Jiwar adalah
salah satu produk hukum musyrikin Arab yang berarti perlindungan atau suaka
politik. Hukum ini menegaskan bahwa seorang tokoh di antara mereka boleh
menyatakan dengan bebas untuk memberikan perlindungan kepada seseorang,
sehingga siapapun tidak boleh menyakiti orang-orang itu sebagai penghormatan
kepada orang yang melindungi dan pengakuan terhadap ketokohan, kehormatan dan
pengaruhnya.
Ketika
Rasulullah saw. kembali dari Thaif, beliau tidak bisa masuk ke kota Makkah
kecuali dengan perlindungan dari seorang tokoh Musyrikin Quraisy yang bernama
Al-Muth’im bin ‘Adi. Rasulullah saw. meminta perlindungan dan Al-Muth’im
mengabulkan permintaan Nabi. Al-Muth’im bin ‘Adi dan keluarganya kemudian
mengambil perlengkapan senjata mereka dan keluar bersama menuju Masjid Haram.
Setelah sampai di Masjid, ia mengutus orang untuk meminta Rasulullah saw.
segera masuk ke kota Makkah. Rasulullah saw. pun memasuki kota Makkah, lalu
menuju Masjid Haram, thawaf di Ka’bah dan melakukan shalat, kemudian kembali ke
rumahnya.
Diriwayatkan
bahwa Abu Jahal sempat bertanya kepada Al-Muth’im bin ‘Adi, seperti yang
tertera di Sirah Ibnu Hisyam, Bab “Kaifa Ajara Al-Muth’im Rasulallah”
(bagaimana Al-Muth’im melindungi Rasulullah saw). Abu Jahal bertanya, “Engkau
pemberi jiwar ataukah pengikut Muhammad (muslim)?” Al-Muth’im menjawab, “Aku
pemberi jiwar.” Abu Jahal berkata, “Kami melindungi siapapun yang engkau
lindungi.” (lihat juga Ar-Rahiq Al-Makhtum, Shafiyyur Rahman
Mubarakfuri, Bab Ar-Rasul shallallahu alaihi wasallam fi At-Thaif).
Pembelaan
Al-Muth’im bin ‘Adi ini amat berkesan di hati Rasulullah saw. sehingga ketika
Perang Badar usai dan Rasulullah saw. telah memutuskan perlakuan terhadap
tawanan Perang Badar, beliau bersabda, “Seandainya Al-Muth’im bin ‘Adi masih
hidup kemudian berbicara kepadaku tentang tawanan perang yang buruk ini, pasti
akan kubebaskan mereka untuknya.” (lihat Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, hlm
100; Ar-Rahiq Al-Makhtum, Shafiyyur Rahman Mubarakfuri, Bab Ar-Rasul
shallallahu alaihi wasallam fi At-Thaif).
Peristiwa perlindungan
oleh Al-Muth’im ini terjadi setelah paman Rasulullah saw. –Abu Thalib– wafat.
Sebelum itu, Rasulullah saw. dengan sukarela menerima perlindungan dari Abu
Thalib yang sampai akhir hayatnya tidak masuk Islam. Ketika Abu Thalib juga
memberikan perlindungan kepada Salamah bin ‘Abdil Asad r.a., sekelompok orang
dari Bani Makhzum datang kepadanya, “Wahai Abu Thalib, engkau telah melindungi
anak saudara laki-lakimu Muhammad, mengapa kini engkau lindungi orang ini dari
kami?” Abu Thalib menjawab, “Ia telah meminta perlindungan kepadaku, dan ia
adalah anak saudara perempuanku. Bila aku tidak melindungi anak saudara
perempuanku, maka aku juga tak akan melindungi anak saudara laki-lakiku.”
Pada saat
Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. hendak berhijrah ke Habasyah menyusul
saudara-saudaranya tercinta yang telah lebih dahulu hijrah, seorang tokoh
musyrikin yang bernama Ibnu Ad-Daghannah menemuinya dan memberikan perlindungan
kepadanya sambil berkata, “Orang sepertimu tidak boleh keluar dan dikeluarkan
dari Makkah.” Hatta, Umar Al-Faruq pun mendapat perlindungan dari seorang
musyrik bernama Al-’Ash bin Wail As-Sahmi ketika Quraisy telah mengetahui
keislamannya. (lihat As-Sirah An-Nabawiyyah, Muhammad Abu Syuhbah, juz 1
hlm 36, 381, 358).
Betapa
pentingnya bagi seorang dai untuk memiliki hubungan yang baik dengan
keluarganya, atau dengan orang-orang di sekitarnya, meskipun kafir, yang dapat
membelanya, dan pembelaan ini bermanfaat bagi dakwahnya. Tidaklah mungkin
Rasulullah saw. mendapatkan perlindungan dari Abu Thalib, kalau beliau tidak
menjaga hubungan baik dengan pamannya yang musyrik itu. Juga tidaklah mungkin
Al-Muth’im bin ‘Adi bersedia memberikan perlindungannya kepada Rasulullah saw.
kalau tidak ada muamalah yang baik antara Rasulullah saw. dengannya.
