Selasa, 20 Oktober 2015

SYURA



وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
 “Dan (bagi) orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (”Asy-Syura: 38).

Mukadimah

Syura Sebagai Ketaqwaan Jama’ah, Kekuatan, Serta Kemerdekaan Individunya dan Hak-hak Mereka Sebagai Manusia.
Perselisihan kerap kali mengundang pertarungan dan perdebatan yang tidak akan pernah berakhir. Seperti perdebatan tentang adakah demokrasi dalam Islam, dan apakah hasil musyawarah itu mengikat ataukah tidak. Hal ini terjadi karena tidak ada kesepakatan mengenai definisi syura sebagai sesuatu yang wajib menetapi, masyurah (memberikan pendapat) dan istisyarah (meminta pendapat) yang fakultatif dipandang dari segi keharusan menetapinya. Pada hakikatnya kesengajaan tidak mau mengetahui perbedaan dapat menyebabkan mereka menggeneralisasikan dalam memberikan hukum terhadap kedua istilah tersebut. Penyamarataan inilah yang menyebabkan munculnya perselisihan tegang di seputar topik ini.

Definisi

Terdapat perbedaan dan perselisihan pendapat dalam definisi syura. Perbedaan tersebut disebabkan tidak adanya kesepakatan terhadap definisi: syura (sesuatu yang wajib menetapi), masyurah (memberikan pendapat) dan istisyarah (meminta pendapat).
Secara praktis, istilah masyurah dan syura sering dipakai dengan makna yang sama. Arti Syura secara umum mencakup segala bentuk pemberian advis (pendapat) dan musyawarah (bertukar pendapat). Sedangkan artian sempit, Syura adalah ketentuan yang harus ditetapi sebagai hasil keputusan jama’ah. Selanjutnya harus dibedakan antara definisi syura secara umum (luas) dan artian sempitnya.
Asas syura ¾dalam arti universal¾ adalah: bahwa eksistensi jama’ah, hak-hak dan tanggung-jawabnya diambil dari solidaritas seluruh individu sebagai bagian darinya. Pendapat jama’ah merupakan pendapat keseluruhan, pemikirannya sebagai hasil pemikiran mereka, akalnya pun akal mereka. Kehendaknya merupakan kehendak seluruh individu. Kehendak diputuskan berdasarkan ketetapan yang mereka ambil berdasarkan hasil tukar pikiran, dalam hal ini siapapun diberikan kebebasan mengeluarkan dan membantah pendapat.
Jama’ah bukanlah sesuatu yang terpisah dari individunya, keberadaan seorang dalam jama’ah telah memberikan kepadanya hak yang fitri dan syar’i. Namun demikian, diisyaratkan bahwa pada akhirnya ia harus mengakui dan menetapi ketetapan jama’ah yang ditetapkan oleh jumhurnya yang disebut aghlabiyyah (mayoritas). Hak pribadi dalam syura merupakan haknya dalam kebebasan dan hak-hak asasi manusia (HAM) yang diambil dari fitrahnya dan syari’at Allah sebagai manusia.
Keharusan berkomitmen atas ketetapan jama’ah inilah yang membuat jama’ah sebagai “sumber kekuasaan hukum”. Jama’ahlah yang menetapkan pembagian kekuasaan, mengatur dan memilih orang yang menempati pos-pos kekuasaan sekaligus mengontrol dan mengoreksinya. Setiap keputusan harus mengikutsertakan individu dalam musyawarah yang bebas. Sehingga ketetapan tidak akan dianggap sebagai hasil keputusan jama’ah ¾dalam arti sebagai sesuatu yang benar¾ jika tidak mengikutsertakan sebagian anggota jama’ah (mukalaf dan sehat) dalam musyawarah.

