Kamis, 02 Januari 2014

Hadits Arba'in yang ke 20

HADITS KEDUA PULUH


Dari Abu Mas’ud Al-Badri Radhiyallahu Anhu yang berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

إن مما أدرك الناس من كلام النبوة الاولى: إذا لم تَسْتَحْْيِ, فاصنع ما شئتَ.
"Di antara sesuatu dari perkataan kenabian pertama yang diketahui manusia ialah, Jika engkau tidak malu, silahkan berbuat apa saja yang engkau inginkan". (Diriwayatkan Al-Bukhari). [1]
Hadits bab di atas diriwayatkan Al-Bukhari dari Manshur bin Al-Mu’tamir dari Rib’i bin Hirasy dari Abu Mas’ud Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Saya pikir Muslim tidak meriwayatkan hadits tersebut, karena hadits tersebut diriwayatkan sejumlah orang kemudian mereka berkata bahwa hadits tersebut dari Rib’i dari Hudzaifah dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. [2]) Jadi, sanad hadits tersebut diperdebatkan, namun sebagian besar hafidz hadits, di antaranya Al-Bukhari, Abu Zur’ah Ar-Razi [3]), Ad-Daruquthni [4]), dan lain-lain, sepakat bahwa pendapat yang benar ialah pendapat yang mengatakan bahwa hadits tersebut berasal dari Abu Mas’ud. Kebenaran pendapat tersebut dibuktikan bahwa hadits tersebut diriwayatkan dari jalur lain dari Abu Mas’ud di riwayat Masruq darinya. [5]) Hadits tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani dari hadits Abu Ath-Thufail dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. [6])
Sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Di antara sesuatu dari perkataan kenabian pertama yang diketahui manusia", mengisyaratkan bahwa perkataan tersebut diriwayatkan dari para nabi terdahulu, manusia saling menyebarkannya sesama mereka, dan diwariskan dari satu generasi kepada generasi lainnya. Ini menunjukkan bahwa kenabian-kenabian terdahulu datang membawa perkataan tersebut dan perkataan tersebut dikenal luas manusia hingga sampai pada umat Islam generasi awal. Di sebagian riwayat, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Manusia tidak mengetahui perkataan kenabian pertama kecuali perkataan tersebut”. (Diriwayatkan Humaid bin Zanjawih dan lain-lain).
Nabi Shallallahu Alaihiwa Sallam bersabda, “Jika engkau tidak malu, silahkan berbuat apa saja yang engkau inginkan”. Ada dua penafsiran tentang makna hadits tersebut;
Pertama: Maknanya bukan perintah kepada seseorang untuk mengerjakan apa saja yang ia inginkan, namun celaan dan larangan. Orang-orang yang berpendapat seperti ini mempunyai dua alasan;
1.       Perkataan tersebut adalah perintah dengan arti ancaman. Maknanya, jika engkau tidak mempunyai rasa malu, kerjakan apa saja yang engkau inginkan, karena Allah akan memberi balasan di dalamnya, seperti difirmankan Allah Ta’ala,
"Kerjakan apa yang saja yang kalian kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kalian kerjakan”. (Fushshilat: 40). Atau seperti firman Allah Ta’ala,
"Maka sembahlah oleh kalian (hai orang-orang musyrik) apa saja yang kalian kehendaki selain Dia”. (Az-Zumar: l5).
Dan seperti sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
"Barangsiapa menjual minuman keras, hendaklah ia memotong babi”. [7])
Maksudnya, hendaklah ia memotong babi untuk dijual atau dimakan sendiri. Contoh-contoh dalil lainnya sangat banyak. Pendapat tersebut dipilih sejumlah ulama, di antaranya Abu Al-Abbas Tsa’lab.
2.       Perkataan di atas adalah kata perintah dengan arti penjelasan. Maksudnya, barangsiapa tidak malu, ia berbuat apa saja yang ia inginkan, karena yang menghalangi seseorang untuk berbuat buruk ialah malu. Jadi, barangsiapa tidak malu, ia larut dalam perbuatan keji dan mungkar, serta perbuatan-perbuatan yang dijauhi orang-orang yang mempunyai rasa malu, seperti disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
“Barangsiapa berdusta terhadapku, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka”. [8])
Sabda di atas adalah perintah, namun maknanya adalah penjelasan bahwa barangsiapa berdusta terhadapku, ia telah menyiapkan tempat duduknya di neraka. Ini pendapat yang dipilih Abu Ubaid [9]) Al-Qasim bin Salam, Ibnu Qutaibah, Muhammad bin Nashr Al-Marwazi, dan lain-lain. Abu Daud meriwayatkan riwayat dari Imam Ahmad yang menunjukkan seperti pendapat tersebut.
