وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ
وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنْفِقُونَ
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima seruan
Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami
berikan kepada mereka. (”Asy-Syura: 38).
Mukadimah
Syura Sebagai Ketaqwaan Jama’ah, Kekuatan,
Serta Kemerdekaan Individunya dan Hak-hak Mereka Sebagai Manusia.
Perselisihan kerap kali mengundang
pertarungan dan perdebatan yang tidak akan pernah berakhir. Seperti perdebatan
tentang adakah demokrasi dalam Islam, dan apakah hasil musyawarah itu mengikat
ataukah tidak. Hal ini terjadi karena tidak ada kesepakatan mengenai definisi syura
sebagai sesuatu yang wajib menetapi, masyurah (memberikan pendapat)
dan istisyarah (meminta pendapat) yang fakultatif dipandang dari segi
keharusan menetapinya. Pada hakikatnya kesengajaan tidak mau mengetahui
perbedaan dapat menyebabkan mereka menggeneralisasikan dalam memberikan hukum
terhadap kedua istilah tersebut. Penyamarataan inilah yang menyebabkan
munculnya perselisihan tegang di seputar topik ini.
Definisi
Terdapat perbedaan dan perselisihan
pendapat dalam definisi syura. Perbedaan tersebut disebabkan tidak
adanya kesepakatan terhadap definisi: syura (sesuatu yang wajib
menetapi), masyurah (memberikan pendapat) dan istisyarah (meminta
pendapat).
Secara
praktis, istilah masyurah dan syura sering dipakai dengan makna
yang sama. Arti Syura secara umum mencakup segala bentuk pemberian advis
(pendapat) dan musyawarah (bertukar pendapat). Sedangkan artian sempit, Syura
adalah ketentuan yang harus ditetapi sebagai hasil keputusan jama’ah.
Selanjutnya harus dibedakan antara definisi syura secara umum (luas) dan
artian sempitnya.
Asas
syura ¾dalam
arti universal¾
adalah: bahwa eksistensi jama’ah, hak-hak dan tanggung-jawabnya diambil dari
solidaritas seluruh individu sebagai bagian darinya. Pendapat jama’ah merupakan
pendapat keseluruhan, pemikirannya sebagai hasil pemikiran mereka, akalnya pun
akal mereka. Kehendaknya merupakan kehendak seluruh individu. Kehendak
diputuskan berdasarkan ketetapan yang mereka ambil berdasarkan hasil tukar
pikiran, dalam hal ini siapapun diberikan kebebasan mengeluarkan dan membantah
pendapat.
Jama’ah
bukanlah sesuatu yang terpisah dari individunya, keberadaan seorang dalam
jama’ah telah memberikan kepadanya hak yang fitri dan syar’i. Namun demikian,
diisyaratkan bahwa pada akhirnya ia harus mengakui dan menetapi ketetapan
jama’ah yang ditetapkan oleh jumhurnya yang disebut aghlabiyyah (mayoritas).
Hak pribadi dalam syura merupakan haknya dalam kebebasan dan hak-hak
asasi manusia (HAM) yang diambil dari fitrahnya dan syari’at Allah sebagai
manusia.
Keharusan
berkomitmen atas ketetapan jama’ah inilah yang membuat jama’ah sebagai “sumber
kekuasaan hukum”. Jama’ahlah yang menetapkan pembagian kekuasaan, mengatur dan
memilih orang yang menempati pos-pos kekuasaan sekaligus mengontrol dan
mengoreksinya. Setiap keputusan harus mengikutsertakan individu dalam
musyawarah yang bebas. Sehingga ketetapan tidak akan dianggap sebagai hasil
keputusan jama’ah ¾dalam
arti sebagai sesuatu yang benar¾ jika tidak mengikutsertakan
sebagian anggota jama’ah (mukalaf dan sehat) dalam musyawarah.
Syari’at Fitrah
Syari’at
Islam adalah syari’at fitrah, dan berarti syari’at Islam adalah syari’at syura,
yang dalam menetapkan sesuatu tidak terbatas pada hak-hak pribadi tapi juga
hak-hak jama’ah. Di sisi lain, dalam Islam terdapat metode masyurah,
(memberi pandangan, bertukar pendapat, meminta pendapat dari orang yang
berpengalaman, nasihat, saling mempercayai) yang bersifat fakultatif diantara
umat. Hal ini menunjukkan bahwa agama Islam mengutamakan agar masyarakat
meminta pendapat dari orang-orang berpengalaman sebelum menetapkan apapun baik
secara pribadi maupun jama’ah.