Syari’at Fitrah

Syari’at Islam adalah syari’at fitrah, dan berarti syari’at Islam adalah syari’at syura, yang dalam menetapkan sesuatu tidak terbatas pada hak-hak pribadi tapi juga hak-hak jama’ah. Di sisi lain, dalam Islam terdapat metode masyurah, (memberi pandangan, bertukar pendapat, meminta pendapat dari orang yang berpengalaman, nasihat, saling mempercayai) yang bersifat fakultatif diantara umat. Hal ini menunjukkan bahwa agama Islam mengutamakan agar masyarakat meminta pendapat dari orang-orang berpengalaman sebelum menetapkan apapun baik secara pribadi maupun jama’ah.
Penetapan mabda syura dalam syari’at pada hakikatnya ditujukan kepada umat dan jama’ah. Jika individu saja boleh menggunakan akal ¾yang menjadi syarat kedewasaan dan dasar sah dalam menetapi hukum syara¾ dan diperbolehkan memilih, maka jama’ah (kumpulan individu yang berakal dan dewasa) tentu saja lebih penting untuk dianggap dewasa dan mukalaf. Jama’ah memiliki hak kebebasan mengurusi dirinya, merupakan hasil yang pasti dari apa yang diperoleh dari hasil individunya, berupa hak memilih dan memberi kebebasan mengurusi diri mereka sendiri. Dari sinilah lahir metode syura secara kolektif yang harus ditetapi, sebagaimana hal itu menjadi asas pula bagi masyura, istisyarah fakultatif, dan nasihat di antara mereka.

Masa Depan Syura

Fitrah manusia sebagai sumber syura yang merupakan manhaj bagi solidaritas, keadilan sosial dan kedewasaan berpolitik, akan menjadikan masa depan kemanusiaan tampil dalam bentuk menghormati prinsip kebebasan syura dan konsisten dengan bentuknya yang komprehensif, yang sanggup menutupi kelemahan demokrasi. Tegaknya kedaulatan syari’at sangat didukung oleh hakikat sejarah dan banyak orang yang terpengaruh serbuan informasi yang rancu akan kemaslahatan.
Informasi tersebut disebarkan oleh kelompok yang berusaha keras membendung nilai-nilai Islam dan menghentikan aktifitas para da’inya. Mereka bersembunyi di balik syiar demokrasi dengan mengaku bahwa demokrasi adalah kebebasan, sedang syura adalah kungkungan. Mereka terkesan menegakkan demokrasi, padahal mereka tidak konsisten dengan penerapannya. Kebebasan mereka pada hakikatnya adalah kebebasan undang-undang buatan manusia dan negara diktator yang diberikan kepada siapa yang mereka kehendaki saja. Memberikan kebebasan kepada para pendukung penguasa saja, tidak kepada yang lain. Ketika “kewajiban”demokrasi itu berlawanan dengan kepentingan mereka, maka tiada kaitannya dengan budi pekerti dan akidah, hak menggunakan kekuasaan tak boleh terikat oleh hukum Allah atau syara.  
Kediktatoran para penguasa masa kini lebih berbahaya karena para penguasa sekarang merebut kekuasaan legislatif lalu menciptakan undang-undang sendiri yang dipergunakan untuk memperluas kekuasaan mereka dan memberi jalan kepada para pendukungnya untuk melakukan tindakan yang disukainya. Undang-undang yang memalsu aspirasi rakyat digunakan dalam praktik pemilihan yang biasa berlaku, untuk membasmi setiap perlawanan terhadap kesewenang-wenangan mereka dan memberikan legitimasi terhadap pemerintah mereka yang mereka paksakan atas manusia.
Kebangkitan Islam menuntut berlakunya syari’at yang harus memiliki dua tujuan:
Melenyapkan penyelewengan lama yang dimulai oleh para penguasa negara Islam pasca Khulafaur Rasyidin, yang memang telah menghalangi banyak bangsa untuk ikut memilih para penguasa dan mengontrol mereka.
Melakukan langkah-langkah positif terhadap penyelewengan masa kini yang memberi kesempatan kepada sebagian sultan untuk meniadakan kekuasaan syari’at dan mengeluarkan undang-undang yang mereka ciptakan sesuai kehendak mereka.
Mabda syura dan masyurah atau teori syura yang universal dengan pengertiannya yang luas mencakup seluruh bentuk tukar pikiran, saling menasehati dan berdiskusi secara bebas. Keuniversalan syura dilihat dari sudut:
Syura dalam artinya yang luas dan umum meliputi setiap bentuk tukar pendapat, termasuk mereka yang mengeluarkan dan karakternya.
Syura tidaklah berbentuk khusus yang terbatas pada kekuasaan dalam menggunakannya dengan ketetapan wakil umat yang dikeluarkan dengan syura. Syura merupakan asas dari kemerdekaan pribadi dalam jama’ah yang memberikan haknya yang fitri dalam ikut serta menghasilkan ketetapan-ketetapan secara kolektif.
Pada hakikatnya tujuan syura adalah keadilan yang menegakkan keseimbangan secara proporsional di antara kemerdekaan individu dan jama’ah dari satu segi, dan keberadaan kekuasaan umum yang mewajibkan batas-batas secara fitri dari segi yang lain. Menetapkan mabda syura berarti mengisyaratkan dengan istilah hurumat atau hal-hal yang patut dihormati: aqidah, jiwa, akal, kehormatan, harta dan sebangsanya. Memelihara segala yang patut dihormati berarti memuliakan manusia sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Qurán.

