Bayangkan kita berdiri di tengah sebuah pasar global yang sangat luas, riuh, dan tanpa henti. Ini bukan pasar biasa tempat barang diperjualbelikan, melainkan *”Pasar Pengaruh”*—sebuah arena digital dan sosial tempat miliaran ide, narasi, dan keyakinan bertarung sengit untuk *merebut satu komoditas* paling berharga di abad ke-21: *perhatian dan kepercayaan* manusia.
Di satu sudut, para raksasa hiburan menggelar pertunjukan gemerlap. Di sudut lain, para filsuf sekuler menawarkan resep kebahagiaan instan.
Di lorong-lorongnya, para *influencer gaya hidup* menjual mimpi kesempurnaan.
Di tengah hiruk pikuk inilah dakwah kita berada. Bukan lagi di atas mimbar yang sunyi dan dihormati secara eksklusif, melainkan sebagai salah satu suara di antara jutaan lainnya.
Di sinilah sebuah kutipan dari dunia bisnis modern terasa menampar sekaligus menyadarkan: "The Market will show no loyalty to our traditional ways of working. (Richard Susskind)". Pasar tidak akan menunjukkan loyalitas pada cara kerja kita yang tradisional.
*Pasar Pengaruh ini kejam* dan tidak sentimental. Ia tidak peduli pada sejarah panjang kita, pada keagungan masa lalu, atau pada *kenyamanan metode* yang telah kita warisi turun-temurun.
Ia hanya peduli pada satu hal: *relevansi saat ini*.
Pertanyaannya, siapkah dakwah kita untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga memenangkan *pertarungan pengaruh* di pasar yang sengit ini?
Jawabannya terletak pada keberanian kita untuk melakukan *transformasi mendasar* dalam cara kita berpikir dan bergerak.
*1. Mata Uang Baru Bernama Relevansi*
Di masa lalu, dakwah mungkin bisa berjalan dengan asumsi bahwa *umat akan datang mencari*. Kini, asumsi itu telah runtuh. "Cara kerja tradisional" yang mengandalkan otoritas formal dan komunikasi satu arah *tidak lagi memadai*.
Masyarakat, khususnya Gen Z, Gen Alpha dan milenial, adalah "konsumen" yang cerdas di Pasar Pengaruh. Mereka tidak akan "membeli" sebuah ide hanya karena ia dilabeli sebagai kebenaran.
Mereka akan bertanya: *"Apa relevansinya untuk hidupku?"*
Jika dakwah kita hanya membahas hal-hal yang jauh dari denyut nadi kehidupan mereka—jika kita berbicara tentang *apa yang seharusnya* sementara mereka bergulat dengan *kecemasan akibat media sosial*.
jika kita membahas fikih muamalah klasik sementara mereka terjerat pinjaman online—maka kita telah kehilangan mereka bahkan sebelum memulai. Pesan kita akan terasa seperti artefak museum: indah untuk dikenang, tetapi tidak fungsional untuk kehidupan sehari-hari.
*Relevansi adalah mata uang baru yang harus kita miliki.*
Ini menuntut para dai untuk menjadi pendengar yang empatik sebelum menjadi pembicara yang fasih.
Ia menuntut kita untuk memahami *Fiqh al-Waqi'* (pemahaman terhadap realitas kontemporer) sedalam pemahaman kita terhadap *Fiqh al-Ahkam* (hukum-hukum syariat).
Dakwah yang relevan *tidak menjawab pertanyaan* yang tidak pernah ditanyakan audiens; ia hadir sebagai oase di tengah gurun permasalahan yang nyata dan mereka rasakan.
*2. Inovasi Metode, Kemurnian Substansi*
Paradoks Suci
Ketakutan terbesar saat membahas perubahan dalam dakwah adalah kekhawatiran akan merusak kemurnian ajaran. Ini adalah kesalahpahaman yang fatal.
Kutipan di atas tidak mengajak kita *mengubah produk*, melainkan *cara kita mengemas dan mendistribusikannya.*
Substansi dakwah kita—Al-Qur'an dan As-Sunnah—adalah wahyu ilahi yang sempurna, abadi, dan tidak tersentuh perubahan.
Namun, metode penyampaiannya (uslub dan wasilah) adalah ranah ijtihad manusia yang harus terus beradaptasi.
Nabi Nuh a.s. berdakwah selama 950 tahun dengan metode yang sesuai pada zamannya.
Nabi Muhammad SAW datang di tengah kaum penyair ulung, maka mukjizat terbesarnya adalah Al-Qur'an, puncak keindahan sastra.
Para Walisongo menggunakan wayang dan gamelan untuk menyentuh hati masyarakat Jawa.
Mereka semua adalah inovator ulung pada masanya.
Maka, bertahan pada "cara kerja tradisional" secara kaku justru merupakan pengkhianatan terhadap semangat inovatif para pendahulu kita.