Ibnu Lahiah meriwayatkan dari Abu Qabil dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhuma dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
“Jika Allah benci kepada seorang hamba, Dia mencabut rasa malu darinya. Jika Dia telah mencabut rasa malu darinya, maka tidak ada yang bertemu dengannya melainkan orang yang sangat benci dan memperlihatkan kebencian kepadanya. Allah juga mencabut kejujuran dari orang tersebut. Jika Allah telah mencabut kejujuran darinya, Dia mencabut rahmat darinya. Jika Allah telah mencabut rahmat darinya, Dia mencabut tali Islam darinya. Jika Allah telah mencabut tali Islam darinya, maka tidak ada yang bertemu dengannya melainkan syetan yang pembangkang”. (Diriwayatkan Humaid bin Zanjawih). [10])
Hadits semakna diriwayatkan Ibnu Majah [11]) dengan sanad dhaif dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Salman Al-Farisi Radhiyallahu Anhu berkata, "Jika Allah menghendaki kebinasaan bagi seorang hamba, Dia mencabut rasa malu darinya. Jika Dia telah mencabut rasa malu darinya, ia tidak ditemui kecuali orang amat benci dan orang yang dibenci. Jika ia telah menjadi orang yang sangat benci dan orang yang dibenci, kejujuran dicabut darinya kemudian ia tidak ditemui kecuali oleh orang yang berkhianat dan dikhianati. Jika ia telah menjadi orang yang berkhianat dan dikhianati, Allah mencabut rahmat darinya kemudian ia tidak ditemui kecuali oleh orang yang kasar. Jika ia telah menjadi orang yang kasar, Allah mencabut tali iman dari lehernya. Jika Allah telah mencabut tali iman dari lehernya, ia tidak ditemui kecuali oleh syaitan mengutuk dan terkutuk”. [12])
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, "Malu dan iman berada di satu sarung tempat anak panah. Jika malu dicabut, maka diikuti yang lainnya”. (Diriwayatkan Humaid bin Zanjawih di buku Al-Adab). [13]
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjadikan malu termasuk bagian dari iman. Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berjalan melewati seseorang yang sedang mengecam saudaranya dalam masalah malu dengan berkata kepadanya, "Sesungguhnya engkau merasa malu", hingga seakan-akan orang tersebut berkata, "Sungguh malu telah merugikanmu”. Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Biarkan dia, karena malu termasuk iman”. [14])
Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Malu adalah salah satu cabang iman”. [15])
Di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Imran bin Hushain dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Malu tidak mendatangkan kecuali kebaikan”. Di riwayat Muslim, "Malu seluruhnya adalah baik”. Atau beliau bersabda, "Seluruh malu adalah kebaikan”. [16])
Imam Ahmad dan An-Nasai meriwayatkan hadits Al-Asyaj AlAshri yang berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadaku,
"Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua akhlak yang dicintai Allah”. Aku berkata, "Apa kedua akhlak tersebut?" Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tenang dan malu”. Aku berkata, "Apakah kedua akhlak tersebut sejak lama atau baru”. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sejak lama”. Aku berkata, "Segala puji bagi Allah yang menjadikanku mempunyai dua akhlak yang dicintai Allah". [17])
Ismail bin Abu Khalid berkata, "Uyainah bin Hishn masuk kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang sedang bersama seseorang yang meminta air kemudian orang tersebut diberi air dan ia pun meminumnya. Orang tersebut ditutup Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Uyainah berkata, “Apa ini?” Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Malu adalah sifat; mereka diberi sifat tersebut sedang kalian tidak diberinya”.
