Bukti keimanan seseorang adalah adanya amal nyata
dalam kehidupan sehari-hari oleh karena iman bukan sekadar pengakuan kosong dan
“lip service” belaka, tanpa mampu memberikan pengaruh dalam kehidupan
seorang Mukmin. Selain merespon seluruh amal islami dan menyerapnya ke dalam
ruang kehidupannya. Seorang Mukmin juga harus selalu loyal dan memberikan wala’-nya
kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia harus mencintai dan mengikuti apa-apa yang
diperintahkan dan menjauhi seluruh perbuatan yang dilarang. Perhatikan firman
Allah berikut ini.
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad
dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir,
yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang
suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang
beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk
(kepada Allah).” (al-Maa`idah: 54-55)
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya,’ jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran:
31-32)
Di sisi
lain, seorang Mukmin tidak boleh loyal dan cinta terhadap musuh-musuh Islam.
Oleh karenanya, dalam beberapa firman-Nya, Allah mengingatkan orang-orang
beriman tentang hal ini.
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri
dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap
diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali
‘Imran: 28)
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi
kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka, janganlah kamu jadikan di
antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah.
Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu
menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka menjadi
pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong.” (an-Nisaa`: 89)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin
bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya,
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
(al-Maa`idah: 51)
Oleh karena
itu, setiap Muslim harus memahami dengan baik tentang konsep al-wala’ dalam
perspektif Islam.
Definisi
Secara
etimologi, al-wala’ memiliki beberapa makna, antara lain ‘mencintai’,
‘menolong’, ‘mengikuti’ dan ‘mendekat kepada sesuatu’. Ibnu al-A’rabi berkata,
“Ada dua orang yang bertengkar, kemudian pihak ketiga datang untuk meng-ishlah
(memberbaiki hubungan). Kemungkinan ia memiliki kecenderungan atau wala’ kepada
salah satu di antara keduanya.”
Adapun maula
memiliki banyak makna, sebagaimana berikut ini.
“Ar-Rabb,
Pemilik, Sayyid (Tuan), Yang Memberikan kenikmatan, Yang Memerdekakan, Yang
Menolong, Yang Mencintai tetangga, anak paman, mitra, atau sekutu, Yang
Menikahkan mertua, hamba sahaya, dan yang diberi nikmat. Semua arti ini
menunjukkan arti pertolongan dan percintaan.” (Lihat Lisanul-Arab, Ibnu
Mandzur, 3/985-986)
Selanjutnya,
kata muwaalah adalah anonim dari kata mu’aadah ‘permusuhan’ dan
kata al-wali adalah anonim dari kata al-aduw ‘musuh’. Perhatikan
beberapa ayat di bawah ini.
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung
orang-orang yang beriman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak
mempunyai pelindung.” (Muhammad: 11)
“Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab
dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.” (Maryam:
45)
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir,
pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya
kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya.” (al-Baqarah: 257)
Dalam
terminologi syariat, al-wala’ bermakna penyesuaian diri seorang hamba
terhadap apa yang disukai dan diridhai Allah, berupa perkataan, perbuatan,
keyakinan, dan orang (pelaku). Jadi, ciri utama orang Mukmin yang ber-wala’
kepada Allah SWT adalah mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa
yang dibenci Allah. Ia mengimplementasikan semua itu dengan penuh komitmen.
Kedudukan Aqidah Wala’
Akidah al-wala’
ini memiliki kedudukan yang sangat urgen dalam keseluruhan muatan Islam.
Pertama, ia merupakan bagian penting dari makna syahadat. Maka, menetapkan
“hanya Allah” dalam syahadat tauhid berarti seorang Muslim harus berserah diri
hanya kepada Allah, membenci dan mencintai hanya karena Allah, lembut dan marah
hanya kepada Allah, dan ia harus memberikan dedikasi maupun loyalitasnya hanya
kepada Allah.
“Katakanlah, sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (al-An’aam: 162)
“Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa, ‘Apakah yang telah
diturunkan oleh Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘(Allah telah menurunkan) kebaikan.’
Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan
sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat
bagi orang yang bertakwa.” (an-Nahl: 30)
Kedua, ia merupakan bagian dari ikatan iman yang kuat. Rasulullah saw.
bersabda,
“Ikatan iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena
Allah.” (HR Ahmad
dalam Musnadnya dari al-Bara’ bin ‘Azib)
Ketiga, ia merupakan sebab utama yang menjadikan hati bisa merasakan manisnya
iman. Rasulullah saw. bersabda,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ
الإِيْمَانِ: مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا
سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ
يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا
يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Ada tiga hal yang apabila seseorang mendapatkan dalam dirinya, niscaya
ia akan merasakan manisnya iman: hendaklah Allah dan Rasulnya lebih ia cintai
daripada dirinya sendiri; hendaklah ia tidak mencintai seseorang kecuali karena
Allah; hendaklah ia benci kepada kekufuran seperti bencinya untuk dilemparkan
ke dalam neraka setelah Allah menyelamatkannya daripadanya.” (Muttafaqun
‘Alaih)
Keempat, ia merupakan tali hubungan di mana masyarakat Islam dibangun di
atasnya.
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah kepada Allah,
supaya kamu mendapat rahmat.” (al-Hujuraat: 10)
Rasulullah
saw. bersabda, “Cintailah saudaramu sebagaimana kamu mencintai dirimu
sendiri.” (HR Ahmad dalam Musnadnya)
Kelima, pahala yang sangat besar bagi orang yang mencintai karena Allah.
Rasulullah saw. bersabda,
الْمُتَحَابُّونَ فِي جَلَالِي لَهُمْ مَنَابِرُ مِنْ
نُورٍ يَغْبِطُهُمْ النَّبِيُّونَ وَالشُّهَدَاءُ
“Orang-orang yang saling mencintai karena kemuliaan-Ku (Allah) akan
berada di atas mimbar dari cahaya pada hari kiamat di mana para nabi dan
syuhada iri kepada mereka.” (HR at-Tirmidzi)
“Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah, di mana pada
hari itu tiada naungan kecuali naungan-Nya. (Di antara mereka) adalah dua orang
laki-laki yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah
karena Allah.” (HR Muslim)
Keenam, perintah syariat untuk mendahulukan akidah al-wala’ ini
daripada hubungan yang lain.
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ
وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا
وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ
مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ
اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri,
kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu
khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu
cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah
sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang fasik.” (at-Taubah: 24)
Ketujuh, mendapatkan walayatullah.
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir,
pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada
kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.”
(al-Baqarah: 257)
Kedelapan, akidah ini merupakan tali penghubung yang kekal di antara manusia
hingga hari kiamat. Allah berfirman,
“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari
orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala
hubungan antara mereka terputus sama sekali.” Al-Baqarah:166. (bersambung)
10/2/2009 |
13 Safar 1430 H | Hits: 987
Loyalitas dalam Islam (Al-Wala’) (bag ke-2)
dakwatuna.com - Berdasarkan beberapa ayat dan hadits, aqidah al-wala’
dan al-bara’ merupakan suatu kewajiban yang harus ditegakkan dalam
syariat Islam. Ia merupakan salah satu konsekuensi dan syarat sahnya syahadat.
Seorang Muslim tidak mungkin lepas dari akidah ini dalam setiap dimensi
kehidupannya. Ia harus mencintai Allah SWT, Rasul, dan hamba-hamba yang
beriman, dengan segala pengorbanannya. Pada saat yang sama, ia harus menegakkan
permusuhan terhadap kekufuran dan manusia-manusia yang mendukung kekufuran
tersebut. Perhatikan ayat-ayat Allah berikut ini.
“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri,
kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu
khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu
cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah
sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang fasik.” (at-Taubah: 24)
“Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Bara’ngsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.
Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali ‘Imran: 28)
“Kamu
tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara,
ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan
keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang
daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka,
dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah
golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan
yang beruntung.” (al-Mujaadilah: 22)
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku lebih ia
cintai daripada anaknya, bapaknya, dan seluruh manusia.” (Muttafaqun
‘Alaih)
مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهُ فَإِنَّهُ
مِثْلُهُ
“Barangsiapa yang berkumpul dengan orang musyrik dan tinggal (merasa
tenang) dengannya, maka ia sama dengannya.” (HR Abu Dawud dari Samurah bin
Jundub)
Hak-Hak Loyalitas
Ada beberapa
hak yang berkaitan dengan akidah al-wala’ dalam syariat Islam,
sebagaimana penjelasan berikut.
Pertama, hijrah, yaitu hijrah dari negeri kafir ke negeri muslim, kecuali bagi
orang yang lemah atau tidak dapat berhijrah karena kondisi geografis dan
politik kontemporer yang tidak memungkinkan. Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan
menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, ‘Dalam keadaan
bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab, ‘Adalah kami orang-orang yang tertindas
di negeri (Mekah).’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas,
sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya neraka
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang
tertindas baik laki-laki atau perempuan, ataupun anak-anak yang tidak mampu
berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu,
mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun.” (an-Nisaa`: 97-99)
Kedua, membantu dan menolong kaum muslimin dengan lisan, harta, dan jiwa di
manapun ia berada dan dalam semua kebutuhan, baik dunia maupun agama. Allah
berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad
dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan
tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu
sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi
belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka,
sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan
kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan
kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-Anfaal: 72)
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ
بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“Orang mukmin terhadap orang mukmin yang lain bagaikan bangunan yang
sebagian menyangga sebagian yang lain.” (HR Bukhari dan Muslim)
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا
“Tolonglah saudara kamu baik yang melakukan kezhaliman atau yang
dizhalimi.” (HR Bukhari)
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا
يُسْلِمُهُ
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain, ia tidak
meremehkannya, tidak menghinakannya, dan tidak menyerahkannya (kepada musuh).” (HR Muslim)
Ketiga, terlibat dalam harapan-harapan dan kesedihan-kesedihan kaum Muslimin.
Rasulullah saw. bersabda,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ
وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ
سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan kaum Muslimin dalam cinta, kekompakan, dan kasih sayang
bagaikan satu tubuh, jika salah satu anggota tubuhnya mengeluh sakit, maka
seluruh anggota tubuh juga ikut menjaga dan berjaga.” (HR
Bukhari)
Keempat, hendaklah ia mencintai saudara Muslim sebagaimana ia mencintai dirinya
sendiri, baik berupa kebaikan maupun menolak keburukan. Ia wajib menasihati
mereka, tidak menyombongkan diri dan atau mendendam terhadap mereka.
Kelima, tidak mengejek, melecehkan, mencari aib, dan ber-ghibah serta
menyebarkan namimah terhadap sesama kaum Muslimin.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik
dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya,
boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu
sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.
Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan)yang buruk sesudah iman, dan
bara’ngsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.”
(al-Hujuraat: 11-12)
Yang
dimaksud dengan ‘jangan mencela dirimu sendiri’ ialah mencela antara sesama
mukmin karena orang-orang mukmin seperti satu tubuh. Dan ‘panggilan yang buruk’
ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan
kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti “Hai, Fasik”, “Hai,
Kafir,” dan sebagainya.
Keenam, mencintai kaum Muslimin dan berusaha untuk berkumpul bersama mereka.
Rasulullah saw. bersabda, “Adalah wajib bagiku mencintai orang-orang yang
saling menziarahi.” (HR Ahmad)
“Ikatan iman yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci
karena Allah.” (HR ath-Thabrani)
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru
Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah
kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini;
dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari
mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu
melewati batas.” (al-Kahfi: 28)
Ketujuh, melakukan apa saja yang menjadi hak kaum Muslimin, seperti menjenguk
yang sakit atau mengantar jenazah, tidak curang dalam bergaul dengan mereka,
tidak memakan harta mereka dengan cara yang batil, dan lainnya. Rasulullah saw.
