Rabu, 13 Agustus 2025

RIJAL, MEREKA YANG MENEPATI JANJI

 



مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ


“Di antara orang-orang beriman itu, ada ‘rijāl’ yang benar-benar menepati janjinya kepada Allah.” (Al-Ahzab: 23)


Ada kata yang tajam namun tak melukai. Ada istilah yang menampar, namun menyadarkan. Salah satunya adalah kata Rijal dalam ayat di atas.


Bukan sekadar bentuk jamak dari “rajul” (laki-laki), “rijāl” dalam ayat ini menyimpan kedalaman makna yang mencengangkan. Bukan hanya menyebut jenis kelamin, tapi lebih dalam: menyebut karakter, keberanian dan kesetiaan.


Kita sampai di zaman di mana suara begitu mudah dicipta, tetapi langkah nyata menjadi langka. Di sinilah Allah menegaskan, di antara para mukmin itu, ada yang benar-benar menepati janjinya.


Mereka bukan yang paling lantang berbicara. Tapi mereka adalah para rijāl:


Mereka yang diam-diam bergerak.

Mereka yang berjalan pelan namun pasti.

Mereka yang tak hanya mengerti, tapi memilih untuk bertindak.


**Rijal: Bukan Sekadar Gender**  

Dalam kajian balaghah, ayat ini begitu indah. Kalimat dibuka dengan “minalmu’minin”—menyiratkan bahwa tidak semua mukmin adalah *rijāl*. Ini adalah penyaringan. *Crême de la crème*. Terbaik di antara yang terbaik.  


Gradasi: manusia → mukmin → *rijāl*.  

Hanya sebagian kecil dari orang beriman yang naik kelas menjadi *rijāl*.  


Kata *Rijal* berasal dari akar kata **ر ج ل** (kaki). Balaghah menyiratkan bahwa seorang *Rijal* adalah mereka yang menjadi “**penopang**”. Seperti kaki yang menanggung beban tubuh, mereka menanggung beban risalah dakwah. Mereka berjalan, menapak, bergerak.  


> ***Rijāl*** adalah mereka yang **aktif**, bukan pasif. Yang menopang, bukan yang ditopang. Mereka bukan hanya paham ayat, tapi berusaha keras menjadi bagian dari ayat itu sendiri.  


Tak salah jika dikatakan:  

*“Setiap rijāl pasti mukmin, tapi tidak setiap mukmin adalah rijāl.”*  


Dalam konteks ini, perempuan pun bisa menjadi *rijāl*. Karena ini bukan bicara kelamin, ini bicara **kualitas**.  


> **مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ**  

> *“Di antara orang-orang beriman itu, ada ‘rijāl’ yang benar-benar menepati janjinya kepada Allah.”* (QS. Al-Ahzab: 23)  


Ada kata yang tajam namun tak melukai. Ada istilah yang menampar, namun menyadarkan. Salah satunya adalah kata *Rijal* dalam ayat di atas.  


Bukan sekadar bentuk jamak dari “rajul” (laki-laki), “*rijāl*” dalam ayat ini menyimpan kedalaman makna yang mencengangkan. Bukan hanya menyebut jenis kelamin, tapi lebih dalam: menyebut **karakter, keberanian, dan kesetiaan**.  


Kita sampai di zaman di mana suara begitu mudah dicipta, tetapi langkah nyata menjadi langka. Di sinilah Allah menegaskan: di antara para mukmin itu, ada yang benar-benar menepati janjinya.  


Mereka bukan yang paling lantang berbicara. Tapi mereka adalah para *rijāl*:  

- Mereka yang **diam-diam bergerak**.  

- Mereka yang **berjalan pelan namun pasti**.  

- Mereka yang **tak hanya mengerti, tapi memilih bertindak**.  


Umi Ammarah yang melindungi Nabi dengan pedang saat Uhud adalah *rijāl*. Bunda Khadjiah yang menopang dakwah Rasul dengan harta dan hati adalah *rijāl*. Asma’ binti Abu Bakar yang menyuplai logistik saat hijrah juga termasuk di antaranya.  


---


Golongan Rijal: Syahid dan Istiqomah

Allah menyebutkan dalam ayat:  

> **فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ**  

> *“Di antara mereka ada yang telah menunaikan janjinya (syahid), dan ada pula yang menunggu.”*  


Dua jalur yang sama mulia:  

1. **Yang syahid**:  

   Seperti Anas bin An-Nadhr—sahabat Nabi yang menyesal karena tak ikut Perang Badar, lalu menebusnya di Uhud dengan keberanian luar biasa. Ia berkata:  

   > *“Aku mencium bau surga dari balik bukit Uhud.”*  


   Ia menyerbu sendirian. Tubuhnya ditemukan penuh luka: **80+ sabetan pedang dan tusukan tombak**. Wajahnya tak dikenali—hanya dikenali dari ujung jarinya oleh saudarinya. Itulah ***rijāl***. Menepati janji bukan dengan lisan, tapi dengan nyawa.  


