إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ
إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ
فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ
اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia
kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di
atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia
melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati
janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (Q.S. Al-Fath:
10)
Masdarnya adalah Mubai’atullah. Mubai’atullah
terdiri dari 2 kata:
- Mubaya’ah, artinya melakukan transaksi jual beli.
Ada 2 pihak yang terlibat. Ada penjual dan ada pembeli. Dalam bahasa Arab
disebut musyarakah (kerja sama)
- Allah (lafazh yang paling tinggi)
sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara, Penguasa jagat raya termasuk
manusia.
Mubai’atullah dapat didefinisikan
sebagai sebuah transaksi jual beli yang dilakukan oleh seorang mukmin dengan
Allah Taala.
Untuk memahami lebih lanjut tentang
mubai’atullah ada beberapa hal penting yang haus digarisbawahi:
- Ada penjual yang menjual sesuatu, yaitu mukmin
- Ada pembeli yang membeli, yaitu Allah Taala.
Allah adalah produsen dan sekaligus pembeli.
Sedangkan orang mukmin sebagai penjual. Yang dijual orang mukmin adalah sesuatu
yang berasal dari Allah dan sesuatu yang dibeli Allah adalah sesuatu yang
diciptakan-Nya sendiri, yakni jiwa dan harta manusia. Ada nilai transaksi
berupa surga dan ampunan-Nya.
Allah sebagai produsen dan sekaligus sebagai
pembeli sedangkan manusia sebagai penjual, padahal ia bukan produsen
sebenarnya, jadi bukanlah hal yang lazim. Namun itulah wujud kemurahan Allah,
Dia menciptakan manusia dan memberikannya harta, namun Dia juga yang membelinya
dengan nilai transaksi tidak tanggung-tanggung, yakni surga.
Keutamaan lainnya yang terdapat dalam
transaksi jual beli dengan Allah ialah bahwa nilai tukar yang Allah berikan
tidak sebanding atau jauh lebih besar dari barang yang dibeli-Nya. Manusia bila
membeli sesuatu ternyata mendapatkan kualitas barang yang tidak sesuai dengan
uang yang dibayarkannya, biasanya akan marah dan protes karena dianggap pihak
penjual melanggar aturan main.
Namun Allah Taala yang Maha Pemurah dan
Penyayang tidak demikian halnya dalam mencurahkan kasih sayang-Nya. Ayat-ayat
dalam Al-Quran banyak menyebutkan bahwa Allah sangat besar karunia-Nya dan
besar itu relatif, bisa 1 banding 1000 bisa 1 banding 1 milyar. Dan jika harta
dan jiwa kita jual kepada Allah, lalu dibeli-Nya dengan surga (Q.S. At-Taubah:
111), As-Shaff: 10-11) itu berarti sudah tiada bandingnya. Apalagi dalam hadits
disebutkan,
قَالَ اللَّهُ أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي
الصَّالِحِينَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى
قَلْبِ بَشَر
“Telah
aku siapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shaleh surga yang tidak pernah terlihat
oleh mata, tidak terdengar oleh telinga dan tidak tergambarkan oleh pikiran
manusia.”
Oleh karena itu generasi Islam yang pertama,
tahu betul tentang rahasia Allah, maka mereka semua pun terlibat dalam
transaksi mulia tersebut.
Implementasi mubai’atullah terwujud dalam
suatu kewajiban atau aktifitas muslim yang sangat berat, yaitu jihad fi
sabilillah. Rasulullah saw. bersabda, “Maukah kamu akan aku tunjukkan bahwa
pokok persoalan itu terletak pada Laa ilaaha illallah, kemudian tiangnya adalah
shalat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.”
Mengapa dikatakan puncaknya adalah jihad?
Pertama,
karena hanya dengan jihadlah umat akan memiliki izzah atau martabat. Seorang
ulama mengatakan bahwa tidak ada izzah tanpa jihad. Kalau shalat semua orang
bisa melakukan shalat, tetapi tidak secara langsung berdampak izzah terhadap
umat. Hal terpenting dalam kehidupan umat Islam adalah izzah. Al-Qur’an
menyatakan izzah itu hanya milik Allah, Rasul dan umat Islam. Bila di negeri
muslim sendiri Islam dianggap asing, nilai-nilai Islam tidak lagi dianut dan
malah cara barat yang dipakai dan ditiru, maka izzahnya akan dicabut
Allah. Salah satu faktor yang bisa
meniadakan izzah adalah meninggalkan jihad fi sabilillah.
