Selasa, 27 Oktober 2015

MUBAI’ATULLAH





إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (Q.S. Al-Fath: 10)
Masdarnya adalah Mubai’atullah. Mubai’atullah terdiri dari 2 kata:
  1. Mubaya’ah, artinya melakukan transaksi jual beli. Ada 2 pihak yang terlibat. Ada penjual dan ada pembeli. Dalam bahasa Arab disebut musyarakah (kerja sama)
  2. Allah (lafazh yang paling tinggi) sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara, Penguasa jagat raya termasuk manusia.
Mubai’atullah dapat didefinisikan sebagai sebuah transaksi jual beli yang dilakukan oleh seorang mukmin dengan Allah Taala.
Untuk memahami lebih lanjut tentang mubai’atullah ada beberapa hal penting yang haus digarisbawahi:
  1. Ada penjual yang menjual sesuatu, yaitu mukmin
  2. Ada pembeli yang membeli, yaitu Allah Taala.
Allah adalah produsen dan sekaligus pembeli. Sedangkan orang mukmin sebagai penjual. Yang dijual orang mukmin adalah sesuatu yang berasal dari Allah dan sesuatu yang dibeli Allah adalah sesuatu yang diciptakan-Nya sendiri, yakni jiwa dan harta manusia. Ada nilai transaksi berupa surga dan ampunan-Nya.
Allah sebagai produsen dan sekaligus sebagai pembeli sedangkan manusia sebagai penjual, padahal ia bukan produsen sebenarnya, jadi bukanlah hal yang lazim. Namun itulah wujud kemurahan Allah, Dia menciptakan manusia dan memberikannya harta, namun Dia juga yang membelinya dengan nilai transaksi tidak tanggung-tanggung, yakni surga.
Keutamaan lainnya yang terdapat dalam transaksi jual beli dengan Allah ialah bahwa nilai tukar yang Allah berikan tidak sebanding atau jauh lebih besar dari barang yang dibeli-Nya. Manusia bila membeli sesuatu ternyata mendapatkan kualitas barang yang tidak sesuai dengan uang yang dibayarkannya, biasanya akan marah dan protes karena dianggap pihak penjual melanggar aturan main.
Namun Allah Taala yang Maha Pemurah dan Penyayang tidak demikian halnya dalam mencurahkan kasih sayang-Nya. Ayat-ayat dalam Al-Quran banyak menyebutkan bahwa Allah sangat besar karunia-Nya dan besar itu relatif, bisa 1 banding 1000 bisa 1 banding 1 milyar. Dan jika harta dan jiwa kita jual kepada Allah, lalu dibeli-Nya dengan surga (Q.S. At-Taubah: 111), As-Shaff: 10-11) itu berarti sudah tiada bandingnya. Apalagi dalam hadits disebutkan,
قَالَ اللَّهُ أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّالِحِينَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَر
“Telah aku siapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shaleh surga yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga dan tidak tergambarkan oleh pikiran manusia.”
Oleh karena itu generasi Islam yang pertama, tahu betul tentang rahasia Allah, maka mereka semua pun terlibat dalam transaksi mulia tersebut.
Implementasi mubai’atullah terwujud dalam suatu kewajiban atau aktifitas muslim yang sangat berat, yaitu jihad fi sabilillah. Rasulullah saw. bersabda, “Maukah kamu akan aku tunjukkan bahwa pokok persoalan itu terletak pada Laa ilaaha illallah, kemudian tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.

Mengapa dikatakan puncaknya adalah jihad?