2. **Yang *istiqomah***:  

   Seperti **Anas bin Malik**—sahabat yang panjang umur, hidup dari masa Nabi hingga *Khulafaur Rasyidin*. Ia tak mati syahid, tapi **menjaga janji seumur hidupnya**.  


*Rijāl* tidak selalu berakhir di medan perang. Tapi mereka semua—syahid maupun sabar menanti—punya satu kesamaan: **Mereka setia. Tidak berubah arah. Menepati janji.**  


---


**Tentang Janji itu...**  

Janji kepada Allah bukan sekadar lafaz yang diucapkan sambil meneteskan air mata di pengajian, *daurah*, atau retret rohani.  


Janji kepada Allah adalah **kontrak spiritual yang mengikat**. Dimulai sejak syahadat pertama: *“Asyhadu alla ilaha illallah...”*  


Setiap janji akan diuji. Allah tidak meminta sempurna, tapi menuntut **kesetiaan**. Sayangnya, banyak yang lupa. Banyak yang menjadikan panjang umur sebagai *kelonggaran*, bukan *peluang*.  


> Padahal siapa tahu: **panjang umur itu ujian lanjutan**, karena kita belum lulus ujian sebelumnya.  

>  

> Jangan sampai kita hidup lama, tapi jadi **beban dakwah**, bukan penopangnya.  


---


Dua Takdir: Balasan Rijal dan Munafik

Ayat ini dilanjutkan dengan kontras tajam:  

> Allah menjanjikan pahala besar bagi yang jujur menepati janji. Sebaliknya, orang munafik bisa Dia azab jika Ia kehendaki.  


Dua ujung jalan ini:  

1. Mereka yang **jujur**,  

2. Mereka yang **munafik**.  


Yang menarik, ayat ini tidak menyebut “fasiq”, “kāfir”, atau “zālim”, tapi **“munafiq”**.  


> Sebab kemunafikan adalah **lawan kejujuran dalam janji**. Bukan tentang keyakinan di luar, tapi **pengkhianatan di dalam**.  


---


**Janji itu Berat**  

> *“Barangsiapa tidak pernah bercita-cita mati syahid, ia mati dalam cabang kemunafikan.”* (HR. Muslim)  


Bukan berarti semua harus jadi *syuhada*. Tapi setiap mukmin harus punya **tekad itu**. Harus ada kerinduan menepati janji, meski menuntut jiwa.  


> **Lebih buruk dari gagal menepati janji adalah tidak peduli padanya.**  

>  

> Di zaman yang "memiskinkan tindakan", para *rijāl* justru menjadikan janji pada Allah sebagai **misi seumur hidup**.  


---


**Menjadi Rijal di Zaman Ini**  

Medan tempur kita kini bukan Uhud atau Khandaq. Tapi kita tetap dalam perang: melawan **kesombongan, ketidakpedulian, kemalasan, kebodohan, godaan dunia, dan pengabaian dakwah**.  


Kita bisa jadi ***rijāl*** dengan:  

- ***Istiqomah*** di jalan dakwah.  

- Sabar membina keluarga.  

- Jujur dalam bekerja.  

- Sungguh-sungguh memperjuangkan kebenaran.  


> ***Rijāl*** bukan selalu tokoh besar. Ia bisa:  

> - Ayah yang **tetap shalat meski lelah**.  

> - Ibu yang **tak lelah mendidik anak**.  

> - Aktivis yang **tak berhenti menulis kebenaran**.  

>  

> **Bukan seberapa keras kita teriak, tapi seberapa teguh kita menapak.**  


---


**Satu Jalur dengan Para Rijal**  

Kita bukan Abu Bakar atau Umar. Tapi kita bisa berada di **jalur yang sama**:  

> Jalur para penepati janji.  

> Jalur ***rijāl***.  

> Jalur mereka yang hidup **bukan untuk diri sendiri, tapi untuk amanah Islam**.  


> Kalaupun tak bisa syahid, setidaknya kita **sabar**.  

> Kalaupun tak bisa tampil di depan, setidaknya **kita dukung dari belakang**.  

> Jadilah seperti **kaki**—tak banyak bicara, tapi **menopang perjuangan**.  


---


 **Jangan Hanya Jadi Penonton Zaman**  

Setiap zaman punya ***rijāl***-nya.  

Pertanyaannya: **apakah kita termasuk di antaranya?**  


> Jangan hanya hidup. **Tegakkan hidup.**  

> Jangan hanya bernapas. **Hembuskan ruh penggerak.**  

> Jangan hanya tahu ayat. **Jadilah bagian dari ayat itu.**  

>  

> Kelak, yang dikenang bukan yang paling keras bersuara, tapi yang paling **jujur menapak lalu melangkah**.

0 komentar:

Posting Komentar