Ikhwati fillah, ...
Hari ini dan hari–hari mendatang akan menjadi hari-hari perjuangan kita. Kita akan terus dihadapkan pada medan jihad siyasi yang menentukan apakah kita akan beroleh kemenangan atau justru kita harus menelan pil pahit kekalahan. KPU telah mengumumkan partai yang bisa ikut pemilu, dan PKS menjadi salah satu pesertanya. Dari sisi modal material mungkin saja sudah kita miliki, namun keyakinan kita bahwa kemenangan dari sisi Allah lah yang akan menentukan kemenangan.
Lawan-lawan politik, lawan-lawan da’wah dan sekutunya sudah lama menjadikan materi sebagai aqidahnya. Tuhan mereka adalah harta, sesembahan mereka adalah kekuasaan dan status sosial, yang jika dikalkulasi boleh jadi kekuatan mereka jauh lebih banyak ketimbang yang dimiliki oleh para kader dakwah. Karenanya, jika para kader dakwah hanya menyadarkan kekuatannya hanya pada kekuatan materi, niscaya mereka akan mengalami kekalahan.
Sungguh kerdil orang yang dibesarkan dalam rumah da’wah jika kemudian luntur mabadi da’wahnya dan beranggapan bahwa materi adalah segalanya. Dengarlah firman Alloh yang agung :
وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ الأنفال: 10
“Dan tidak ada kemenangan kecuali kemengan dari sisi Alloh sesungguhnya Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Ikhwati fillah, ...
Suatu hari beberapa kader ikhwan menziarahi ustadz Sayyid Quthub di penjara. Mereka berupaya menghibur dan menenangkan beliau dengan ungkapan, “Wahai Sayyid, Allah swt. tidak akan menelantarkan dakwah kita.” Mendengar nasihat yang menentramkan tersebut, beliau menjawab dengan lembut dan berwibawa, “Wahai saudara-saudaraku, janganlah menyibukkan diri dengan urusan ini, tetapi sibukkan diri untuk memikirkan di mana posisi kita dalam dakwah ini.”
Tercapainya kemenangan adalah cita-cita dan harapan para aktivis Islam di sepanjang sejarah. Karena itu, tiada satu pun riwayat yang mengatakan bahwa seorang aktivis berdoa agar dakwahnya atau perjuangannya kalah. Dan, kalau saat ini ada pejuang yang tidak mengharapkan kemenangan, maka ia tidak mengikuti sunnah para aktivis Islam, dari kalangan para Nabi, Shiddiqin, Syuhada dan shalihin.
Allah swt. berfirman mengisahkan harapan dan obsesi para pejuang di masa silam,
أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُواْ الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْاْ مِن قَبْلِكُم مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاء وَالضَّرَّاء وَزُلْزِلُواْ حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللّهِ قَرِيبٌ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Al-Baqarah: 214)
Pertanyaan “مَتَى نَصْرُ اللّهِ” “Bilakah datangnya pertolongan Allah?" minimal menggambarkan dua hal:
Pertama: Meski berbagai ujian, kesulitan, dan guncangan terus menerus menimpa mereka dalam perjuangan, hingga seolah olah semua itu menjadi sahabat akrab mereka selama perjuangan, namun mereka tidak putus asa, tidak mengurangi kerja dan kinerja, dan tidak mempersalahkan siapa-siapa. Mereka tetap optimis dan mengharapkan pertolongan Allah swt. serta kemenangan dari-Nya.
Kedua: Meski mereka telah mengerahkan segenap kemampuan untuk berjuang, namun itu bukanlah jaminan datangnya kemenangan. Sebab kemenangan itu dari Allah swt. yang akan hadir sesuai kehendak-Nya, pada waktu yang ditentukan oleh-Nya, dan dengan cara yang diinginkan oleh-Nya.
