HADITS KEDUA PULUH
Dari Abu Mas’ud Al-Badri Radhiyallahu
Anhu yang berkata, Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda,
إن مما أدرك
الناس من كلام النبوة الاولى: إذا لم تَسْتَحْْيِ, فاصنع ما شئتَ.
"Di antara sesuatu dari perkataan
kenabian pertama yang diketahui manusia ialah, Jika engkau tidak malu,
silahkan berbuat apa saja yang engkau inginkan". (Diriwayatkan Al-Bukhari). [1]
Hadits bab di atas diriwayatkan
Al-Bukhari dari Manshur bin Al-Mu’tamir dari Rib’i bin Hirasy dari Abu Mas’ud
Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam. Saya pikir Muslim tidak meriwayatkan hadits tersebut,
karena hadits tersebut diriwayatkan sejumlah orang kemudian
mereka berkata bahwa hadits tersebut dari Rib’i dari Hudzaifah dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam. [2])
Jadi, sanad hadits tersebut diperdebatkan, namun sebagian besar
hafidz hadits, di antaranya Al-Bukhari, Abu Zur’ah Ar-Razi [3]), Ad-Daruquthni [4]),
dan lain-lain, sepakat bahwa
pendapat yang benar ialah pendapat yang mengatakan bahwa hadits tersebut berasal dari Abu Mas’ud. Kebenaran pendapat
tersebut dibuktikan bahwa hadits tersebut diriwayatkan dari jalur lain
dari Abu Mas’ud di riwayat Masruq darinya. [5])
Hadits tersebut juga diriwayatkan
Ath-Thabrani dari hadits Abu Ath-Thufail dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam. [6])
Sabda Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam, "Di antara sesuatu dari perkataan
kenabian pertama yang diketahui manusia", mengisyaratkan bahwa
perkataan tersebut diriwayatkan dari para
nabi terdahulu, manusia saling menyebarkannya sesama mereka, dan diwariskan
dari satu generasi kepada generasi lainnya. Ini menunjukkan bahwa kenabian-kenabian terdahulu datang
membawa perkataan tersebut dan
perkataan tersebut dikenal luas manusia hingga sampai pada umat Islam generasi awal. Di sebagian riwayat, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Manusia tidak mengetahui perkataan
kenabian pertama kecuali perkataan tersebut”. (Diriwayatkan Humaid bin
Zanjawih dan lain-lain).
Nabi Shallallahu
Alaihiwa Sallam bersabda, “Jika engkau tidak malu, silahkan berbuat apa saja yang
engkau inginkan”. Ada dua penafsiran tentang makna
hadits tersebut;
Pertama: Maknanya bukan perintah
kepada seseorang untuk mengerjakan apa saja
yang ia inginkan, namun celaan dan larangan. Orang-orang yang berpendapat seperti ini mempunyai dua alasan;
1. Perkataan
tersebut adalah perintah dengan arti ancaman. Maknanya, jika engkau
tidak mempunyai rasa malu, kerjakan apa saja yang engkau inginkan, karena
Allah akan memberi balasan di dalamnya, seperti difirmankan Allah Ta’ala,
"Kerjakan apa yang saja yang
kalian kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kalian kerjakan”. (Fushshilat:
40). Atau seperti firman Allah Ta’ala,
"Maka sembahlah oleh kalian
(hai orang-orang musyrik) apa saja yang kalian kehendaki
selain Dia”. (Az-Zumar: l5).
Dan seperti sabda Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam,
"Barangsiapa menjual minuman
keras, hendaklah ia memotong babi”. [7])
Maksudnya, hendaklah ia memotong
babi untuk dijual atau dimakan sendiri. Contoh-contoh dalil lainnya sangat
banyak. Pendapat tersebut dipilih sejumlah ulama, di antaranya Abu
Al-Abbas Tsa’lab.
2. Perkataan di atas adalah kata
perintah dengan arti penjelasan. Maksudnya, barangsiapa tidak malu, ia berbuat
apa saja yang ia inginkan, karena yang menghalangi
seseorang untuk berbuat buruk ialah malu. Jadi, barangsiapa tidak malu, ia larut dalam perbuatan keji dan
mungkar, serta perbuatan-perbuatan
yang dijauhi orang-orang yang mempunyai rasa malu, seperti disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
Sabda di atas adalah perintah, namun
maknanya adalah penjelasan bahwa barangsiapa berdusta terhadapku, ia telah
menyiapkan tempat duduknya di neraka. Ini pendapat yang dipilih Abu Ubaid [9])
Al-Qasim bin Salam, Ibnu Qutaibah, Muhammad bin Nashr Al-Marwazi, dan lain-lain.
