka bersepakat
untuk tolong menolong dalam dosa dan kedzaliman. Pada saat itu firman Allah
swt: “Wata’aawanuu ‘alal birri wat taqwaa walaa ta’aawanuu ‘alal itsmi wal
‘udwaan. Dan tolong menolonglah dalam melaksanakan kebaikan dan taqwa. dan
jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” tidak menjadi indah
lagi.
Simaklah Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu melanggar syi`ar-syi`ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan
bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan
binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keredhaan dari Tuhannya
dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan
janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada
mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” QS. Al Maidah: 2.
Di sini nampak bahwa memerintahkan takwa setelah
memerintahkan agar manusia saling tolong menolong dalam kebaikan dan jangan
saling tolong menolong dalam dosa. Ini menunjukkan bahwa tidak mungkin suatu
kaum akan mencapai ketakwaan, semasih tetap berkompromi dalam kedzaliman.
Cara-cara kompromi dalam rangka dosa inilah yang membantu munculnya para
pemimpin yang korup. Karena itu tidak mungkin sebuah negeri dipimpin oleh
seorang yang bersih dan jujur bila rakyatnya tetap kotor, terbiasa dengan
dosa-dosa dan tidak pernah mau bersungguh-sungguh memahami ajaran Allah swt
secara benar serta mengamalkannya secara ikhlas.
Wallahu a’lam bishshawab.
0 komentar:
Posting Komentar