Ketahuilah bahwa malu itu ada dua jenis;
1.       Malu yang merupakan karakter dan watak bawaan. Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Malu tidak mendatangkan kecuali kebaikan", karena malu seperti itu menghalangi seseorang dari mengerjakan perbuatan buruk dan akhlak tercela dan mendorongnya menggunakan akhlak mulia. Dalam konteks ini, malu seperti itu termasuk iman, karena diriwayatkan dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu yang berkata, "Barangsiapa malu, ia merahasiakan diri. Barangsiapa merahasiakan diri, ia bertaqwa. Barangsiapa bertakwa, ia dilindungi”.
Al-Jarrah bin Abdullah Al-Hakami, jagoan dari Syam, berkata, "Aku tinggalkan dosa-dosa selama empat puluh tahun karena malu kemudian aku mendapatkan sifat wara’. [18])
Salah seorang generasi salaf berkata, "Aku lihat maksiatmaksiat itu hina kemudian aku meninggalkannya dengan gagah lalu maksiatmaksiat tersebut berubah menjadi agama".
2.       Malu yang didapatkan dengan ma’rifatullah (kenal Allah) dan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan hati. Malu seperti ini termasuk sifat iman tertinggi dan bahkan termasuk derajat ihsan yang tertinggi karena sebelumnya telah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada seseorang, “Malulah engkau kepada Allah sebagaimana engkau malu kepada salah seorang shalih dari keluargamu”.
Di hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu disebutkan, "Malu ialah engkau menjaga kepala beserta apa saja yang dimuatnya, menjaga perut beserta apa saja yang dikandungnya, ingat kematian dan musibah. Barangsiapa menginginkan akhirat, ia meninggalkan perhiasan dunia. Barangsiapa melakukan hal-hal tersebut, sungguh ia telah malu kepada Allah”. (Diriwayatkan Imam Ahmad dan At-Tirmidzi dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam). [19]
Bisa jadi, malu kepada Allah membuat seseorang melihat nikmat-nikmat Allah pada dirinya dan ia melihat dirinya lalai dalam mensyukurinya. Jika malu yang didapatkan dengan ma’rifatullah dicabut dari seorang hamba, ia tidak lagi mempunyai sesuatu yang meredamnya dari mengerjakan hal-hal buruk dan akhlak hina, dan ia menjadi orang yang seperti tidak ada iman. Diriwayatkan dari hadits-hadits mursal Al-Hasan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,
"Malu ada dua; salah satu dari keduanya termasuk iman, sedang satunya termasuk kelemahan”.
Bisa jadi, sabda di atas termasuk perkataan Al-Hasan. Busyair bin Ka’ab Al-‘Adawi berkata kepada Imran bin Hushain, "Aku temukan di salah satu kitab bahwa ada malu yang merupakan ketentraman dan ketundukan kepada Allah, dan ada malu yang merupakan kelemahan”. Imran bin Hushain marah kemudian berkata, "Apakah engkau pernah diberi hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam?"
Yang benar ialah seperti dikatakan Imran bin Hushain Radhiyallahu Anhu bahwa malu yang dipuji di sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ialah akhlak yang mendorong seseorang mengerjakan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Sedang kelemahan yang membuat seseorang lalai dalam salah satu hak-hak Allah atau hak-hak hamba-Nya bukan termasuk malu, namun kelemahan, kemalasan, dan kehinaan, wallahu a’lam
Kedua: Makna sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, jika engkau tidak malu, silahkan berbuat apa saja yang engkau inginkan", ialah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan pengerjaaan apa saja yang sesuai dengan tekstual sabda tersebut. Maksudnya, jika perbuatan yang ingin engkau ketjakan itu termasuk perbuatan-perbuatan yang engkau tidak malu untuk mengerjakannya; baik malu kepada Allah atau manusia, namun termasuk perbuatan-perbuatan ketaatan, atau termasuk akhlak mulia, atau termasuk etika yang dipandang baik, maka kerjakan seperti yang engkau inginkan. Ini pendapat sejumlah ulama, di antaranya Abu Ishaq Al-Marwazi Asy-Syafi’i. Pendapat yang sama diriwayatkan dari Imam Ahmad. Pendapat tersebut juga tertulis di salah satu halaman buku Masailu Abu Daud. Namun di naskah otentik adalah seperti yang sebelumnya kami riwayatkan darinya. Pendapat tersebut juga diriwayatkan Al-Khallal dari Imam Ahmad di Al-Adab. Dalam hal ini, salah seorang salaf berkata ketika ditanya tentang muru’ah, "Muru’ah ialah engkau tidak mengerjakan pada saat sepi sesuatu yang engkau malu mengerjakannya pada saat ramai”. Akan disebutkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Dosa ialah apa saja yang meresap di Jiwamu dan engkau tidak suka manusia melihatnya”. [20])
Abdurrazzaq meriwayatkan di bukunya [21]) hadits dari Ma’mar dari Abu Ishaq dari seseorang yang datang dari Muzainah yang berkata bahwa ditanyakan, “Wahai Rasulullah, apa sesuatu terbaik yang diberikan kepada orang Muslim?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Akhlak yang baik" Orang tersebut berkata, “Apa sesuatu terburuk yang diberikan kepada orang Muslim?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika engkau tidak suka sesuatu dilihat padamu di majlis satu kaum maka engkau jangan mengerjakannya jika engkau sendirian”.