Abu Daud meriwayatkan riwayat dari Imam Ahmad yang menunjukkan seperti pendapat
tersebut.
Ibnu Lahiah meriwayatkan dari Abu
Qabil dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang
bersabda,
“Jika Allah benci kepada seorang
hamba, Dia mencabut rasa malu darinya. Jika Dia telah mencabut rasa malu darinya, maka tidak ada
yang bertemu dengannya melainkan orang yang sangat benci dan memperlihatkan
kebencian kepadanya. Allah juga mencabut
kejujuran dari orang tersebut. Jika Allah
telah mencabut kejujuran darinya, Dia mencabut rahmat darinya. Jika Allah telah mencabut rahmat darinya, Dia mencabut
tali Islam darinya. Jika Allah telah
mencabut tali Islam darinya, maka tidak ada yang bertemu dengannya melainkan syetan yang pembangkang”. (Diriwayatkan
Humaid bin Zanjawih). [10])
Hadits semakna diriwayatkan Ibnu
Majah [11])
dengan sanad dhaif dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Salman Al-Farisi Radhiyallahu
Anhu berkata, "Jika Allah menghendaki kebinasaan
bagi seorang hamba, Dia mencabut rasa malu darinya. Jika Dia telah mencabut rasa malu darinya,
ia tidak ditemui kecuali orang amat benci dan orang yang dibenci. Jika ia telah menjadi orang yang sangat benci dan orang
yang dibenci, kejujuran dicabut
darinya kemudian ia tidak ditemui kecuali oleh orang yang berkhianat dan dikhianati. Jika ia telah menjadi
orang yang berkhianat dan dikhianati, Allah
mencabut rahmat darinya kemudian ia tidak ditemui kecuali oleh orang yang kasar. Jika ia telah menjadi orang yang
kasar, Allah mencabut tali iman dari lehernya.
Jika Allah telah mencabut tali iman dari lehernya, ia tidak ditemui kecuali oleh syaitan mengutuk dan terkutuk”. [12])
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata,
"Malu dan iman berada di satu sarung tempat anak panah. Jika malu
dicabut, maka diikuti yang lainnya”. (Diriwayatkan Humaid bin Zanjawih di buku Al-Adab). [13]
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
menjadikan malu termasuk bagian dari iman. Di Shahih
Al-Bukhari dan Shahih
Muslim disebutkan hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma bahwa
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berjalan
melewati seseorang yang sedang mengecam saudaranya dalam masalah malu dengan
berkata kepadanya, "Sesungguhnya engkau merasa malu",
hingga seakan-akan orang tersebut berkata, "Sungguh malu telah
merugikanmu”. Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam bersabda, "Biarkan dia, karena malu
termasuk iman”. [14])
Di Shahih Al-Bukhari
dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Malu adalah salah satu cabang iman”. [15])
Di Shahih
Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan
hadits dari Imran bin Hushain dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Malu tidak mendatangkan
kecuali kebaikan”. Di riwayat Muslim, "Malu seluruhnya
adalah baik”. Atau beliau bersabda, "Seluruh malu adalah kebaikan”. [16])
Imam Ahmad dan An-Nasai meriwayatkan
hadits Al-Asyaj AlAshri yang berkata, Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadaku,
"Sesungguhnya pada dirimu
terdapat dua akhlak yang dicintai Allah”. Aku berkata,
"Apa kedua akhlak tersebut?" Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda, "Tenang dan malu”. Aku berkata, "Apakah kedua akhlak tersebut
sejak lama atau baru”. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Sejak lama”. Aku berkata, "Segala puji bagi Allah yang menjadikanku mempunyai
dua akhlak yang dicintai Allah".
[17])
Ismail bin Abu Khalid berkata, "Uyainah
bin Hishn masuk kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang sedang bersama seseorang yang meminta air
kemudian orang tersebut diberi air
dan ia pun meminumnya. Orang tersebut ditutup Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam. Uyainah berkata, “Apa ini?” Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Malu adalah sifat; mereka diberi sifat tersebut sedang kalian tidak diberinya”.