Kedua, jihad merupakan ibadah dan kewajiban yang
menuntut harta dan jiwa sekaligus. Bila kita puasa atau shalat, keduanya tidak
menuntut kita untuk memberikan harta dan jiwa. Kemudian jika kita pergi haji
yang dituntut hanya harta dan tidak jiwa.
Puncak ketinggian umat Islam akan menyebabkan
seorang mukmin dapat izzah (kemuliaan) di sisi Allah, namun menuntut adanya
pengorbanan harta dan jiwa. Allah Taala menggambarkan bagaimana sejarah sahabat
dahulu yang paham akan jihad. Dalam surat Al-Fath ayat 18-19,
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ
الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ
فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا. وَمَغَانِمَ
كَثِيرَةً يَأْخُذُونَهَا وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap
orang-orang mukmin ketika mereka bermubaya’ah (berbaiat atau berjanji setia) kepadamu (Rasulullah) di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada
dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan
kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). Serta harta rampasan yang banyak yang dapat
mereka ambil. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Mubaya’ah dengan Rasul merupakan implementasi
mubaya’ah dengan Allah. Betapa generasi sahabat yang pertama tahu dan paham
serta tidak mengendorkan semangat mereka untuk mubaya’ah dengan Allah. Bila
kita lihat misalnya peristiwa Hudaibiyah, dilihat dari target-target
materialnya, isi perjanjian itu benar-benar merugikan. Para sahabat memang
sempat gelisah, kecewa dan bertanya-tanya bahkan Umar ra. Kecewa sekali dan
bertanya, “Alasta Rasulullah?” (Bukankah engkau adalah utusan Allah?)
Mereka kecewa karena belum dapat mencerna
mengapa harus mengalah seperti itu kepada kaum kafir Quraisy. Namun Allah
kemudian menurunkan ketenangan hati mereka dan mereka menjadi teringat baiat
mereka kepada Rasulullah. Mereka akhirnya paham bahwa perjanjian itu hanyalah
sebuah strategi yang berujung dengan kemenangan berupa penaklukan kota Mekkah
(Fathu Mekkah) tidak lama setelah itu. Ada nikmat banyak yang mereka peroleh
yaitu balasan yang tidak hanya ukhrawi tetapi juga duniawi.
Ibrah yang dapat kita ambil untuk dijadikan motivasi adalah bahwa jika
Allah membebani kewajiban yang harus dikerjakan hamba-Nya, maka Dia tidak hanya
memberikan pahala di akhirat, melainkan juga imbalan-imbalan konkret di dunia.
Allah Maha Tahu bahwa faktor-faktor duniawi adalah faktor pendukung yang
berguna untuk sampai ke akhirat nanti.
Kita bisa melihat di dalam Al-Qur’an yang
dimaksud ketenangan jiwa adalah kenikmatan duniawi yang membuat mereka tidak
gelisah dan tidak menjadi kafir. Kemudian masalah harta rampasan, sama halnya
dengan orang pergi berdagang, pulang membawa harta, maka orang yang berperang
di jalan Allah pun pulang membawa harta. Allah tidak menuntut apa-apa, bahkan
memberikan peluang material achievemen (hasil material) kepada para
mujahid. Hanya saja yang perlu dijaga
adalah masalah motivasi yang utama, yakni ridha, surga dan ampunan-Nya. Ketika
Allah mengatakan,
وَلَلآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الأُولَى
“Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu
dari permulaan.”
Maksudnya bukan berarti bahwa dunia tidak baik, melainkan
akhirat itu lebih baik lagi dibanding dunia. Di dunia makan enak, di akhirat
jauh lebih enak lagi. Di sini minum susu, di sana juga minum susu. Hanya di
surga ada sungai susu yang tidak perlu disterilkan lagi. Di dunia kita minum susu sedikit, di sana bisa dan mampu
minum susu sepuas-puasnya. Jadi baik kualitas maupun kuantitas nikmat di dunia
jelas kalah jauh dibanding nikmat di akhirat.