Sayyid Quthb menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan terlambatnya kemenangan, saat menjelaskan ayat ke 38 – 41 dari Surat Al-Hajj, yang kesimpulannya sebagai berikut:
Karena ada hikmah besar yang hanya diketahui oleh Allah swt.
Karena bangunan atau barisan Umat belum kuat dan matang, sehingga kalau diberi kemenangan, maka akan mudah terlepas kembali, sebab belum mempunyai kemampuan mempertahankannya.
Agar para pejuangan mengerahkan segenap potensinya untuk berjuang, tidak ada potensi dan cadangan yang disisakan.
Agar para aktivis menyadari bahwa kemenangan itu bukan semata mata karena kekuatan dan potensinya, tetapi karena Allah swt. Karena itu, hendaklah berjuang dan berkorban sekuat kemampuan, lalu serahkan dan pasrahkan hasilnya pada Allah swt.
Agar hubungan dengan Allah swt. makin kuat, sehingga kalau diberi kemenangan tidak lupa diri, menyimpang dari kebenaran, melakukan kezhaliman, berebut rampasan, dan lain sebagainya.
Agar para aktivis totalitas pada Allah swt. dalam perjuangan dan pengorbanan, bukan karena ingin rampasan, karena fanatisme, kesombongan, atau sejenisnya.
Memang, tidak sedikit ayat maupun hadits yang menegaskan bahwa hasil perjuangan dan kemenangan itu urusan Allah swt. Karena itu, hendaknya para aktivis tidak menyibukkan diri memikirkannya, tetapi fokus pada apa yang dapat dilakukan dalam memenangkan agama-Nya.
Kemuliaan seseorang dan besarnya pahala yang akan ia peroleh di hari akhir nanti, bukan karena kemenangan yang diraih, tetapi karena sejauhmana keikhlasannya dalam berjuang, kesungguhannya dalam berkorban, dan keistiqamahannya di jalan kebenaran.
Bukankah kisah dalam Surat Al-Buruj menggambarkan para pejuang tidak mendapat kemenangan di dunia, tetapi mereka dibanggakan oleh Allah swt.?
Bukankah para ahli sihir Fir’aun yang beriman pada ajaran Nabi Musa as. dihukum oleh Fir’aun dengan hukuman keras, namun mereka tetap komitmen pada keimanannya hingga menemui ajal mereka?
Bahkan Rasulullah saw. yang mendapat jaminan dari Allah swt. pun diberi pesan,
فَإِمَّا نَذْهَبَنَّ بِكَ فَإِنَّا مِنْهُمْ مُنْتَقِمُونَ. أَوْ نُرِيَنَّكَ الَّذِي وَعَدْنَاهُمْ فَإِنَّا عَلَيْهِمْ مُقْتَدِرُونَ
“Sungguh, jika Kami mewafatkan kamu (sebelum kamu mencapai kemenangan) maka sesungguhnya Kami akan menyiksa mereka (di akhirat). Atau Kami memperlihatkan kepadamu (azab) yang telah Kami (Allah) ancamkan kepada mereka. Maka sesungguhnya Kami berkuasa atas mereka.” (Az-Zuhruf: 41-42)
Dua ayat ini memberi gambaran dengan jelas bahwa Rasulullah saw. saja, yang telah mewakafkan seluruh hidupnya untuk perjuangan, mengorbankan segala yang dimiliki untuk membela Islam, serta tetap menjaga dan meningkatkan kinerja meski berbagai ujian menghadang, tidak serta merta mendapatkan kemenangan. Apalagi umat beliau yang kurang dalam berjuang dan berkorban.
Kemenangan itu milik Allah swt.; ia akan dihadirkan sesuai kehendak Allah swt., diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, diturunkan pada waktu yang dipilih oleh-Nya, dianugerahkan dengan cara yang diinginkan oleh-Nya.