bersabda,
“Barangsiapa yang curang terhadap kami, maka dia bukan dari golongan
kami.” (HR Muslim)
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ قِيلَ مَا
هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا
دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ
اللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ
“Hak seorang Muslim atas seorang Muslim yang lain ada enam.” Ada yang
bertanya, ‘Apa saja ya Rasululllah?’ Beliau menjawab, bila kamu berjumpa
dengannya ucapkan salam, jika ia mengundangmu penuhilah, jika ia meminta
nasihat kepadamu nasihatilah, jika ia bersin dan memuji Allah hendaknya kamu
mendoakannya, dan jika ia sakit jenguklah, dan jika ia mati antarkanlah
jenazahnya….” (HR Muslim)
Kedelapan, bersikap lembut terhadap Muslimin, mendoakan dan memohonkan ampun bagi
mereka. Allah berfirman,
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan)
selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang
mu’min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan
tempat kamu tinggal.” (Muhammad: 19)
مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ
Rasulullah
saw. bersabda, “Barangsiapa tidak menyayangi maka ia tidak akan disayangi.”
(HR Bukhari dan Muslim)
Kesembilan, menyuruh mereka kepada yang makruf dan mencegah
mereka dari kemungkaran, serta menasihati mereka.
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ
وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasihat.’ Kami bertanya, ‘Untuk siapakah, ya, Rasulullah?’
Beliau menjawab, ‘Untuk Allah, Rasul, kitab-kitab, pemimpin kaum Muslimin, dan
untuk mereka semua.’” (HR Muslim)
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ
فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ
وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, hendaklah ia
mengubahnya dengan tangan; maka apabila tidak mampu hendaklah (ia lakukan)
dengan lisannya; dan apabila tidak mampu, hendaklah (ia lakukan) dengan
hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” (HR Muslim)
Kesepuluh, tidak mencari-cari aib dan kesalahan kaum Muslimin serta membeberkan
rahasia mereka kepada musuh-musuh Islam.
“…dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan mereka…”
(al-Hujuraat: 12)
Kesebelas, bergabung ke dalam jamaah kaum Muslimin dan tidak berpisah dengan
mereka.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
jadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah
berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk.” (Ali
‘Imran: 103)
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa`:
115)
Keduabelas, tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
(al-Maa`idah: 2) Allahu A’lam (bersambung)
27/2/2009 |
01 Rabbi al-Awwal 1430 H | Hits: 283
Loyalitas Dalam Islam (Wala’) (bag. 3)
dakwatuna.com - Konsep al-wala’ -loyalitas- dalam
akidah Islam harus dipahami oleh setiap muslim apabila ingin benar-benar
menegakkan nilai-nilai Islam dalam ruang kehidupannya. Muslim yang tidak
mengenal dan memahami akidah ini akan terombang-ambing dalam gelombang al-wala’
yang tidak jelas, bahkan ia akan menjadikan musuh-musuh Islam sebagai
kekasih-kekasihnya.
Kalimat
syahadat terdiri nafi (la) manfi (ilaha), itsbat (illa)
dan mutsbit (Allah)
1. Laa Ilaha Illa Allah.
a. Laa (tidak ada - penolakan)
Kata
penolakan yang mengandung pengertian menolak semua unsur yang ada di belakang
kata tersebut.
b. Ilaha (sembahan - yang ditolak)
Sembahan
yaitu kata yang ditolak oleh laa tadi, yaitu segala bentuk sembahan yang bathil
(lihat A3). Dua kata ini mengandung pengertian bara’ (berlepas diri).
c. Illa (kecuali - peneguhan)
Kata
pengecualian yang berarti meneguhkan dan menguatkan kata di belakangnya sebagai
satu-satunya yang tidak ditolak.
d. Allah (yang diteguhkan atau yang dikecualikan)
Kata yang
dikecualikan oleh illa. Lafzul Jalalah (Allah) sebagai yang dikecualikan.
Dalil:
- Q.16:
36, inti dakwah para Nabi adalah mengingkari sembahan selain Allah dan
hanya menerima Allah saja sebagai satu-satunya sembahan.
- Q.4:
48, 4: 116, bahaya menyimpang dari Tauhid. Syirik merupakan dosa yang
tidak diampuni.
- Q.47:
19, dosa-dosa manusia diakibatkan kelalaian memahami makna tauhid.