Syura Sebagai Pemuliaan dan Bimbingan

Al-Qurán mewajibkan bertukar pendapat sebagai dasar dari eksisitensi masyarakat dan solidaritas beserta sistem-sistemnya, dengan tujuan agar tukar pendapat secara bebas dijadikan kaidah bagi solidaritas dalam kebebasan berpendapat antara individu. Ikhwal pemuliaan kemanusiaan telah ditegaskan dalam Al-Qur’an yaitu ketika Allah memerintahkan kepada para malaikat agar bersujud kepada Adam setelah sebelumnya Allah menerangkan kepada mereka dengan ilmu, fikiran dan akal. Rasulullah Saw telah mengatur umat agar syura dijadikan sebagai asas bagi kemerdekaan individu dan jama’ah serta kesatuan tanggung-jawabnya. Dengan demikian Allah mewajibkan kepada jama’ah agar menjadikan syura sebagai sendi bagi sistemnya dan sebagai kesetiakawanan antar individu.
Kedewasaan merupakan dasar dalam metode syura. Dimana kedewasaan termasuk dalam kesempurnaan nikmat dan kesempurnaan agama dengan misi Islam dan syari’atnya.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
 “….Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagi mu……..”(Al-Maidah: 3).
Allah mengamanatkan kepada jama’ah agar menentukan sendiri ketetapan tentang berbagai persoalan, dengan demikian umat yang dewasa berhak untuk dinyatakan dalam Al-Qur’an baik jama’ah maupun individu.
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat. Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka……”(Asy-Syura: 38).
Penetapan mabda syura dalam Al-Qur’an merupakan pertanda datangnya era baru bagi kemanusiaan yang dewasa, yaitu masa baru yang diwujudkan oleh syura atas dasar hak bangsa dalam menentukan nasib serta mengatur diri mereka sendiri manakala mereka percaya dengan Tuhannya dan berjalan diatas manhaj Allah. Oleh kareana itu Islam mewajibkan Syura dalam segala segi kehidupan.

Syura Sebagai Kaidah Sosial

Sebanarnya syura dalam Islam bukanlah semata-mata sebagai teori politik atau sebagai kaidah dustur pemerintahan seperti diduga sebgian orang. Akan tetapi syura merupakan landasan syar’I bagi sistem masyarakat yang mau menetapi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kekauasaan rakyat serta kesetiakawanan sosial. Secara umum syura tidak terbatas dalam kerangka sistem pemerintahan Islam semata, tidak pula terbatas pada mabda-mabda yang mengikat para penguasa akan tetapi syura memilki jangkauan yang lebih mendalam, kajian syura dimulai dengan pokok syari’at Islam dimana manusia berhak mengambil hak asasi dan kemerdekaannya, demikian pula umat yang mengambil kekuasaan.
Dalam kaitan ini batapa pentingnya membedakan syura dengan demokrasi politik karena mabda tasyawur (tukar pendapat) dan syura terpusat pada kepentingan mengorbankan pikiran untuk mengambil sebuah keputusan dan terpusat pada keharusan memberi kesempatan bagi seluruh anggota jama’ah untuk ikut serta dalam dialog pemikiran. Dalam ilmu Fikih kerja fikir untuk menentukan sebuah keputusan disebut Ijtihad. Para ahli Fikih memasukan bidang kajian dengan istilah as-Siyasah asy-Syari’ah (politik yang berdasarkan syari’at). Yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan jama’ah serta menuruti tuntutan dan kehidupan individunya baik yang bersifat materia maupun non material.