Tidaklah penting
bagi seorang dai untuk mengetahui apakah pembelaan itu karena faktor
kekeluargaan, kesukuan, pertemanan, ataukah sebab lainnya. Yang jelas
perlindungan dan dukungan ini bermanfaat bagi sang dai dan secara otomatis
menjadi maslahat bagi gerak dakwahnya. Begitu pula betapa pentingnya sebuah
jamaah dakwah memiliki hubungan muamalah yang baik dengan berbagai organisasi
dan kelompok masyarakat terutama di dalam negeri. Dengan muamalah yang baik ini
jamaah dakwah dapat lebih leluasa bergerak merealisasikan agenda dakwahnya dan
mendapatkan pembelaan dari berbagai pihak yang telah merasakan husnul
muamalahnya.
Al-Quran
sendiri mengisyaratkan peran kabilah atau keluarga, meskipun kafir, dalam
melindungi da’i dari ancaman musuh seperti dalam kisah Nabi Syuaib a.s.,
“Mereka berkata, ‘Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu
katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah
di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam
kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami.’” (Hud: 91).
Syaikh
Abdurahman bin Nashir As-Sa’di, seorang ulama Saudi Arabia, dalam menjelaskan
ayat tersebut mengatakan, “Allah swt. membela orang-orang yang beriman dengan
berbagai cara, ada yang mereka ketahui dan ada pula yang tidak mereka ketahui.
Bisa jadi Allah membela orang-orang yang beriman dengan kabilah atau warga
sekampung mereka yang kafir sekalipun sebagaimana Allah membela Nabi Syuaib
a.s. dari ancaman rajam dengan wibawa keluarganya. Ikatan-ikatan yang dapat
membantu membela Islam dan kaum muslimin seperti ini boleh diusahakan bahkan
dalam keadaan tertentu menjadi wajib diwujudkan, karena ishlah (perbaikan) itu
wajib dilakukan sesuai kemampuan dan kemungkinan.” (Tafsir Al-Karim Ar-Rahman Fi
Tafsir Kalam Al-Mannan ketika membahas surat Hud ayat 91).
Tentang
Rasulullah saw., Allah swt. Berfirman, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai
seorang yatim, lalu Dia melindungimu?” (Ad-Dhuha: 6). Syaikh Muhammad
Al-Amin As-Syinqithi rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Maksudnya: Dia
memberikan perlindungan kepadamu dengan menyerahkanmu kepada pamanmu, Abu
Thalib. Hal itu disebabkan oleh kasih sayang keluarga dan hubungan nasab, dan
tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama. Ketika Allah swt. memberikan nk’mat
kepada Rasul-Nya saw. dengan perlindungan Abu Thalib, maka dalam hal ini
terdapat dalil bahwa sesungguhnya Allah swt. bisa jadi memberikan nikmat kepada
orang yang berpegang teguh kepada agamanya dengan pertolongan kerabatnya yang
kafir.”
Setelah menyebutkan
ayat-ayat lain tentang dukungan keluarga kepada para nabi, Syaikh Muhammad
Al-Amin As-Syinqithi melanjutkan, “Ayat-ayat Al-Quran ini menunjukkan bahwa
ashabiyyah sanak saudara yang kafir bisa bermanfaat bagi kaum muslimin. Pada
saat Banu Al-Muthalib bin Abdi Manaf membela Banu Hasyim, sedangkan Banu Abdi
Syams bin Abdi Manaf serta Banu Naufal bin Abdi Manaf tidak membantu Banu
Hasyim, Rasulullah saw. mengetahui bahwa pembelaan tersebut adalah semata
ashabiyyah keturunan dan tidak ada hubungannya dengan agama. Maka Rasulullah
saw. memberikan kepada Bani Al-Muthalib bagian dari seperlima ghanimah bersama
Banu Hasyim, dan beliau bersabda, “Kami (Banu Hasyim) dan Banu Al-Muthalib
tidak pernah bercerai baik ketika jahiliyyah maupun Islam.” Dan beliau tidak
memberikan dari seperlima ghanimah tersebut kepada Bani Abdi Syams maupun Bani
Naufal meskipun keduanya adalah keturunan Abdu Manaf bin Qushay.” (Seperlima
dari harta rampasan perang (khumus) adalah jatah yang diberikan Allah swt untuk
Rasulullah, kerabat beliau dan pihak lain yang telah disebutkan dalam surat
Al-Anfal ayat 41. Lihat Adhwa‘ Al-Bayan, ketika Syaikh Muhammad Al-Amin
As-Syinqithi menafsirkan surat Hud ayat 91).
