Jumat, 12 September 2025

Langkah-langkah meningkatkan semangat dalam berjuang dan berdakwah

 


1. Luruskan Niat


Saudara-saudaraku, dakwah ini bukan untuk mencari nama, bukan untuk tepuk tangan manusia, tetapi murni karena Allah.

Allah berfirman:


> “Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya…” (QS. Al-Bayyinah: 5).


Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:


> “Ikhlas adalah ruh amal, dan amal tanpa ikhlas ibarat jasad tanpa ruh.”


Maka jangan pernah lelah, karena yang kita cari hanyalah ridha Allah!


2. Perkuat Iman dan Ilmu


Rasulullah ﷺ bersabda:


> “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan memahamkan dia dalam agama.” (HR. Bukhari-Muslim).


Hasan al-Bashri menegaskan:


> “Barang siapa beramal tanpa ilmu, kerusakannya lebih besar daripada kebaikannya.”


Aktivis dakwah tidak cukup semangat, tapi harus berilmu. Semangat tanpa ilmu akan padam, tapi ilmu dengan iman akan membakar semangat sepanjang zaman!


3. Bersabarlah Seperti Para Nabi


Allah memerintahkan:


> “Maka bersabarlah engkau sebagaimana kesabaran ulul azmi dari para rasul…” (QS. Al-Ahqaf: 35).


Imam Ahmad berkata:


> “Dakwah ini tidak akan tegak kecuali dengan kesabaran, meski pengikutmu sedikit.”


Ingat, jalan dakwah adalah jalan panjang, penuh ujian, penuh air mata. Tapi justru di situlah letak kemuliaannya.


4. Jaga Ruhiyah dengan Ibadah


Saudaraku, jangan sampai engkau sibuk berdakwah lalu melupakan Allah. Sumber kekuatan kita bukan retorika, bukan organisasi, tapi hubungan kita dengan Allah.


Rasulullah ﷺ bersabda:


> “Amal yang paling dicintai Allah adalah yang kontinu meskipun sedikit.” (HR. Bukhari-Muslim).


Ibn Taimiyyah berkata:


> “Kekuatan seorang dai ada pada shalat malam dan tilawah Qur’an.”


Maka jangan tinggalkan qiyamul lail, dzikir, doa, dan tilawah. Itulah bensin semangatmu!


5. Berjamaah dan Bersinergi


Umar bin Khathab r.a. berkata:


> “Tidak ada Islam kecuali dengan jamaah, tidak ada jamaah kecuali dengan kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ketaatan.”


Jangan berdakwah sendirian, karena singa pun akan binasa bila terpisah dari kawanannya. Bersama jamaah, kita lebih kuat, lebih kokoh, dan lebih tahan uji.


6. Hiasi dengan Akhlak Mulia


Allah memerintahkan:


> “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik…” (QS. An-Nahl: 125).


Imam Malik berkata:


> “Dakwah tanpa akhlak adalah fitnah bagi agama.”


Maka lembutlah dalam tutur kata, sabarlah dalam menasihati, dan indahkanlah dakwah dengan akhlakmu. Karena sering kali manusia menerima Islam bukan karena ceramah kita, tapi karena akhlak kita.


7. Optimis dengan Janji Allah


Allah berfirman:


> “Janganlah kamu merasa lemah dan jangan bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang beriman.” (QS. Ali Imran: 139).


Ibnul Qayyim berkata:


> “Seorang dai harus yakin bahwa janji Allah pasti datang, meski ia tidak menyaksikannya dalam hidupnya.”


Jangan pernah pesimis, dakwah ini akan menang, walau butuh waktu panjang. Optimisme adalah bahan bakar para pejuang.


8. Turun ke Lapangan, Amalkan Ilmu


Rasulullah ﷺ bersabda:


> “Sampaikan dariku walau satu ayat.” (HR. Bukhari).


Imam Asy-Syafi’i berkata:


> “Ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah.”


Maka jangan hanya duduk berteori, jangan hanya menulis status, tapi bergeraklah! Sapa manusia, ajak ke masjid, berikan bantuan, bimbing mereka. Dakwah adalah kerja nyata, bukan sekadar kata-kata.


Penutup Motivasi


Saudara-saudaraku, jalan dakwah ini panjang, penuh liku, penuh rintangan. Tapi di baliknya ada kemuliaan. Ingatlah pesan Hasan Al-Banna:


> “Kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang kita miliki.”


Maka jangan lelah, jangan mundur, tetaplah semangat! Karena setiap langkah kita di jalan ini adalah cahaya yang akan menerangi dunia dan menjadi saksi di hadapan Allah kelak.

Jumat, 05 September 2025

Stop Ceramah! Ini Cara Merangkul Generasi Z dan Milenial dalam Dakwah

 



Aktivitas ini bukan sekadar mengisi waktu, bukan pula hanya rutinitas tanpa arah. Aktivitas pertama adalah sentuhan awal yang bisa menanamkan kesan, membentuk ikatan, dan membuka jalan bagi tarbiyah yang berkelanjutan.


Kita berhadapan dengan generasi Z dan generasi milenial. Dua generasi yang kini mendominasi 65% wajah Asia dan Indonesia. Mereka adalah amanah besar, potensi sekaligus tantangan. Mereka berbeda dari generasi sebelumnya: lebih suka visual, lebih cepat bosan, haus akan pengalaman nyata, dan tidak mudah tersentuh dengan ceramah panjang. Mereka tidak ingin sekadar dinasihati; mereka ingin diajak berjalan, diajak merasakan, diajak mengalami.