Penetapan
mabda syura dalam syari’at pada hakikatnya ditujukan kepada umat
dan jama’ah. Jika individu saja boleh menggunakan akal ¾yang menjadi syarat
kedewasaan dan dasar sah dalam menetapi hukum syara¾ dan diperbolehkan
memilih, maka jama’ah (kumpulan individu yang berakal dan dewasa) tentu saja
lebih penting untuk dianggap dewasa dan mukalaf. Jama’ah memiliki hak kebebasan
mengurusi dirinya, merupakan hasil yang pasti dari apa yang diperoleh dari
hasil individunya, berupa hak memilih dan memberi kebebasan mengurusi diri
mereka sendiri. Dari sinilah lahir metode syura secara kolektif yang
harus ditetapi, sebagaimana hal itu menjadi asas pula bagi masyura, istisyarah
fakultatif, dan nasihat di antara mereka.
Masa Depan Syura
Fitrah
manusia sebagai sumber syura yang merupakan manhaj bagi solidaritas,
keadilan sosial dan kedewasaan berpolitik, akan menjadikan masa depan
kemanusiaan tampil dalam bentuk menghormati prinsip kebebasan syura dan
konsisten dengan bentuknya yang komprehensif, yang sanggup menutupi kelemahan
demokrasi. Tegaknya kedaulatan syari’at sangat didukung oleh hakikat sejarah
dan banyak orang yang terpengaruh serbuan informasi yang rancu akan kemaslahatan.
Informasi
tersebut disebarkan oleh kelompok yang berusaha keras membendung nilai-nilai
Islam dan menghentikan aktifitas para da’inya. Mereka bersembunyi di balik
syiar demokrasi dengan mengaku bahwa demokrasi adalah kebebasan, sedang syura
adalah kungkungan. Mereka terkesan menegakkan demokrasi, padahal mereka tidak
konsisten dengan penerapannya. Kebebasan mereka pada hakikatnya adalah
kebebasan undang-undang buatan manusia dan negara diktator yang diberikan
kepada siapa yang mereka kehendaki saja. Memberikan kebebasan kepada para
pendukung penguasa saja, tidak kepada yang lain. Ketika “kewajiban”demokrasi
itu berlawanan dengan kepentingan mereka, maka tiada kaitannya dengan budi
pekerti dan akidah, hak menggunakan kekuasaan tak boleh terikat oleh hukum
Allah atau syara.
Kediktatoran
para penguasa masa kini lebih berbahaya karena para penguasa sekarang merebut
kekuasaan legislatif lalu menciptakan undang-undang sendiri yang dipergunakan
untuk memperluas kekuasaan mereka dan memberi jalan kepada para pendukungnya
untuk melakukan tindakan yang disukainya. Undang-undang yang memalsu aspirasi
rakyat digunakan dalam praktik pemilihan yang biasa berlaku, untuk membasmi
setiap perlawanan terhadap kesewenang-wenangan mereka dan memberikan legitimasi
terhadap pemerintah mereka yang mereka paksakan atas manusia.
Kebangkitan
Islam menuntut berlakunya syari’at yang harus memiliki dua tujuan:
Melenyapkan
penyelewengan lama yang dimulai oleh para penguasa negara Islam pasca Khulafaur
Rasyidin, yang memang telah menghalangi banyak bangsa untuk ikut memilih para
penguasa dan mengontrol mereka.
Melakukan
langkah-langkah positif terhadap penyelewengan masa kini yang memberi
kesempatan kepada sebagian sultan untuk meniadakan kekuasaan syari’at dan
mengeluarkan undang-undang yang mereka ciptakan sesuai kehendak mereka.
Mabda
syura
dan masyurah atau teori syura yang universal dengan pengertiannya
yang luas mencakup seluruh bentuk tukar pikiran, saling menasehati dan
berdiskusi secara bebas. Keuniversalan syura dilihat dari sudut:
Syura dalam artinya yang luas
dan umum meliputi setiap bentuk tukar pendapat, termasuk mereka yang
mengeluarkan dan karakternya.
