Dalam dunia catur,
rakyat jelata atau wong cilik digambarkan sebagai pion. Namun, jika ia mau
berjihad, dengan resiko yaqtuluuna auw yuqtaluuna, menghadapi dan
berhadapan dengan siapapun yang dia temui, tanpa mempedulikan, apakah yang
dihadapinya itu pion, atau kuda, atau menteri ataupun beteng, bahkan ster dan
raja sekalipun, dan ia terus berjihad dan berusaha untuk mencapai titik terjauh
di daerah lawan, maka naiklah pangkatnya, bisa jadi kuda, atau beteng, atau
menteri, ataupun ster. Hanya saja dalam dunia ster ada satu bentuk feodalisme
dan kenakalan sistem yang tidak bisa didobrak, yaitu: pion tidak boleh menjadi
raja, dan raja tidak boleh mati, kecuali setelah seluruh bala tentara dan
pembatunya mati dan habis semua.
Bagaimana dengan
dunia pergerakan Islam dan da’wah? Adakah “seorang
pion” yang berubah menjadi ster? Kalau ada,
siapakah dia?
Tersebutlah dalam
kitab-kitab tarajim (buku-buku yang khusus membahas biografi), misalnya
kitab al Ishabah fi tamyiizish-shahabah, karya: Al Hafizh Ibnu Hajar Al
Asqalani, ada seorang sahabat yang dikenal dengan panggilan: Dzul
Bijadaini.
Nama aslinya adalah Abdullah
bin Abdi Nahm bin ‘Afif bin Suhaim
bin ‘Adiy bin Tsa’labah
bin Sa’ad Al Muzani,
dari suku Muzainah. Dulunya bernama ‘Abdul
‘Uzza. Oleh Rasulullah saw kemudian
diganti dengan Abdullah.
Abdullah Dzul
Bijadain adalah seorang anak yatim. Ia diasuh oleh pamannya. Sang paman ini
sangat baik kepadanya. Segala kebutuhan Abdullah dipenuhi olehnya, sandang,
pangan, papan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Namun, saat sang
paman ini mendengar bahwa Abdullah telah memeluk Islam, sang paman-pun marah.
Ia hentikan segala kebaikan yang selama ini telah ia berikan kepada
keponakannya. Bahkan, baju yang dipakai oleh Abdullah-pun harus dilepaskannya,
sehingga ia telanjang. Oleh ibunya yang sangat miskin, ia diberi Bijad,
selembar kain yang sangat tebal dan sangat kasar. Agar auratnya tertutup, Bijad
pemberian ibunya itu dia potong menjadi dua, yang satu dikenakannya sebagai
baju, dan selembarnya lagi dia kenakan sebagai sarung.
Esok harinya, dia
datang kepada Rasulullah saw. Melihat penampilannya yang seperti itu,
Rasulullah saw bersabda: “Engkau adalah
Abdullah Dzul Bijadain. Maka, tetaplah berada di pintu rumahku”.
Abdullah pun konsisten dan komitmen untuk tetap berada pada pintu
rumah Rasulullah saw. Dari sinilah ia terkenal dengan panggilan Dzul
Bijadain.
Ibnu Mas’ud
RadhiyaLlahu ‘anhu bercerita:
“Pada suatu malam, di tengah kegelapan
dan tegangnya suasana perang tabuk, saya melihat nyala api dari kejauhan. Saya
datangi api itu. Ternyata di sana ada Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar RadhiyaLlahu
‘anhuma.
Dan ternyata Abdullah Dzul Bijadain telah meninggal dunia. Dan ternyata pula
mereka telah menggali lubang untuknya. Saya lihat Rasulullah saw telah berada
di dalam lubang. Sedangkan dua sahabat dekat beliau itu yang menurunkan mayat
Abdullah ke dalam lubang. Rasulullah saw bersabda: “Turunkan
ke sini mayat saudaramu itu”. Lalu Rasulullah saw
menerima dan menangkap mayat Abdullah itu. Setelah meletakkan mayat Abdullah
pada posisinya, Rasulullah saw bersabda: “Ya
Allah, sesungguhnya saya memasuki sore hariku dalam keadaan ridha kepadanya
(Abdullah), karenanya, ridhailah dia”.