Ikhwah fillah, pernah ada pengalaman menarik. Seorang anak SMA kelas 12, setelah mendengar ceramah panjang 30 menit, justru merasa jenuh. Besoknya ia berucap kapok, karena merasa sedang dinasihati layaknya ayahnya di rumah. Padahal yang ia butuhkan bukanlah kata-kata panjang, melainkan pengalaman sederhana yang membekas. Maka saat mereka diajak kegiatan ringan—makan bersama, outing ke pantai, atau sekadar bercakap hangat—mereka lebih merasa dekat dan terikat. Dari sana, pesan Islam dapat masuk perlahan, dengan cara yang lebih membumi.


Inilah pelajaran penting: di awal tarbiyah jangan bebani dengan materi yang berat. Cukup hadirkan aktivitas yang menyenangkan, permainan yang mendidik, diskusi ringan, atau sekadar ice breaking yang membuat mereka merasa nyaman. Sentuhan pertama adalah gerbang. Jika gerbang ini hangat, ramah, dan penuh keakraban, maka langkah-langkah setelahnya akan lebih mudah ditempuh.


Dakwah, saudara-saudaraku, bukan sekadar gaya. Dakwah bukan formalitas yang kaku. Dakwah adalah jalan yang hidup, aktif, dinamis, dan ekspansif. Kita menapakinya dengan tauhid sebagai pondasi, dengan cinta sebagai bekal, dengan orientasi hanya kepada Allah sebagai tujuan. Allah menuntun kita dengan firman-Nya dalam QS. Yusuf ayat 108:


قُلْ هَٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَـٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ


Katakanlah (Muhammad), “Inilah jalanku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin. Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.”


Ayat ini adalah cahaya bagi kita semua. Bahwa dakwah bukan sekadar mengajak, melainkan mengajak dengan bashirah—dengan ilmu yang kokoh, dengan pemahaman yang dalam, dengan kesabaran yang luas, dan dengan hati yang penuh kasih. Dakwah tidak boleh berhenti di retorika; ia harus hadir dalam teladan, dalam aktivitas, dalam cara kita berinteraksi dengan generasi muda.


Karena itu, kita perlu kreatif. Kita harus merancang aktivitas yang sesuai dengan dunia mereka. Kadang cukup dengan komunikasi ringan, memanggil mereka dengan sapaan akrab seperti “bro” atau “gue-loe,” agar mereka merasa kita hadir sebagai sahabat, bukan hanya guru. Kita bisa memulai dengan permainan sederhana, ice breaking yang membangkitkan tawa, atau diskusi tentang hal-hal ringan yang dekat dengan kehidupan mereka. Dari situ akan lahir ukhuwah, tumbuh kepercayaan, dan dakwah pun berjalan dengan alami.


Mentoring tidak harus selalu di ruang kelas. Sesekali bawa mereka ke taman, ke pantai, ke kafe, atau ke tempat yang nyaman. Islam tidak harus hadir dalam suasana kaku. Justru dengan ruang yang santai, pesan dakwah bisa lebih mudah menyentuh hati. Biarkan mereka bertanya, biarkan rasa penasaran muncul, lalu berikan jawaban dengan hikmah. Dengan cara ini, mereka akan datang kembali bukan karena dipaksa, melainkan karena rindu dan ingin tahu lebih banyak.


Ingatlah, generasi Z dan milenial sedang berada dalam fase ingin mencoba, ingin tahu, bahkan ingin melawan. Mereka cepat bosan, tapi mereka juga cepat terikat jika sudah merasa nyaman. Karena itu, tugas kita adalah sabar, menemani, dan mengarahkan. Kita harus lebih banyak mendengar daripada berbicara. Dengarkan cerita mereka tentang sekolah, pertemanan, bahkan tentang cinta dan pacaran. Dari situ kita bisa menyisipkan nilai Islam secara alami, tanpa menghakimi, tanpa memaksa.


Dakwah juga harus menghadirkan teladan nyata. Ceritakan kepada mereka kisah Mush‘ab bin Umair, pemuda yang tampan, kaya, terkenal, tetapi meninggalkan semua itu demi Islam. Atau kisah Ali bin Abi Thalib, pemuda pemberani yang mengorbankan dirinya demi Rasulullah. Dengan kisah-kisah itu, mereka akan melihat bahwa Islam bukan hanya tentang aturan, melainkan tentang perjuangan, keberanian, dan cinta yang sejati.


Dan jangan lupa, orientasi kita hanya satu: Allah. Kita tidak mencari pujian, tidak mencari popularitas. Amal dakwah kita adalah amal tauhid. Dasarnya adalah tauhid, muaranya adalah tauhid. Semua aktivitas mentoring, semua aktivitas tarbiyah, hanyalah wasilah untuk menguatkan hubungan mereka dengan Allah.


Generasi ini adalah calon pemimpin masa depan. Tahun 2050, umat Islam diprediksi menjadi mayoritas di muka bumi. Maka kita punya tanggung jawab menyiapkan mereka, agar mayoritas itu bukan hanya jumlah, tapi juga kualitas. Bukan hanya populasi, tapi juga kekuatan iman, ilmu, dan akhlak.


Maka mari kita isi mentoring ini dengan aktivitas yang penuh ruh, penuh cinta, dan penuh hikmah. Jadikan setiap pertemuan sebagai rumah yang hangat, tempat yang nyaman, dan ruang yang mendidik. Agar setiap anak muda yang hadir bisa berkata dalam hatinya: “Inilah tempatku. Inilah keluargaku. Inilah jalanku bersama Islam.”

Senin, 01 September 2025

YANG TEGAR DI JALAN DAKWAH

 



Cahyadi Takariawan 

Beberapa hari lalu saya bertemu seorang kader senior di Kabupaten Bogor. Ia sudah mengikuti forum pembinaan sejak sebelum era partai. 


Dirinya mengaku tidak pernah naik jenjang dalam proses pembinaan. Sejak awal mengaji sampai hari ini tetap berada di level yang sama. 