Syura tidaklah berbentuk
khusus yang terbatas pada kekuasaan dalam menggunakannya dengan ketetapan wakil
umat yang dikeluarkan dengan syura. Syura merupakan asas dari
kemerdekaan pribadi dalam jama’ah yang memberikan haknya yang fitri dalam ikut
serta menghasilkan ketetapan-ketetapan secara kolektif.
Pada
hakikatnya tujuan syura adalah keadilan yang menegakkan keseimbangan secara
proporsional di antara kemerdekaan individu dan jama’ah dari satu segi, dan
keberadaan kekuasaan umum yang mewajibkan batas-batas secara fitri dari segi
yang lain. Menetapkan mabda syura berarti mengisyaratkan dengan
istilah hurumat atau hal-hal yang patut dihormati: aqidah, jiwa, akal,
kehormatan, harta dan sebangsanya. Memelihara segala yang patut dihormati
berarti memuliakan manusia sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Qurán.
Syura Sebagai Pemuliaan dan
Bimbingan
Al-Qurán
mewajibkan bertukar pendapat sebagai dasar dari eksisitensi masyarakat dan
solidaritas beserta sistem-sistemnya, dengan tujuan agar tukar pendapat secara
bebas dijadikan kaidah bagi solidaritas dalam kebebasan berpendapat antara
individu. Ikhwal pemuliaan kemanusiaan telah ditegaskan dalam Al-Qur’an yaitu
ketika Allah memerintahkan kepada para malaikat agar bersujud kepada Adam
setelah sebelumnya Allah menerangkan kepada mereka dengan ilmu, fikiran dan
akal. Rasulullah Saw telah mengatur umat agar syura dijadikan sebagai
asas bagi kemerdekaan individu dan jama’ah serta kesatuan tanggung-jawabnya.
Dengan demikian Allah mewajibkan kepada jama’ah agar menjadikan syura sebagai
sendi bagi sistemnya dan sebagai kesetiakawanan antar individu.
Kedewasaan
merupakan dasar dalam metode syura. Dimana kedewasaan termasuk dalam
kesempurnaan nikmat dan kesempurnaan agama dengan misi Islam dan syari’atnya.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“….Pada hari ini telah kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam
itu jadi agama bagi mu……..”(Al-Maidah: 3).
Allah
mengamanatkan kepada jama’ah agar menentukan sendiri ketetapan tentang berbagai
persoalan, dengan demikian umat yang dewasa berhak untuk dinyatakan dalam
Al-Qur’an baik jama’ah maupun individu.
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ
وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنْفِقُونَ
“Dan
bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat. Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara
mereka……”(Asy-Syura: 38).
Penetapan
mabda syura dalam Al-Qur’an merupakan pertanda datangnya era baru bagi
kemanusiaan yang dewasa, yaitu masa baru yang diwujudkan oleh syura atas dasar
hak bangsa dalam menentukan nasib serta mengatur diri mereka sendiri manakala
mereka percaya dengan Tuhannya dan berjalan diatas manhaj Allah. Oleh kareana
itu Islam mewajibkan Syura dalam segala segi kehidupan.
Syura Sebagai Kaidah Sosial
Sebanarnya
syura dalam Islam bukanlah semata-mata sebagai teori politik atau sebagai
kaidah dustur pemerintahan seperti diduga sebgian orang. Akan tetapi syura
merupakan landasan syar’I bagi sistem masyarakat yang mau menetapi
prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kekauasaan rakyat serta kesetiakawanan
sosial. Secara umum syura tidak terbatas dalam kerangka sistem pemerintahan
Islam semata, tidak pula terbatas pada mabda-mabda yang mengikat para penguasa
akan tetapi syura memilki jangkauan yang lebih mendalam, kajian syura dimulai
dengan pokok syari’at Islam dimana manusia berhak mengambil hak asasi dan
kemerdekaannya, demikian pula umat yang mengambil kekuasaan.
Dalam
kaitan ini batapa pentingnya membedakan syura dengan demokrasi politik karena
mabda tasyawur (tukar pendapat) dan syura terpusat pada kepentingan
mengorbankan pikiran untuk mengambil sebuah keputusan dan terpusat pada
keharusan memberi kesempatan bagi seluruh anggota jama’ah untuk ikut serta
dalam dialog pemikiran. Dalam ilmu Fikih kerja fikir untuk menentukan sebuah
keputusan disebut Ijtihad. Para ahli Fikih memasukan bidang kajian dengan
istilah as-Siyasah asy-Syari’ah (politik yang berdasarkan syari’at). Yang
bertujuan mewujudkan kemaslahatan jama’ah serta menuruti tuntutan dan kehidupan
individunya baik yang bersifat materia maupun non material.
