Aktivitas ini bukan sekadar mengisi waktu, bukan pula hanya rutinitas tanpa arah. Aktivitas pertama adalah sentuhan awal yang bisa menanamkan kesan, membentuk ikatan, dan membuka jalan bagi tarbiyah yang berkelanjutan.
Kita berhadapan dengan generasi Z dan generasi milenial. Dua generasi yang kini mendominasi 65% wajah Asia dan Indonesia. Mereka adalah amanah besar, potensi sekaligus tantangan. Mereka berbeda dari generasi sebelumnya: lebih suka visual, lebih cepat bosan, haus akan pengalaman nyata, dan tidak mudah tersentuh dengan ceramah panjang. Mereka tidak ingin sekadar dinasihati; mereka ingin diajak berjalan, diajak merasakan, diajak mengalami.
Ikhwah fillah, pernah ada pengalaman menarik. Seorang anak SMA kelas 12, setelah mendengar ceramah panjang 30 menit, justru merasa jenuh. Besoknya ia berucap kapok, karena merasa sedang dinasihati layaknya ayahnya di rumah. Padahal yang ia butuhkan bukanlah kata-kata panjang, melainkan pengalaman sederhana yang membekas. Maka saat mereka diajak kegiatan ringan—makan bersama, outing ke pantai, atau sekadar bercakap hangat—mereka lebih merasa dekat dan terikat. Dari sana, pesan Islam dapat masuk perlahan, dengan cara yang lebih membumi.
Inilah pelajaran penting: di awal tarbiyah jangan bebani dengan materi yang berat. Cukup hadirkan aktivitas yang menyenangkan, permainan yang mendidik, diskusi ringan, atau sekadar ice breaking yang membuat mereka merasa nyaman. Sentuhan pertama adalah gerbang. Jika gerbang ini hangat, ramah, dan penuh keakraban, maka langkah-langkah setelahnya akan lebih mudah ditempuh.
Dakwah, saudara-saudaraku, bukan sekadar gaya. Dakwah bukan formalitas yang kaku. Dakwah adalah jalan yang hidup, aktif, dinamis, dan ekspansif. Kita menapakinya dengan tauhid sebagai pondasi, dengan cinta sebagai bekal, dengan orientasi hanya kepada Allah sebagai tujuan. Allah menuntun kita dengan firman-Nya dalam QS. Yusuf ayat 108:
قُلْ هَٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَـٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
Katakanlah (Muhammad), “Inilah jalanku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin. Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.”
Ayat ini adalah cahaya bagi kita semua. Bahwa dakwah bukan sekadar mengajak, melainkan mengajak dengan bashirah—dengan ilmu yang kokoh, dengan pemahaman yang dalam, dengan kesabaran yang luas, dan dengan hati yang penuh kasih. Dakwah tidak boleh berhenti di retorika; ia harus hadir dalam teladan, dalam aktivitas, dalam cara kita berinteraksi dengan generasi muda.
Karena itu, kita perlu kreatif. Kita harus merancang aktivitas yang sesuai dengan dunia mereka. Kadang cukup dengan komunikasi ringan, memanggil mereka dengan sapaan akrab seperti “bro” atau “gue-loe,” agar mereka merasa kita hadir sebagai sahabat, bukan hanya guru. Kita bisa memulai dengan permainan sederhana, ice breaking yang membangkitkan tawa, atau diskusi tentang hal-hal ringan yang dekat dengan kehidupan mereka. Dari situ akan lahir ukhuwah, tumbuh kepercayaan, dan dakwah pun berjalan dengan alami.
Mentoring tidak harus selalu di ruang kelas. Sesekali bawa mereka ke taman, ke pantai, ke kafe, atau ke tempat yang nyaman. Islam tidak harus hadir dalam suasana kaku. Justru dengan ruang yang santai, pesan dakwah bisa lebih mudah menyentuh hati. Biarkan mereka bertanya, biarkan rasa penasaran muncul, lalu berikan jawaban dengan hikmah. Dengan cara ini, mereka akan datang kembali bukan karena dipaksa, melainkan karena rindu dan ingin tahu lebih banyak.
Ingatlah, generasi Z dan milenial sedang berada dalam fase ingin mencoba, ingin tahu, bahkan ingin melawan. Mereka cepat bosan, tapi mereka juga cepat terikat jika sudah merasa nyaman. Karena itu, tugas kita adalah sabar, menemani, dan mengarahkan. Kita harus lebih banyak mendengar daripada berbicara. Dengarkan cerita mereka tentang sekolah, pertemanan, bahkan tentang cinta dan pacaran. Dari situ kita bisa menyisipkan nilai Islam secara alami, tanpa menghakimi, tanpa memaksa.
Dakwah juga harus menghadirkan teladan nyata. Ceritakan kepada mereka kisah Mush‘ab bin Umair, pemuda yang tampan, kaya, terkenal, tetapi meninggalkan semua itu demi Islam. Atau kisah Ali bin Abi Thalib, pemuda pemberani yang mengorbankan dirinya demi Rasulullah. Dengan kisah-kisah itu, mereka akan melihat bahwa Islam bukan hanya tentang aturan, melainkan tentang perjuangan, keberanian, dan cinta yang sejati.
Dan jangan lupa, orientasi kita hanya satu: Allah. Kita tidak mencari pujian, tidak mencari popularitas. Amal dakwah kita adalah amal tauhid. Dasarnya adalah tauhid, muaranya adalah tauhid. Semua aktivitas mentoring, semua aktivitas tarbiyah, hanyalah wasilah untuk menguatkan hubungan mereka dengan Allah.
Generasi ini adalah calon pemimpin masa depan. Tahun 2050, umat Islam diprediksi menjadi mayoritas di muka bumi. Maka kita punya tanggung jawab menyiapkan mereka, agar mayoritas itu bukan hanya jumlah, tapi juga kualitas. Bukan hanya populasi, tapi juga kekuatan iman, ilmu, dan akhlak.
Maka mari kita isi mentoring ini dengan aktivitas yang penuh ruh, penuh cinta, dan penuh hikmah. Jadikan setiap pertemuan sebagai rumah yang hangat, tempat yang nyaman, dan ruang yang mendidik. Agar setiap anak muda yang hadir bisa berkata dalam hatinya: “Inilah tempatku. Inilah keluargaku. Inilah jalanku bersama Islam.”







0 komentar:
Posting Komentar