Ketahuilah bahwa malu itu ada dua
jenis;
1.
Malu yang merupakan karakter dan watak bawaan. Malu
seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan
Allah kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, "Malu tidak
mendatangkan kecuali kebaikan", karena
malu seperti itu menghalangi seseorang dari mengerjakan
perbuatan buruk dan akhlak tercela dan mendorongnya menggunakan
akhlak mulia. Dalam konteks ini, malu seperti itu termasuk iman, karena diriwayatkan dari Umar
bin Khaththab Radhiyallahu Anhu yang
berkata, "Barangsiapa malu, ia
merahasiakan diri. Barangsiapa merahasiakan diri, ia bertaqwa. Barangsiapa bertakwa, ia dilindungi”.
Al-Jarrah bin Abdullah Al-Hakami, jagoan dari Syam,
berkata, "Aku tinggalkan dosa-dosa selama empat puluh tahun karena malu
kemudian aku mendapatkan sifat wara’. [18])
Salah seorang generasi salaf
berkata, "Aku lihat maksiatmaksiat itu hina kemudian aku meninggalkannya dengan
gagah lalu maksiatmaksiat tersebut berubah menjadi agama".
2.
Malu
yang didapatkan dengan ma’rifatullah (kenal Allah) dan mengenal keagungan-Nya,
kedekatan-Nya dengan hamba-hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata
yang berkhianat dan apa saja yang
dirahasiakan hati. Malu seperti ini termasuk sifat iman tertinggi dan bahkan
termasuk derajat ihsan yang tertinggi karena sebelumnya telah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam bersabda kepada seseorang, “Malulah engkau kepada Allah sebagaimana engkau malu kepada salah
seorang shalih dari keluargamu”.
Di hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu
Anhu disebutkan, "Malu ialah engkau menjaga kepala beserta apa saja yang
dimuatnya, menjaga perut beserta apa saja yang dikandungnya, ingat
kematian dan musibah. Barangsiapa menginginkan akhirat, ia meninggalkan
perhiasan dunia. Barangsiapa melakukan hal-hal tersebut, sungguh ia telah malu
kepada Allah”. (Diriwayatkan Imam Ahmad dan At-Tirmidzi dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam). [19]
Bisa jadi, malu kepada Allah membuat
seseorang melihat nikmat-nikmat Allah pada dirinya dan ia melihat dirinya lalai dalam
mensyukurinya. Jika malu yang didapatkan dengan ma’rifatullah
dicabut dari seorang hamba, ia tidak lagi mempunyai sesuatu yang meredamnya dari
mengerjakan hal-hal buruk dan akhlak hina,
dan ia menjadi orang yang seperti tidak ada iman. Diriwayatkan dari hadits-hadits mursal Al-Hasan
dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Malu ada dua; salah satu dari keduanya termasuk
iman, sedang satunya termasuk kelemahan”.
Bisa jadi, sabda di atas termasuk
perkataan Al-Hasan. Busyair bin Ka’ab Al-‘Adawi berkata kepada Imran bin Hushain, "Aku temukan
di salah satu kitab bahwa ada malu yang merupakan ketentraman dan ketundukan
kepada Allah, dan ada malu yang merupakan
kelemahan”. Imran bin Hushain marah kemudian
berkata, "Apakah engkau pernah diberi hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam?"
Yang benar ialah seperti dikatakan
Imran bin Hushain Radhiyallahu Anhu bahwa
malu yang dipuji di sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ialah akhlak
yang mendorong seseorang mengerjakan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Sedang kelemahan
yang membuat seseorang lalai dalam salah satu
hak-hak Allah atau hak-hak hamba-Nya bukan termasuk malu, namun kelemahan, kemalasan, dan kehinaan, wallahu a’lam
Kedua: Makna
sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, jika engkau tidak malu, silahkan
berbuat apa saja yang engkau inginkan",
ialah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
memerintahkan pengerjaaan apa saja yang sesuai dengan tekstual sabda
tersebut. Maksudnya, jika perbuatan yang ingin engkau ketjakan itu termasuk perbuatan-perbuatan
yang engkau tidak malu untuk mengerjakannya; baik malu kepada Allah atau
manusia, namun termasuk perbuatan-perbuatan ketaatan, atau termasuk
akhlak mulia, atau termasuk etika yang dipandang baik, maka kerjakan seperti yang engkau inginkan.
