Oleh : Al-Ustadz Musyaffa Ahmad Rahim, Lc.
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab,
hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu
menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (Dia
berkata) : "Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (Q.S. Âli
`Imrân [3]: 79)
Ikhwati fillah …
Kalau kita tengok sejarah kaum muslimin, paling tidak di negeri ini, kita
akan menemukan bahwa sebagian besar pejuang dan pahlawan negeri ini adalah kaum
muslimin. Lihat misalnya: Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Teuku Umar dan
lain-lain.
Bukan hanya para pejuang yang sebagian besar muslim, bahkan, slogan atau
syi`ar yang diangkat pun adalah slogan dan syi`ar agama. Misalnya: Pangeran
Diponegoro mengangkat dirinya sebagai khalîfatullâh fi ardhihi, juga
bergelar: sayyidin panotogomo (pemimpin yang menata kehidupan beragama).
Termasuk juga saat perjuangan revolusi kemerdekaan. Melalui radio yang ada
pada waktu itu, Bung Tomo selalu mengumandangkan takbir Allâhu Akbar
untuk memanggil kaum muslimin terjun ke medan perjuangan, membangun dan memompa
semangat mereka, dan hasilnya bisa kita baca dalam kisah-kisah heroik
perjuangan arek-arek Suroboyo pada tanggal 10 November 1945. Saking hebatnya
daya juang mereka inilah, tanggal ini ditetapkan sebagai hari pahlawan Republik
Indonesia.
Akan tetapi, pasca perjuangan ini, banyak para kiai berserta para santrinya
"kembali" ke pesantren, untuk mengurus pendidikan agama (Islam),
kembali kepada kegiatan belajar dan mengajar, "menyerahkan" urusan
kepemimpinan umat ini kepada "orang lain". Ada banyak alasan yang
dikemukakan untuk membenarkan atau men-justifikasi hal ini, di antaranya
adalah bahwa urusan kepemimpinan umat itu adalah bagian dari politik dan
politik itu kotor, sudah seyogyanya agama dijauhkan dan "dibersihkan"
atau dijaga kebersihannya dari hal-hal yang kotor.
Ada satu kisah lagi yang menarik untuk kita renungkan :
Adalah seorang ustadz yang sehari-hari mengajar para mahasiswa di perguruan
tinggi. Suatu saat ia mendapatkan "anugrah" untuk menjadi seorang
pejabat yang lumayan tinggi kedudukannya. Karena inilah ia
"meninggalkan" dunia mengajarnya. Seorang ustadz lain berkomentar:
"Kenapa ia meninggalkan medan juang ajar mengajar dan menerjunkan diri
dalam dunia politik? Dunia ajar mengajar lebih maslahat bagi Islam dan kaum
muslimin!".
Dua kisah di atas, dan juga kisah-kisah lainnya menggambarkan bahwa ada
"dikotomi" antara dunia ajar mengajar agama (Islam) dengan dunia
politik, seakan kita yang selalu berusaha menolak pola pikir sekularisme dengan
gigih, sering sekali terjebak pada prilaku sekularisme itu sendiri saat
bersikap, berkomentar dan menyetel kehidupan kita dengan cara mendikotomikan
dua kehidupan tersebut.
Ikhwati fillah ...
Ayat yang kita kutip di atas menegaskan bahwa tidak ada seorang ulama` yang
menguasai ilmu kitab Allah, atau mendapatkan hikmah dari Allah SWT, atau
diangkat menjadi nabi dan rasul, kecuali mereka menyeru kepada kaumnya agar
mereka menjadi manusia-manusia rabbânî.
Secara eksplisit, sifat manusia rabbânî –sebagaimana dimaksud oleh
ayat 79 surat Âli `Imrân adalah mereka yang secara kontinyu dan rutin (istilah
Arabnya: tajaddud wa al-istimrâr) melakukan dua hal, yaitu :
1.
Dirâsat al-kitâb (mengaji, belajar dan mengkaji kitab
Allah SWT), dan
2.
Ta`lîm al-kitâb (mengajarkan kitab Allah SWT).
Namun, ada satu kajian yang sangat menarik yang dilakukan oleh Imâm
al-Mufassirîn (pemimpin para ahli tafsir), yaitu Ibnu Jarîr al-Thabarî (224
– 310 H).
Dalam kitabnya; Jâmi` al-Bayân fî ta'wîl Al-Qur'ân, vol. 3, hal. 351
– 354 (Kairo: Dâr al-Taufîqiyah), setelah ia menjelaskan beragam pendapat
`ulama' dalam hal ini, ia sampai kepada kesimpulan sebagai berikut :
1.
Rabbânî adalah level atau mustawâ yang lebih
tinggi dari sekedar al-fiqh (memahami agama) dan al-`ilm (ilmu
atau penguasaan kitab Allah).
2.
Rabbânî seseorang yang menggabungkan antara al-fiqh
dan al-`ilm dengan:
a.
Al-Bashira bi al-siyâsah (melek,
bahkan, sangat melek politik)
b.
Al-Bashira bi al-tadbîr (melek, bahkan, sangat melek terhadap
manajemen, dan kepemimpinan)
c.