Mendengar do’a
Rasulullah saw yang seperti itu, Abdullah bin Mas’ud
RadhiyaLlahu ‘anhu
berkata: “Kalau saja sayalah mayit yang berada di
dalam lubang itu”. Angan-angannya. (Kisah aslinya bisa
dlilihat di kitab Al Ishabah Bab huruf ‘ain
dan Al Bidayah wan-Nihayah pada pembahasan perang Tabuk).
Berkenaan dengan
kisah Dzul Bijadain, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata:
“Dulunya Dzul Bijadain adalah seorang
anak yatim. Ia ditanggung hidupnya oleh pamannya. Namun jiwanya terasa terus
tersedot untuk mengikuti Rasulullah saw. Himmah-nya pun bangkit, namun,
sisa penyakitnya menghambatnya untuk membangkitkan badannya, sehingga iapun
terduduk sambil menunggu pamannya.
Setelah kesehatannya sempurna, habislah
kesabarannya. Nurani cintanya-pun seakan berkata kepadanya:
Sampai kapan jiwa ini
tertahan dan mengeluhkan adanya penyempitan.
Barangkali setelah
itu ada jalan untuk memenuhinya.
Maka iapun berkata
kepada pamannya: “Wahai pamanku, telah lama aku menunggu
keislamanmu, namun, saya lihat engkau tidak segera bangkit untuk memeluk Islam”.
Maka sang pamanpun berkata: “sungguh, demi Allah,
jika engkau masuk Islam, maka segala yang pernah saya berikan akan saya cabut”.
Mendengar gertakan
pamannya seperti itu, lisan kerinduannya-pun menjerit: “Sekali
memandang Muhammad saw lebih aku cintai daripada dunia dengan segala isinya”.
Persis dengan kisah Qais yang sudah
tergila-gila dengan Laila yang diungkapkan oleh si Qais majnun Laila sendiri:
Seandainya dikatakan
kepada si gila: “Kamu pilih mana, dunia dengan segala isinya atau Laila dengan
cintanya?
Pastilah ia berkata: “Sebutir
debu dari sandal Lalila bagiku lebih lezat bagiku dan lebih memikat.
Pada saat ia telah
bertekad bulat untuk berangkat menemui Rasulullah saw, pamannya-pun
menelanjanginya, lalu ibunya yang fakir memberinya Bijad, lalu, Bijadb
itu dibelahnya menjadi dua, satu potong untuk baju dan satu potong sebagai
sarung, demi melanjutkan perjalanan cinta untuk menemui sang kekasih
(Rasulullah saw).
Saat ada panggilan
jihad, ia cukup puas berada di barisan paling belakang para kekasih nabi itu,
dan sebagai orang orang yang sedang mencintai. Orang yang sedang merasakan
cinta, jauhnya perjalanan tidaklah menjadi masalah dan pertimbangan, karena
tujuan itulah yang menolong dan membantunya.
Saat meninggal dunia, Rasulullah
saw-lah yang menggali lubangnya, beliau juga yang memasukkannya ke dalam liang
kubur, sambil bersabda:
“Ya Allah, sesungguhnya saya memasuki sore
hariku dalam keadaan ridha kepadanya (Abdullah), karenanya, ridhailah dia”.
Mendengar sabda
Rasulullah saw seperti itu, Abdullah bin Mas’ud
berkata: “Ooh, kalau saja sayalah mayit yang
dikubur itu!
Kata Ibnu Qayyim Al Jauziyyah: “Wahai
pemilik ‘azam (tekad) yang banci, ketahuilah,
yang paling kecil dalam catur adalah pion, namun, saat ia bangkit, iapun
menjadi ster”. (Al Fawaid, hal: 69 –
70).
Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah
...
Saya yakin, banyak
pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah ini, saya tidak akan menyebutkannya
satu persatu, akan tetapi, renungkanlah, hayatilah dan cobalah pahami apa yang
tersurat dan yang tersirat dari kisah ini, lalu cobalah laksanakan sampai batas
akhir kemampuan kalian.
Semoga Allah swt memberikan taufiq,
hidayah dan ‘inayah-Nya kepada kita, untuk menggapai
ridha-Nya, amiiien.
0 komentar:
Posting Komentar