 Ia juga mengaku telah banyak berpindah-pindah murabbi. Namun kondisi itu tidak membuatnya bosan dan lemah dalam mengikuti pembinaan.


Ia menyatakan, dakwah itu bukan soal jenjang kekaderan. Bukan soal siapa yang menjadi pembina dalam mejelis UPA. Namun baginya, yang paling penting adalah soal konsistensi.


"Tidak peduli level berapa jenjang kekaderanmu. Tidak peduli siapa yang menjadi pembinamu. Tidak peduli seberapa sering berganti murabbi dan kelompok mengaji. Namun yang terpenting adalah seberapa konsisten kamu dalam menapaki jalan dakwah ini", ujarnya dengan mantap dan berapi-api.


Menyalaaaaa abangkuuuuh. Barakallahu fikum.

Sabtu, 30 Agustus 2025

Ko-Eksistensi Pewarisan Dakwah dan Tarbiyah



@Imam Maulana 


Tidak di ragukan lagi, bahwa regenerasi dalam gerakan (harakah) islamiyah dan pewarisan (taurist) dakwahnya dari generasi ke generasi dengan segala kekuatan, orisinalitas, universalitas dan pengalamannya mendorong terjadinya perubahan dalam arena aktifitas amal islami ke arah yang lebih baik.


Di hari ini mulai muncul 'kegundahan'  dan 'kegelisahan'  tentang bagaimana pewarisan nilai, ruh perjuangan, dan juga manhaj dakwah ini kepada generasi berikutnya. 


Mulai muncul problematika dimana anak anak biologis kader dakwah yang seharusnya menjadi penerus ideologis fikrah dakwah ini, justru malah berada di tempat yang berbeda dan tidak memiliki ketertarikan melanjutkan estafeta dakwah ini.


Ada beberapa catatan seputar urgensi pewarisan dan juga regenerasi dalam dakwah ini. Secara teoritis 'pewarisan' tidak akan berjalan mulus hanya dengan melalui buku dan risalah risalah. 


Banyak dari kader dakwah hanya menganggap cukup proses pewarisan itu melalui forum pekanan, penyampaian materi dan sejenisnya. Betul bahwa ini menjadi salah satu instrumen dalam proses pewarisan dakwah, namun agar pewarisan dakwah ini benar, maka mau tidak mau harus melalui mu'ayasyah (koeksistensi) antar setiap generasi.


Koeksistensi ini dapat di artikan sebagai hubungan yang di dasar kan pada kebersamaan dalam eksistensi, kepentingan, nasib bersama, dan hidup berdampingan. Karena itu keteladanan akan berpengaruh efektif di dalam perubahan  dan pewarisan.


Tanpa keteladanan, pewarisan nilai dakwah tidak akan berjalan mulus, diam diam para generasi pewaris itu melihat dan mengamati, baik perilaku, tutur kata, dan perbuatan generasi lama. Kalau tiada keteladanan, Lalu apa yang mau di wariskan ? 


Dengan adanya mu'ayasyah (koeksistensi) tadi maka regenerasi, kebijakan dan pengalaman para orang tua (generasi awal dakwah) akan menyatu dengan dinamika dan kekuatan pemuda (generasi hari ini) sehingga yang terlibat dalam dakwah ini akan mendapat perpaduan hikmah, kekuatan   dan kewajaran sehingga dakwah akan meningkat produktivitas nya dan berjalan cepat.


Setiap generasi akan mendapat pengalaman dan pelajaran baru pada zamannya, oleh karena itu sejatinya para generasi awal dakwah merupakan asét penting dalam proses pewarisan karena ia berupa pengalaman dan eksperimen dalam perjalanan dakwah ini.


Para generasi awal dakwah tak boleh merasa lelah dalam proses pewarisan dakwah ini, sebagai mana di ungkap dalam bait syair as Shafi Najri rahimahullah :

_Usiaku adalah ruh ku, bukan hitungan tahun ku. Esok ku bisa menjadi sembilan puluh. Atau menjadi tujuh puluh. Tapi Ruh ku tetap dua puluh._


Ada hal menarik ketika beberapa waktu lalu saya ikut rombongan safari dakwah dan up grading ke Yogyakarta, kebetulan saya ikut dalam bus 2 dari 3 bus yang berangkat. Saya kebagian duduk di bangku tengah, di bagian depan di isi para senior (sesepuh) kebanyakan ummahat, sementara di duduk d bagian belakang di isi anak anak muda sebagian besar tergabung dalam Garuda Keadilan..nampak sekali perbedaan mulai dari gerak, gaya (style), obrolan dan juga guyonan... 


Saya sempat merenung bagaimana menyatukan dua generasi ini ? Karena saya berada di tengah, maka dua kutub ini harus ada yang men-jembatani agar keduanya terjalin dalam kesatuan hati (ta'aluf), terikat dalam persenyawaan dan kecintaan yang tulus. 


Proses pewarisan dakwah ini harus terus berjalan karena musuh musuh dakwah gencar  melakukan tipu daya untuk mengeringkan sumber gerakan dakwah dari generasi baru, mereka ingin melahirkan jurang pemisah antar generasi agar pewaris menjadi mandeg dan terjadi penyimpangan dalam fikrah dakwahnya. Akan tetapi semua upaya itu akan mengalami kegagalan karena sebab dakwah Allah bukanlah dakwah individu. 