Sebuah Prinsip Yang Signifikan Dalam Bangunan Teori Umum Syura

Pemisahan syura dalam fiqh dan syura dalam bidang pemerintahan dan politik, hal yang terpentingan dalam pokok syari’at yakni pemisahan syari’at dari pemerintahan dan para penguasa. Dengan demikian dibutuhkan adanya syura dalam kerangka fikih berupa tukar pendapat dan dialog ilmiah yangn terpisah dari dialog politik dan pemerintahan.
Kaitan syura dengan syari’at menjadikannya tunduk pada norma akhlak yang tetap dan komitmen dengan kekuasaan syari’at. Syura dalam Islam merupakan prinsip kemanusiaan, sosial dan konstitusional bagi sistem pemerintahan.

Syura Dalam Teori

Mabda dan Manhaj (Metode)

Pada masa sekarang tampak aktif gerakan ilmiah perundang-undangan dengan tujuan melakukan reformasi dalan Fikih Islam dan memperkayanya dengan studi modern. Dalam hal ini teori-teori, prinsip-prinsip dan hukum-hukumnya diutarakan dalam bentuk baru yang memberi kemampuan bagi generasi sekarang untuk mengeluarkan hukum yang lazim demi menghadapi kasus baru (Fikih Naluri).
Studi syura telah membuka tabir bahwa akar syura yang Islami dan kaidah syari’at telah membedakannya dengan Barat. Teori universal tentang syura dimulai dengan mempelajari kaidahnya dalam sumber yang sah. Teori universal bagi prinsip Syura ialah bahwa teori itu membuka tabir bagi kita tentang ciri-ciri khusus yang membedakannya dari teori-teori Eropa.

Ia Tunduk Kepada Syari’at Dan Terkait Dengannya

Ia bukanlah filsafat ataupun doktrin. Ia adalah prinsip sosial murni dan metode kesetiakawanan sosial yang komprehensif
Keluasan kerangkanya mencakup seluruh urusan masyarakat dan pribadi. Maka hal itu mengharuskan adanya variasi hukum-hukumnya dikarenakan banyaknya bidang garapan.

Prinsip syura dalam Sunnah

Sunnah Amaliyah

Abu Hurairah berkata, “Saya tidak pernah melihat seorang yang paling banyak melakukan musyawarah dengan rekan-rekannya kecuali Rasulullah.” Perbuatan ini telah meyakinkan bahwa prinsip syura senantiasa dipegang teguh dalam segala bentuknya yang universal. Banyak peristiwa yang Rasulullah senantiasa meminta pendapat kepada para sahabatnya. Rasulullah tidak pernah memberi wasiat mengenai siapa yang akan menggantikan beliau memimpin pemerintahan. Tujuannya agar pengarahan terakhir beliau adalah berupa isyarat kepada kewajiban umat membuat sistem sosial dan politik dengan jalan Syura yang berdasarkan kaidah yang telah ditetapkan dalam Al-qur’an maupun Al-Hadits.

Sunnah Qauliyah

Terdapat banyak hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah yang mengharuskan adanya tukar pendapat dan syura, di antaranya adalah:
Diriwayatkan dari Ali ra ia berkata, “Wahai Rasulullah, perkara Khalifah turun kepada kita, sesudah engkau, tanpa Qur’an turun mengenai itu.” Maka Nabi berkata, “Kumpulkanlah orang yang beribadah dari umatku untuk kepentingan itu dan jadikanlah perkara ini syura di antaramu.
Nabi bersabda bahwa, “Tidaklah bermusyawarah suatu kaum melainkan mereka akan menunjuki kepada perkara mereka yang paling benar.”
Diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau ditanya tentang ‘azam dalam firman Allah (jika kamu telah berazam maka bertaqwalah kepada Allah) lalu beliau menjawab, “Musyawarah dengan ahli pendapat lalu mengikuti mereka.