Ini pendapat sejumlah ulama, di antaranya Abu Ishaq
Al-Marwazi Asy-Syafi’i. Pendapat yang sama diriwayatkan dari Imam Ahmad.
Pendapat tersebut juga tertulis di salah satu halaman buku Masailu Abu Daud. Namun di naskah
otentik adalah seperti yang sebelumnya kami riwayatkan darinya. Pendapat
tersebut juga diriwayatkan Al-Khallal dari Imam Ahmad di Al-Adab.
Dalam hal ini, salah seorang salaf
berkata ketika ditanya tentang muru’ah,
"Muru’ah ialah engkau tidak mengerjakan pada saat sepi
sesuatu yang engkau malu mengerjakannya pada saat ramai”. Akan
disebutkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam, "Dosa ialah apa saja yang meresap di Jiwamu dan engkau tidak suka manusia melihatnya”. [20])
Abdurrazzaq meriwayatkan di bukunya [21]) hadits dari Ma’mar dari Abu Ishaq dari seseorang yang datang dari Muzainah yang berkata bahwa ditanyakan,
“Wahai Rasulullah, apa sesuatu
terbaik yang diberikan kepada orang Muslim?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Akhlak yang baik"
Orang tersebut berkata, “Apa sesuatu terburuk
yang diberikan kepada orang Muslim?"
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika engkau tidak suka sesuatu dilihat padamu di majlis satu kaum
maka engkau jangan mengerjakannya jika engkau sendirian”.
Di Shahih Ibnu Hibban [22])
disebutkan hadits dari Usamah bin Syuraik yang berkata
bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Jika Allah membenci sesuatu padamu,
engkau jangan mengerjakannya ketika engkau sendirian”.
Ath-Thabrani meriwayatkan hadits
Abu Malik Al-Asy’ari yang berkata, aku berkata,
"Wahai Rasulullah, apa
kesempurnaan (puncak) kebaikan?" Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam bersabda, "Engkau mengerjakan pada saat engkau sendirian
perbuatan yang biasa dilakukan di saat ramai”. [23])
Hadits yang sama diriwayatkan dari
Abu Amir As-Sukuni yang berkata, aku berkata, "Wahai Rasulullah", kemudian ia
menyebutkan haditsnya. [24])
Abdul Ghani bin Sa’id Al-Hafidz
meriwayatkan di Adabul Muhadits dengan sanadnya dari Harmalah bin
Abdullah yang berkata,
"Aku datang
kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk
menambah ilmu. Aku berdiri di depan beliau kemudian
berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan untuk aku kerjakan?” Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Kerjakan kebaikan dan jauhi kemungkaran.
Perhatikanlah pada suatu kebaikan
yang didengar oleh telingamu yang diucapkan suatu kaum kepadamu, apabila engkau akan pergi meninggalkan mereka, maka kerjakanlah sesuatu tersebut. Pikirkan
sesuatu yang tidak engkau sukai diucapkan
salah satu kaum kepadamu jika engkau pergi dari mereka kemudian jauhi sesuatu tersebut”. Aku pun
memikirkan sesuatu tersebut, ternyata sesuatu tersebut adalah dua hal yang
tidak meninggalkan sesuatu apa pun,
yaitu mengerjakan kebaikan dan menjauhi kemungkaran”. [25])
[1]
Diriwayatkan Ath-Thayalisi hadits nomer 621, Imam Ahmad 4/121, 122, 5/273,
Abdullah bin Ahmad di Zawaidul Musnad 5/273, Al-Bukhari hadits 3483, 3484, 6120, di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 597,
1316, Abu Daud hadits nomer 4797, Ibnu Majah hadits nomer 4183, Ibnu Abu Ad-Dunya di Makarimul Akhlaq hadits nomer 83, Ath-Thabrani di Al-Ausath hadits nomer 2332, Abu Nu’aim di Al-Hilyah 4/370, 8/124, Al-Baihaqi di As-Sunan
10/192, di Al-Adab hadits nomer 198, dan Al-Baghawi hadits nomer 3597. Hadits tersebut
dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer
607.