Dakwah ini adalah Nur Allah yang tidak dapat di padamkan oleh makhluk apapun.  Benar dah firman Allah "Mereka hendak memadamkan Nur Allah dengan mulut (perkataan) mereka, tetapi Allah tidak menghendaki nya kecuali menyempurnakan cahayanya, meskipun orang orang kafir tidak menyukai nya (At Taubah : 32)

Senin, 25 Agustus 2025

HIDUP MULIA SEBAGAI MU'MIN SEJATI

 


Dalam perjalanan hidup, kita sering dihadapkan pada banyak pilihan: ingin apa, mengejar apa, dan untuk siapa kita berjuang. Namun seorang muslim sejati memiliki prinsip hidup yang jelas, tegas, dan tidak tergoyahkan. Prinsip itu terangkum dalam lima kalimat agung ini :


*🌟 1. Allah Ghoyatuna (Allah Tujuanku)*


Setiap langkah hidup seorang mukmin bermuara pada satu tujuan: Allah ﷻ. Bukan pujian manusia yang dikejar, bukan kekayaan yang didewakan, bukan pula jabatan yang diagungkan. Segala amal, ibadah, dan kerja keras hanyalah untuk meraih ridha Allah.


Ketika Allah menjadi tujuan, hati menjadi tenang, langkah menjadi ringan, dan hidup penuh makna.


*🌟 2. Ar Rasul Qudwatuna (Rasulullah Teladanku)*


Hidup tanpa teladan akan kehilangan arah. Karena itu, seorang muslim meneladani sosok terbaik sepanjang zaman: Rasulullah Muhammad ﷺ.


Beliau teladan dalam kejujuran, kesabaran, kasih sayang, hingga ketegasan dalam menegakkan kebenaran. Dengan mencontoh Rasulullah, kita belajar menjadi pribadi yang santun namun tegas, rendah hati namun berwibawa, lembut namun penuh keberanian.


*🌟 3. Al Qur’an Dusturuna (Al Qur’an Pedomanku)*


Hidup tanpa pedoman ibarat kapal tanpa kompas. Al-Qur’an hadir sebagai kitab suci yang membimbing manusia dari kegelapan menuju cahaya.


Di dalamnya ada aturan hidup, nilai moral, tuntunan ibadah, hingga solusi masalah kehidupan. Seorang muslim tidak cukup hanya membacanya, tetapi juga mengamalkannya dalam setiap aspek kehidupan. Dengan Al-Qur’an, jalan hidup kita akan selalu terang.


*🌟 4. Al Jihad Sabiluna (Jihad Jalan Hidupku)*


Jihad bukan hanya pertempuran fisik. Ia adalah perjuangan total dalam menegakkan kebaikan.


Jihad melawan hawa nafsu, jihad menuntut ilmu, jihad melawan kebodohan dan kemiskinan, jihad menegakkan keadilan. Dan jika perlu jihad dengan mengangkat senjata seperti yang dilakukan para pejuang di Palestina.


Hidup seorang muslim sejati adalah hidup yang penuh perjuangan. Ia tidak menyerah pada keadaan, tetapi terus bergerak, berjuang, dan memberi manfaat bagi manusia.


*🌟 5. Al Mautu Fi Sabilillah Asma Amaniina (Mati di Jalan Allah Cita-Cita Tertinggiku)*


Setiap manusia pasti mati. Namun muslim sejati punya cita-cita besar : menutup hidup dengan kemuliaan.


Mati syahid adalah dambaan, karena ia adalah pintu menuju ampunan Allah dan surga-Nya. 


Mati syahid tidak selamanya mati di medan perang, tapi mati dalam kondisi beramal saleh, berjuang dan berdakwah dengan ikhlas, dan tetap teguh dalam kebenaran. 


Dengan itu, kematian bukan lagi menakutkan, melainkan pertemuan indah dengan Allah ﷻ.


Sekali lagi, prinsip hidup itu sederhana, namun sangat dalam :


Allah tujuan kita,

Rasulullah teladan kita,

Al-Qur’an pedoman kita,

Jihad perjuangan kita,

Mati syahid cita-cita kita.


Jika lima prinsip ini kita genggam erat, insya Allah hidup kita mulia, perjuangan kita berarti, dan akhir kita penuh kemuliaan.[] 



Minggu, 24 Agustus 2025

HARI-HARI BARU DALAM DAKWAH


@ Cahyadi Takariawan


Setiap hari adalah baru. Karena tidak pernah ada hari yang berulang. 


Pagi ini adalah pagi baru bagi kader dakwah seluruh Indonesia. Mereka bersiap mengikuti Musyawarah Wilayah di DPW masing-masing.


Kader dakwah hari ini berhimpun di markas-markas dakwah seluruh Indonesia. Tidak sabar ingin mendengar langsung arahan para pimpinan utama. 


Muswil adalah sebuah momentum kebersamaan. Momentum memperbarui tekat dan komitmen. Bahwa hidup dan mati kita adalah lillahi Ta'ala. Bersama Allah, untuk Allah. 


Bagi kader senior, sebagian besar waktu mereka sudah dicurahkan di jalan dakwah. Bersama kafilah ini. Mereka setia dalam barisan dakwah, di posisi manapun ditempatkan.


Bagi kader muda, ini adalah ajang kontribusi. Ajang pembuktian diri. Bahwa mereka siap menapaki jalan yang sudah dirintis para peletak dasar yang telah mendahului.


Hari ini adalah hari baru. Ada keyakinan dan optimisme. Ada doa dan pengharapan tak berkesudahan. Bahwa dakwah akan semakin berkembang, menjadi pelopor kebaikan, menebarkan Islam Rahmat an Lil 'alamin, dalam bingkai NKRI.


Selamat Muswil ke-6 untuk semua kader dakwah di seluruh wilayah.


Semoga Allah berkahi dan Allah ridhoi.

