Selasa, 24 Maret 2015

Bi’ah Da’wiyah Shalihah





Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Upaya mewujudkan dan memelihara bi’ah da’wiyah shalihah harus ditopang oleh adanya unsur bi’ah ruhiyah ta’abudiyah, bi’ah ilmiyah fikriyah dan bi’ah harakiyah da’wiyah. Bila bi’ah da’wiyah shalihah dengan ketiga unsur penopangnya bisa selalu kita pelihara, insya Allah dengan pertolongan-Nya dapat menjadikan setiap pertemuan  ini sebagai wadah dan sarana untuk meningkatkan kualitas da’wah, jama’ah dan sekaligus kualitas ketaatan.

Namun tentu saja hal itu memerlukan tekad, i’tikad dan kesungguh-sungguhan dari diri kita sendiri sebagai anggota majelis syura untuk menjadikan jalasahnya sebagai wadah dan sarana tarqiyah. Alhamdulillah ditilik dari segi SDM, para personil majelis syura terpilih memiliki kafa’ah dan pengalaman yang beragam yang insya Allah dapat membackup proses irtiqa diri, da’wah dan jama’ah kita.

Selain itu insya Allah juga dapat semakin mendorong kita untuk meningkatkan upaya-upaya tafaqquh yang sangat diperlukan oleh sebuah majelis dengan kapasitas dan kualitas selevel majelis syura dalam sebuah jama’ah da’wah. Karena hanya dengan senantiasa bertafaqquh itulah insya Allah kita dapat melahirkan qararat hakimah (keputusan-keputusan, ketetapan-ketetapan yang bijaksana).
Kegiatan tafaqquh tersebut harus kita tingkatkan seiring-sejalan baik secara individual operasional di aktivitas dakwah kita sehari-hari, maupun secara legal formal di majelis ini. Kegiatan tafaqquh itu meliputi paling tidak sepuluh ruang lingkup.

Ruang lingkup yang pertama adalah fiqhul ahkam. Penguasaan fiqhul ahkam membuat keputusan-keputusan kita tidak melanggar ahkam kitab wa sunah. Fiqhul ahkam ini juga memberi kepastian boleh tidaknya sesuatu kita putuskan untuk dilakukan.

Kemudian ruang lingkup yang kedua adalah fiqhud da’wah. Agar dapat melahirkan qararat hakimah kita juga memerlukan peningkatan tafaqquh dalam hal fiqhud da’wah. Melalui pendalaman fiqhud da’wah dalam konteks yang syamilah mutakamilah, kebijakan-kebijakan atau ketetapan-ketetapan yang kita lahirkan akan mempunyai tingkat akurasi, ketepatan yang tinggi  baik dalam hal sikon (situasi dan kondisi), penjadwalan dan timing (waktu yang pas) maupun dalam hal menentukan obyek yang menjadi sasaran keputusan-keputusan tersebut.

Selanjutnya ruang lingkup ketiga yang kita butuhkan dalam upaya tafaqquh adalah fiqhu amal jama’i. Sesuai dengan syumuliatud da’wah dan takamuliyatud da’wah, jamaah da’wah ini memerlukan segala potensi SDM-SDM yang memiliki beragam kafaah, bakat dan muyul. Dan kesemuanya itu harus terangkum secara baik dan terpadu di dalam wadah dan kerangka amal jama’i. Oleh karena itu kemampuan merangkum, membangun dan menyalurkan potensi secara tepat sangat diperlukan dalam peningkatan kualitas amal jama’i kita. Maka fiqhu amal jama’i pun menjadi sesuatu yang sangat asasi dalam upaya melahirkan qararat hakimah.

Raung lingkup keempat yang dibutuhkan sebagai penunjang lahirnya qararat hakimah ialah penguasaan fiqhul muwazanah, yakni kemampuan untuk menimbang-nimbang sebelum mengambil keputusan di antara aneka ragam pilihan. Fiqhul muwazanah tersebut meliputi:
a.            Muwazanah baina mashlahah wal mafsadah, menimbang di antara manfaat dan mudharat, antara kebaikan dan kerusakan.
b.           Muwazanah baina mashalih atau muwazanah baina ‘iddati mashalih sebab mashlahah memiliki tingkatan-tingkatan mashlahah duna mashlahah. Artinya setiap mashlahah memiliki derajat-derajat dan kesesuaian yang berbeda. Sehingga untuk suatu situasi dan kondisi dakwah tertentu kita harus bisa memilih dari sekian mashlahah, ayyuha ashlah (mana yang lebih baik).
c.            Muwazanah bainal mafasid. Mafsadah adalah tsamaratul kufr (buah kekufuran) dan mengingat kekufuran memiliki tingkatan-tingkatan (maratib kufrun duna kufrin), maka mafsadah sebagai bauhnya juga memiliki leveling, yakni mafsadah duna mafsadah. Oleh karena itu kitapun  membutuhkan kemampuan muwazanah mafsadah bainal mafasid.

Jadi kemampuan fiqhul muwazanah harus melingkupi fiqhul muwazanah bainal mashlahah wal mafsadah, fiqhul muwazanah bainal mashlahah wal mashlahah dan fiqhul muwazanah bainal mafsadah wal mafsadah.

Ikhwah dan akhwat fillah, untuk meningkatkan kualitas, kita juga membutuhkan tafaqquh yang kelima, yaitu fiqhul aulawiyat.  Kita membutuhkan fiqhul aulawiyat untuk bisa memilih skala prioritas sesuai dengan situasi, kondisi dan obyek dakwah yang kita hadapi.