Sebuah Prinsip Yang Signifikan Dalam Bangunan Teori Umum
Syura
Pemisahan
syura dalam fiqh dan syura dalam bidang pemerintahan dan politik, hal yang
terpentingan dalam pokok syari’at yakni pemisahan syari’at dari pemerintahan
dan para penguasa. Dengan demikian dibutuhkan adanya syura dalam kerangka fikih
berupa tukar pendapat dan dialog ilmiah yangn terpisah dari dialog politik dan
pemerintahan.
Kaitan
syura dengan syari’at menjadikannya tunduk pada norma akhlak yang tetap dan
komitmen dengan kekuasaan syari’at. Syura dalam Islam merupakan prinsip
kemanusiaan, sosial dan konstitusional bagi sistem pemerintahan.
Syura Dalam Teori
Mabda dan Manhaj (Metode)
Pada
masa sekarang tampak aktif gerakan ilmiah perundang-undangan dengan tujuan
melakukan reformasi dalan Fikih Islam dan memperkayanya dengan studi modern.
Dalam hal ini teori-teori, prinsip-prinsip dan hukum-hukumnya diutarakan dalam
bentuk baru yang memberi kemampuan bagi generasi sekarang untuk mengeluarkan
hukum yang lazim demi menghadapi kasus baru (Fikih Naluri).
Studi
syura telah membuka tabir bahwa akar syura yang Islami dan kaidah syari’at
telah membedakannya dengan Barat. Teori universal tentang syura dimulai dengan
mempelajari kaidahnya dalam sumber yang sah. Teori universal bagi prinsip Syura
ialah bahwa teori itu membuka tabir bagi kita tentang ciri-ciri khusus yang
membedakannya dari teori-teori Eropa.
Ia Tunduk Kepada Syari’at Dan Terkait Dengannya
Ia
bukanlah filsafat ataupun doktrin. Ia adalah prinsip sosial murni dan metode
kesetiakawanan sosial yang komprehensif
Keluasan
kerangkanya mencakup seluruh urusan masyarakat dan pribadi. Maka hal itu
mengharuskan adanya variasi hukum-hukumnya dikarenakan banyaknya bidang
garapan.
Prinsip syura dalam Sunnah
Sunnah Amaliyah
Abu
Hurairah berkata, “Saya tidak pernah melihat seorang yang paling banyak
melakukan musyawarah dengan rekan-rekannya kecuali Rasulullah.” Perbuatan ini
telah meyakinkan bahwa prinsip syura senantiasa dipegang teguh dalam segala
bentuknya yang universal. Banyak peristiwa yang Rasulullah senantiasa meminta
pendapat kepada para sahabatnya. Rasulullah tidak pernah memberi wasiat
mengenai siapa yang akan menggantikan beliau memimpin pemerintahan. Tujuannya
agar pengarahan terakhir beliau adalah berupa isyarat kepada kewajiban umat
membuat sistem sosial dan politik dengan jalan Syura yang berdasarkan kaidah
yang telah ditetapkan dalam Al-qur’an maupun Al-Hadits.
Sunnah Qauliyah
Terdapat
banyak hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah yang mengharuskan adanya tukar
pendapat dan syura, di antaranya adalah:
Diriwayatkan
dari Ali ra ia berkata, “Wahai Rasulullah, perkara Khalifah turun kepada kita,
sesudah engkau, tanpa Qur’an turun mengenai itu.” Maka Nabi berkata,
“Kumpulkanlah orang yang beribadah dari umatku untuk kepentingan itu dan
jadikanlah perkara ini syura di antaramu.
Nabi
bersabda bahwa, “Tidaklah bermusyawarah suatu kaum melainkan mereka akan
menunjuki kepada perkara mereka yang paling benar.”
Diriwayatkan
dari Rasulullah saw bahwa beliau ditanya tentang ‘azam dalam firman Allah (jika
kamu telah berazam maka bertaqwalah kepada Allah) lalu beliau menjawab,
“Musyawarah dengan ahli pendapat lalu mengikuti mereka.