Jumat, 22 Agustus 2025

DAKWAH KITA DAN SENGITNYA PERTARUNGAN DI PASAR PENGARUH



Bayangkan kita berdiri di tengah sebuah pasar global yang sangat luas, riuh, dan tanpa henti. Ini bukan pasar biasa tempat barang diperjualbelikan, melainkan *”Pasar Pengaruh”*—sebuah arena digital dan sosial tempat miliaran ide, narasi, dan keyakinan bertarung sengit untuk *merebut satu komoditas* paling berharga di abad ke-21: *perhatian dan kepercayaan* manusia.


Di satu sudut, para raksasa hiburan menggelar pertunjukan gemerlap. Di sudut lain, para filsuf sekuler menawarkan resep kebahagiaan instan.


Di lorong-lorongnya, para *influencer gaya hidup* menjual mimpi kesempurnaan.


Di tengah hiruk pikuk inilah dakwah kita berada. Bukan lagi di atas mimbar yang sunyi dan dihormati secara eksklusif, melainkan sebagai salah satu suara di antara jutaan lainnya.


Di sinilah sebuah kutipan dari dunia bisnis modern terasa menampar sekaligus menyadarkan: "The Market will show no loyalty to our traditional ways of working. (Richard Susskind)". Pasar tidak akan menunjukkan loyalitas pada cara kerja kita yang tradisional.


*Pasar Pengaruh ini kejam* dan tidak sentimental. Ia tidak peduli pada sejarah panjang kita, pada keagungan masa lalu, atau pada *kenyamanan metode* yang telah kita warisi turun-temurun.


Ia hanya peduli pada satu hal: *relevansi saat ini*.


Pertanyaannya, siapkah dakwah kita untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga memenangkan *pertarungan pengaruh* di pasar yang sengit ini?


Jawabannya terletak pada keberanian kita untuk melakukan *transformasi mendasar* dalam cara kita berpikir dan bergerak.


*1. Mata Uang Baru Bernama Relevansi*


Di masa lalu, dakwah mungkin bisa berjalan dengan asumsi bahwa *umat akan datang mencari*. Kini, asumsi itu telah runtuh. "Cara kerja tradisional" yang mengandalkan otoritas formal dan komunikasi satu arah *tidak lagi memadai*.


Masyarakat, khususnya Gen Z, Gen Alpha dan milenial, adalah "konsumen" yang cerdas di Pasar Pengaruh. Mereka tidak akan "membeli" sebuah ide hanya karena ia dilabeli sebagai kebenaran.


Mereka akan bertanya: *"Apa relevansinya untuk hidupku?"*

Jika dakwah kita hanya membahas hal-hal yang jauh dari denyut nadi kehidupan mereka—jika kita berbicara tentang *apa yang seharusnya* sementara mereka bergulat dengan *kecemasan akibat media sosial*.


jika kita membahas fikih muamalah klasik sementara mereka terjerat pinjaman online—maka kita telah kehilangan mereka bahkan sebelum memulai. Pesan kita akan terasa seperti artefak museum: indah untuk dikenang, tetapi tidak fungsional untuk kehidupan sehari-hari.


*Relevansi adalah mata uang baru yang harus kita miliki.*


Ini menuntut para dai untuk menjadi pendengar yang empatik sebelum menjadi pembicara yang fasih.


Ia menuntut kita untuk memahami *Fiqh al-Waqi'* (pemahaman terhadap realitas kontemporer) sedalam pemahaman kita terhadap *Fiqh al-Ahkam* (hukum-hukum syariat).


Dakwah yang relevan *tidak menjawab pertanyaan* yang tidak pernah ditanyakan audiens; ia hadir sebagai oase di tengah gurun permasalahan yang nyata dan mereka rasakan.


*2. Inovasi Metode, Kemurnian Substansi*


Paradoks Suci

Ketakutan terbesar saat membahas perubahan dalam dakwah adalah kekhawatiran akan merusak kemurnian ajaran. Ini adalah kesalahpahaman yang fatal.


Kutipan di atas tidak mengajak kita *mengubah produk*, melainkan *cara kita mengemas dan mendistribusikannya.*


Substansi dakwah kita—Al-Qur'an dan As-Sunnah—adalah wahyu ilahi yang sempurna, abadi, dan tidak tersentuh perubahan.


Namun, metode penyampaiannya (uslub dan wasilah) adalah ranah ijtihad manusia yang harus terus beradaptasi.


Nabi Nuh a.s. berdakwah selama 950 tahun dengan metode yang sesuai pada zamannya.


Nabi Muhammad SAW datang di tengah kaum penyair ulung, maka mukjizat terbesarnya adalah Al-Qur'an, puncak keindahan sastra.


Para Walisongo menggunakan wayang dan gamelan untuk menyentuh hati masyarakat Jawa.


Mereka semua adalah inovator ulung pada masanya.

Maka, bertahan pada "cara kerja tradisional" secara kaku justru merupakan pengkhianatan terhadap semangat inovatif para pendahulu kita.


Hari ini, inovasi itu berarti mengubah mimbar statis menjadi podcast dinamis yang menemani pendengarnya di perjalanan. Mengubah lembaran kitab tebal menjadi utas mencerahkan di Twitter atau video pendek satu menit di TikTok yang mampu *memantik perenungan*.


Mengubah majelis taklim konvensional menjadi kursus online bersertifikat yang profesional dan interaktif.


Dakwah *harus merebut kembali posisinya* di garda depan teknologi dan kreativitas, bukan menjadi *pihak yang tertinggal dan gagap*.


*3. Bertarung dengan Ihsan di Medan Laga Ideologi*


Pasar Pengaruh adalah medan pertempuran. Kompetitor kita bukanlah sesama gerakan dakwah, melainkan gempuran ideologi materialisme, hedonisme, nihilisme, hingga ekstremisme yang dikemas dengan sangat menarik.