Ijma Sebagai Sumber Ketiga Syura

Kaum muslimin telah bersepakat tentang kewajiban syura, kendati terjadi penyelewengan yang menyebabkan penghapusan baginya dalam memilih para penguasa. Kesepakatan umat atas kewajiban syura bukanlah hal baru bahkan itu merupakan prinsip pertama yang telah disepakati para sahabat. Ijma mengandung banyak ketetapan yang berbentuk legalisasi konstitusional dan ketetapan lain yang berbentuk politik:
Pengangkatan Ulil Amri atau penguasa adalah salah satu objek yang harus diselesaikan dengan musyawarah dan harus berkomitmen dengan ketetapan yang dikeluarkan setelah syura, baik dihasilkan dengan suara bulat atau dengan suara terbanyak.
Kalau tidak bisa dicapai dengan suara bulat maka ketetapan diambil dari suara terbanyak dalam syura. Artinya pendapat mayoritaslah yang harus diambil, inilah yang berlaku dalam sistem demokrasi yang berlaku
Syura memiliki ruang lingkup kerangka yang lebih luas karena wajib dipraktekkan di seluruh masalah legalisasi dan konstitusi belum lagi ketetapan-ketetapan politik dan eksekutif.

Unsur-unsur Fundamental Berkaitan Dengan Operasional Syura

Keikutsertaan individu jama’ah (khalayak umum dan orang-orang tertentu yang berkaitan dengan urusan yang bersifat umum demi menciptakan kesetiakawanan jama’ah).
Kebebasan mengeluarkan pendapat bagi individu jama’ah, baik khalayak umum atau orang-orang tertentu dan hak mereka dalam mendiskusikan pendapat seluruhnya dengan penuh kebebasan sebelum memilih ketetapan yang harus diambil. Dan semua orang harus menetapinya sebagai ketetapan jama’ah atau umat.
Tujuan dari dialog adalah agar jama’ah dan individu dapat menimbang di antara banyak pendapat dengan sifat yang adil.
Mengutamakan pendapat yang berlainan secara objektif adalah dilihat dari sudut dimensi masing-masing.
Ketetapan keluar manakala memperoleh suara bulat atau setidak-tidaknya suara terbanyak. Inlah syura mengenai ketetapan bersama atau syura dalam arti konstitusionalnya yang sempit.
Syura adalah metode yang jelas dan tegas untuk menjamin berkuasanya nilai-nilai fundamental dan teladan yang tinggi dalam syari’at ketuhanan. Dalam hal ini prinsip asasi yang penting adalah kemerdekaan dan keadilan.
Keistimewaan syura dalam hal ini adalah memberi kesiapan mental kepada orang yang akan mengeluarkan ketetapan dalam suatu masalah bahwa dasar mereka memilih suatu pendapat adalah karena mereka melihatnya lebih dekat kepada kebenaran dan keadilan dibandingkan dengan yang lainnya. Kemudian ia memperoleh legalitas dan kebenarannya dari dalil-dalil seperti ini serta disebabkan hasil tarjihnya.
Adapun yang menjadi penentu adalah dalil atau alasan ketika ketetapan itu ditegakkan. Bukan alasan menjadi topik dialog dan perkiraan lain dalam masyarakat, tempat dan massa yang berbeda. Jadi tidak dapat diragukan bahwa bervariasinya pendapat, pemikiran dan perencanaan lebih dapat diterima dan dibenarkan dalam kaitannya dengan unsur-unsur politik, ekonomi dan sosial yang menjadi topik syura.
Syaikh Syaltut menganggap bahwa syura merupakan salah satu cabang dari kerjasama dalam tanggung jawab sosial yang menurutnya cabang inilah yang asli. Ungkapan beliau ini menurut syaikh Muhammad Abduh disebut sebagai pondasi Syura. Oleh karena itu Rasulullah mewajibkan tukar menukar pendapat, nasihat kepada semua orang melalui sabdanya:
“Agama adalah nasihat. “kami bertanya, “ Untuk siapa wahai Rasulullah ?” beliau menjawab, “Untuk Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya. Imam kepada kaum dan umumnya dari orang mereka.” (Sahih Muslim).
Al-Ustadz Ahmad Mahmud al-Aqad telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menampakkan ciri kemanusiaan dan sosial bagi mabda syura yang beliau namakan demokrasi Islam, karena ia ditegakkan atas dasar hak-hak asasi manusia, kemerdekaan, persamaan dan kesetiakawanan serta kerja sama. Yang beliau maksudkan dengan demokrasi Islam ini adalah mabda syura dalam arti yang luas mencakup istisyarah dan nasihat, di samping syura konstitusional yang dapat menelurkan ketetapan melalui Ijma.
Syura yang harus dipegang teguh secara undang-undang dan konstitusi adalah hak jama’ah dalam mengambil ketetapan-ketetapan yang berkaitan dengan urusannya yang penting, hingga ketetapan itu tidak dipaksakan dari pihak asing atau dari minoritas yang mengambil kekuasaan dengan kekerasan. Tujuannya adalah melindungi kemerdekaan jama’ah dan hak dalam menentukan nasib dan memelihara wewenangnya dalam mengatur urusannya.