Sudah
seharusnya ikhwah dan akhawat aktifis dakwah memiliki hubungan yang baik dengan
keluarga mereka yang tentu saja mayoritasnya adalah kaum muslimin juga,
sehingga ikatan yang mengikat bukan saja ikatan darah atau kekerabatan, tetapi
juga ikatan iman. Bahkan jika mereka kafir atau musyrik sekalipun, hubungan
baik dan dukungan mereka tetap harus diupayakan. Para da’i harus dapat
menggunakan bahasa iman sekaligus bahasa kekeluargaan untuk menarik dukungan
keluarga dalam membela dirinya dan dakwah yang ia perjuangkan.
Sikap Aktif Mengurangi Kerusakan adalah Tuntutan Syariat
Dr. Abdul Karim
Zaidan, salah seorang ulama dan dai berkebangsaan Irak, dalam makalahnya
berjudul “Demokrasi dan Keikutsertaan Ummat Islam dalam Pemilu” yang
disampaikan pada Mu’tamar Rabithah ‘Alam Islami di Makkah 21 Syawwal 1422 H,
mengambil kesimpulan hukum dari peristiwa jiwar tersebut bahwa seorang muslim
diperbolehkan mengambil produk hukum atau peraturan dari sistem yang tidak
islami yang bermanfaat bagi dakwah islamiyyah.
“Hikmah
dibolehkannya mengambil perlindungan dari orang kafir adalah untuk menolak bahaya
dan kehancuran yang mengancam seorang muslim dengan cara yang tidak mencoreng
nilai dan hukum Islam. Hal ini dapat dijadikan dasar bagi dibolehkannya
mengambil aspek tertentu dari nizham (sistem) kekufuran yang bermanfaat bagi
ummat Islam. Artinya, seorang muslim yang tinggal di negara kafir diperbolehkan
mengambil sebagian produk undang-undang mereka jika hal itu membawa suatu
maslahat atau dapat menolak suatu bahaya dan ancaman baginya atau bagi ummat
Islam yang tinggal di sana.”
Lebih jauh
lagi, Dr. Abdul Karim Zaidan menghubungkan masalah jiwar ini dengan
keterlibatan seorang muslim yang tinggal di negara-negara barat dalam pemilu.
“Dengan dasar ini, maka seorang muslim yang tinggal di negara-negara non muslim
yang memiliki hak pilih dalam pemilu –pemilu legislative– diperbolehkan memilih
seorang kafir sebagai anggota parlemen yang diharapkan dapat memberi manfaat
atau menolak mafsadat baginya atau kaum muslimin yang lain di negara tersebut
atau kaum muslimin di negara lain, minimal memilih orang kafir yang memiliki
sikap al-hiyad (obyektif) terhadap problematika kaum muslimin. Karena
jika kita tidak dapat merealisasikan semua maslahat atau menolak semua
kerusakan, maka minimal adalah berusaha mengurangi kerusakan yang diantara
realisasinya adalah ikut memilih orang yang diharapkan dapat mewujudkan hal
tersebut. Apalagi jika dianalisis bahwa kekalahannya mengakibatkan kemenangan
orang yang lebih buruk dan lebih banyak bahayanya bagi kaum muslimin. Sikap
pasif atau golput adalah sikap negatif, juga menandakan tak ada upaya
mengerahkan kemampuan untuk mengurangi mafsadat yang mengancam kaum muslimin,
dan sikap ini tentu saja tidak dianjurkan oleh syariat jika kita tidak mau
mengatakan dilarang.” (http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?cid=1122528618724&pagename=IslamOnline-Arabic-Ask_Scholar%2FFatwaA%2FPrintFatwaA)
Bahkan
Syaikh Muhammad Ahmad Ar-Rasyid, seorang ulama dan tokoh pergerakan yang
senegara dengan Dr. Abdul Karim Zaidan, setelah mengemukakan berbagai
argumentasi dengan tegas mewajibkan kaum muslimin di negara-negara non muslim
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.
“Oleh
karenanya, berdasarkan timbangan syariah, pemahaman ilmu-ilmu syar’i, dan fiqh
imani yang saya miliki, saya berpendapat bahwa keikutsertaan seorang muslim
dalam pemilu untuk memberikan suara kepada calon-calon pemimpin dari kekuatan
politik yang bersikap moderat di negara-negara barat yang Nasrani telah menjadi
kewajiban menurut syariat Islam disebabkan oleh adanya ancaman dari
kekuatan-kekuatan ekstrem yang memusuhi Islam (jika mereka menang). Dan fatwa
saya ini berlaku juga untuk negara-negara timur jauh yang beragama Budha, India
dan Srilanka, dan Negara manapun yang menghadapi persaingan politik dan situasi
yang sama.” (http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?cid=1122528618724&Pagename=
IslamOnline- Arabic-Ask_Scholar%2FFatwaA%2FPrintFatwaA).
Jika
demikian halnya dengan pemilu di negara-negara non muslim, tentu para da’i di
Indonesia tidak ada yang tidak bersemangat membela dan mengajak masyarakat
untuk menggunakan hak pilihnya di pemilu untuk memperbesar kemaslahatan dakwah.
0 komentar:
Posting Komentar