Mereka menggunakan production value jutaan dolar, riset pasar yang canggih, dan *strategi marketing yang agresif* untuk memenangkan hati dan pikiran.


Di tengah persaingan ini, *dakwah tidak bisa lagi tampil ala kadarnya. Konten yang dibuat dengan desain seadanya*, kualitas audio yang buruk, atau penyampaian yang monoton adalah *bentuk bunuh diri di pasar ini*.


Prinsip Ihsan (melakukan sesuatu dengan cara terbaik) harus menjadi standar operasi kita. Jika "lawan" kita menggunakan *sinematografi yang memukau*, maka konten dakwah kita pun harus mengejar keunggulan visual. Jika mereka menggunakan narasi dan storytelling yang menggugah emosi, maka kita harus menjadi pencerita terbaik, karena kita memiliki kisah-kisah terhebat dari Al-Qur'an dan sirah.


*Kita tidak bisa lagi menuntut loyalitas* dari audiens; kita harus meraihnya dengan menyajikan kebenaran Islam dalam kemasan terbaik yang bisa kita usahakan.


Ini *bukan tentang kemewahan*, tetapi tentang profesionalisme dan kesungguhan dalam menghargai pesan mulia yang kita emban.


*4. Dari Ritual Aktivitas Menuju Obsesi pada Dampak*


*"Cara kerja tradisional"* seringkali menjebak kita dalam metrik kesibukan: berapa banyak acara yang digelar, berapa ribu jamaah yang hadir, berapa banyak poster yang disebar di WAG.


Kita merasa telah berbuat banyak, tetapi kita jarang bertanya: *"Apa dampaknya?"*


Pasar tidak peduli pada kesibukan kita; ia hanya *merespons hasil*.


Sudah saatnya kita menggeser paradigma dari sekadar menjalankan ritual aktivitas menjadi sebuah obsesi pada dampak nyata.


Ukuran keberhasilan dakwah bukanlah hanya masjid yang penuh saat acara, melainkan masyarakat yang akhlaknya membaik setelah acara selesai, bahkan taraf hidup juga semakin membaik.


Bukan hanya jumlah followers di media sosial, melainkan jumlah pemuda yang terselamatkan dari insecure, anxiety, narkoba dan depresi.


Bukan hanya seberapa sering kita berteriak tentang kebenaran, tetapi *seberapa banyak hati yang bergetar* dan berubah karena sentuhan kebenaran itu.


Orientasi pada dampak ini menuntut kita untuk menjadi lebih strategis. Kita perlu *menggunakan data* untuk memahami audiens, melakukan *evaluasi program* secara berkala, dan *berani menghentikan program* yang tidak efektif meskipun *sudah menjadi "tradisi"*.


Amanah dakwah terlalu *berharga untuk disia-siakan* pada aktivitas yang *tidak menghasilkan perubahan transformatif* 


*5. Adaptasi atau Menjadi Relik Sejarah* 


Pertarungan di Pasar Pengaruh *tidak akan menunggu kita siap*. Ia terus bergerak dengan kecepatan eksponensial.


Bertahan pada cara kerja tradisional atas nama sentimentalitas atau kenyamanan adalah *resep pasti* untuk menjadi tidak relevan, menjadikan dakwah seperti sebuah relik sejarah yang hanya bisa *dikagumi di museum*, bukan menjadi *kekuatan hidup yang membentuk masa depan*.


Ini adalah panggilan mendesak bagi setiap individu dan lembaga yang memikul beban amanah dakwah.


Panggilan untuk menjadi pembelajar seumur hidup, untuk merangkul teknologi sebagai kawan, untuk memahami psikologi audiens modern, dan untuk menanamkan prinsip Ihsan dalam setiap karya.


Pilihan di hadapan kita sangat jelas: *beradaptasi dengan kecerdasan dan keberanian* untuk memenangkan masa depan, atau bertahan dalam kebekuan (frozen) masa lalu dan rela tergerus oleh zaman.


Jalan dakwah adalah *jalan para inovator dan pejuang*. Mari kita rebut kembali semangat itu dan *menangkan pertarungan di Pasar Pengaruh* demi menyebarkan rahmat bagi seluruh alam. Wallahul Musta’an 

Kamis, 21 Agustus 2025

SINERGI DAKWAH PROFESIONAL, KULTURAL DAN SRUKTURAL

 



Bila kita membaca sejarah Golkar, kita akan menemukan bahwa kekuatan Golkar ditopang oleh tiga pilar yang dikenal dengan pilar ABG, ABRI, Birokrasi dan Golkar. 


Ketika PKI mengalami penguatan yang signifikan, pada tahun menjelang kudeta G 30 S- PKI, yang kekuatan politik realnya melebihi kekuatannya saat pemilu 1955 yang menduduki rangking ke-4, para perwira AD di circle nya Suharto membentuk Sekber Golkar. 


Sekretariat Bersama Golongan Karya ini dibentuk sedikitnya oleh 61 organisasi yang tergabung dalam 7 KINO atau kelompok induk organisasi berdasarkan sifat atau jenis kekaryaannya. Diantaranya adalah Kosgoro, MKGR, Gakari, Soksi dan lainnya. 


Belakangan sejalan dengan semakin menguatnya posisi politik Golkar, tidak kurang ada 291 organisasi yang bergabung di dalamnya.

Maka dengan penguasaan yang kuat di semua sektor (sektor publik yaitu birokrat dan pejabat negara/pemerintahan, sektor privat seperti para pengusaha dan profesional, serta sektor ketiga seperti ormas, budayawan bahkan ulama) tak pelak Golkar, meskipun bukan partai, tetapi selalu memenangi pemilu dari sejak tahun 1971 sampai tahun 1997.