Sehingga kita tidak boleh berbai’ah dengan
orientasi duniawi, yaitu mencari kemashuran, keuntungan atau ghanimah,
melainkan harus dalam rangka menegakkan kalimat Allah. Dan seandainya kita pun
mendapatkan ghanimah, kita harus memenejnya secara benar seperti aturan main
yang ada dalam surat Al-Anfal.
Para sahabat paham benar dengan Q.S.
At-Taubah: 111) bahwa untuk mendapatkan surga harus dengan jihad di sabilillah
dan tidak cukup dengan harta, melainkan juga harus dengan jiwa. Alternatif
pilihannya hanya dua, yakni membunuh atau dibunuh dan itu janji Allah yang
sudah tertera di Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan janji Allah pasti benar.
Untuk dapat memahami bai’ah kepada Allah
harus dipahami beberapa hal mendasar berikut ini:
- Bai’ah tidak mungkin terjadi, kecuali melalui proses keimanan yang
benar. Jika keimanan seseorang belum benar dan mantap sulit baginya untuk
berbai’ah karena untuk itu dituntut pengorbanan setiap saat. Persatuan
akidah menjadi landasan persatuan umat yang akan dibangun. Selama belum
ada kesatuan persepsi tentang akidah, akan sangat sulit untuk mempersatukan
umat. Demikian pula masalah membeelakukan kewajiban jihad.
- Jihad fi sabilillah membutuhkan perngorbanan harta dan jiwa.
Artinya Allah memerintahkan kita mempersiapkan iman dan kemudian harta
serta jiwa. Kewajiban jihad harus didahului dengan mewajiban mencari
harta, karena jihad perlu pendanaan yang besar. Misalnya dulu di
Afganistan, harga satu roket stringer US $ 40.000, apalagi sekarang.
Itupun kalau roket tersebut tepat mengenai sasaran, jika tidak hilanglah
uan gsebsar itu. Budget pendidikan seluruh Indonesia dibandingkan budget
untuk militer seper berapanya? Untuk mendirikan stasiun TV diperlukan
modal 100 juta dolar. Jika uang itu digunakan untuk membeli roket stringer
berarti hanya untuk 25 stringer atau 25 kali tembakan. Jika satu hari
ditembakkan satu roket, berarti hanya cukup untuk 25 hari. Sementara
stasiun TV bisa bertahan puluhan tahun. Belum lagi untuk yang lainnya,
seperti harus melintasi dan melewati gunung. Jihad tidak akan langgeng
jika hanya mengandalkan kantong orang lain. Misalnya perang Afgan yang
sebelumnya didanai negara-negara Teluk (Arab), ketika terjadi perang teluk
dana tersebut dialihkan untuk membayar As dan sekutu-sekutunya.
- Hasil yang akan diperoleh dari jihad fi sabilillah melingkupi
kemenangan individu bagi mujahidnya, yaitu diampuni dosanya dan di akhirat
mendapat jannah ‘adn. Ada lagi kemenangan jama’i (komunitas) yang sifatnya
di dunia yaitu penaklukan-penaklukan sebagai persyaratan dan peluang untuk
menegakkan syariat Allah. Jadi mubaya’ah dengan Allah ada imbalan individual
dan komunal. Namun tentu saja diperlukan kekuatan motivasi, persiapan dan
strategi-strategi. Hadits Rasulullah saw. memberikan motivasi yang besar,
“Dari Miqdad. Syahid itu di sisi Allah mendapat enam perkara; kelebihan
pertama diampuni dosa pada awal syahid, kedua melihat tempat duduknya,
dilindungi dari azab kubur, keempat Allah lindungi dari ketakutan pada
hari kiamat, kelima Allah letakkan di kepalanya mahkota dari ya’qut lebih
baik dari dunia dan isinya dan keenam Allah nikahkan dia dengan 72 bidadari
dan dia dapat memberi syafaat 70 orang”.
0 komentar:
Posting Komentar