Islam adalah diin
al-adab, atau agama yang mengajarkan norma-norma luhur dan suci bagi umat
manusia. Seorang mukmin yang menjadikan dirinya sebagai kendali diri dalam
berbuat dan berbicara, akan menikmati saat-saat diamnya, sementara orang lain
pun merasa sejuk berdekatan dengannya.
Ketika ia berbicara, manisnya
kata-kata yang keluar dari mulutnya membuat orang yang mendengarnya sadar dan
terbimbing kepada kebaikan dan kebenaran. Demikian juga tatkala ia berbuat
sesuatu, maka perbuatannya selalu baik, memberi manfaat, dan dapat menjadi
keteladanan bagi yang lain. Mukmin seperti ini adalah mukmin yang memiliki
sifat-sifat yang dekat kepada Rasulullah saw. yang mulia, di mana diamnya
adalah fikir, ucapannya adalah dzikir, dan amalnya adalah keteladanan.
ADAB BERBICARA
1. Berbicara yang jelas, mudah difahami oleh setiap pendengar.
Dari ‘Aisyah ra. Berkata:
كَانَ كَلاَمُ
رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَلاَمًا فَصْلاً يَفْهَمُهُ
كُلُّ مَنْ سَمِعَهُ . رواه أبو داود و أحمد
Adalah
ucapan Rasulullah saw. selalu jelas maksudnya dan dipahami oleh setiap orang
yang mendengarkannya. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Dari ‘Aisyah ra. juga berkata: “Bahwa Rasulullah saw, pernah
berbicara, sekiranya ada yang menghitung ucapannya pasti terhitung.” Dan dalam
riwayat lain: “Beliau tidak mengeluarkan ucapan sebagaimana kalian berbicara.”
(HR. Bukhari-Muslim).
2.
Berbicara dengan ungkapan yang simpel
dan tidak mencari-cari bahasa yang tinggi, sehingga
kalimat yang diucapkan tidak memiliki makna yang sulit atau tidak bisa
dimengerti.
Khalil bin Ahmad -rahimahullah-
pernah ditanya suatu masalah, beliau tidak segera menjawab. Maka penanya
berkata, “Apakah pertanyaan ini tidak ada jawabannya dalam pandangan tadi?”
Beliau berkata, “Anda sebenarnya telah mengetahui masalah yang Anda tanyakan
berikut jawabannya, tetapi saya ingin memberi jawaban yang lebih mudah lagi
Anda pahami.”
3.
Tidak diulang-ulang kecuali untuk memberikan tekanan makna,
karena “Sebaik-baik ucapan adalah yang singkat dan membawa arti, dan
seburuk-buruk ucapan adalah yang panjang dan membosankan.”
Abdullah bin Mas’ud ra., memberi nasehat kepada
masyarakatnya setiap hari Kamis. Ada
seseorang yang berkata, “Wahai Abu Abdir Rahman, saya berharap engkau memberi
nasehat kepada kami setiap hari.” Beliau berkata, “Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya yang menghalangiku untuk itu karena aku tidak suka membuat kalian
bosan.” Selanjutnya ia berkata,
وَإِنيِّ
أَتَخَوَّلُكُمْ بِالْمَوْعِظَةِ كَمَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِهَا مَخَافَةً السَّآمَةَ عَلَيْنَا . متفق
عليه
Aku
selalu memilih waktu untuk kalian dalam memberi nasehat, sebagaimana Nabi saw,
memilih waktu untuk kami dalam memberi nasehat karena khawatir membuat jenuh
atas kami. (Muttafaq ‘alaih)
Dari ‘Ammar bin Yasir ra berkata, Aku mendengar
Rasulullah saw. bersabda,
إِنَّ طُوْلَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ
فِقْهِهِ فَأَطِيْلُوْا الصَّلاَةَ وَأَقْصِرُوْا اْلخُطْبَةَ . رواه مسلم
Sesungguhnya
panjangnya shalat seseorang dan pendeknya khuthbah, merupakan bukti kemantapan
pemahamannya. Maka panjangkan shalat dan pendekkan khutbah!
(HR. Muslim)
4.
Ucapan harus bagus, tidak kotor dan munkar (jahat).
Rasulullah saw, bersabda:
كُلُّ كَلاَمِ ابْنِ آدَمَ عَلَيْهِ لاَ لَهُ
إِلاَّ أَمْرًا بِمَعْرُوْفٍ وَنَهْيًا عَنْ مُنْكَرٍ وَذِكْرَ اللهِ .
Setiap ucapan anak Adam mencelakannya,
bukan menguntungkan, kecuali perintah untuk kebaikan, mencegah kemungkaran, dan
dzikrullah.
