Senin, 23 September 2024

Mengapa Kekuasaan yang Terlalu Lama Cenderung Beracun?

 





Oleh: Cahyadi Takariawan


Pagi ini saya menyimak ulang ulasan Theodor Schaarsmidt berjudul “When Power Turns Toxic”, yang ditulis tahun 2017 lalu. Sebuah pertanyaan menggelitik dia lontarkan, terkait perubahan karakter pemimpin.

“Mengapa banyak pemimpin bisa berubah, dari seorang pemimpin yang awalnya merakyat, menjadi seorang tiran?” Ini pertanyaan kritis Schaarsmidt.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita akan segera teringat ungkapan sejarawan John Dalberg Acton, di akhir abad 19, yang menunjukkan efek racun dari kekuasaan. “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Bahwa kekuasaan cenderung merusak, dan kekuasaan absolut merusak secara absolut.

Namun Schaarsmidt mencoba memberikan pandangan alternatif. Mungkin saja para politisi papan atas, CEO, dan mereka yang menduduki jabatan puncak dengan cepat di bidangnya, telah memiliki kecenderungan yang kejam dan otoriter sejak awal. Bisa jadi sifat-sifat itu membantu mereka untuk mengambil dan menggunakan kekuasaan dengan lebih mudah.

Berbagai Studi Perubahan

Banyak studi psikologi yang bisa digunakan untuk memberikan tambahan jawaban atas pertanyaan Theodor Schaarsmidt tersebut. Bertrand Russell, filsuf dan matematikawan Inggris, memahami bahwa kekuasaan bagi ilmu sosial ibarat energi bagi fisika—yaitu kekuatan pendorong mendasar perilaku manusia.

Mengapa para pemimpin bisa berubah sifatnya? Psikolog sosial Susan T. Fiske dari Universitas Princeton memandang, kekuasaan yang luar biasa memang dapat membuat orang merasa dibenarkan untuk menggunakan dan menyalahgunakannya.

Power allows people to act freely. Kekuasaan memungkinkan orang untuk bertindak bebas,” ujar Susan Fiske.

Selanjutnya Schaarsmidt menunjukkan beberapa hasil studi bahwa seiring bertambahnya pengaruh seseorang, mereka cenderung kehilangan empati dan ketertarikan pada detail. Namun tentu saja, hal itu tidak berlaku untuk semua orang yang berkuasa.

Pada tahun 2003, psikolog Adam D. Galinsky dan rekan-rekannya meneliti bagaimana perubahan kecil dalam persepsi manusia tentang kekuasaan dapat mengubah tindakan secara drastis.

Dalam satu percobaan, Galinsky membagi 66 peserta menjadi dua kelompok. Separuh peserta diminta untuk menulis tentang sebuah kondisi di mana mereka menggunakan kekuasaan atas orang lain. Sedangkan separuh lainnya diminta menulis tentang ketika orang lain memegang kekuasaan atas mereka.

Galinsky dan timnya menggunakan latihan menulis ini untuk “mempersiapkan” para relawan agar merasa berkuasa, atau merasa tidak berdaya. Selanjutnya mereka membawa para peserta ke ruangan lain untuk melakukan tugas.

Saat para peserta menjalankan tugas yang diberikan, sebuah kipas angin bertiup langsung—dan mengganggu—ke wajah mereka. Para peneliti mengamati bahwa di antara para peserta yang dipersiapkan untuk memiliki kekuasaan, sekitar dua pertiga menyingkirkan unit tersebut. Namun, di antara mereka yang dibuat merasa “tidak berdaya”, hanya kurang dari sepertiga yang berani melakukan tindakan yang sama.

Psikolog sosial Dacher Keltner dari University of California, yang telah melakukan penelitian serupa menyatakan, ketika manusia merasa tidak berdaya, tindakan mereka cenderung terhambat. Mereka berkonsentrasi pada kebutuhan orang lain dan lebih peka terhadap hukuman. Namun saat memiliki pengaruh, mereka menjadi lebih reseptif terhadap penghargaan dan memberi diri mereka lebih banyak kebebasan.

Kekuasaan Potensial Mengubah Sifat Seseorang

Studi tentang “Cookie Monster” yang dilakukan Keltner dan rekan-rekannya; secara acak meminta satu relawan dalam kelompok yang terdiri dari tiga orang– untuk menilai kinerja yang lain saat mereka mengerjakan tugas yang membosankan, seperti menyusun kebijakan universitas. Begitu kelompok itu tampak mulai gelisah, para ilmuwan menawarkan mereka lima kue keping cokelat dalam satu piring.