Hari ini, inovasi itu berarti mengubah mimbar statis menjadi podcast dinamis yang menemani pendengarnya di perjalanan. Mengubah lembaran kitab tebal menjadi utas mencerahkan di Twitter atau video pendek satu menit di TikTok yang mampu *memantik perenungan*.
Mengubah majelis taklim konvensional menjadi kursus online bersertifikat yang profesional dan interaktif.
Dakwah *harus merebut kembali posisinya* di garda depan teknologi dan kreativitas, bukan menjadi *pihak yang tertinggal dan gagap*.
*3. Bertarung dengan Ihsan di Medan Laga Ideologi*
Pasar Pengaruh adalah medan pertempuran. Kompetitor kita bukanlah sesama gerakan dakwah, melainkan gempuran ideologi materialisme, hedonisme, nihilisme, hingga ekstremisme yang dikemas dengan sangat menarik.
Mereka menggunakan production value jutaan dolar, riset pasar yang canggih, dan *strategi marketing yang agresif* untuk memenangkan hati dan pikiran.
Di tengah persaingan ini, *dakwah tidak bisa lagi tampil ala kadarnya. Konten yang dibuat dengan desain seadanya*, kualitas audio yang buruk, atau penyampaian yang monoton adalah *bentuk bunuh diri di pasar ini*.
Prinsip Ihsan (melakukan sesuatu dengan cara terbaik) harus menjadi standar operasi kita. Jika "lawan" kita menggunakan *sinematografi yang memukau*, maka konten dakwah kita pun harus mengejar keunggulan visual. Jika mereka menggunakan narasi dan storytelling yang menggugah emosi, maka kita harus menjadi pencerita terbaik, karena kita memiliki kisah-kisah terhebat dari Al-Qur'an dan sirah.
*Kita tidak bisa lagi menuntut loyalitas* dari audiens; kita harus meraihnya dengan menyajikan kebenaran Islam dalam kemasan terbaik yang bisa kita usahakan.
Ini *bukan tentang kemewahan*, tetapi tentang profesionalisme dan kesungguhan dalam menghargai pesan mulia yang kita emban.
*4. Dari Ritual Aktivitas Menuju Obsesi pada Dampak*
*"Cara kerja tradisional"* seringkali menjebak kita dalam metrik kesibukan: berapa banyak acara yang digelar, berapa ribu jamaah yang hadir, berapa banyak poster yang disebar di WAG.
Kita merasa telah berbuat banyak, tetapi kita jarang bertanya: *"Apa dampaknya?"*
Pasar tidak peduli pada kesibukan kita; ia hanya *merespons hasil*.
Sudah saatnya kita menggeser paradigma dari sekadar menjalankan ritual aktivitas menjadi sebuah obsesi pada dampak nyata.
Ukuran keberhasilan dakwah bukanlah hanya masjid yang penuh saat acara, melainkan masyarakat yang akhlaknya membaik setelah acara selesai, bahkan taraf hidup juga semakin membaik.
Bukan hanya jumlah followers di media sosial, melainkan jumlah pemuda yang terselamatkan dari insecure, anxiety, narkoba dan depresi.
Bukan hanya seberapa sering kita berteriak tentang kebenaran, tetapi *seberapa banyak hati yang bergetar* dan berubah karena sentuhan kebenaran itu.
Orientasi pada dampak ini menuntut kita untuk menjadi lebih strategis. Kita perlu *menggunakan data* untuk memahami audiens, melakukan *evaluasi program* secara berkala, dan *berani menghentikan program* yang tidak efektif meskipun *sudah menjadi "tradisi"*.
Amanah dakwah terlalu *berharga untuk disia-siakan* pada aktivitas yang *tidak menghasilkan perubahan transformatif*
*5. Adaptasi atau Menjadi Relik Sejarah*
Pertarungan di Pasar Pengaruh *tidak akan menunggu kita siap*. Ia terus bergerak dengan kecepatan eksponensial.
Bertahan pada cara kerja tradisional atas nama sentimentalitas atau kenyamanan adalah *resep pasti* untuk menjadi tidak relevan, menjadikan dakwah seperti sebuah relik sejarah yang hanya bisa *dikagumi di museum*, bukan menjadi *kekuatan hidup yang membentuk masa depan*.
Ini adalah panggilan mendesak bagi setiap individu dan lembaga yang memikul beban amanah dakwah.
Panggilan untuk menjadi pembelajar seumur hidup, untuk merangkul teknologi sebagai kawan, untuk memahami psikologi audiens modern, dan untuk menanamkan prinsip Ihsan dalam setiap karya.
Pilihan di hadapan kita sangat jelas: *beradaptasi dengan kecerdasan dan keberanian* untuk memenangkan masa depan, atau bertahan dalam kebekuan (frozen) masa lalu dan rela tergerus oleh zaman.
Jalan dakwah adalah *jalan para inovator dan pejuang*. Mari kita rebut kembali semangat itu dan *menangkan pertarungan di Pasar Pengaruh* demi menyebarkan rahmat bagi seluruh alam. Wallahul Musta’an
0 komentar:
Posting Komentar