Agar
ucapan kita selalu bagus dan menambah pahala kita dan tidak menambah dosa, maka
kita harus menjaga hal-hal berikut:
a. Setiap pembicaraan kita agar
selalu membawa unsur perintah shadaqah, atau berbuat baik, atau perdamaian bagi
manusia. Allah ta’ala berfirman:
Tiada kebaikan
dalam banyak pertemuan mereka, kecuali orang yang memerintahakan shadaqah, atau
kebaikan, atau perdamaian bagi manusia. Dan barangsiapa melakukan hal itu untuk
mencari ridha Allah, maka niscaya Kami memberinya pahala yang besar.
(Surat An
Nisa’: 114)
b. Meninggalkan pembicaraan yang bukan
kepentingan kita untuk membicarakannya.
Rasulullah
saw. bersabda,
ِمنْ حُسْنِ
إِسْلاَمِ اْلمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ . رواه الترمذي
Di
antara bagusnya keislaman seseorang adalah, ia tinggalkan sesuatu yang tidak ia
ada kepentingan dengannya. (HR.Turmudzi)
c. Menjauhi ucapan yang sia-sia dan tidak
bermanfaat.
Allah berfirman, Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang
dalam shalatnya selalu khusyu’. Dan orang-orang yang dari hal yang tidak
berguna mereka selalu bepaling. (Surat
Al-Mu’minun: 1-3).
Rasulullah saw. bersabda, Sungguh seorang hamba ketika mengucapkan suatu ucapan, tidak lain hanya
untuk membuat orang lain tertawa, ia bisa jatuh di neraka lebih jauh antara
langit dan bumi. (HR. Baihaqi)
d. Menyebar-luaskan salam.
Rasul saw
bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا
السَّلاَمَ وَصِلوُا اْلأرْحَامَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصَلُّوْا بِالَّيْلِ
وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا اْلجَنَّةَ بِسَلاَمٍ . رواه الترمذي
Wahai manusia sebar-luaskan
salam, sambunglah silaturrahim, berikan makanan, dan shalatlah malam ketika manusia tertidur
niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat. (HR Turmudzi)
e.
Menahan diri dari ucapan jahat yang tidak membawa kemaslahatan.
Allah berfirman, Janganlah berdebat dengan Ahli Kitab kecuali dengan cara yng baik,
kecuali dengan orang yang zhalim di antara mereka. (Al-Ankabut: 46)
Dalam hadits Aisyah ra. dia berkata bahwa
Rasulullah saw. bersabda, Sesungguhnya
sejahat-jahat manusia kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah orang
yang ditinggalkan masyarakatnya karena menghindari ucapan jahatnya. (HR
Bukhari)
f. Bersabar dalam berdialog
dengan orang-orang bodoh (jahil). Hal ini tidak berarti menerima kehinaan, akan tetapi bisa
menahan diri di hadapan faktor-faktor yang memancing emosi dan mencegah diri
dari marah, sukarela atau pun terpaksa.
Allah swt. berfirman, Dan hamba-hamba Allah yang Maha Rahman mereka itu berjalan di muka bumi
dengan rendah hati. Dan apabila diajak bicara oleh orang-orang yang bodoh
(jahil) mereka berkata, ‘selamat.’ (Al Furqan : 63)
Dan Allah memerintahkan kepada Nabi Musa dan
Harun as, Pergilah kalian kepada Fir’aun
sesungguhnya dia itu melampaui batas. Maka katakanlah kepadanya perkataan yang
lembut.
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata bahwa ketika
Rasulullah saw. sedang duduk bersama para sahabatnya, ada seseorang mencaci Abu
Bakar ra. dan menyakitinya, tetapi Abu Bakar tetap diam. Lalu ia menyakitinya
yang kedua kali dan Abu Bakar pun tetap diam. Kemudian ia menyakitinya yang
ketiga kali, maka Abu Bakar membela diri. Ketika itulah Rasulullah saw. bangkit
meninggalkan majlis. Abu Bakar bertanya, “Apakah engkau mendapati suatu dosa
atas diriku, wahai Rasulullah?”
Rasulullah saw. menjawab, Ada malaikat turun dari langit mendustakan
orang itu terhadap apa yang ia ucapkan kepadamu. Namun ketika kamu membela
diri, setan pun datang, maka aku tidak mau duduk di sini ketika setan datang.
(HR Abu Dawud).
g.
Menjauhi perdebatan, baik dalam kebenaran maupun dalam kebatilan,
karena hal itu akan menimbulkan keinginan mencari menang dalam diri akhi, dan
lebih suka berapologi daripada
menampakkan kebenaran..
Rasul saw bersabda,
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى ِإلاَّ أُوْتُوا اْلجَدَلَ . رواه
الترمذي
Tidaklah suatu kaum tersesat setelah
berpegang kepada kebenaran kecuali mereka diberi kegemaran berdebat.
(HR Turmudzi).
Ibnu Majah dan Ahmad). Rasul saw bersabda, “Aku
pemimpin sebuah rumah di dalam surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan
meskipun dia yang benar. Dan aku pemimpin sebuah rumah di tengah surga bagi
orang yang meninggalkan dusta meskipun bercanda. Dan aku pemimpin sebuah rumah
di puncak surga bagi orang yang akhlaknya baik.” (HR Abu Dawud)
h. Menjauhi tempat-tempat kejahatan.