Syura dan masyurah fakultatif

Masyurah jamiyah, yang kita harus bersandar kepadanya untuk memperoleh ketetapan bersama dalam salah satu urusan jama’ah yang penting.
Istisyarah fakultatif, meminta pendapat atau nasihat dari orang yang berpengalaman dan ahli dan sifatnya fakultatif bagi orang yang memintanya.
Meminta fatwa fiqhiyah adalah salah satu macam dari istisyarah dalam hukum fikih. Dan bentuk merupakan pemberian pendapat yang bersifat fakultatif, tetapi ia mempunyai hukum khusus.
Di bidang fikih terkadang terjadi tukar pendapat di antara para ulama dan para ahli fikih yang tidak menghasilkan ketetapan secara ijma, tetapi menghasilkan ketetapan suara mayoritas. Namun perlu diketahui bahwa semua yang keluar dari para mujtahid, terutama ulama dan fuqaha yang belum sampai ketingkat ijtihad adalah fatwa ilmiah. Para fuqaha yang mujtahid dapat mengeluarkan ketetapan yang harus ditetapi dalam dua kondisi.
Kondisi ijma yang diakui oleh umat dan dipegang teguh secara umum sebagaimana mereka berpegang teguh dengan kitab Allah dan As-Sunnah Rasulullah.
Dibidang yudikatif, karena hakim mengeluarkan hukum yang harus dipegang teguh.
Fikih Islam mengharuskan bahwa keputusan harus dita’ati baik bagi qadhi yang mujtahid ataupun muqallid (mengikuti pendapat orang lain). Dan yang memperoleh nilai ini bukanlah pendapatnya pribadi melainkan pendapat madzhab yang diikuti.