Di Shahih Ibnu Hibban [22]) disebutkan hadits dari Usamah bin Syuraik yang berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Jika Allah membenci sesuatu padamu, engkau jangan mengerjakannya ketika engkau sendirian”.
Ath-Thabrani meriwayatkan hadits Abu Malik Al-Asy’ari yang berkata, aku berkata,
"Wahai Rasulullah, apa kesempurnaan (puncak) kebaikan?" Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Engkau mengerjakan pada saat engkau sendirian perbuatan yang biasa dilakukan di saat ramai”. [23])
Hadits yang sama diriwayatkan dari Abu Amir As-Sukuni yang berkata, aku berkata, "Wahai Rasulullah", kemudian ia menyebutkan haditsnya. [24])
Abdul Ghani bin Sa’id Al-Hafidz meriwayatkan di Adabul Muhadits dengan sanadnya dari Harmalah bin Abdullah yang berkata,
"Aku datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk menambah ilmu. Aku berdiri di depan beliau kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan untuk aku kerjakan?” Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Kerjakan kebaikan dan jauhi kemungkaran. Perhatikanlah pada suatu kebaikan yang didengar oleh telingamu yang diucapkan suatu kaum kepadamu, apabila engkau akan pergi meninggalkan mereka, maka kerjakanlah sesuatu tersebut. Pikirkan sesuatu yang tidak engkau sukai diucapkan salah satu kaum kepadamu jika engkau pergi dari mereka kemudian jauhi sesuatu tersebut”. Aku pun memikirkan sesuatu tersebut, ternyata sesuatu tersebut adalah dua hal yang tidak meninggalkan sesuatu apa pun, yaitu mengerjakan kebaikan dan menjauhi kemungkaran”. [25])


[1] Diriwayatkan Ath-Thayalisi hadits nomer 621, Imam Ahmad 4/121, 122, 5/273, Abdullah bin Ahmad di Zawaidul Musnad 5/273, Al-Bukhari hadits 3483, 3484, 6120, di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 597, 1316, Abu Daud hadits nomer 4797, Ibnu Majah hadits nomer 4183, Ibnu Abu Ad-Dunya di Makarimul Akhlaq hadits nomer 83, Ath-Thabrani di Al-Ausath hadits nomer 2332, Abu Nu’aim di Al-Hilyah 4/370, 8/124, Al-Baihaqi di As-Sunan 10/192, di Al-Adab hadits nomer 198, dan Al-Baghawi hadits nomer 3597. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 607.
[2] Hadits dari Hudzaifah, diriwayatkan Imam Ahmad 5/383, 405, Al-Bazzar hadits nomer 2028, Abu Nu’aim di Al-Hilyah 4/371, di Akhbaru Ashbahan 2/78, dan Al-Khathib di Tarikhnya 2/135, 136. Sanad hadits tersebut shahih menurut syarat Muslim. Hadits tersebut disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 8/27 dan berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad dan Al-Bazzar. Para perawinya adalah para perawi hadits shahih”.
[3] Dinukil darinya oleh Ibnu Abu Hatim di Al-Ilal 2/338.
[4] Di Al-Ilal seperti terlihat di Fathul Bari 6/523.
[5] Diriwayatkan Abdurrazzaq hadits nomer 20149 dan sanadnya shahih.
