Selasa, 08 Mei 2018

BALDATUN THAYYIBATUN WA RABBUN GHAFUR (Negeri yang Baik dan Tuhan yang Maha Pengampun)




Alhamdulillah rabbil alamin, alladzi an’amana bini’matil iman wal Islam, wa an’amana bini’matil amni was salam, wa an’amana bini’matil dakwah wa tarbiyah, wa an’amana bini’matil baldah toyyibah wa Rabbun ghafur.
Was shalatu wassalam ala Rasulillah, alqudwah alhasanah, almujahid fi sabilillah, hatta qoma minhu albaldah attoyyibah.

Ikhwati wa akhawati fillah…
Bagi setiap orang pasti mengidamkan berada atau tinggal di negeri yang nyaman dan tentram, aman dan sejahtera, baik dan sentosa, makmur dan bahagia. itulah impian dan angan-angan; saya, anda, dan kita semua.
Negeri semacam impian kita semua memang pernah ada dalam kehidupan dunia ini, buktinya adalah Allah yang menyatakan dalam Al-Qur’an surat Saba ayat 15. Allah SWT berfirman:

لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ

“Sungguh bagi Kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Rabb) di kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan), ‘Makanlah dari rizki yang dianugerahkan Tuhan kalian dan bersyukurlah kepadaNya!’. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr (negeri yang baik dan Tuhan Yang Maha Pengampun.” [Saba’ [34]:15).
 “Saba’ adalah (sebutan) raja-raja negeri Yaman dan penduduknya. Termasuk diantara mereka ialah raja-raja Tababi’ah dan Ratu Bilqis -isteri Nabi Sulaimân (menurut sebagian ahli tafsir)-. Dulu, mereka berada dalam kenikmatan dan kebahagiaan (yang meliputi) negerinya, kehidupannya, kelapangan rizkinya, tanaman-tanamannya, dan buah-buahannya. Allah mengutus kepada mereka beberapa rasul, yang menyeru mereka agar memakan rizki yang diberikan-Nya, dan agar bersyukur kepada-Nya dengan mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya. Keadaan mereka (yang baik) itu terus berlangsung hingga (waktu) yang dikehendaki Allah, lalu mereka berpaling dari apa yang diserukan kepada mereka, sehingga mereka dihukum dengan datangnya banjir bandang dan terpencar-pencarnya mereka di banyak negeri”. [Tafsir Ibnu Katsîr, 6/504].

Hakikat dan makna “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur”
Meski istilah ini singkat namun maknanya padat, dan dapat mewakili semua kebaikan yang dulunya ada pada negeri Saba’ tersebut. Ibnu Zaid menerangkan kebaikan negeri Saba’: “Di daerah mereka, sama sekali tidak pernah terlihat ada nyamuk, lalat, kutu, kalajengking, dan ular. Apabila seseorang masuk ke dalam dua tamannya, dan meletakkan keranjang di atas kepalanya, maka pada saat keluar, keranjang itu akan penuh dengan beraneka buah-buahan, padahal ia tidak memetiknya dengan tangannya”. [Tafsir ath-Thabari, 19/247]
Kata “Baldatun Thayyibatun” yang berarti “negeri yang baik” bisa mencakup seluruh kebaikan alamnya. Imam Asy-Syaukâni di dalam tafsirnya mengatakan: “Maknanya (baldatun thayyibatun) ialah: ini negeri yang baik, karena banyaknya pohon-pohon, dan bagus buah-buahannya”.
Ibnu Katsîr juga mengatakan: “Para ahli tafsir yang lain mengatakan, dahulu di negeri mereka sama sekali tidak ada lalat, nyamuk, kutu, dan hewan-hewan yang berbisa. Hal itu karena cuaca yang baik, alam yang sehat, dan penjagaan dari Allah, agar mereka mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya”. [Tafsir Ibnu Katsîr, 6/507].