Selanjutnya kita perlu merambah kepada tafaqquh yang keenam, yaitu fiqhus sunah. Sebagai makhluk yang dimuliakan Allah di antara seluruh makhluk Allah.
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي ءَادَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Q.S. Al-Isra: 70)

Dan memiliki keistimewaan, kita harus mempunyai kemampuan yang mendalam tentang sunatullah-sunatullah yang mengikat seluruh makhluk-Nya. Sunah kauniyah yang mengikat makhluk-makhluk-Nya, baik yang minal mushlihin, minal mu’minin, minal mufsidin dan minal kafirin atau bahkan ahya wa jamadat (makhluk hidup dan benda mati).

Di antara sunah kauniyah, sunatullah yang mengikat seluruh makhluknya adalah:
a.             Sunatut tadarruj. Setiap makhluk terikat dengan sunah tadarruj ini, yaitu mereka memiliki tahapan-tahapan dalam pertumbuhannya.
b.             Sunatut tawazun. Artinya setiap makhluk diciptakan dalam komposisi seimbang dan berkembang secara mutawazinah pula.
c.             Sunatul ajal. Setiap makhluk terikat sunatul ajal, yaitu bahwa ia mempunyai batasan waktu dalam keberadaannya.
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (Q.S. Al-A’raf: 34)
Secara inklusif di dalam memahami sunatul ajal, kita juga harus memahami sunatut tadawwul (sunah pergiliran). Ketika ajal seorang manusia sampai, maka digantikan atau digilir oleh generasi anak-cucunya dan jika ajal suatu umat sampai, maka umat berikutnya pun akan melanjutkan misi wazhifahnya.

وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim,” (Q.S. Ali Imran: 140)

d.             Sunnatut tadaffu’ muda’afah bainal khalaiq. Sunatullah ini diperlukan untuk menjaga dinamika dan keseimbangan kauni di dalam kehidupan makhluk-Nya.
وَلَوْلاَ دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ
“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (Q.S. Al-Baqarah: 251)
Artinya Allah menjamin dinamika dan keseimbangan kauni dengan menjadikan sebagian manusia mencegah kezaliman yang dilakukan sebagian lainnya.

e.             Sunatut taskhir (ketentuan ditundukkannya segala sesuatu di dunia ini untuk keperluan manusia). Kita juga harus memahami adanya sunatut taskhir, yaitu bahwa dalam menjalankan tugas risalah ibadah dan wazhifah khilafahnya, manusia dipermudah oleh Allah dengan menundukkan seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi untuk keperluan tersebut.

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Al-Jatsiyah: 13)

Ikhwah dan akhwat fillah dalam upaya peningkatan tafaqquh, kita juga memerlukan ruang lingkup yang ketujuh, yaitu fiqhut taghyir (fikih perubahan). Untuk mengusahakan suatu perubahan sudah ada acuan bakunya yang terikat oleh sunah kauniyah. Dan kita sebagai harakatud da’wah yang terlibat dalam upaya merubah kualitas manusia dan kehidupannya sudah tentu terikat juga dengan sunnatut taghyir. Karena Allah Taala sudah menggariskan.
إِنَّ اللَّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Q.S. Ar-Ra’d: 11)

Selanjutnya kita pun harus memahami ruang lingkup tafaqquh yang kedelapan, yaitu fiqhut tarikh. Kita harus juga melirik, melihat dan menelaah perjalanan sejarah manusia (tarikh basyariah) tarikhul umam (sejarah keseluruhan umat manusia),  begitu juga segala anbiya wal mursalin dan sejarah Islam. Sudah tentu memahami sejarah bukan untuk sekadar bersenandung rindu terhadap kejayaan-kejayaan masa lalu, melainkan untuk mengambil ibrah (pelajaran) dari sejarah.
Kemudian dalam hal kebutuhan aplikasi pemahaman, kita membutuhkan aplikasi pemahaman,

 kita membutuhkan raung lingkup tafaqquh yang kesembilan, yaitu fiqhul waqi’ (pemahaman terhadap realita) baik itu realitas kita, realita lawan, realita subyek dan obyek dakwah. Begitu pula terhadap sarana dan prasarana situasi dan kondisi yang sedang kita hadapi. Kesemuanya dapat kita pahami dengan  baik dengan memiliki fiqhul waqi’.

Boleh jadi ada perbedaan dalam upaya kita memahami realita, karena itu selain fiqhul waqi’, kita juga membutuhkan fiqhul ikhtilaf atau pemahaman terhadap kemungkinan perbedaan pendapat. Dalam pandangan Islam adanya ikhtilaf merupakan sesuatu yang  wajar dan sesuai dengan fitrah manusia yang diciptakan berbeda-beda. Namun Islam sekaligus mengarahkan bagaimana perbedaan tersebut sekadar sebuah keragaman yang tetap dalam keterpaduan (ikhtilaf takamul) agar berguna dalam pertumbuhan dakwah yang bersifat syumuliah.

Demikianlah ikhwah dan akhwat fillah, jika kita selalu berupaya untuk mengembangkan tafaqquh dalam bidang-bidang tersebut, insya Allah kualitas qararat (kebijakan-kebijakan) kita denga izin Allah dan petunjuk-Nya akan mencapai kualitas qararat yang hakimah yang insya Allah selaras dengan kepentingan dakwah dan jamaah.

Upaya penguasaan kesepuluh ruang lingkup tafaqquh tersebut  selain diwujudkan dengan cara saling memperkaya sesama anggota majelis syura, bisa juga membentuk tim-tim khusus atau lajnah-lajnah yang terdiri dari para pakar dari luar sehingga keputusan-keputusan kita semakin aqwam yang bukan saja mengandung unsur kebijakan, tetapi juga kekokohan untuk menghadapi tantangan-tantangan berupa qadhaya dakwah di hadapan kita. Insya Allah.

Wallahu a’lam

0 komentar:

Posting Komentar