Mungkin dimasa yang akan datang tidak akan ada lagi partai politik yang sedigdaya Golkar pada masa orde Baru. Karena tidak ada yang bisa mengumpulkan kekuatan ABG dalam satu wadah.


Tetapi partai apapun harus melakukan deferensiasi rekrutmen massa nya menjadi lebih heterogen. Bila hanya mengandalkan ceruk homogen, dipastikan akan sulit menjadi lebih besar.


Maka meskipun saat reformasi, Golkar dan pak Harto, yang juga merupakan ketua dewan Pembina, dituding yang paling bertanggung jawab  terpuruknya kondisi bangsa, tetapi Golkar masih kuat dan berhasil bertahan di posisi nomor dua pada pemilu 1999. Tentu karena cengkeramannya terhadap tiga sektor diatas belum sepenuhnya lepas.


Belajar dari Golkar jaman awal sebelum reformasi penguatan pada kelompok profesional birokrat, maupun kelompok kultural seperti budayawan, pengusaha dan ulama menjadi sesuatu yang penting dan perlu. Selain tentunya penguatan pada kelompok struktural.


Selama ini, penguatan pada kelompok profesional dan struktural sudah dilakukan, tetapi untuk kelompok kultural belum mendapatkan perhatian serius. Padahal kelompok ini bila dikelola dengan serius bisa memberikan sumbangsih yang besar, karena ladang nya luas. 


Tetapi memang yang menggarap lahan ini harus tidak berbau struktural. Sebab bagaimanapun juga, struktural akan memiliki atau membuat sekat. Betapapun sekat itu mungkin setipis kulit ari tapi tetaplah itu sekat namanya.


Apa yang disebut masyarakat kultural pada hakikatnya adalah masyarakat multikultural, yaitu masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok budaya, etnis, agama, profesi dan tradisi yang berbeda-beda.


Para aktifis dakwah kultural lebih mungkin untuk bisa diterima oleh masyarakat multikultural tersebut. Karena para kulturalis bisa lebih leluasa mengenal nilai nilai rahmatan lil 'alamin. Sebab yang mereka dakwahkan adalah islamiyah qobla jamaiyah.


Oleh karena itu dalam penyusunan personil struktural ada baiknya personal yang berpotensi kultural tidak dilibatkan. Tidak dipaksa masuk!


Kemudian para personil potensial kultural dikelola dalam kluster sendiri sehingga suatu saat nanti akan menjadi senjata atau jurus simpanan. Bahkan jurus pamungkas. Seperti halnya yang dilakukan oleh Brama Kumbara dengan ajian "Lemah Lumpuh" yang menjadi senjata simpanan ketika menghadapi musuh yang sangat kuat. Wallahu a'lam[]Gaf



Sabtu, 16 Agustus 2025

Membentuk Kehidupan

 



Berikut adalah ringkasan per bab dari buku *_Ṣināʿat al-Ḥayāh_* (“Membentuk Kehidupan”) karya *Muhammad Ahmad ar-Rāshid*, yang disusun berdasarkan berbagai sumber ikhtisar dan bahasan online:



---


*Ringkasan Per Bab (berdasarkan struktur tematik yang terungkap secara umum)*


Bab 1: *Teori “Membentuk Kehidupan” (Ṣināʿat al-Ḥayāh)*


Menyatakan bahwa dakwah harus lebih dari sekadar aktivitas ritual—melainkan sebuah strategi luas yang memahami dinamika sosial, hubungan antar-manusia, dan cara mempengaruhi perjalanan zaman. Pendekatan ini mengundang refleksi bahwa dakwah perlu menyelaraskan pemahaman baru atas "hubungan vital" di masyarakat modern.



Bab 2: *Konsep Penguasaan Arus Hidup*


Menyampaikan pentingnya posisi strategis dakwah: bukan hanyut dalam arus (terbawa), maupun melawannya (terjungkang), tetapi lari bersama arus dengan keunggulan, dominasi, dan keseimbangan.



Bab 3: *Prinsip Loyalitas dan Kepemimpinan (Wala’)*


Menekankan bahwa “loyalitas” adalah hukum alam dalam kehidupan: figur yang mampu mengumpulkan pengikut sesuai kecakapan dan penguasaan ideologisnya akan mengendalikan arus gerak sosial. Dakwah yang efektif memerlukan daya tarik kuat dan kemampuan membangun loyalitas.



Bab 4: *Ketepatan, Kecepatan, dan Seni Dakwah*


Hidup adalah “seni” yang butuh keahlian. Dakwah mesti dijalankan dengan ketepatan (*_precision_*) dan kecepatan (*_speed_*): kunci utama agar bisa menyusup ke ruang pengaruh tanpa terjebak dalam rutinitas.



Bab 5: *Iman yang Hidup dan Dinamis*


Menegaskan bahwa iman bukanlah prasasti pasif, melainkan kekuatan aktif yang memengaruhi dunia. Segala sesuatu berjalan dalam keseimbangan Allah—iman mendatangkan kekuatan, penghayatan terhadap keimanan menghasilkan perubahan nyata.



Bab 6: *Keberlanjutan Keadilan—Kemenangan bagi Orang Baik*


Allah menjaga keadilan. Siapa saja yang berjalan di jalan lurus, meski menghadapi tekanan, tetap akan diberi jalan keluar oleh Allah. Temanya adalah optimisme berbasis keimanan terhadap pertolongan dan penegakan kebenaran.



Bab 7: *“Kontrol Masa Depan”—Visi & Indikator Ilahi*


Membahas cara-cara intuisi dan petunjuk ilahiah seperti mimpi saleh, inspiration, dan firasah—sebagai tanda atau “penunjuk” untuk arah dakwah. Dakwah itu merencanakan masa depan berdasarkan petunjuk iman.