Adapun kata “Wa Rabbun Ghafur” berarti Rabb kalian adalah Rabb yang Maha Mengampuni dosa-dosa, jika kalian mensyukuri rizki pemberian-Nya”. [Tafsir Muqâtil, 3/529].
At-Thabari  mengatakan, “Rabb kalian adalah Rabb Yang Maha Pengampun, jika kalian mentaati-Nya”. [Tafsir Thabari, 19/248].
Ibnu Katsîr  mengatakan: “Yakni (Rabb kalian) adalah Rabb Yang Maha Pengampun, jika kalian terus-menerus dalam mentauhidkan-Nya”. [Tafsir Ibnu Katsîr, 6/507].
Nukilan-nukilan di atas menunjukkan bahwa Negeri Saba’ merupakan negeri yang alamnya baik dan penduduknya shalih, sehingga mereka menerima kenikmatan sangat luar biasa tersebut.
Namun sayangnya negeri yang “Baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur” tidak bertahan lama, bukan karena Allah tidak peduli lagi terhdap mereka namun karena perilaku mereka yang berubah dan luntur; taat menjadi maksiat, shalih menjadi thalih, syukur menjadi kufur, sehingga turunlah azab atas mereka yang menghapuskan kenikmatan-kenikmatan yang sebelumnya mereka terima. Ini merupakan pelajaran sangat berharga bagi umat manusia setelahnya, dan merupakan petunjuk nyata dari firman Allah swt.,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Sesungguhnya jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat-Ku) untuk kalian. Namun bila kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sungguh azabku sangat berat”. (Ibrâhîm [14]:7).
Dari nukilan tersebut kita juga dapat mengambil kesimpulan, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur adalah sebuah negeri yang mengumpulkan kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya. Secara lebih luas, ialah sebuah negeri yang mengumpulkan kebaikan dunia dan akhirat.

Ikhwati wa akhwati hafizhakumullah…
Hakikat dan ciri-ciri “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”
Hakikat baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur merupakan keadaan negeri yang menjadi dambaan dan impian seluruh manusia. Yaitu sebuah negeri yang memiliki gambaran sebagai berikut.
Negeri yang selaras antara kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya.
Negeri yang penduduknya subur dan makmur, namun tidak lupa untuk bersyukur.
Negeri yang seimbang antara kebaikan jasmani dan rohani penduduknya.
Negeri yang aman dari musuh, baik dari dalam maupun dari luar.
Negeri yang maju, baik dalam hal ilmu agama maupun ilmu dunianya.
Negeri dengan penguasa yang adil dan shalih, dan penduduk yang hormat dan patuh.
Negeri yang di dalamnya terjalin hubungan yang harmonis antara pemimpin dan masyarakatnya, yaitu dengan terwujudnya saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
Namun, terbentuknya keadaan negeri “impian” ini tidak semudah membalik tangan. Karena negeri “impian” ini merupakan sesuatu yang istimewa, tentu memerlukan perjuangan dan usaha keras dalam mewujudkannya. Bahkan perjuangan dan usaha keras saja tidak cukup, tetapi harus dibarengi pula dengan bimbingan yang jelas dari Allah swt., dikarenakan beberapa hal berikut.
Meski manusia mengetahui maslahat dunia, terutama yang berhubungan dengan sisi jasmani, tetapi pengetahuan itu hanya sebagiannya saja. Sehingga masih ada banyak hal tentang maslahat dunia yang tidak diketahui manusia, terutama yang berhubungan dengan sisi rohani.
Seringkali akal manusia terkecoh ketika menilai sebuah maslahat, sehingga seringkali suatu yang membahayakan dianggap sebagai bermanfaat, dikarenakan keterbatasan kemampuan akal manusia.
Akal manusia tidak akan mampu mengetahui maslahat yang berhubungan dengan akhirat, padahal kehidupan akhirat merupakan tujuan utama dan target akhir, bahkan masanya akan selama-lamanya.

Ikhwati wa akhawati fillah…

Dari sini kita bisa mengerti arti penting syariat agama bagi kehidupan manusia, baik untuk kehidupan pribadi maupun untuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bahkan telah terbukti dalam sejarah kehidupan manusia, bahwa mayoritas negara-negara yang kuat kekuasaannya dan luas wilayahnya itu asal-muasalnya dari agama.