- Q.7:
59,65,73, beberapa contoh dakwah para nabi yang memerintahkan pengabdian
kepada Allah dan menolak ilah-ilah yang lain.
- Hadits.
Ikatan yang paling kuat dari pada iman adalah mencintai karena Allah dan
membenci karena Allah.
- Hadits.
Bara’ng-siapa yang mencintai karena Allah,membenci karena Allah, memberi
karena Allah dan melarang karena Allah, maka ia telah mencapai
kesempurnaan Iman.
2. Bara’ (pembebasan).
Merupakan
hasil kalimat Laa ilaha illa yang artinya membebaskan diri daripada segala
bentuk sembahan. Pembebasan ini berarti: mengingkari, memisahkan diri,
membenci, memusuhi dan memerangi. Keempat perkara ini ditunjukkan pada segala
ilah selain Allah samada berupa sistem, konsep maupun pelaksana.
Dalil:
- Q.60:
4, contoh sikap bara’ yang diperlihatkan Nabi Ibrahim AS dan pengikutnya
terhadap kaumnya. Mengandung unsur mengingkari, memisahkan diri, membenci
dan memusuhi.
- Q.9: 1,
sikap bara’ berarti melepaskan diri seperti yang dilakukan oleh Rasul
terhadap orang-orang kafir dan musyrik.
- Q.47:
7, sikap bara’ adalah membenci kekufuran, kefasikan dan kedurhakaan.
- Q.58:
22, sikap bara’ dapat diartikan juga memerangi dan memusuhi meskipun
terhadap familinya. Contohnya Abu Ubaidah membunuh ayahnya, Umar bin
Khattab membunuh bapa saudaranya, sedangkan Abu Bakar hampir membunuh
putranya yang masih musyrik. Semua ini berlangsung di medan perang.
- Q.26:
77, Nabi Ibrahim menyatakan permusuhan terhadap berhala-berhala sembahan
kaumnya.
3. Hadam (penghancuran).
Sikap bara’
dengan segala akibatnya melahirkan upaya menghancurkan segala bentuk pengabdian
terhadap tandingan-tandingan maupun sekutu-sekutu selain Allah, apakah terhadap
diri, keluarga maupun masyarakat.
Dalil:
Q.21: 57-58,
Nabi Ibrahim berupaya menghancurkan berhala-berhala yang membodohi
masyarakatnya pada masa itu. Cara ini sesuai pada masa itu tetapi pada masa
Rasulullah, Rasul Saw menghancurkan akidah berhala dan fikrah yang menyimpang
terlebih dahulu. Setelah fathu Mekkah, kemudian 360 berhala di sekitar Ka’bah
dihancurkan oleh Rasul.
4. Al Wala’ (loyalitas).
Kalimat Illa
Allah berarti pengukuhan terhadap wilayatulLlah (kepemimpinan Allah). Artinya:
selalu mentaati, selalu mendekatkan diri, mencintai sepenuh hati, dan membela,
mendukung dan menolong. Semua ini ditujukan kepada Allah dan segala yang
diizinkan Allah seperti Rasul dan orang yang beriman.
Dalil:
- Q.5: 7,
2: 285, Iman terhadap kalimat suci ini berarti bersedia mendengar dan
taat.
- Q.10:
61,62, jaminan Allah terhadap yang menjadi wali (kekasih) Allah karena
selalu dekat kepada Nya.
- Q.2:
165, wala’ kepada Allah menjadikan Allah sangat dicintai, lihat 9: 24.
- Q.61:
14, sebagai bukti dari wala’ adalah selalu siap mendukung atau menolong
dien Allah.
5. Al Bina (membangun).
Sikap wala’
beserta segala akibatnya merupakan sikap mukmin membangun hubungan yang kuat
dengan Allah, Rasul dan orang-orang mukmin. Juga berarti membangun sistem dan
aktivitas Islam yang menyeluruh pada diri, keluarga, maupun masyarakat.
Dalil:
- Q.22:
41, ciri mukmin adalah senantiasa menegakkan agama Allah.
- Q.24:
55, posisi kekhilafahan Allah peruntukkan bagi manusia yang membangun
dienullah.