Ijma Sebagai Sumber Ketiga Syura
Kaum
muslimin telah bersepakat tentang kewajiban syura, kendati terjadi
penyelewengan yang menyebabkan penghapusan baginya dalam memilih para penguasa.
Kesepakatan umat atas kewajiban syura bukanlah hal baru bahkan itu merupakan
prinsip pertama yang telah disepakati para sahabat. Ijma mengandung banyak
ketetapan yang berbentuk legalisasi konstitusional dan ketetapan lain yang
berbentuk politik:
Pengangkatan
Ulil Amri atau penguasa adalah salah satu objek yang harus diselesaikan dengan
musyawarah dan harus berkomitmen dengan ketetapan yang dikeluarkan setelah
syura, baik dihasilkan dengan suara bulat atau dengan suara terbanyak.
Kalau
tidak bisa dicapai dengan suara bulat maka ketetapan diambil dari suara
terbanyak dalam syura. Artinya pendapat mayoritaslah yang harus diambil, inilah
yang berlaku dalam sistem demokrasi yang berlaku
Syura
memiliki ruang lingkup kerangka yang lebih luas karena wajib dipraktekkan di
seluruh masalah legalisasi dan konstitusi belum lagi ketetapan-ketetapan
politik dan eksekutif.
Unsur-unsur Fundamental Berkaitan Dengan Operasional Syura
Keikutsertaan
individu jama’ah (khalayak umum dan orang-orang tertentu yang berkaitan dengan
urusan yang bersifat umum demi menciptakan kesetiakawanan jama’ah).
Kebebasan
mengeluarkan pendapat bagi individu jama’ah, baik khalayak umum atau
orang-orang tertentu dan hak mereka dalam mendiskusikan pendapat seluruhnya
dengan penuh kebebasan sebelum memilih ketetapan yang harus diambil. Dan semua
orang harus menetapinya sebagai ketetapan jama’ah atau umat.
Tujuan
dari dialog adalah agar jama’ah dan individu dapat menimbang di antara banyak
pendapat dengan sifat yang adil.
Mengutamakan
pendapat yang berlainan secara objektif adalah dilihat dari sudut dimensi
masing-masing.
Ketetapan
keluar manakala memperoleh suara bulat atau setidak-tidaknya suara terbanyak.
Inlah syura mengenai ketetapan bersama atau syura dalam arti konstitusionalnya
yang sempit.
Syura
adalah metode yang jelas dan tegas untuk menjamin berkuasanya nilai-nilai
fundamental dan teladan yang tinggi dalam syari’at ketuhanan. Dalam hal ini
prinsip asasi yang penting adalah kemerdekaan dan keadilan.
Keistimewaan
syura dalam hal ini adalah memberi kesiapan mental kepada orang yang akan
mengeluarkan ketetapan dalam suatu masalah bahwa dasar mereka memilih suatu
pendapat adalah karena mereka melihatnya lebih dekat kepada kebenaran dan
keadilan dibandingkan dengan yang lainnya. Kemudian ia memperoleh legalitas dan
kebenarannya dari dalil-dalil seperti ini serta disebabkan hasil tarjihnya.
Adapun
yang menjadi penentu adalah dalil atau alasan ketika ketetapan itu ditegakkan.
Bukan alasan menjadi topik dialog dan perkiraan lain dalam masyarakat, tempat
dan massa yang berbeda. Jadi tidak dapat diragukan bahwa bervariasinya
pendapat, pemikiran dan perencanaan lebih dapat diterima dan dibenarkan dalam
kaitannya dengan unsur-unsur politik, ekonomi dan sosial yang menjadi topik
syura.
Syaikh
Syaltut menganggap bahwa syura merupakan salah satu cabang dari kerjasama dalam
tanggung jawab sosial yang menurutnya cabang inilah yang asli. Ungkapan beliau
ini menurut syaikh Muhammad Abduh disebut sebagai pondasi Syura. Oleh karena
itu Rasulullah mewajibkan tukar menukar pendapat, nasihat kepada semua orang
melalui sabdanya:
“Agama
adalah nasihat. “kami bertanya, “ Untuk siapa wahai Rasulullah ?” beliau
menjawab, “Untuk Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya. Imam kepada kaum dan umumnya dari
orang mereka.” (Sahih Muslim).