Al-Qiyâm bi syu-ûn al-ra`iyyah wa mâ yushlihuhum
fî dun-yâhum wa dînihim (melaksanakan dan menjalankan segala urusan rakyat dan
segala hal yang membawa kemaslahatan mereka, baik dalam kehidupan dunia mereka
maupun kehidupan agama mereka). (lihat hal. 353).
Dengan demikian, Rabbânî adalah sandaran manusia dalam al-fiqh, al-`ilm
dan berbagai urusan agama dan dunia (lihat pada halaman yang sama).
Ibnu Jarîr al-Thabarî menyandarkan kesimpulannya pada dua hal, yaitu :
1.
Sandaran bahasa.
2.
Sandaran kepada salaf.
Secara bahasa kata Rabbânî adalah bentuk nisbat dari kata Rabbân.
Sedangkan kata Rabbân adalah bentuk mubâlaghah (hiperbolis) dari
kata Râbbî, yaitu isim fâ`il dari fi`il rabba – yarubbu yang artinya
adalah seseorang yang mentarbiyah manusia, dalam arti mengurus segala
kemaslahatan urusan mereka, menumbuh kembangkannya dan melaksanakan atau
menjalankan segala urusan itu untuk mereka.
Ibnu Jarîr –rahimahullâh- tidak hanya menyandarkan pendapatnya
kepada kajian bahasa semata, akan tetapi, ia juga merujuk kepada salaf
al-shâlih. Dalam hal ini ia merujuk kepada perkataan Mujâhid (21 – 102 H),
seorang murid handal Ibn `Abbas –radhiyâllâhu `anhu- dan juga seorang
ulama' tâbi`in yang menjadi rujukan utama dalam tafsîr Al-Qur'ân. Mujâhid
berpendapat bahwa Rabbânî adalah level di atas al-ahbâr (para
`ulama').
Dengan pendapatnya ini, Ibnu Jarîr tidak berarti menafikan adanya
pendapat-pendapat lain tentang maksud rabbânî, akan tetapi, justru ia
mengadopsi pendapat-pendapat yang ada.
Terkait hal ini ia berkata yang artinya:
"Seorang yang `âLIM FIQIH dan HIKMAH adalah bagian
dari al-mushlihîn (pembaharu, orang-orang yang membawa dan
mendatangkan mashlahat), ia adalah seseorang yang mentarbiyah segala urusan
manusia dengan cara mengajarkan segala macam kebaikan kepada mereka, juga
menyeru mereka kepada segala hal yang membawa kemaslahatan bagi mereka, dengan
demikian, ia adalah SEORANG YANG PENUH HIKMAH yang BERTAQWA
KEPADA ALLAH SWT, ia adalah SEORANG WALI (PENGUASA, PEMIMPIN) yang
mengurus segala urusan manusia agar berjalan di atas minhaj yang menjadi
pilihan ORANG-ORANG YANG ADIL yang memperbaiki segala urusan manusia
dengan cara melaksanakannya di tengah-tengah mereka, urusan yang mendatangkan
kemaslahan dan manfaat dunia dan akhirat mereka[1][1]. (lihat pada halaman yang sama dari kitab Ibn Jarir).
Ikhwati fillah …
Bila kajian Ibnu Jarîr ini kita kaitkan dengan tarikh (sejarah), kita akan
mendapati bahwa tidak ada seorang nabi kecuali ia menjadi pemimpin umat, bukan
sekedar pemimpin "agama", akan tetapi juga pemimpin duniawi mereka,
lihat misalnya nabi Yusuf -`alaihi al-salâm-, ia pernah menjadi menteri
yang mandatangkan kemakmuran bagi penduduk Mesir dan sekitarnya, lihat pula
nabi Dâwûd dan nabi Sulaimân -`alaihimâ al-salâm-, dan lihat pula nabi
kita Muhammad –shallallâhu `alaihi wa sallam-
Lihat pula kisah Abû Bakat al-Shiddîq, `Umar bin al-Khaththâb, Utsmân bin
al-`Affân, `Alî bin Abî Thâlib –radhiyallâhu `anhum-, yang pernah
menjadi khalîfah dan amîr al-mukminîn. Juga banyak sahabat nabi yang
"puncak kariernya" pernah menjadi gubernor (wâlî), semuanya ini
menjelaskan bahwa mereka tidak hanya mengurus kehidupan "agama"
manusia, akan tetapi juga mengurus "dunia" mereka.
Dan sebagai penutup taujih ini, marilah kita renungkan, kita hayati dan
kita amalkan do`a qur'ânî ini:
"Ya Tuhan kami, anugrahkanlah
kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati
(Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S.
Al-Furqân [25]: 74).
--------------------
Tanda baca:
Fathah panjang: â, contoh: إِمَام ditulis: imâm
Kasrah panjang atau ya' nisbat: î, contoh: كَرِيْم ditulis: karîm. Contoh lain: إِنْسَانِيّ ditulis: insânî
Dhammah panjang: û, contoh: صَبُوْر ditulis: shabûr
[1][1] Yang
tercetak tebal adalah sebagian besar pendapat lain tentang makna rabbânî, dan
perhatikan bahwa semuanya saling terkait dan sinergis, dan porosnya adalah pada
kata: memimpin yang mendatangkan kemaslahatan.
0 komentar:
Posting Komentar