- Q.22:
78, jihad di jalan Allah dengan sebenarnya jihad adalah upaya yang tepat
membangun dienullah.
6. Ikhlas.
Keikhlasan
yaitu pengabdian yang murni hanya dapat dicapai dengan sikap bara’ terhadap
selain Allah dan memberikan wala’ sepenuhnya kepada Allah.
Dalil:
- Q.98:
5, mukmin diperintah berlaku ikhlas dalam melakukan ibadah.
- Q.39:
11,14, sikap ikhlas adalah inti ajaran Islam dan pengertian dari Laa ilaha
illa Allah.
7. Muhammad Rasulullah.
Konsep Wala’
dan Bara’ ditentukan dalam bentuk:
Allah
sebagai sumber. Allah sebagai sumber wala’, dimana loyalitas mutlak hanya milik
Allah dan loyalitas lainnya mesti dengan izin Allah.
Rasul
sebagai cara (kayfiyat). Pelaksanaan Wala’ terhadap Allah dan Bara’ kepada
selain Allah mengikuti cara Rasul.
Mukmin
sebagai pelaksana. Pelaksana Wala’ dan Bara’ adalah orang mukmin yang telah
diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasulullah.
Dalam pelasaksanaan
Bara’, Rasulullah memisahkan manusia atas muslim dan kafir. Hizbullah dengan
Hizbus Syaithan. Orang-orang mukmin adalah mereka yang mengimani Laa ilaha illa
Allah dan Muhammad Rasulullah sedangkan orang kafir adalah mereka yang
mengingkari salah satu dari dua kalimah syahadat atau kedua-duanya.
Orang-orang
beriman wajib mengajak orang kafir kepada jalan Islam dengan dakwah secara
hikmah dan pengajaran yang baik. Apabila mereka menolak, kemudian menghalangi
jalan dakwah maka mereka boleh diperangi sampai mereka mengakui ketinggian
kalimah Allah.
Hubungan
kekeluargaan seperti ayah, ibu, anak tetap diakui selama bukan dalam
kemusyrikan atau maksiat terhadap Allah.
Dengan
demikian pelaksanaan Wala’ dan Bara’ telah ditentukan caranya. Kita hanya
mengikut apa yang telah dicontohkan Rasulullah Saw.
Dalil:
- Q.5:
55-56, Allah, Rasul dan orang-orang mukmin adalah wali orang yang beriman.
- Q.4:
59, ketaatan diberikan hanya kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri dari
kalangan mukmin.
- Q.5:
56, orang-orang yang memberikan wala’ kepada Allah, Rasul dan orang-orang
mukmin adalah Hizbullah (golongan Allah), lihat pula 58: 22. Selain
golongan ini adalah Hizbus Syaithan.
- Q.60:
7-9, kebolehan bergaul dengan orang kafir dengan batas-batas tertentu.
Asbabun Nuzul ayat ini berkaitan dengan Asma binti Abu Bakar yang tidak
mengizinkan ibunya masuk rumahnya sebelum mendapat izin dari Rasulullah,
lihat pula 31: 15
Penutup
Oleh karena
itu, konsep al-wala’ dalam akidah Islam harus dipahami oleh setiap
Muslim apabila ingin benar-benar menegakkan nilai-nilai Islam dalam ruang
kehidupannya. Muslim yang tidak mengenal dan memahami akidah ini akan
terombang-ambing dalam gelombang samudera al-wala’ yang tidak jelas, dan
ia akan menjadikan musuh-musuh Islam sebagai kekasih-kekasihnya. Akhirnya, ia
cenderung mendukung apa saja yang dilakukan musuh-musuh Islam dan membenci
bahkan menyalahkan kaum Muslimin, seperti kasus Ambon, Poso, Palestina, dan
yang lainnya. Maka, dengan memahami konsep al-wala’ semakin jelaslah
posisi yang hak dan batil: mana yang menjadi musuh dan mana yang menjadi
sahabat; mana yang menjadi lawan dan mana yang menjadi kawan. Wallahu a’lam
bish-shawwab.
0 komentar:
Posting Komentar