Sejarawan Islam terkemuka, Ibnu Khaldun  mengatakan: Sesungguhnya negara-negara yang luas wilayahnya dan kuat kekuasaannya, itu asal-usulnya dari agama, baik agama yang bertolak dari kenabian, maupun agama yang bertolak dari ajakan kepada yang haq. Alasannya, kekuasaan hanya bisa didapat melalui penaklukan, dan penaklukan hanya terjadi akibat fanatisme dan kesamaan tujuan. Padahal hati manusia tidak dapat disatukan dan disamakan kecuali dengan pertolongan Allah dalam rangka menegakkan agama-Nya. Allah swt. berfirman (yang artinya): “Andai engkau mengerahkan seluruh kekayaan yang ada di bumi, niscaya engkau takkan dapat menyatukan hati mereka, akan tetapi Allah-lah yang menyatukan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. –al-Anfal ayat 63- Rahasia (dari hal ini) ialah, karena bila hati manusia saling berhasrat dengan suatu kebatilan dan condong kepada dunia, maka selanjutnya akan terjadi persaingan dan perselisihan yang meluas. Namun jika hati tersebut diarahkan untuk membela kebenaran, mengesampingkan dunia, menolak kebatilan, dan menghadap kepada Allah, maka ia akan bersatu. Dengan begitu, persaingan akan hilang dan akan sedikit perselisihan. Kerjasama dan tolong-menolong menjadi membaik, dan pengaruh kekuasaan semakin meluas, sehingga negara pun menjadi besar. [Muqaddimah Ibnu Khaldun, 1/266].

Oleh karena itu, untuk mencapai negeri dengan predikat baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, disamping harus memperhatikan faktor yang menjadi penyebab kebaikan sebuah negeri dipandang dari sisi dunia, juga harus memperhatikan jika dipandang dari sisi agama. Sisi inilah yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia.

Ciri-ciri “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”
Syariat Islam telah banyak menyinggung hal-hal yang menjadikan baik dan berkahnya sebuah negeri, diantaranya:
Ikhlasul amal wal ubudiyyah lillahi ta’ala
Yang berarti memurnikan amalan ibadah hanya untuk Allah. Inilah perwujudan persaksian kita Lâ ilâha illAllah (tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah), juga tujuan diciptakan manusia, dan perintah Allah yang paling agung.
Allah SWT berfirman:
Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah (hanya) kepada-Ku. (adz-Dzâriyât [51]:56].
Dalam ayat lain Allah juga berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Mereka tidaklah diperintah, melainkan untuk menyembah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan beragama hanya kepada-Nya dan menjauhkan diri dari kesyirikan.” (al-Bayyinah [98]:5).
Inilah kunci untuk sebuah negeri dengan predikat baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, karena dengannya negeri menjadi berkah, kaya, dan aman. Hal ini bisa dipahami dari firman-firman-Nya berikut ini.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
Sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, pasti Kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. (al-A’râf[7]:96).
Dan memurnikan ibadah hanya untuk Allah, termasuk dalam keimanan dan ketakwaan yang paling utama.

Maka aku pun mengatakan kepada mereka: “Mintalah ampun kepada Rabb kalian, karena sesungguhnya Dia itu Maha Pengampun. (Jika kalian melakukannya) niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepada kalian, memperbanyak harta dan anak-anak kalian, mengadakan kebun-kebun dan sungai-sungai untuk kalian”. (Nuh [71]:10-12).
Demikian ini perintah Nabi Nuh kepada kaumnya yang dahulu melakukan kesyirikan agar mereka bertaubat dan memurnikan ibadah hanya untuk Allah SWT.