Namun, Allah swt. tidak pernah menyalahi janji-Nya. Dan, ia swt. telah berjanji akan memberi kemenangan pada hamba-hamba-Nya yang ikhlas berjuang dan berkorban. Ia akan memberi kemenangan pada orang-orang yang memenangkan-Nya dalam kehidupan pribadinya, sehingga ia tidak memperturutkan syahwat dan nafsunya, tetapi mengikuti arahan dan tuntunan Allah swt. Dalam berjamaah, ia tidak memperturutkan egonya dan memaksakan kehendaknya, tetapi berupaya memantaskan diri, agar tetap layak dalam barisan perjuangan yang dicintai-Nya. Dan, begitu seterusnya.
Allah swt. berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7)
Karena itu, yang terpenting bukan kemenangannya, tetapi perjuangan, pengorbanan dan keistiqamahan dalam berjuang dan berkorban di jalan-Nya. Sebagaimana dipesankan oleh Allah swt. pada Rasul-Nya, setelah menegaskan bahwa kemenangan yang dijanjikan tidak mesti dipenuhi oleh-Nya saat beliau masih hidup,
فَاسْتَمْسِكْ بِالَّذِي أُوحِيَ إِلَيْكَ إِنَّكَ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus.” (Az-Zuhruf: 43)
Mari periksa amal, jihad, pengorbanan, dan kebersamaan kita! Apakah telah sesuai dengan ajaran yang telah diwahyukan oleh Allah swt. kepada Rasulullah saw.? Ataukah semau kita, bahkan memutar balik ayat-ayat-Nya untuk kepentingan sesaat? Apakah kita sudah yakin berada di jalan yang lurus, atau masih ragu dengan jalan yang kita tempuh?
Imam Al-Banna menyebutkan definisi Al-Fahm,
إِنَّمَا أُرِيْدُ بِالْفَهْمِ: أَنْ تُوْقِنَ بِأَنَّ فِكْرَتَنَا إِسْلاَمِيَّةٌ صَمِيْمَةٌ، وَأَنْ تَفْهَمَ اْلإِسْلاَمَ كَمَا نَفْهَمُهُ، فيِ حُدُوْدِ هَذِهِ اْلأُصُوْلِ اْلعِشْرِيْنَ اَلْمُوْجَزَةِ كُلَّ الْإِيْجَازِ
“Yang saya maksud dengan al-fahm (pemahaman) adalah hendaknya Anda yakini bahwa fikrah kita adalah Islam murni, dan Anda memahami Islam sebagaimana kami memahaminya dalam bingkai dua puluh prinsip yang sangat ringkas ini.” (Risalah At-Ta’aaliim)
Mari periksa amal, jihad, pengorbanan, dan kebersamaan kita! Apakah kita benar-benar untuk memenangkan Allah swt. dalam segala urusan kita, atau memenangkan keinginan pribadi kita?
Imam Hasan Al-Banna juga telah menegaskan definisi dari rukun Ikhlas,
وَأُرِيْدُ بِاْلإِخْلاَصِ: أَنْ يَقْصُدَ اْلأَخُ الْمُسْلِمُ بِقَوْلِهِ وَعَمَلِهِ وَجِهَادِهِ كُلِّهِ وَجْهَ اللهِ، وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِهِ وَحُسْنَ مَثُوْبَتِهِ مِنْ غَيْرِ نَظَرٍ إِلىَ مَغْنَمٍ أَوْ مَظْهَرٍ أَوْ جَاهٍ أَوْ لَقَبٍ أَوْ تَقَدُّمٍ أَوْ تَأَخُّرٍ، وَبِذَلِكَ يَكُوْنُ جُنْدِيَّ فِكْرَةٍ وَعَقِيْدَةٍ، لاَ جُنْدِيَّ غَرَضٍ وَمَنْفَعَةٍ
Yang saya maksud dengan ikhlas adalah bahwa seorang kader mengorientasikan perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya kepada Allah swt., serta mengharap keridhaan dan pahala-Nya, tanpa memperhatikan keuntungan materi, penampilan, pangkat, gelar, kemajuan, atau kemunduran. Dengan itulah, ia menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara kepentingan dan yang hanya mencari kemanfaatan dunia. (Risalah At-Ta’aaliim)
Setelah dua hal di atas (faham dan ikhlas) dipastikan, maka amal akan menjadi buah yang dihasilkan. Puncak amal adalah jihad di jalan-Nya. Dan, Tiada jihad tanpa pengorbanan.