[6] Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath dan disebutkan di Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 8/27. Ia berkata, "Di sanadnya terdapat perawi-perawi yang tidak aku kenal”.
[7] Dari Al-Mughirah bin Syu’bah, hadits tersebut diriwayatkan Ibnu Abu Syaibah 6/445-446, Imam Ahmad 4/253, Abu Daud hadits nomer 3489, Al-Baihaqi 6/12, dan Al-Mazi di Tahdzibul Kamal 13/385. Di sanadnya terdapat perawi Amr bin Bayan At-Taghlabi yang tidak dianggap sebagai perawi tepercaya oleh selain Ibnu Hibban.
Tentang sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Hendaklah ia memotong babi, "Ibnu Al-Atsir berkata", Maksudnya, hendaklah ia memotong babi menjadi beberapa potongan seperti pemotongan kambing jika dagingnya akan dijual”. Maksud hadits tersebut, barangsiapa menghalalkan penjualan minuman keras, hendaklah ia menghalalkan penjualan babi, karena kedua-duanya sama-sama haram. Kata perintah di hadits tersebut maknanya larangan. Jelasnya, barangsiapa menjual minuman keras, hendaklah ia memotong babi”.
[8] Hadits shahih mutawatir diriwayatkan dari banyak sekali sahabat. Takhrij sebagian besar hadits tersebut, silahkan baca di Shahih Ibnu Hibban hadits nomer 2831.
[9] Baca Gharibul Hadits 3/32.
[10] Hadits dhaif diriwayatkan As-Suyuthi di Al-Jami’ Al-Kabir 1/31 dan menambahkan bahwa hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Baihaqi di Syuabul Iman hadits nomer 7724.
[11] Hadits nomer 4054. Di sanadnya terdapat perawi Sa’id bin Sinan yang tidak bisa dijadikan hujjah. Hadits tersebut dituduh Ad-Daruquthni sebagai hadits palsu.
[12] Diriwayatkan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 1/204.
[13] Perkataan tersebut juga diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath dari Ibnu Abas dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Al-Haitsami Majmauz Zawaid 1/92, "Di sanadnya terdapat Yusuf bin Khalid As-Samti yang merupakan pendusta”.
Saya katakan, di hadits tersebut ada yang tidak dibutuhkan, karena Al-Hakim 1/22 dan Abu Nu’aim meriwayatkan kepada kami dari Ya’la bin Hakim dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Malu dan iman adalah satu pedang. Jika salah satu dari keduanya diangkat, maka keduanya terangkat”. Sanad hadits tersebut shahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim seperti dikatakan Al-Hakim dengan disetujui Adz-Dzahabi. Al-Hafidz Al-Iraqi seperti dinukil darinya oleh Al-Manawi, "Hadits tersebut shahih gharib, namun Jarir bin Hazim diperdebatkan apakah ia me-marfu’-kan hadits tersebut atau me-mauquf-kannya”.
Saya katakan, perkataan tersebut juga diriwayatkan Ibnu Syaibah di Al-Mushannaf 8/525 dari Abu Usamah dari Jarir dari Ya’la bin Hakim dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Umar.
Dari Abu Musa Al-Asy’ari, hadits tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani di Ash-Shaghir hadits nomer 622, Al-Ausath, dan Al-Khathib di Tarikhnya dari jalur yang sarna dari syaikhnya, Abdullah bin Muhammad bin Ubaidah Al-Qaumisi. Al-Khathib berkata, "Perkataan tersebut ia riwayatkan sendirian telah berkata kepada kami”.
[14] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 24, 6118, Muslim hadits nomer 36, Imam Malik 2/905, Imam Ahmad 2/9, Abu Daud hadits nomer 4795, At-Tirmidzi hadits nomer 2615, An-Nasai 8/121, dan Ibnu Majah hadits nomer 58. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 610.
[15] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 9, Muslim hadits nomer 35, dan An-Nasai 8/110. Hadits tersebut dishahihkan Ibnu Hibban hadits nomer 167 dan 190.
[16] Diriwayatkan Al-Bukhari hadits nomer 6117 dan Muslim hadits nomer 37.