Pertama, karena hanya dengan jihadlah umat akan memiliki izzah atau martabat. Seorang ulama mengatakan bahwa tidak ada izzah tanpa jihad. Kalau shalat semua orang bisa melakukan shalat, tetapi tidak secara langsung berdampak izzah terhadap umat. Hal terpenting dalam kehidupan umat Islam adalah izzah. Al-Qur’an menyatakan izzah itu hanya milik Allah, Rasul dan umat Islam. Bila di negeri muslim sendiri Islam dianggap asing, nilai-nilai Islam tidak lagi dianut dan malah cara barat yang dipakai dan ditiru, maka izzahnya akan dicabut Allah.  Salah satu faktor yang bisa meniadakan izzah adalah meninggalkan jihad fi sabilillah.
Kedua, jihad merupakan ibadah dan kewajiban yang menuntut harta dan jiwa sekaligus. Bila kita puasa atau shalat, keduanya tidak menuntut kita untuk memberikan harta dan jiwa. Kemudian jika kita pergi haji yang dituntut hanya harta dan tidak jiwa.
Puncak ketinggian umat Islam akan menyebabkan seorang mukmin dapat izzah (kemuliaan) di sisi Allah, namun menuntut adanya pengorbanan harta dan jiwa. Allah Taala menggambarkan bagaimana sejarah sahabat dahulu yang paham akan jihad. Dalam surat Al-Fath ayat 18-19,
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا. وَمَغَانِمَ كَثِيرَةً يَأْخُذُونَهَا وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka bermubaya’ah (berbaiat atau berjanji setia) kepadamu (Rasulullah) di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). Serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Mubaya’ah dengan Rasul merupakan implementasi mubaya’ah dengan Allah. Betapa generasi sahabat yang pertama tahu dan paham serta tidak mengendorkan semangat mereka untuk mubaya’ah dengan Allah. Bila kita lihat misalnya peristiwa Hudaibiyah, dilihat dari target-target materialnya, isi perjanjian itu benar-benar merugikan. Para sahabat memang sempat gelisah, kecewa dan bertanya-tanya bahkan Umar ra. Kecewa sekali dan bertanya, “Alasta Rasulullah?” (Bukankah engkau adalah utusan Allah?)
Mereka kecewa karena belum dapat mencerna mengapa harus mengalah seperti itu kepada kaum kafir Quraisy. Namun Allah kemudian menurunkan ketenangan hati mereka dan mereka menjadi teringat baiat mereka kepada Rasulullah. Mereka akhirnya paham bahwa perjanjian itu hanyalah sebuah strategi yang berujung dengan kemenangan berupa penaklukan kota Mekkah (Fathu Mekkah) tidak lama setelah itu. Ada nikmat banyak yang mereka peroleh yaitu balasan yang tidak hanya ukhrawi tetapi juga duniawi.
Ibrah yang dapat kita ambil  untuk dijadikan motivasi adalah bahwa jika Allah membebani kewajiban yang harus dikerjakan hamba-Nya, maka Dia tidak hanya memberikan pahala di akhirat, melainkan juga imbalan-imbalan konkret di dunia. Allah Maha Tahu bahwa faktor-faktor duniawi adalah faktor pendukung yang berguna untuk sampai ke akhirat nanti.
Kita bisa melihat di dalam Al-Qur’an yang dimaksud ketenangan jiwa adalah kenikmatan duniawi yang membuat mereka tidak gelisah dan tidak menjadi kafir. Kemudian masalah harta rampasan, sama halnya dengan orang pergi berdagang, pulang membawa harta, maka orang yang berperang di jalan Allah pun pulang membawa harta. Allah tidak menuntut apa-apa, bahkan memberikan peluang material achievemen (hasil material) kepada para mujahid.  Hanya saja yang perlu dijaga adalah masalah motivasi yang utama, yakni ridha, surga dan ampunan-Nya. Ketika Allah mengatakan,
وَلَلآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الأُولَى
 “Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan.”
