Selasa, 04 Oktober 2016

Hijrah: Kilas Balik Kemenangan Dakwah



Assalamu’alaikum wr. wb.

Hijrah dalam pengertiannya yang luas adalah bagian dari perencanaan strategis (Strategic Plan)
dalam  berdakwah.  Hijrah  adalah  upaya  untuk  meminimalisasi  mudharat  dan  memaksimalkan
maslahat, baik dalam konteks fardiyyan maupun jama’iyyan. Hijrah juga merupakan satu terobosan
untuk mendapatkan suaka atau himayah, baik himayatul aqidah dan himayatudda’wah wassiasah  .

Himayatul  aqidah  adalah  bentuk  perlindungan  dan  jaminan  terhadap  keimanan  dan  akhlak  kaum
muslimin, baik secara  individual maupun komunal Sedangkan himayatudda’wah wassiasah adalah
jaminan  bahwa  dakwah  islam  dengan  pengertiannya  yang  luas,    baik  dalam  kebijakan  ekonomi
maupun   politik,   tidak mendapatkan  gangguan,  rintangan maupun  hambatan. Bahkan  sebaliknya
justru mendapatkan  fasilitas  dan daya  dukung massa  baik  dukungan  yang  bersifat moral maupun
material. Kedua himayah tersebut di atas merupakan syarat mutlak bagi kemenangan dakwah, salah
satunya tidak terpenuhi maka kemenanagan dakwah menjadi sulit untuk diprediksi. Oleh sebab itu
Rasulullah tidak menindaklanjuti proyek hijrah ke Habasyah dan tidak membidik Habasyah sebagai
tempat hijrah yang permanen dan kondusif, karena Habasyah hanya memberikan himayatul aqidah
kepada kaum muslimin yang hijrah ke sana,  sementara gerak dakwah dan manuver politik mereka
tetap  terjepit  oleh  represi  birokrasi  dan  pemerintahan  Habasyah  yang  secara  terang-terangan
menolak  Islam. Masuk  Islamnya Najasyi  sebagai Raja Habasyah  tidak banyak membantu prosfek
da’wah dan siasah di Negeri Habasyah.

Dakwah  dalam  proses  pertumbuhan  dan  perkembangannya  selalu  mengacu  pada  dinamika
hijrah,  yaitu  perubahan  dari  satu  kondisi  kepada  kondisi  lainnya  yang  menyebabkan  gerakan
dakwah harus mengubah alur strategi agar lebih efisien dan efektif  . Oleh karenanya Hijrah  harus
dimaknai  sebagai  sebuah  kecenderungan  perubahan  yang  poistif  dan  progressif,  dengan  sekian
langkah maju ke depan Bukan  langkah surut ke belakang. Ada’watu dzatu marahil, dakwah selalu
bertumpu pada logika hijrah tahapan-tahapan yang bersifat situasional. Dalam kontek dakwah kita,
banyak marhalah  yang  telah kita  lalui,  setiap marhalah  mengacu kepada putaran  (Mihwar)  fokus  amal dakwah yang disesuaikan dengan target dan capaian dakwah di setiap marhalah. Mihwar yang
paling  peertama  dalam  dakwah  kita  adalah  mihwar  Tandzhimi,  yaitu  putaran  pertama  dengan
terbentuknya  tandzhim  dakwah  di  negeri  ini. Putaran  pertama  ini memfokuskan  amal  da’wahnya pada  amal    Nukhbawy,  yaitu  periode  pengkaderan  aktivis  dakwah  melalui  duaroh-daurah  yang ditindaklanjuti  dengan  pembentukan  halaqoh-halaqoh.  Ketika  kader-kader  dakwah  sudah  mulai signifikan jumlahnya, banyak di antara mereka yang mengembangkan dakwah ini melalui lembaga-lembaga formal, baik Masjid, Ma’had dan Yayasan-yayasan dakwah dan pendidikan, maka mihwar
nukhbawy secara perlahan beralih kepada Mikhwar Sya’by.  Mihwar sya’by adalah periode dimana
kita  sebagai  aktifis  da’wah  dianjurkan  untuk  melakukan  hubungan  kemasyarakatan  (alaqoh
ijtima’iyah) yang lebih intensif baiak dlama skala fardian dengan sillaturrahnmu, maupun jama ’iyan
dengan bakti sosial (amal khidamy).

Mikhwar  sya’by  juga  merupakan  siklus  perjalanan  dakwah  yang  mengarah  pada    prolehan
kredibilitas  sosial  (Misdaqiah  Ijtima’iyah), semakin  tinggi kredibilitas sosial  yang diperoleh maka
semakin luas ruang akseptibilitasnya di tengah-tengah masyarakat. Ketika dakwah semakin diterima
kehadirannya  ditengah-tengah  masyarakat  maka  langkah  kepada  mihwar  berikutnya  semakin
terbuka  lebar.  Oleh  karena  itu  berkat  inayah  dan  ri’ayah  Allah  SWT  kita  sekarang  memasuki
Mihwar Mu’assasy,  siklus  dimana  kita  bergeerak  dengan  paradigma  dakwah  yang  lebih  luas  dan kompleks.