Syura Dalam Ijtihad

Ijtihad adalah musyawarah Ilmiah dan Fatwa dalam Fikih

Ijma dan ijtihad merupakan dua sumber yang merenovasi fikih setelah dua sumber pokok yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ijtihad dapat berarti mencurahkan tenaga, akal dan pikiran dalam usaha mengenal hukum syara dan memahaminya. Hubungan ijtihad dengan mabda syari’at, kaidah dan tujuan ialah ilmu dan akal. Oleh karena itu agar syari’at dapat memberikan hak ijtihad bagi pribadi, ia mewajibkan adanya ilmu dan mewajibkan belajar dan merupakan kewajiban syar’i bagi setiap orang.
Umumnya manusia kebanyakan lemah dalam menetapi prinsip dan untuk mencurahkan segala waktunya untuk ilmu atau untuk mendalami fikih, sehingga fuqaha menentukan kriteria minimal dari ilmu yang harus dipenuhi oleh setiap individu muslim. Yang penting bahwa jatah individu dalam berijtihad sesuai dengan jatahnya dari segi ilmu, tapi umat yang awam membutuhkan sekelompok orang yang secara penuh berkerja keras berfikir untuk ilmu dan berkeahlian khusus didalam ilmu.
Ijitiad merupakan kewajiban perorangan dan kolektif. Ijtihad adalah hak dan kewajiban atas kaum muslim seluruhnya secara individu dan bersama.
Ijtihad pribadi, yaitu: setiap pribadi kendati pada dasarnya ia seorang muqallid, bekerja mengistimbatkan hukum untuk dirinya manakala hal ini dapat dikerjakan baginya dan dalam batas kemampuannya, karena adanya nash yang tegas dan jelas di mana ia dapat memahami nya dan mewajibkan dirinya menjalankan secara langsung.
Ijtihad perorangan, yaitu: apa yang dikerjakan seseorang dari beberapa orang yang memiliki spesialisasi dalam berijtihad yang diakui oleh orang banyak baik ulama ataupun awam bahwa ia adalah imam dalam fikih atau diakui suka mengemukakan fatwa dan istimbat hukum agar orang banyak dapat menerimanya dan menetapinya dengan kehendak mereka sendiri.
Ijtihad jama’i, yaitu: majelis atau lembaga yang terdiri sekelompok ulama mengerjakan tugas ijtihad dan berhak memimpin di bidang ilmu sebagai kelompok untuk menggantikan keberadaan satu imam.
Syura adalah keseimbangan antara kemerdekaan individu dan sitem jama’ah serta hubungan yang sempurna di antara keduanya. Ia adalah neraca yang saling menyempurnakan dan saling bahu membahu antara pribadi dan umat, ia adalah kesetiakawanan masyarakat dan persamaan di antara manusia dalam kebebasan. Kebebasan mengeluarkan pendapat dan mendiskusikannya dengan kebebasan yang terjamin di dalam jama’ah baik terdapat di dalam pemerintahan baginya atau tidak. Maka tidak ada nilainya bagi orang yang ikut serta didalamnya tapi tidak memiliki kebebasan yang sempurna.
Syura memiliki kaidah yang mendalam dan universal, karena ia memiliki keistimewaaan utama yaitu memperhatikan penjelasan mengenai cara sistem masyarakat ditegakkan di atasnya dan memperhatikan asas mengatur urusannya seacara menyeluruh.

Syura dan HAM

Mendirikan masyrakat syura dalam Islam dimulai dari pribadi dahulu bukan langsung di jama’ah. Hak pribadi diambil dari fitrah kemanusiaan yang berupa kebebasan dalam kerangka masyarakat yang saling menyempurnakan dan kesetiakawanan dengan teratur. Hak pribadi sebagai manusia tidak kurang pentingnya dalam kehidupan sosial dan politik ketimbang hak-hak bangsa. Sebagai mayoritas atau jama’ah yang masuk ke dalam kerangka jama’ah yang sesungguhnya, kemanusiaan membutuhkan suatu mabda yang menentukan talazun yang tidak dapat terpisahkan dan keseimbangan yang kekal antara hak majmu dan hak pribadi.
Pada dasarnya pribadi berhak memilih penguasa karena berafiliasi kedalam mayoritas rakyat. Namun pengertian syura dalam Al-Qur’an, individu tidak cukup mengambil kebebasannya dalam memilih para penguasa melalui keterlibatannya di dalam pihak mayoritas, bahkan ia harus mengambil kebebasan lain yang bersifat pribadi.

Kebebasan Syura Sebagai Kaidah Awal Bagi Pemerintahan Islam dan Konstitusi

Diantara yang disesalkan adalah bahwa sebagian pengkaji membatasi pembicaraannya dalam syura di tingkat penguasa menjalankan kekuasaannya ketika dia berkuasa. Perdebatan di antara merekapun meruncing terutama dalam masalah kekuasaan yang diberikan kepada penguasa dengan jalan sah itu memberi wewenang menjalankan segala urusan umat dalam rangka mewakilinya. Dan semua itu tanpa harus berkomitmen meminta advis atau menetapi pendapat jama’ah dengan syura. Juga tentang haruskah kekuasaan tersebut diikat dengan syura dan apakah dasar ikatan itu.

Kebebasan bagi ORMAS & Partai


Sistem masyarakat kita tegak di atas aqidah dan akhlak yang menjurus kearah pendidikan pribadi dan peningkatan standar prilaku, sedang prinsip syura bertujuan mewujudkan sikap saling menyempurnakan dan keseimbangan antara kebebasan pribadi dan jama’ah. Hal inilah yang dapat menghalangi terjadinya monopoli otoritas negara serta orang yang mewakilinya pada pemikiran tertentu.

0 komentar:

Posting Komentar