@Imam Maulana
Tidak di ragukan lagi, bahwa regenerasi dalam gerakan (harakah) islamiyah dan pewarisan (taurist) dakwahnya dari generasi ke generasi dengan segala kekuatan, orisinalitas, universalitas dan pengalamannya mendorong terjadinya perubahan dalam arena aktifitas amal islami ke arah yang lebih baik.
Di hari ini mulai muncul 'kegundahan' dan 'kegelisahan' tentang bagaimana pewarisan nilai, ruh perjuangan, dan juga manhaj dakwah ini kepada generasi berikutnya.
Mulai muncul problematika dimana anak anak biologis kader dakwah yang seharusnya menjadi penerus ideologis fikrah dakwah ini, justru malah berada di tempat yang berbeda dan tidak memiliki ketertarikan melanjutkan estafeta dakwah ini.
Ada beberapa catatan seputar urgensi pewarisan dan juga regenerasi dalam dakwah ini. Secara teoritis 'pewarisan' tidak akan berjalan mulus hanya dengan melalui buku dan risalah risalah.
Banyak dari kader dakwah hanya menganggap cukup proses pewarisan itu melalui forum pekanan, penyampaian materi dan sejenisnya. Betul bahwa ini menjadi salah satu instrumen dalam proses pewarisan dakwah, namun agar pewarisan dakwah ini benar, maka mau tidak mau harus melalui mu'ayasyah (koeksistensi) antar setiap generasi.
Koeksistensi ini dapat di artikan sebagai hubungan yang di dasar kan pada kebersamaan dalam eksistensi, kepentingan, nasib bersama, dan hidup berdampingan. Karena itu keteladanan akan berpengaruh efektif di dalam perubahan dan pewarisan.
Tanpa keteladanan, pewarisan nilai dakwah tidak akan berjalan mulus, diam diam para generasi pewaris itu melihat dan mengamati, baik perilaku, tutur kata, dan perbuatan generasi lama. Kalau tiada keteladanan, Lalu apa yang mau di wariskan ?
Dengan adanya mu'ayasyah (koeksistensi) tadi maka regenerasi, kebijakan dan pengalaman para orang tua (generasi awal dakwah) akan menyatu dengan dinamika dan kekuatan pemuda (generasi hari ini) sehingga yang terlibat dalam dakwah ini akan mendapat perpaduan hikmah, kekuatan dan kewajaran sehingga dakwah akan meningkat produktivitas nya dan berjalan cepat.
Setiap generasi akan mendapat pengalaman dan pelajaran baru pada zamannya, oleh karena itu sejatinya para generasi awal dakwah merupakan asét penting dalam proses pewarisan karena ia berupa pengalaman dan eksperimen dalam perjalanan dakwah ini.
Para generasi awal dakwah tak boleh merasa lelah dalam proses pewarisan dakwah ini, sebagai mana di ungkap dalam bait syair as Shafi Najri rahimahullah :
_Usiaku adalah ruh ku, bukan hitungan tahun ku. Esok ku bisa menjadi sembilan puluh. Atau menjadi tujuh puluh. Tapi Ruh ku tetap dua puluh._
Ada hal menarik ketika beberapa waktu lalu saya ikut rombongan safari dakwah dan up grading ke Yogyakarta, kebetulan saya ikut dalam bus 2 dari 3 bus yang berangkat. Saya kebagian duduk di bangku tengah, di bagian depan di isi para senior (sesepuh) kebanyakan ummahat, sementara di duduk d bagian belakang di isi anak anak muda sebagian besar tergabung dalam Garuda Keadilan..nampak sekali perbedaan mulai dari gerak, gaya (style), obrolan dan juga guyonan...
Saya sempat merenung bagaimana menyatukan dua generasi ini ? Karena saya berada di tengah, maka dua kutub ini harus ada yang men-jembatani agar keduanya terjalin dalam kesatuan hati (ta'aluf), terikat dalam persenyawaan dan kecintaan yang tulus.
Proses pewarisan dakwah ini harus terus berjalan karena musuh musuh dakwah gencar melakukan tipu daya untuk mengeringkan sumber gerakan dakwah dari generasi baru, mereka ingin melahirkan jurang pemisah antar generasi agar pewaris menjadi mandeg dan terjadi penyimpangan dalam fikrah dakwahnya. Akan tetapi semua upaya itu akan mengalami kegagalan karena sebab dakwah Allah bukanlah dakwah individu.
Dakwah ini adalah Nur Allah yang tidak dapat di padamkan oleh makhluk apapun. Benar dah firman Allah "Mereka hendak memadamkan Nur Allah dengan mulut (perkataan) mereka, tetapi Allah tidak menghendaki nya kecuali menyempurnakan cahayanya, meskipun orang orang kafir tidak menyukai nya (At Taubah : 32)
0 komentar:
Posting Komentar