Assalamu’alaikum wr. wb.
Hijrah dalam pengertiannya yang luas adalah bagian dari perencanaan strategis (Strategic Plan)
dalam berdakwah. Hijrah adalah upaya untuk meminimalisasi mudharat dan memaksimalkan
maslahat, baik dalam konteks fardiyyan maupun jama’iyyan. Hijrah juga merupakan satu terobosan
untuk mendapatkan suaka atau himayah, baik himayatul aqidah dan himayatudda’wah wassiasah .
Himayatul aqidah adalah bentuk perlindungan dan jaminan terhadap keimanan dan akhlak kaum
muslimin, baik secara individual maupun komunal Sedangkan himayatudda’wah wassiasah adalah
jaminan bahwa dakwah islam dengan pengertiannya yang luas, baik dalam kebijakan ekonomi
maupun politik, tidak mendapatkan gangguan, rintangan maupun hambatan. Bahkan sebaliknya
justru mendapatkan fasilitas dan daya dukung massa baik dukungan yang bersifat moral maupun
material. Kedua himayah tersebut di atas merupakan syarat mutlak bagi kemenangan dakwah, salah
satunya tidak terpenuhi maka kemenanagan dakwah menjadi sulit untuk diprediksi. Oleh sebab itu
Rasulullah tidak menindaklanjuti proyek hijrah ke Habasyah dan tidak membidik Habasyah sebagai
tempat hijrah yang permanen dan kondusif, karena Habasyah hanya memberikan himayatul aqidah
kepada kaum muslimin yang hijrah ke sana, sementara gerak dakwah dan manuver politik mereka
tetap terjepit oleh represi birokrasi dan pemerintahan Habasyah yang secara terang-terangan
menolak Islam. Masuk Islamnya Najasyi sebagai Raja Habasyah tidak banyak membantu prosfek
da’wah dan siasah di Negeri Habasyah.
Dakwah dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya selalu mengacu pada dinamika
hijrah, yaitu perubahan dari satu kondisi kepada kondisi lainnya yang menyebabkan gerakan
dakwah harus mengubah alur strategi agar lebih efisien dan efektif . Oleh karenanya Hijrah harus
dimaknai sebagai sebuah kecenderungan perubahan yang poistif dan progressif, dengan sekian
langkah maju ke depan Bukan langkah surut ke belakang. Ada’watu dzatu marahil, dakwah selalu
bertumpu pada logika hijrah tahapan-tahapan yang bersifat situasional. Dalam kontek dakwah kita,
banyak marhalah yang telah kita lalui, setiap marhalah mengacu kepada putaran (Mihwar) fokus amal dakwah yang disesuaikan dengan target dan capaian dakwah di setiap marhalah. Mihwar yang
paling peertama dalam dakwah kita adalah mihwar Tandzhimi, yaitu putaran pertama dengan
terbentuknya tandzhim dakwah di negeri ini. Putaran pertama ini memfokuskan amal da’wahnya pada amal Nukhbawy, yaitu periode pengkaderan aktivis dakwah melalui duaroh-daurah yang ditindaklanjuti dengan pembentukan halaqoh-halaqoh. Ketika kader-kader dakwah sudah mulai signifikan jumlahnya, banyak di antara mereka yang mengembangkan dakwah ini melalui lembaga-lembaga formal, baik Masjid, Ma’had dan Yayasan-yayasan dakwah dan pendidikan, maka mihwar
nukhbawy secara perlahan beralih kepada Mikhwar Sya’by. Mihwar sya’by adalah periode dimana
kita sebagai aktifis da’wah dianjurkan untuk melakukan hubungan kemasyarakatan (alaqoh
ijtima’iyah) yang lebih intensif baiak dlama skala fardian dengan sillaturrahnmu, maupun jama ’iyan
dengan bakti sosial (amal khidamy).
Mikhwar sya’by juga merupakan siklus perjalanan dakwah yang mengarah pada prolehan
kredibilitas sosial (Misdaqiah Ijtima’iyah), semakin tinggi kredibilitas sosial yang diperoleh maka
semakin luas ruang akseptibilitasnya di tengah-tengah masyarakat. Ketika dakwah semakin diterima
kehadirannya ditengah-tengah masyarakat maka langkah kepada mihwar berikutnya semakin
terbuka lebar. Oleh karena itu berkat inayah dan ri’ayah Allah SWT kita sekarang memasuki
Mihwar Mu’assasy, siklus dimana kita bergeerak dengan paradigma dakwah yang lebih luas dan kompleks.
