|
|
Nabi Ibrahim AS secara simbolik telah dijadikan referensi sepanjang
zaman akan makna qurban. Ibrahim diuji karena kecintaannya kepada
anaknya yang besar yang berlebihan, ia seakan melalaikan Tuhan. Dalam
wahyu, Ibrahim dapat perintah untuk menyembelih putra yang paling
dicintai, Ismail. Ibrahim berhasil menunaikan perintah akan menyembelih
putranya itu. Tapi Ismail kemudian tak jadi tewas terbunuh karena
diganti seekor kambing jantan.
Ismail tak jadi korban ”wahyu” dari
ayahnya karena Ismail hanya sarana menguji keimanan Ibrahim. Intinya,
yang dituju dalam momentum qurban adalah bagaimana menunjukkan
ketauhidan kita secara ideologis dan sosial; vertikal dan horizontal.
Secara tegas dinyatakan dalam Alquran (al-Hajj: 37) bahwa Allah tidak
membutuhkan daging-daging binatang qurban, melainkan ketaqwaan.
Disinilah kemudian taqwa dalam spirit qurban tebaca dan ter-eja secara
filosofis dalam upaya kita menyembelih nafsu-nasfsu kebinatangan,
sebagaimana binatang disembelih dalam ritual paling tua di dunia itu.
Kontekstualisasi taqwa dalam qurban terletak pada sejauh mana umat
Islam bisa mengajak kepada saudaranya yang kurang untuk merasakan
kenikmataan daging binatang ternak yang mungkin saja belum tentu bisa
dirasakannya setiap saat kecuali dalam momen-momen bahagia saja. Berbeda
dengan puasa yang meng - ajak setiap kita merasakan dahaga kelaparan
saudara-saudara kita yang kurang mampu.
Pada saat yang sama,
golongan umat Islam yang mampu menunaikan haji juga diajak untuk
menghayati spiritualitas qurban kala ia melaksanakan tahapan lempar
jumrah aqabah.
Pesan melempar jumrah tak berhenti pada formalitas
ritual haji belaka, bahwa di sana para haji diajak untuk melempar
musuh-musuh mereka (setan) agar tak terlalu membelenggu upaya diri
menuju kecerdasan spiritual dan sosial.
Kecerdasan sosial dan
spiritual sungguh kita harapkan muncul sebagai kesadaran massal di
tengah kondisi ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan yang ”tak
terlerai” dari luapan masalah.
Tanpa kesadaran dan kecerdasan spiritual dan sosial, manusia akan jadi angkuh dan mementingkan diri sendiri.
Ritual qurban hadir untuk memberikan semangat yang mungkin saja akan
luntur dalam landscape kehidupan kita yang egois, individualis dan
serakah. Baik yang ada di tanah air maupun yang sedang menjalankan
ibadah haji. Kita diajak untuk memberi sesuatu yang kita punya dan kita
cintai kepada orang lain yang membutuhkan.
Haji dan spirit qurban
Seorang kaya raya
bernama Ibnul Mubarok melakukan haji sunnah, yakni haji yang dilakukan
bukan pertama kali. Dalam perjalanan, dia bertemu dengan seorang anak
perempuan kurus mengambil seekor burung yang sudah mati (bangkai). Ibnul
Mubarok bertanya ihwal kejadikan aneh itu. Dia bertanya mengapa
mengambil burung yang sudah mati, apa tujuannya.
Anak perempuan itu
menjawab kalau dia sudah tiga hari tidak makan dan adik-adiknya di rumah
kelaparan. Burung bangkai itu akan ia jadikan santapan gratis karena
tak mampu membeli kebutuhan makanan.
Tersentuh, Ibnul Mubarok
membatalkan hajinya dan memberikan ongkos naik hajinya untuk keluarga
anak malang itu. Itulah yang namanya qurban dalam pengertian spirit.
Haji yang sifatnya formal dibatalkan untuk melakukan korban amal kepada
orang-orang yang tidak mampu, seperti tamsil anak perempuan itu.
Oleh karena itulah, haji yang sekadar untuk menaikkan gengsi sosial dan
status spiritual tidak akan menjadikan mabrur (baik) dan mabruk
(berkah) kalau spirit kepedualian sosial, sebagaimana dalam qurban, tak
menyatu dalam penghayatan filosofis kita.
Dalam masyarakat kita,
terjadi salah kaprah berpikir, bahwa kalau orang sudah berqurban
dianggap sudah memberikan kontribusi besar kepada agama dan masyarakat.
Begitu juga, kalau orang sudah haji, rukun Islam dianggap sudah sempurna
dan dosa-dosanya tertebus sewaktu masih di Makkah dan Madinah.
Qurban hanya sarana menjalin komunikasi secara vertikal dan horizontal
saja. Karena Tuhan tidak membutuhkan daging, status, dan pahala kita.
Allah tidak membutuhkan Ibrahim dan Ismail. Kita yang membutuhkan cinta
kepedulian sesama.
Saudaraku
Jika kita menginginkan sebuah
tatanan yang ideal dalam kehidupan bermasyarakat, maka kepedulianlah
yang menjadi kunci terciptanya harmonisasi di dalamnya yang pada
akhirnya kita mengharapkan dapat memPerkecil Kesenjangan Sosial di
tengah tengah masyarakat kita.
Dengan itu harapan kita semua dapat mewujudkan generasi :
Qur'ani,Ukhuwah, Religius, Berkah, Amanah dan Nyata
0 komentar:
Posting Komentar