Apabila lima point tersebut telah kokoh dalam diri seseorang, maka ia telah memenuhi syarat untuk menolong agama Allah swt. Namun menolong agama Allah swt. dengan amal, jihad, dan pengorbanan yang dilandasi pemahaman dan keikhlasan tersebut, kurang optimal kalau tidak dilakukan dalam kebersamaan, sebagaimana ditegaskan oleh Allah swt. dalam firman-Nya,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaff: 4)
Kebersamaan dalam menolong agama Allah swt. digambarkan dengan ungkapan “Barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”
Barisan yang rapih mesti memiliki kesatuan pimpinan. Pimpinan mesti memiliki kewenangan untuk memutuskan berbagai hal, selama tidak bertentangan dengan aturan Allah swt. yang ditegaskan dalam lima point di atas. Kewenangan pimpinan tidak memiliki makna kalau tidak ada ketaatan, sebagaimana ditegaskan oleh Umar bin Khathab ra.
إِنَّهُ لاَ إِسْلاَمَ إِلاَّ بِجَمَاعَةٍ، وَلاَ جَمَاعَةَ إِلاَّ بِإِمَارَةٍ، وَلاَ إِمَارَةَ إِلاَّ بِطَاعَةٍ
“Sesungguhnya, tiada Islam kecuali dengan jamaah. Tiada jamaah kecuali dengan pimpinan. Dan, tiada kepemimpinan kecuali dengan ketaatan ...” (HR. Darimi)
Ketaatan inilah yang menjadi salah satu tolok ukur komitmen seseorang dalam kebersamaan. Dan, ketaatan jualah yang menyebabkan seseorang hengkang dari kebersamaan. Karena itulah, diperlukan tsabat dalam kebersamaan. Sebab terkadang keputusan pimpinan tidak sesuai dengan selera pribadi.
Bukankah Bani Isra’il berguguran dari kebersamaan dalam jihad melawan Jalut karena ujian kepemimpinan. Karena yang diangkat menjadi pimpinan mereka tidak seperti yang mereka harapkan, maka sebagian enggan berjihad dalam kebersamaan. Setelah sebagian lulus dari ujian kepemimpinan, mereka pun diuji dengan ketaatan untuk tidak meminum air sungai, kecuali satu cidukan sekedar menghilangkan dahaga. Namun mayoritas mereka berpuas-puas meminum air sungai.
Rasulullah saw. bersabda,
بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَالْأَثَرَةِ عَلَيْنَا
“Kami berbai’at pada Rasulullah saw. untuk mendengar dan taat dalam keadaan sulit maupun mudah, giat maupun terpaksa, dan keadaan kami dianaktirikan.” (HR. Ibnu Majah)
Seseorang yang kokoh dalam kebersamaan di jalan Allah swt., karena yakin bahwa jalan yang diplihnya adalah benar, fikrah yang diperjuangkan adalah benar, dan jamaah yang dipilih adalah benar, maka ia akan totalitas pada fikrah dan jamaah tersebut. Dan, kalau ia sudah totalitas pada fikrah dan jamaah, maka ia telah nyaman bersama rekan-rekan seperjuangan dan berupaya menerapkan nilai-nilai persaudaraan bersama mereka. Namun, semuanya akan runtuh satu persatu, pondasi yang telah dibangun akan porak poranda, pilar-pilar yang dipancangkan akan roboh, dan tembok serta atap akan berantakan, jika kepercayaan terganggu oleh berbagai framing tentang pimpinan yang dibuat oleh musuh-musuh perjuangan.
Wallahu a’lam bish shawab.
0 komentar:
Posting Komentar