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا
Allah telah menjanjikan kepada orang-orang dari kalian yang beriman dan beramal shalih, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dia benar-benar akan meneguhkan mereka dengan agama mereka yang telah Dia ridhai. Dan dia benar-benar akan mengubah keadaan mereka dari takut menjadi aman. (Hal ini dikarenakan) mereka menyembah (beribadah) kepadaKu, dan tidak menyekutuka-nKu dengan suatu apapun. (an-Nûr[24]:55).
Ayat-ayat di atas secara jelas menunjukkan bahwa mentauhidkan Allah dalam beribadah merupakan faktor agar sebuah negeri menjadi berkah, kaya, kuat, dan aman. Yakni negeri dengan julukan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Ketika Ibnu Katsîr menafsirkan Ayat Saba’, ia mengatakan: “Dan Allah mengutus kepada mereka beberapa rasul, yang menyeru mereka agar memakan rizki yang diberikan-Nya dan agar mensyukuri-Nya dengan mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya”.
Oleh karena itu, hendaklah masing-masing diri kita agar berusaha mewujudkan lingkungan yang menjunjung tinggi nilai tauhid, tidak mendiamkan terjadinya perbuatan syirik dimanapun tempatnya dan apapun keadaannya. Tentunya dengan langkah-langkah yang baik, cerdas dan hikmah, sehingga maslahat memurnikan ibadah hanya untuk Allah benar-benar terwujud di tengah masyarakat.
2. Ittiba’ Rasulullah saw.
Yang berarti mengikuti petunjuk Rasul, dan ini sebagai perwujudan dari persaksian “Muhammadur-Rasulullâh” (Nabi Muhammad adalah utusan Allah). Konsekuensi dari hal ini, ialah penetapan syariat Islam dalam sebuah negeri, baik oleh penduduknya maupun oleh penguasa dan pemerintahannya.
Dengan Ittiba’ Rasul, maka semua kebaikan akan menyatu dan berkesinambungan, karena Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan salah satu faktor yang utama untuk mendatangkan rahmat, kecintaan, dan ampunan Allah SWT. Disebutkan dalam firman-Nya:

 “Tidaklah engkau (Muhammad) Kami utus, melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (al-Anbiyâ’[21]: 107).
Dalam ayat lain Allah juga berfirman,

Katakanlah (Muhammad): “Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku! (Dan Jika kalian mengikutinya), maka Allah mencintai kalian dan mengampunidosa kalian”. (Ali-Imran [3]:31).
Jika rahmat dan cinta Allah menyatu dalam sebuah negeri dan penduduknya, adakah kebaikan yang tidak diberikan Allah kepada mereka? Tentu, semua kebaikan akan diberikan Allah kepada mereka.

Bayangkanlah, bila ada sebuah negeri yang diberkati alamnya, dan penduduknya menerapkan syariat Islam yang seluruhnya merupakan kebaikan dan kemaslahatan bagi umat manusia, tentu di dalamnya akan lahir kebaikan-kebaikan yang besar, misalnya:
1. Akhlak penduduknya menjadi mulia, sehingga mereka saling menghormati, saling membantu, saling gotong-royong, saling menasihati dan mengingatkan, dan seterusnya. Sebaliknya, mereka juga akan menjauhi akhlak dan moral yang buruk dan tercela.
2. Sifat amanah menyebar dan membumi, yakni setiap individu benar-benar menjalankan kewajibannya dengan baik, tidak ada korupsi, suap-menyuap, dan pengkhianatan lainnya, sehingga negeri itu terus terbangun dan mengalami kemajuan dengan cepat.
3. Adanya keseimbangan yang indah antara kepentingan dunia dan akhirat, yaitu antara perhatian terhadap sisi jasmani dan rohani, antara kebaikan alamnya dan pengelolaannya, antara keadilan pemimpinnya dan kepatuhan masyarakatnya, dan seterusnya.
Dengan faktor Ittiba’ Rasul ini pula, umat Islam menjadi kuat dan jaya, sebagaimana perkataan Sahabat Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu : “Kita dahulu adalah kaum yang paling lemah, lalu Allah memberikan kejayaan kepada kita dengan Islam, maka selama kita mencari kejayaan dengan selain Islam, niscaya Allah akan melemahkan kita”. [HR al-Hakim, 207; dishahîhkan oleh Syaikh Albani].
Dari sini kita dapat memahami betepa penting membangun akhlak masyarakat, baik akhlak terhadap sesama, maupun akhlak terhadap Penciptanya. Karena pentingnya pembangunan akhlak ini, sehingga Islam sangat memperhatikannya. Bahkan Allah memilih rasul yang mengemban risalah Islam ini, adalah seorang yang sangat tinggi akhlaknya, dan sangat memperhatikan akhlak umatnya.
Oleh karenanya, tidak selayaknya kita sebagai umat Islam mengesampingkan sisi akhlak ini. Karena dengan akhlak yang mulia, maka negeri akan terbebas dari segala bentuk krisis, mulai dari krisis moral, ekonomi, politik, hingga krisis keamanan. Sehingga negeri akan menjadi indah dan bersahabat.

0 komentar:

Posting Komentar