Yaitu tempat dilakukannya kemungkaran atau dibicarakan di dalamnya ucapan yang
menghina atau melecehkan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Allah
swt. berfirman,
Dan
apabila kamu melihat orang-orang yang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami maka
tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan yang lain. Dan jika syetan
menjadikan kamu lupa (akan larangan ini) maka janganlah kamu duduk bersama
orang-orang yang zhalim sesudah teringat larangan itu.
(Al-An’am: 68)
Dan Allah swt. berfirman, Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela. (Al Humazah: 1)
Rasulullah saw. bersabda,
لَيْسَ
اْلمُؤْمِنُ بِطَعَّانٍ وَلاَلَعَّانٍ وَلاَ فَاحِشٍ وَلاَ بَذِيْءٍ .
Tidaklah pantas seorang mukmin pencaci
maki, pelaknat, suka berkata keji, dan suka berkata jorok.
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada kata keji
dalam sesuatu kecuali ia akan merusaknya. Dan tidaklah ada sifat malu dalam
sesuatu melainkan ia akan menghiasinya.” (HR Turmudzi).
ADAB MENDENGAR
1. Diam dan mendengarkan sehingga ucapan
tidak bercampur baur dan sulit dipahami.
Allah berfirman,
Dan apabila dibacakan Al Qur’an maka dengarkanlah
baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian mendapatkan rahmat.
(Al-A’raf : 204)
Dari Jabir bin Abdullah ra., ia berkata bahwa
Rasulullah saw. bersabda kepadanya di Haji Wada’, “Perintahkan manusia untuk
tenang.” Kemudian beliau bersabda,
لاَ تَرْجِعُوْا بَعْدِيْ كُفَّارًا يَضْرِبُ
بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ . متفق عليه
Janganlah kalian kembali sesudahku menjadi
orang-orang kafir, sebagian kalian memenggal leher yang lain.
(Muttafaq ‘alaih)
Dari Anas bin Malik ra., bahwa Rasulullah saw. memberi
wasiat kepada Abu Dzar ra. Beliau saw. bersabda,
Hendaklah kamu berakhlaq mulia dan banyak
diam, karena demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak ada perhiasan bagi
seluruh makhluk yang serupa dengan keduanya. (HR. Ibnu Abid
Dunya, Bazzar, Thabrani, dan Abu Ya’la)
Abdullah bin Mas’ud ra, berkata, “Demi Dzat Yang
jiwaku ada di tangan-Nya, tidak ada sesuatu di atas bumi yang lebih perlu untuk
ditahan lama selain lidah.” (Riwayat Turmudzi).
2. Tidak memenggal ucapan orang lain
karena tergesa-gesa atau ingin menguasai kendali forum. Sehingga keinginan Rasulullah
saw untuk segera menghafal Qur’an, dilarang oleh Allah dalam firman-Nya:
Dan jangalah kamu menggerakkan lidahmu untuk
membaca Al Qur’an karena kamu hendak cepat-cepat menguasainya.
(Al-Qiyamah: 16)
3. Menghadapkan wajah kepada pembicara dan
tidak berpaling darinya atau
membuat orang lain berpaling darinya, selama dalam rangka taat kepada Allah,
meskipun ucapan kurang membawa daya tarik ataupun bahasanya kurang indah dan
kurang lancar.
Rasulullah saw, bersabda:
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ اْلمَعْرُوْفِ
شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِقٍ . رواه مسلم
Janganlah kamu meremehkan suatu kebajikan,
meskipun sekedar wajah berseri ketika engkau bertemu saudaramu.
(HR. Muslim)
4. Tidak menampakkan sikap berbeda karena
ucapan saudara kita, meskipun kita sudah lebih tahu, selama pembicara tidak
bersalah dalam berbicara.
Rasulullah saw.
pernah meminta Ibnu Mas’ud ra. untuk membacakan Al-Quran kepadanya, maka ia
menjawab, “Aku membaca untuk Anda padahal ia turun kepada Anda?” Beliau
menjawab, Aku sungguh senang mendengar
Al-Quran itu dari orang lain.
Imam Ahmad bin
Hambal pernah mendengarkan nasihat Al-Muhasibi, sampai beliau memperhatikannya
dengan tenang dan akhirnya beliau menangis sampai basah jenggotnya.
5. Tidak menampakkan kepada para hadirin
bahwa kamu adalah orang yang lebih ‘alim dibandingkan si pembicara, karena hal itu akan
menyebabkan kamu bersikap sombong (takabbur).
Rasulullah saw. bersabda,
اَلْكِبْرُ بَطَرُ اْلحَقِّ وَغَمْطُ
النَّاسِ .
Kesombongan adalah sikap angkuh kepada
kebenaran dan meremehkan orang lain.
0 komentar:
Posting Komentar