[2]
Hadits dari Hudzaifah, diriwayatkan Imam
Ahmad 5/383, 405, Al-Bazzar hadits nomer 2028, Abu Nu’aim di Al-Hilyah 4/371, di Akhbaru Ashbahan 2/78, dan Al-Khathib di Tarikhnya 2/135, 136. Sanad hadits tersebut shahih menurut syarat Muslim. Hadits tersebut disebutkan
Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 8/27 dan berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan
Imam Ahmad dan Al-Bazzar. Para perawinya adalah para perawi hadits shahih”.
[6]
Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath dan disebutkan di Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 8/27. Ia berkata, "Di sanadnya terdapat perawi-perawi yang tidak aku
kenal”.
[7]
Dari Al-Mughirah bin Syu’bah, hadits
tersebut diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah 6/445-446, Imam Ahmad 4/253, Abu
Daud hadits nomer 3489, Al-Baihaqi 6/12,
dan Al-Mazi di Tahdzibul Kamal 13/385. Di sanadnya terdapat perawi Amr bin Bayan At-Taghlabi yang tidak dianggap sebagai perawi tepercaya oleh selain Ibnu
Hibban.
Tentang sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Hendaklah ia
memotong babi, "Ibnu Al-Atsir berkata", Maksudnya, hendaklah ia
memotong babi menjadi beberapa potongan seperti pemotongan kambing jika
dagingnya akan dijual”. Maksud hadits tersebut, barangsiapa menghalalkan
penjualan minuman keras, hendaklah ia menghalalkan penjualan babi, karena
kedua-duanya sama-sama haram. Kata perintah
di hadits tersebut maknanya larangan. Jelasnya, barangsiapa menjual minuman keras, hendaklah ia memotong
babi”.
[8]
Hadits shahih mutawatir diriwayatkan dari
banyak sekali sahabat. Takhrij sebagian besar hadits tersebut, silahkan baca di Shahih Ibnu Hibban hadits nomer 2831.
[10]
Hadits dhaif diriwayatkan As-Suyuthi di Al-Jami’ Al-Kabir 1/31 dan menambahkan bahwa hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Baihaqi
di Syuabul Iman hadits nomer 7724.
[11]
Hadits nomer 4054. Di sanadnya terdapat
perawi Sa’id bin Sinan yang tidak bisa dijadikan hujjah. Hadits tersebut dituduh
Ad-Daruquthni sebagai hadits palsu.
[13]
Perkataan
tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath dari Ibnu Abas
dari Nabi
Shallallahu
Alaihi wa Sallam. Al-Haitsami Majmauz Zawaid 1/92, "Di
sanadnya terdapat Yusuf bin Khalid As-Samti yang merupakan pendusta”.
Saya katakan, di hadits tersebut
ada yang tidak dibutuhkan, karena Al-Hakim 1/22 dan Abu Nu’aim
meriwayatkan kepada kami dari Ya’la bin Hakim dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Umar Radhiyallahu
Anhuma bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Malu dan iman adalah satu pedang. Jika salah satu dari keduanya
diangkat, maka keduanya terangkat”. Sanad hadits tersebut shahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim seperti dikatakan Al-Hakim dengan
disetujui Adz-Dzahabi. Al-Hafidz Al-Iraqi seperti dinukil darinya oleh
Al-Manawi, "Hadits tersebut
shahih gharib, namun Jarir bin Hazim diperdebatkan apakah ia me-marfu’-kan hadits
tersebut atau me-mauquf-kannya”.
Saya katakan, perkataan tersebut
juga diriwayatkan Ibnu Syaibah di Al-Mushannaf 8/525 dari Abu Usamah
dari Jarir dari Ya’la bin Hakim dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Umar.
Dari Abu Musa Al-Asy’ari, hadits tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani di Ash-Shaghir hadits nomer 622,
Al-Ausath, dan Al-Khathib di Tarikhnya dari jalur yang sarna dari syaikhnya, Abdullah bin Muhammad bin Ubaidah Al-Qaumisi. Al-Khathib berkata,
"Perkataan tersebut ia riwayatkan
sendirian telah berkata kepada kami”.
[14]
Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 24,
6118, Muslim hadits nomer 36, Imam Malik
2/905, Imam Ahmad 2/9, Abu Daud hadits nomer 4795, At-Tirmidzi hadits nomer
2615, An-Nasai 8/121, dan Ibnu Majah hadits nomer 58. Hadits tersebut
dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer
610.
[15]
Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 9,
Muslim hadits nomer 35, dan An-Nasai 8/110.
Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 167 dan 190.
[16]
Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6117 dan
Muslim hadits nomer 37.
[17] Diriwayatkan
Imam Ahmad 4/206, An-Nasai di Fadhailush
Shahabah hadits nomer 210, Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 584, Ibnu Abu Syaibah 8/522-523, Ibnu
Sa’ad di Ath-Thabaqat 5/558, dan Ibnu Al-Atsir di Usudul
Ghabah dari jalur Abdurrahman bin
Abu Bakrah dari Al-Asyaj. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 9/387-388 dan berkata,
"Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad dan para perawinya adalah para perawi hadits shahih, namun Ibnu Abu Bakrah tidak
mendengar hadits tersebut dari Al-Asyaj”.
Saya katakan, hadits tersebut
juga diriwayatkan Muslim di Shahihnya di hadits panjang dari Abu Sa’id
Al-Khudri dengan redaksi, "Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua akhlak yang dicintai Allah; ketenangan dan sabar".
Nama Al-Asyaj ialah Al-Mundzir bin Aidz Al-Abdi Al-Ashari. Ia datang
kepada Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersama delegasi
Abdul Qais.
[19] Diriwayatkan
Imam Ahmad 1/408, At-Tirmidzi hadits nomer 2458, dan Ibnu Abu Syaibah 13/223. Di sanadnya terdapat Ash-Shabah bin Muhammad yang merupakan perawi dhaif dan
mengatakan hadits dari Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam padahal berasal dari sahabat. Adz-Dzahabi berkata
di Al-Mizan 2/306, "Ia
mengatakan dua hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, padahal dari Abdullah”. Kendati demikian, hadits di atas dishahihkan Al-Hakim 4/323
dengan disetujui Adz-Dzahabi.
Hadits tersebut juga disebutkan Al-Mundziri di At-Taghib wat Tarhib 3/400, 4/239-240 dan membenarkan
pendapat bahwa hadits tersebut adalah ucapan
Ibnu Mas’ud. Dari jalur lain, hadits tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 10290, Ash-Shaghir hadits nomer 494
dan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 4/209. Abu Nu’aim berkata,
"Hadits tersebut gharib”.
Di
sanadnya terdapat perawi As-Suri bin Sahl, guru Ath-Thabrani. Al-Baihaqi berkata,
"Ia tidak bisa dijadikan hujjah. Begitu juga gurunya”. Ibnu Adi berkata, "Ia
mencuri hadits”.
Namun hadits tersebut mempunyai
hadits penguat namun tidak menguatkannya, yaitu hadits Aisyah yang diriwayatkan
Ath-Thabrani di Al-Ausath dan di sanadnya terdapat perawi Ibrahim bin
Ismail bin Abu Habibah yang tidak bisa dijadikan hujjah. Itu dikatakan
Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 10/284.
Ada hadits yang
semisal dengan hadits di atas, yaitu hadits Al-Hakam bin Umair yang diriwayatkan
Ath-Thabrani di Al-Ausath.
Al-Haitsami
berkata, "Di sanadnya terdapat perawi Isa bin Ibrahim Al-Qurasyi yang tidak
bisa dijadikan hujjah”.
Ada lagi hadits yang semisal dengan hadits di atas,
yaitu hadits Al-Hasan yang mursal
yang diriwayatkan Ibnu Al-Mubarak
di Az-Zuhdu hadits nomer 317.
[20]
Hadits kedua puluh tujuh buku ini.
[23]
Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 3420. Di sanadnya terdapat perawi Ibnu Luhaiah dan Abdurrahman bin Ziyad bin An’am yang keduanya
merupakan perawi dhaif. Baca Majmauz
Zawaid 10/290.
[24]
Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir 22/800. Di sanadnya terdapat
perawi Ibnu Luhaiah dan Abdurrahman bin Ziyad
bin An’am yang keduanya merupakan perawi dhaif. Baca Majmauz Zawaid.
[25]
Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Bukhari di Al-Adab
Al-Mufrad hadits nomer 222, Abu Daud Ath-Thayalisi 1/319, Imam Ahmad 4/305,
Abu Nu’aim di Al-Hilyah 1/359, dan Ibnu Al-Atsir di Usudul Ghabah 1/475. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Hafidz Ibnu Hajar di Al-Ishabah
1/319 dan sanadnya hasan.
0 komentar:
Posting Komentar