Para peneliti menemukan bahwa ketika sampai pada kue terakhir, para penilai yang menganggap diri mereka memiliki posisi yang lebih berwenang, jauh lebih mungkin untuk mengambilnya. Kamera tersembunyi mengungkapkan bahwa para penilai juga makan seperti monster berbulu biru dari Sesame Street—mulut terbuka, bibir berdecak, remah-remah beterbangan. Mereka tidak peduli apa yang dipikirkan “bawahan” tentang mereka.

Penelitian lain telah memperluas temuan Keltner.  Bahwa semakin banyak kekuasaan yang diperoleh seseorang, semakin sedikit norma sosial yang bisa mereka patuhi.

Banyak akademisi menggunakan istilah “Machiavellian” untuk menggambarkan para pemimpin yang mengejar tujuan tanpa memperhatikan batasan moral atau hukum. Mereka sepenuhnya berfokus pada status, selalu mencari keuntungan pribadi, dan memanfaatkan orang lain untuk tujuan mereka sendiri.

Psikolog memasukkan Machiavellianisme sebagai bagian dari ciri-ciri kepribadian ”gelap”, di samping narsisme dan psikopat. Psikolog Kibeom Lee dari University of Calgary di Alberta dan rekan-rekannya telah menunjukkan bahwa orang-orang yang mendapat skor tinggi dalam ketiga ciri kepribadian ini, cenderung mendapat skor rendah dalam ukuran kejujuran dan kerendahan hati. Orang-orang ini akan melakukan apa saja untuk mencapai kekayaan materi dan dominasi sosial.

Studi juga menemukan bahwa orang-orang yang berkuasa cenderung melebih-lebihkan kemampuan mereka, mengambil risiko yang lebih besar, berpikir dalam kerangka stereotip, dan cenderung mengabaikan sudut pandang pihak luar. Keltner menyatakan, “Keterampilan yang paling penting untuk memperoleh kekuasaan dan memimpin secara efektif, adalah keterampilan yang justru menurun begitu seseorang memiliki kekuasaan.”

Pada tahun 2015, ekonom Samuel Bendahan dari Universitas Lausanne di Swiss dan rekan-rekannya mengukur perubahan ini menggunakan metode “permainan diktator”. Mereka membagi hampir 500 subjek ke dalam kelompok-kelompok kecil, menugaskan beberapa peserta untuk membagi sejumlah kecil uang dengan anggota kelompok mereka.

Para peneliti menemukan bahwa semakin besar pengaruh yang diberikan kepada subjek uji, semakin tidak etis pengambilan keputusan mereka. Di antara mereka yang memiliki lebih sedikit kekuasaan, kurang dari setengahnya memilih untuk menyimpan lebih banyak uang untuk diri mereka sendiri. Namun, angka itu meningkat hingga hampir 90 persen di antara mereka yang memiliki otoritas lebih besar dalam permainan tersebut.

Kekuasaan terlalu sering menempatkan para penguasa dalam situasi di mana kepribadian mereka berubah dengan cara yang tidak terduga; dan dapat memunculkan sifat-sifat yang sebelumnya terpendam. Namun, banyak eksperimen menunjukkan bahwa efek kekuasaan semacam itu tidak terjadi secara otomatis.

Nyatanya, meskipun banyak orang berkuasa yang mengeksploitasi anggota tim mereka, namun banyak orang lain akan menggunakan wewenang mereka untuk bertindak tanpa pamrih. Sosiolog Max Weber memandang kekuasaan sebagai kesempatan bagi orang atau kelompok “untuk mewujudkan keinginan mereka sendiri dalam tindakan komunal, bahkan terhadap perlawanan orang lain.”

Apakah para pemimpin menggunakan pengaruh mereka untuk kebaikan secara kolektif, atau untuk mendapatkan keuntungan bagi mereka sendiri, bergantung pada banyak faktor. Lord Acton menyatakan bahwa kekuasaan dapat merusak—dan ternyata memang sering terjadi—tetapi penelitian modern juga meyakinkan kita bahwa hal negatif itu tidak harus terjadi.

0 komentar:

Posting Komentar