Al-Ustadz
Ahmad Mahmud al-Aqad telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menampakkan
ciri kemanusiaan dan sosial bagi mabda syura yang beliau namakan demokrasi
Islam, karena ia ditegakkan atas dasar hak-hak asasi manusia, kemerdekaan,
persamaan dan kesetiakawanan serta kerja sama. Yang beliau maksudkan dengan
demokrasi Islam ini adalah mabda syura dalam arti yang luas mencakup istisyarah
dan nasihat, di samping syura konstitusional yang dapat menelurkan
ketetapan melalui Ijma.
Syura
yang harus dipegang teguh secara undang-undang dan konstitusi adalah hak
jama’ah dalam mengambil ketetapan-ketetapan yang berkaitan dengan urusannya
yang penting, hingga ketetapan itu tidak dipaksakan dari pihak asing atau dari
minoritas yang mengambil kekuasaan dengan kekerasan. Tujuannya adalah
melindungi kemerdekaan jama’ah dan hak dalam menentukan nasib dan memelihara
wewenangnya dalam mengatur urusannya.
Syura dan masyurah fakultatif
Masyurah
jamiyah, yang kita harus bersandar kepadanya untuk memperoleh ketetapan bersama
dalam salah satu urusan jama’ah yang penting.
Istisyarah
fakultatif, meminta pendapat atau nasihat dari orang yang berpengalaman dan
ahli dan sifatnya fakultatif bagi orang yang memintanya.
Meminta
fatwa fiqhiyah adalah salah satu macam dari istisyarah dalam hukum fikih. Dan
bentuk merupakan pemberian pendapat yang bersifat fakultatif, tetapi ia
mempunyai hukum khusus.
Di
bidang fikih terkadang terjadi tukar pendapat di antara para ulama dan para
ahli fikih yang tidak menghasilkan ketetapan secara ijma, tetapi menghasilkan
ketetapan suara mayoritas. Namun perlu diketahui bahwa semua yang keluar dari
para mujtahid, terutama ulama dan fuqaha yang belum sampai ketingkat ijtihad
adalah fatwa ilmiah. Para fuqaha yang mujtahid dapat mengeluarkan ketetapan
yang harus ditetapi dalam dua kondisi.
Kondisi
ijma yang diakui oleh umat dan dipegang teguh secara umum sebagaimana mereka
berpegang teguh dengan kitab Allah dan As-Sunnah Rasulullah.
Dibidang
yudikatif, karena hakim mengeluarkan hukum yang harus dipegang teguh.
Fikih
Islam mengharuskan bahwa keputusan harus dita’ati baik bagi qadhi yang mujtahid
ataupun muqallid (mengikuti pendapat orang lain). Dan yang memperoleh
nilai ini bukanlah pendapatnya pribadi melainkan pendapat madzhab yang diikuti.
Syura Dalam Ijtihad
Ijtihad adalah musyawarah Ilmiah
dan Fatwa dalam Fikih
Ijma
dan ijtihad merupakan dua sumber yang merenovasi fikih setelah dua sumber pokok
yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ijtihad dapat berarti mencurahkan tenaga, akal dan
pikiran dalam usaha mengenal hukum syara dan memahaminya. Hubungan ijtihad
dengan mabda syari’at, kaidah dan tujuan ialah ilmu dan akal. Oleh karena itu
agar syari’at dapat memberikan hak ijtihad bagi pribadi, ia mewajibkan adanya
ilmu dan mewajibkan belajar dan merupakan kewajiban syar’i bagi setiap orang.
Umumnya
manusia kebanyakan lemah dalam menetapi prinsip dan untuk mencurahkan segala
waktunya untuk ilmu atau untuk mendalami fikih, sehingga fuqaha menentukan
kriteria minimal dari ilmu yang harus dipenuhi oleh setiap individu muslim.
Yang penting bahwa jatah individu dalam berijtihad sesuai dengan jatahnya dari
segi ilmu, tapi umat yang awam membutuhkan sekelompok orang yang secara penuh
berkerja keras berfikir untuk ilmu dan berkeahlian khusus didalam ilmu.
Ijitiad
merupakan kewajiban perorangan dan kolektif. Ijtihad adalah hak dan kewajiban
atas kaum muslim seluruhnya secara individu dan bersama.