[17] Diriwayatkan Imam Ahmad 4/206, An-Nasai di Fadhailush Shahabah hadits nomer 210, Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 584, Ibnu Abu Syaibah 8/522-523, Ibnu Sa’ad di Ath-Thabaqat 5/558, dan Ibnu Al-Atsir di Usudul Ghabah dari jalur Abdurrahman bin Abu Bakrah dari Al-Asyaj. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 9/387-388 dan berkata, "Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ahmad dan para perawinya adalah para perawi hadits shahih, namun Ibnu Abu Bakrah tidak mendengar hadits tersebut dari Al-Asyaj”.
Saya katakan, hadits tersebut juga diriwayatkan Muslim di Shahihnya di hadits panjang dari Abu Sa’id Al-Khudri dengan redaksi, "Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua akhlak yang dicintai Allah; ketenangan dan sabar".
Nama Al-Asyaj ialah Al-Mundzir bin Aidz Al-Abdi Al-Ashari. Ia datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersama delegasi Abdul Qais.
[18] Baca buku Siyaru A’lamin Nubala’ 5/190.
[19] Diriwayatkan Imam Ahmad 1/408, At-Tirmidzi hadits nomer 2458, dan Ibnu Abu Syaibah 13/223. Di sanadnya terdapat Ash-Shabah bin Muhammad yang merupakan perawi dhaif dan mengatakan hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam padahal berasal dari sahabat. Adz-Dzahabi berkata di Al-Mizan 2/306, "Ia mengatakan dua hadits dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, padahal dari Abdullah”. Kendati demikian, hadits di atas dishahihkan Al-Hakim 4/323 dengan disetujui Adz-Dzahabi. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Mundziri di At-Taghib wat Tarhib 3/400, 4/239-240 dan membenarkan pendapat bahwa hadits tersebut adalah ucapan Ibnu Mas’ud. Dari jalur lain, hadits tersebut diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 10290, Ash-Shaghir hadits nomer 494 dan Abu Nu’aim di Al-Hilyah 4/209. Abu Nu’aim berkata, "Hadits tersebut gharib”. Di sanadnya terdapat perawi As-Suri bin Sahl, guru Ath-Thabrani. Al-Baihaqi berkata, "Ia tidak bisa dijadikan hujjah. Begitu juga gurunya”. Ibnu Adi berkata, "Ia mencuri hadits”.
Namun hadits tersebut mempunyai hadits penguat namun tidak menguatkannya, yaitu hadits Aisyah yang diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath dan di sanadnya terdapat perawi Ibrahim bin Ismail bin Abu Habibah yang tidak bisa dijadikan hujjah. Itu dikatakan Al-Haitsami di Majmauz Zawaid 10/284.
Ada hadits yang semisal dengan hadits di atas, yaitu hadits Al-Hakam bin Umair yang diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Ausath. Al-Haitsami berkata, "Di sanadnya terdapat perawi Isa bin Ibrahim Al-Qurasyi yang tidak bisa dijadikan hujjah”.
Ada lagi hadits yang semisal dengan hadits di atas, yaitu hadits Al-Hasan yang mursal yang diriwayatkan Ibnu Al-Mubarak di Az-Zuhdu hadits nomer 317.
[20] Hadits kedua puluh tujuh buku ini.
[21] Al-Mushannaf hadits nomer 20151.
[22] Hadits nomer 403. Di sanadnya terdapat perawi Muammal bin Ismail yang hapalannya jelek.
[23] Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir hadits nomer 3420. Di sanadnya terdapat perawi Ibnu Luhaiah dan Abdurrahman bin Ziyad bin An’am yang keduanya merupakan perawi dhaif. Baca Majmauz Zawaid 10/290.
[24] Diriwayatkan Ath-Thabrani di Al-Kabir 22/800. Di sanadnya terdapat perawi Ibnu Luhaiah dan Abdurrahman bin Ziyad bin An’am yang keduanya merupakan perawi dhaif. Baca Majmauz Zawaid.
[25] Hadits tersebut juga diriwayatkan Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad hadits nomer 222, Abu Daud Ath-Thayalisi 1/319, Imam Ahmad 4/305, Abu Nu’aim di Al-Hilyah 1/359, dan Ibnu Al-Atsir di Usudul Ghabah 1/475. Hadits tersebut juga disebutkan Al-Hafidz Ibnu Hajar di Al-Ishabah 1/319 dan sanadnya hasan.

0 komentar:

Posting Komentar