Disinilah Isti’ab kita, baik isti’ab tandzhimi, ma’nawy dan nadzhory semakin
dibutuhkan. Kedewasaaan kita dalam mensikapi hal-hal yang bersifat Asholah dan Tathwir, serta
hal-hal yang bersifat tsawabit dan Mutaghayyirat.
2
Ikhawati Fillah....
Hijrah Rasululloh SAW ke Madinah dapat diartikan sebagai awal dari Mihwar Muasssasy,
setetlah sebelumnya Rasulullah berhasil melewati mihwar Sya’by dengan mengutus Mus’ab bin
Umair dalam program bi’tsaatuddu’atnya ke Yatsrib. Berkat usaha dan jerih payah Mus’ab-lah,
hampir seluruh penduduk Yatsrib, baik kalngan orang tua, pemuda maupun anak-anak mulai akran
dengan Islam dan menjadi pemeluk-pemeluknya yang bertaqwa kepada Allah SWT. Mihwar
Mu’assasy yang diawali dengan sampainya Rasulullah di Yatsrib, semakin kokoh. Solid dan
kondusif. Ada tiga faktor yang menyebabkan Hijrah Nabi menjadi kilas balik kemenanagn da’wah,
setelah sekian tahun mendapat perlakuan yang refressif dari rezim penguasa Mekkah. Ketiga faktor
di bawah ini juga dapat kita jadikan sebagai tolak ukur kesuksesan dan kemenanagn da’wah kita di
era mihwar mu’assasy yang tengah kita lewati saat ini.
Pertama, memperkokoh basis Masjid untuk sarana ibadah dalam rangka memperkuat hubungan
vertikal kepada Allah, dan sarana mu’am’alah untuk merekat hubungan horizontal. Masjid pada
Mihwar Mu’assasy hendaknya tidak hanya berfungsi sebagi Markazul Ibadah tetapi juga sebagai Markazul Qiadah. Oleh karenanya kita sebagai aktivis da’wah hendaknya menunjukan partisipasi dan keteladanan yang maksimal dalam program Ta’mir Masjid, sehingga pada gilirannya kita mendapat kepercayaan dari jama’ah masjid untuk menjadi pimpinan dan pengelola Masjid.
Disisnilah kiita dapat memainkan peran untuk meningkatkan syi’ar dan pengembangan da’wah ke
arah yang lebih kaffah dan komprehensif.
Kedua, menjalin hubungan yang erat dan dekat dengan seluruh lapisan masyarakat, khususnya
masyarakat Islam, dengan berbagai latar belakang baik kultur, tradisi, madzhab fiqhiyyah,
keormasan, kepartaian dan lain sebagainya. Posisikanlah mereka sebagai partner bukan rival.
Disinilah kita dituntut untuk bersikap lues dalam mengahdapi realitas masyarakat dengan tetap menjaga sikap kritis kita secara proporsional. Sikap kritis hendaknya kita tunjukan bila prilaku masyarakat terkait dengan masalah ushul (aqidah-akhlak) dengan nash yang sharih (tegas) baik al-qur’an maupun sunnah dan telah menjadi kesepakatan di kalangan jumhur ulama (muttafaq alaih).
Sebaliknya kita jangan malas-malas bersikap toleran (Lazy Tolerance) terhadap hal-hal yang
bersifat mukhtalaf fiih atau furu’ mu’tabarah (tata cara beribadah yang dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah dan istidlalnya) yang terjadi karena pendekatan pemahaman dan penafsiran
yang berbeda terhadap satu nash Al-Qur’an maupun as-sunnah, seperti tata cara shalat, dzikir dan
sebaginya. Sikap kaku, fanatik furu’iyyah, dan merasa benar mutlak dalam hal-hal yang mukhtalaf
fiih, hanya akan membuat kita semakin tidak dapat berbaur dengan masyarakat, dan semakin sulit
bagi kita untuk mengahrapkan dukungan dan kepercayaan mereka terhadap dakwah kita, sehinga kemenangan pun semakin tertunda. Wal I’adzu billah.
Ketiga, bersikap akomodotif terhadap elemen dan komunitas non muslim, dengan menampakan
citra keislaman yang lembut dan penuh kasih sayang. Berusaha untuk selalau mencari titik temu
konseptual kesepakatan bersama dalam menciptakan keamanan dan mewujudkan kesejahteraan
kolektif. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara kita harus bersikap arif, dewasa,
demokrat dan siap duduk bersama dalam menyumbangkan kontribusi pemikiran, dengan tetap
mengacu pada spirit dan prinsip-prinsip keislaman, disinliah da’wah tampil dengan wajah
perjuangan yang menuntut kita bersikap lebih elegan dan penuh rasa percaya diri.
0 komentar:
Posting Komentar