Maksudnya bukan  berarti bahwa dunia tidak baik, melainkan akhirat itu lebih baik lagi dibanding dunia. Di dunia makan enak, di akhirat jauh lebih enak lagi. Di sini minum susu, di sana juga minum susu. Hanya di surga ada sungai susu yang tidak perlu disterilkan lagi. Di dunia kita  minum susu sedikit, di sana bisa dan mampu minum susu sepuas-puasnya. Jadi baik kualitas maupun kuantitas nikmat di dunia jelas kalah jauh dibanding nikmat di akhirat.
Sehingga kita tidak boleh berbai’ah dengan orientasi duniawi, yaitu mencari kemashuran, keuntungan atau ghanimah, melainkan harus dalam rangka menegakkan kalimat Allah. Dan seandainya kita pun mendapatkan ghanimah, kita harus memenejnya secara benar seperti aturan main yang ada dalam surat Al-Anfal.
Para sahabat paham benar dengan Q.S. At-Taubah: 111) bahwa untuk mendapatkan surga harus dengan jihad di sabilillah dan tidak cukup dengan harta, melainkan juga harus dengan jiwa. Alternatif pilihannya hanya dua, yakni membunuh atau dibunuh dan itu janji Allah yang sudah tertera di Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan janji Allah pasti benar.
Untuk dapat memahami bai’ah kepada Allah harus dipahami beberapa hal mendasar berikut ini:
  1. Bai’ah tidak mungkin terjadi, kecuali melalui proses keimanan yang benar. Jika keimanan seseorang belum benar dan mantap sulit baginya untuk berbai’ah karena untuk itu dituntut pengorbanan setiap saat. Persatuan akidah menjadi landasan persatuan umat yang akan dibangun. Selama belum ada kesatuan persepsi tentang akidah, akan sangat sulit untuk mempersatukan umat. Demikian pula masalah membeelakukan kewajiban jihad.
  2. Jihad fi sabilillah membutuhkan perngorbanan harta dan jiwa. Artinya Allah memerintahkan kita mempersiapkan iman dan kemudian harta serta jiwa. Kewajiban jihad harus didahului dengan mewajiban mencari harta, karena jihad perlu pendanaan yang besar. Misalnya dulu di Afganistan, harga satu roket stringer US $ 40.000, apalagi sekarang. Itupun kalau roket tersebut tepat mengenai sasaran, jika tidak hilanglah uan gsebsar itu. Budget pendidikan seluruh Indonesia dibandingkan budget untuk militer seper berapanya? Untuk mendirikan stasiun TV diperlukan modal 100 juta dolar. Jika uang itu digunakan untuk membeli roket stringer berarti hanya untuk 25 stringer atau 25 kali tembakan. Jika satu hari ditembakkan satu roket, berarti hanya cukup untuk 25 hari. Sementara stasiun TV bisa bertahan puluhan tahun. Belum lagi untuk yang lainnya, seperti harus melintasi dan melewati gunung. Jihad tidak akan langgeng jika hanya mengandalkan kantong orang lain. Misalnya perang Afgan yang sebelumnya didanai negara-negara Teluk (Arab), ketika terjadi perang teluk dana tersebut dialihkan untuk membayar As dan sekutu-sekutunya.
  3. Hasil yang akan diperoleh dari jihad fi sabilillah melingkupi kemenangan individu bagi mujahidnya, yaitu diampuni dosanya dan di akhirat mendapat jannah ‘adn. Ada lagi kemenangan jama’i (komunitas) yang sifatnya di dunia yaitu penaklukan-penaklukan sebagai persyaratan dan peluang untuk menegakkan syariat Allah. Jadi mubaya’ah dengan Allah ada imbalan individual dan komunal. Namun tentu saja diperlukan kekuatan motivasi, persiapan dan strategi-strategi. Hadits Rasulullah saw. memberikan motivasi yang besar, “Dari Miqdad. Syahid itu di sisi Allah mendapat enam perkara; kelebihan pertama diampuni dosa pada awal syahid, kedua melihat tempat duduknya, dilindungi dari azab kubur, keempat Allah lindungi dari ketakutan pada hari kiamat, kelima Allah letakkan di kepalanya mahkota dari ya’qut lebih baik dari dunia dan isinya dan keenam Allah nikahkan dia dengan 72 bidadari dan dia dapat memberi syafaat 70 orang”.

Wallahu’alam bisawab

0 komentar:

Posting Komentar