Disinilah   Isti’ab  kita,    baik  isti’ab  tandzhimi,  ma’nawy  dan  nadzhory  semakin
dibutuhkan. Kedewasaaan kita dalam mensikapi  hal-hal  yang bersifat Asholah dan Tathwir,  serta
hal-hal yang bersifat tsawabit dan Mutaghayyirat.

   2
Ikhawati Fillah....
Hijrah  Rasululloh  SAW  ke  Madinah  dapat  diartikan  sebagai  awal  dari  Mihwar  Muasssasy,
setetlah  sebelumnya Rasulullah  berhasil melewati mihwar  Sya’by  dengan mengutus Mus’ab  bin
Umair  dalam  program  bi’tsaatuddu’atnya  ke Yatsrib. Berkat  usaha   dan  jerih  payah Mus’ab-lah,
hampir seluruh penduduk Yatsrib, baik kalngan orang tua, pemuda maupun anak-anak mulai akran
dengan  Islam  dan  menjadi  pemeluk-pemeluknya  yang  bertaqwa  kepada  Allah  SWT.  Mihwar
Mu’assasy  yang  diawali  dengan  sampainya  Rasulullah  di  Yatsrib,  semakin    kokoh.  Solid  dan
kondusif. Ada tiga faktor yang menyebabkan Hijrah Nabi menjadi kilas balik kemenanagn da’wah,
setelah sekian tahun mendapat perlakuan yang refressif dari rezim penguasa Mekkah. Ketiga faktor
di bawah ini juga dapat kita jadikan sebagai tolak ukur kesuksesan dan kemenanagn da’wah kita di
era mihwar mu’assasy yang tengah kita lewati saat ini.
Pertama, memperkokoh basis Masjid untuk sarana ibadah dalam rangka memperkuat hubungan
vertikal  kepada Allah,  dan  sarana mu’am’alah  untuk merekat  hubungan  horizontal. Masjid  pada
Mihwar Mu’assasy  hendaknya  tidak  hanya  berfungsi  sebagi Markazul  Ibadah  tetapi  juga  sebagai Markazul Qiadah. Oleh  karenanya  kita  sebagai  aktivis da’wah  hendaknya menunjukan partisipasi dan  keteladanan  yang  maksimal  dalam  program  Ta’mir  Masjid,  sehingga  pada  gilirannya  kita mendapat  kepercayaan  dari  jama’ah  masjid  untuk  menjadi  pimpinan  dan  pengelola  Masjid.

Disisnilah kiita dapat memainkan peran untuk meningkatkan syi’ar dan pengembangan da’wah ke
arah yang lebih kaffah dan komprehensif.
Kedua, menjalin hubungan  yang  erat dan dekat dengan seluruh  lapisan masyarakat, khususnya
masyarakat  Islam,  dengan  berbagai  latar  belakang  baik  kultur,  tradisi,  madzhab  fiqhiyyah,
keormasan,  kepartaian  dan  lain    sebagainya.  Posisikanlah  mereka  sebagai  partner  bukan  rival.
Disinilah  kita  dituntut  untuk  bersikap  lues  dalam   mengahdapi  realitas masyarakat  dengan  tetap menjaga  sikap  kritis  kita  secara  proporsional.  Sikap  kritis  hendaknya  kita  tunjukan  bila  prilaku masyarakat terkait dengan masalah ushul (aqidah-akhlak) dengan  nash yang sharih (tegas) baik al-qur’an maupun sunnah dan telah menjadi kesepakatan di kalangan  jumhur ulama (muttafaq alaih).

Sebaliknya  kita  jangan  malas-malas  bersikap  toleran  (Lazy  Tolerance)  terhadap  hal-hal  yang
bersifat  mukhtalaf  fiih  atau  furu’  mu’tabarah  (tata  cara  beribadah  yang  dapat  dipertanggung
jawabkan secara ilmiah dan istidlalnya) yang terjadi karena pendekatan pemahaman dan penafsiran
yang berbeda  terhadap satu nash Al-Qur’an maupun as-sunnah, seperti  tata cara shalat, dzikir dan
sebaginya. Sikap kaku, fanatik furu’iyyah, dan merasa benar mutlak dalam hal-hal yang mukhtalaf
fiih, hanya akan membuat kita semakin tidak dapat berbaur dengan masyarakat, dan semakin sulit
bagi  kita untuk mengahrapkan  dukungan  dan  kepercayaan mereka  terhadap dakwah  kita,  sehinga kemenangan pun semakin tertunda. Wal I’adzu billah.

Ketiga, bersikap akomodotif terhadap elemen dan komunitas non muslim, dengan menampakan
citra  keislaman  yang  lembut dan  penuh  kasih  sayang. Berusaha  untuk  selalau mencari  titik  temu
konseptual  kesepakatan  bersama  dalam  menciptakan  keamanan  dan  mewujudkan  kesejahteraan
kolektif.  Dalam  konteks  kehidupan  berbangsa  dan  bernegara  kita  harus  bersikap  arif,  dewasa,
demokrat  dan  siap  duduk  bersama  dalam  menyumbangkan  kontribusi  pemikiran,  dengan  tetap
mengacu  pada  spirit  dan  prinsip-prinsip  keislaman,  disinliah  da’wah  tampil  dengan   wajah
perjuangan yang menuntut kita bersikap  lebih elegan dan penuh rasa percaya diri.


0 komentar:

Posting Komentar