Suatu kali, seorang anak
mengutarakan cita-citanya kepada sang bapak. Cita-cita sang anak itu menurut
sang bapak terlalu tinggi dan macam-macam. Karenanya, sang bapak itu segera
berkomentar: “Sudah laah, tidak usah
macam-macam, kita ini kan wong cilik, sudah dari sononya nasib kita begini,
tidak usah muluk-muluk dalam berangan-angan”.
Lain lagi cerita dalam sebuah
pelatihan kepemimpinan.
Dalam pelatihan itu sang tutor
dengan penuh semangat menjelaskan kriteria ideal yang harus dimiliki oleh
seorang pemimpin muslim.
Disebutlah diantaranya: hafal Al
Qur’an minimal 5 juz, hafal hadits minimal 40, mengetahui hukum-hukum fiqih
dasar, membaca 7 jam perpekan di luar spesialisasinya, berjiwa orang tua dalam
kasih sayang, guru dalam memberi pengetahuan, syekh dalam pendidikan ruhani,
panglima dalam ketentaraan, selalu tampil terdepan dalam kebaikan dan lain
sebagainya.
Itu semua baru diantaranya.
Maka berkomentarlah salah
seorang peserta: “Bila demikian beratnya seorang pemimpin, mendingan dipimpin
saja”.
Cerita seperti itu mengingatkan
saya kepada kisah yang terjadi pada Bani Israel.
Dulunya, Bani Israel masuk ke
Mesir karena “dibawa” oleh nabi Ya’qub (as), bapak dari Bani Israel.
Kedatangan mereka sendiri ke Mesir adalah karena posisi dan kedudukan nabi
Yusuf putra nabi Ya’qub (as) yang saat itu telah menjadi seorang pejabat
tinggi di Mesir (kalau bukan tertinggi). Saat itu di tangan nabi Yusuf-lah
urusan perbendaharaan negeri Mesir.
Artinya, saat itu Bani Israel
datang ke Mesir adalah sebagai manusia-manusia terhormat, bukan manusia-manusia
rendahan.
Akan tetapi, sepeninggal nabi
Yusuf (as) mereka diperbudak oleh rezim Fir’aun bertahun-tahun lamanya.
Sehingga lahirlah generasi demi generasi dari mereka yang merasa semenjak lahir
bahwa kelas mereka adalah kelas para budak. Lebih repotnya lagi, mereka sendiri
kemudian “menikmati” keterbudakannya itu.
Karenanya, saat diperintahkan
oleh nabi Musa (as) untuk memasuki Baitul Maqdis, mereka
mengatakan: “Pergi saja kamu dengan Tuhan-Mu, kita maah duduk-duduk di sini
saja” (QS Al Maidah: 20 – 24). Padahal, saat itu, raja Jalut (Galiot) dan bala
tentaranya dalam keadaan yang sangat takut, mengingat bahwa Bani Israel adalah
bangsa yang dibela Allah swt, dan kehancuran Fir’aun dan bala tentaranya adalah
salah satu buktinya. Kalau saja Bani Israel mau memasuki Baitul Maqdis saat
itu, pastilah akan dengan mudah memasukinya (QS Al Maidah: 23).
Penyakit kejiwaan Bani Israel
ini sedemikian kronisnya, sehingga mereka baru bisa memasuki Baitul Maqdis pada
saat mempunyai seorang panglima yang bernama Thalut, satu generasi setelah nabi
Musa (as).
Saudara-saudaraku yang
dimulyakan Allah …
Tadabbduri dan hayatilah sabda
Rasulullah saw berikut ini, cobalah bangun kepribadian anda dengan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya:
"اَلْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ
الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِيْ كُلٍّ خَيْرٌ، اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ،
وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجِزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ
أَنِّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنَ قُلْ: قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ
فَعَلَ؛ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ" (رَوَاهُ مُسْلِمٌ).
Mukmin yang kuat
lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada
masing-masing mukmin ada kebaikan. Bersemangatlah pada apa saja yang bermanfaat
bagimu, meminta tolonglah kepada Allah dan jangan merasa tidak mampu, jika ada
sesuatu menimpamu jangan katakan: “Kalau saja aku melakukan ini dan itu,
pastilah begini dan begitu”. Akan tetapi katakanlah: “Allah swt telah
mentakdirkan, dan apa yang dikehendakinya akan dijalankan”, sebab jikalau-jikalau
(kalau saja-kalau saja) itu membuka kerja setan. (HR Muslim, lihat hadits ke-enam
pada bab mujahadah di kitab Riyadhush-Shalihin).
Dalam
taujihnya ini Rasulullah saw menekankan beberapa hal:
1.
Sebagai
mukmin, kita harus menjadi mukmin yang
kuat, sebab hal ini lebih baik dan lebih dicintai Allah swt. Kekuatan ini
tentunya bukan sekedar kekuatan phisik, justru yang terpenting adalah kekuatan
ma’nawiyyah (mentalitas), baik pada sisi aqidah ataupun kejiwaan. Termasuk juga
kekuatan skill, tsaqafah, fikriyyah, dan
lain-lainnya.
2.
Agar
kita menjadi mukmin yang kuat, kita harus bersemangat kepada apa saja yang
bermanfaat bagi kita, entah itu manfaat duniawi ataupun ukhrawi, manfaat
jasadiyah, aqliyah ataupun ruhiyah, manfaat jangka pendek ataupun jangka
panjang.
3.
Jangan
merasa tidak mampu, namun juga jangan GR dan merasa pasti mampu. Akan tetapi,
meminta tolonglah kepada Allah swt.
4.
Jika
segala perhitungan dan kemampuan manusiawi telah kita kerahkan, dan ternyata
terjadi sesuatu (musibah) yang menggagalkan semua rencana kita, janganlah kita
ratapi musibah itu dengan mengatakan: “kalau saja, kalau saja …”, akan tetapi,
katakanlah: “Allah swt telah mentakdirkan, dan apa yang dikehendakinya pasti
dilaksanakan”.
5.
Kegagalan
bukanlah untuk diratapi, dan di-kalau-kalau-i, akan tetapi untuk dievaluasi dan
diambil ibrahnya. Jika kita ber-kalau-kalau ini artinya kita membuka pekerjaan
bagi syetan.
0 komentar:
Posting Komentar