Ijtihad
pribadi, yaitu: setiap pribadi kendati pada dasarnya ia seorang muqallid,
bekerja mengistimbatkan hukum untuk dirinya manakala hal ini dapat
dikerjakan baginya dan dalam batas kemampuannya, karena adanya nash yang tegas
dan jelas di mana ia dapat memahami nya dan mewajibkan dirinya menjalankan
secara langsung.
Ijtihad
perorangan, yaitu: apa yang dikerjakan seseorang dari beberapa orang yang
memiliki spesialisasi dalam berijtihad yang diakui oleh orang banyak baik ulama
ataupun awam bahwa ia adalah imam dalam fikih atau diakui suka mengemukakan
fatwa dan istimbat hukum agar orang banyak dapat menerimanya dan menetapinya
dengan kehendak mereka sendiri.
Ijtihad
jama’i, yaitu: majelis atau lembaga yang terdiri sekelompok ulama mengerjakan
tugas ijtihad dan berhak memimpin di bidang ilmu sebagai kelompok untuk
menggantikan keberadaan satu imam.
Syura
adalah keseimbangan antara kemerdekaan individu dan sitem jama’ah serta
hubungan yang sempurna di antara keduanya. Ia adalah neraca yang saling
menyempurnakan dan saling bahu membahu antara pribadi dan umat, ia adalah
kesetiakawanan masyarakat dan persamaan di antara manusia dalam kebebasan.
Kebebasan mengeluarkan pendapat dan mendiskusikannya dengan kebebasan yang
terjamin di dalam jama’ah baik terdapat di dalam pemerintahan baginya atau
tidak. Maka tidak ada nilainya bagi orang yang ikut serta didalamnya tapi tidak
memiliki kebebasan yang sempurna.
Syura
memiliki kaidah yang mendalam dan universal, karena ia memiliki keistimewaaan
utama yaitu memperhatikan penjelasan mengenai cara sistem masyarakat ditegakkan
di atasnya dan memperhatikan asas mengatur urusannya seacara menyeluruh.
Syura dan HAM
Mendirikan
masyrakat syura dalam Islam dimulai dari pribadi dahulu bukan langsung di
jama’ah. Hak pribadi diambil dari fitrah kemanusiaan yang berupa kebebasan
dalam kerangka masyarakat yang saling menyempurnakan dan kesetiakawanan dengan
teratur. Hak pribadi sebagai manusia tidak kurang pentingnya dalam kehidupan
sosial dan politik ketimbang hak-hak bangsa. Sebagai mayoritas atau jama’ah
yang masuk ke dalam kerangka jama’ah yang sesungguhnya, kemanusiaan membutuhkan
suatu mabda yang menentukan talazun yang tidak dapat terpisahkan dan
keseimbangan yang kekal antara hak majmu dan hak pribadi.
Pada
dasarnya pribadi berhak memilih penguasa karena berafiliasi kedalam mayoritas
rakyat. Namun pengertian syura dalam Al-Qur’an, individu tidak cukup mengambil
kebebasannya dalam memilih para penguasa melalui keterlibatannya di dalam pihak
mayoritas, bahkan ia harus mengambil kebebasan lain yang bersifat pribadi.
Kebebasan Syura Sebagai Kaidah Awal Bagi Pemerintahan
Islam dan Konstitusi
Diantara
yang disesalkan adalah bahwa sebagian pengkaji membatasi pembicaraannya dalam
syura di tingkat penguasa menjalankan kekuasaannya ketika dia berkuasa.
Perdebatan di antara merekapun meruncing terutama dalam masalah kekuasaan yang
diberikan kepada penguasa dengan jalan sah itu memberi wewenang menjalankan
segala urusan umat dalam rangka mewakilinya. Dan semua itu tanpa harus
berkomitmen meminta advis atau menetapi pendapat jama’ah dengan syura. Juga
tentang haruskah kekuasaan tersebut diikat dengan syura dan apakah dasar ikatan
itu.
Kebebasan bagi ORMAS & Partai
Sistem
masyarakat kita tegak di atas aqidah dan akhlak yang menjurus kearah pendidikan
pribadi dan peningkatan standar prilaku, sedang prinsip syura bertujuan
mewujudkan sikap saling menyempurnakan dan keseimbangan antara kebebasan
pribadi dan jama’ah. Hal inilah yang dapat menghalangi terjadinya monopoli
otoritas negara serta orang yang mewakilinya pada pemikiran tertentu.