Bab 8: *Efektivitas dengan Sinergi Strategis*


Menyampaikan bahwa dakwah efektif muncul melalui penggabungan loyalitas, kontrol terhadap dinamika kehidupan, dan visi strategis. Hasilnya: “membentuk kehidupan” sesuai harapan Allah melalui usaha, kreativitas, dan sinergi.




---


Aspek Aplikatif untuk Konteks Dakwah Modern


*Poin Utama & Aplikasi dalam Dakwah Modern*


*Strategi Peradaban Holistik*: 

Integrasikan dakwah ke dalam literasi digital, ekonomi syariah, seni & budaya Islam, dan teknologi modern—agar tidak terpisah dari mode hidup kekinian.


*Menguasai Tren, bukan Melawan*:

Gunakan media sosial, podcast, dan komunitas online sebagai "arus" dominan dakwah masa kini—tiru, lalu dominasi dengan konten apik.


*Membangun Loyalitas (Wala’)*: 

Bangun komunitas dakwah yang solid dan empatik; jadilah figur inspiratif yang dipercaya, bukan otoriter.


*Precision & Agility*:

Respons cepat terhadap isu umat—misalnya, konten singkat tanggap situasi (infografis, reels), perkuat narasi dengan data dan hikmah.


*Iman Sebagai Energi Perubahan*:

Tonjolkan kisah nyata perubahan spiritual yang berdampak, bukan klaim verbal tanpa bukti—membangun iman yang konkret.


*Optimisme Kekinian*:

Hadapi tantangan zaman (seperti sekularisme, krisis moral) dengan sikap sehat, bukan ketakutan; ceritakan keberhasilan kecil sebagai inspirasi.


*"Kontrol Masa Depan" Visioner*:

Rancang roadmap program dakwah—pelatihan kepemimpinan, generasi muda, serta penggunaan teknologi—dengan indikator spiritual dan sosial.


*Sinergi Kolaboratif*:

Bentuk kolaborasi antardisiplin: misalnya, dai + desainer grafis + programmer + pendidik; sehingga dakwah semakin kreatif & efisien.



---


*Penutup*


Buku *_Ṣināʿat al-Ḥayāh_* menghadirkan perspektif strategis, visioner, dan kreatif dalam dakwah—melampaui pendekatan lama yang reaktif. Dalam era digital dan masyarakat kompleks seperti sekarang, aplikasinya sangat relevan: selaras dengan kemajuan, berbasis nilai, dan membentuk peradaban.



Jumat, 15 Agustus 2025

SETIAP ORANG MENJAGA POS PERJUANGAN DAN JADILAH SINGA SAAT TIBA GILIRANMU

 



Oleh: Adham Syarqawi


Suatu hari, Umar bin Khattab melewati masjid dan mendapati Hassan bin Tsabit sedang membaca puisi. Umar menegurnya, bukan karena ia melarang puisi atau meremehkan nilai para penyair. Bagaimana mungkin, sedangkan ia pernah berkata: Ambillah bahasamu dari Kitab Tuhanmu dan puisi-puisi kuno kalian! 


Larangannya itu hanya untuk menghormati nilai masjid dan mensucikannya dari dibacakan sesuatu selain Al-Qur'an dan hadits Nabi saw. 


Tetapi Hassan bin Tsabit ra berkata kepadanya: Wahai Amirul Mukminin, aku pernah membaca syair di masjid,  sedangkan saat itu ada orang yang lebih baik darimu! 


Kemudian Hassan bin Tsabit menoleh ke arah Abu Hurairah ra seraya berkata kepadanya: Wahai Abu Hurairah, tidakkah kamu pernah mendengar Rasulullah saw bersabda kepadaku: "Wahai Hassan, jawablah untukku. Ya Allah, dukunglah dia dengan Roh Kudus?!"


Abu Hurairah ra menjawab: "Ya."


Kemudian Umar ra berlalu meninggalkannya! 


Sekiranya aku seorang ulama hadits dan ingin menghimpun hadits-hadits tentang keutamaan Umar bin Khattab ra, pasti aku akan memasukkan hadits ini ke dalam keutamaannya. 


Keutamaan seseorang bukan karena selalu benar, tetapi karena tetap berpegang pada kebenaran jika menyadari dirinya bersalah! 


Jawablah aku! 

Inilah inti persoalannya, dan inti masalahnya! 


Agama ini, yang dahulu membutuhkan pedang Khalid bin Walid ra ketika pertempuran berkecamuk, juga membutuhkan puisi-puisi Hassan bin Tsabit ra ketika pertempuran pemikiran berkecamuk.


Khalid tidak bisa menggantikan Hassan, dan Hassan tidak dapat menggantikan Khalid! 


Tuhan Yang Maha Esa telah menempatkan kita masing-masing di suatu pos perjuangan, dan kita harus menjaga pos perjuangan ini dengan sekuat tenaga, tanpa meremehkan pos perjuangan yang dijaga orang lain, dan tanpa menyombongkan diri bahwa pos perjuangannya lebih penting daripada pos perjuangan orang lain! 


Harta Utsman bin Affan ra lebih utama pada saat Perang Tabuk daripada bacaan Ubay bin Ka’b ra. Tetapi ketika Al-Quran dihimpun dalam Mushhaf, bacaan Ubay bin Ka’b ra lebih utama daripada harta Utsman ra, pedang Khalid ra, dan syair-syair Hassan ra. Jadilah singa saat giliranmu tiba! 


Pedang Ali bin Abi Thalib ra ketika berhadapan dengan Marhab di Perang Khandaq, sama nilainya dengan harta Abu Bakar ra yang digunakannya untuk memerdekakan Bilal. Pedang Ali tidak mampu memerdekakan seorang budak Muslim dari belenggunya, sebagaimana harta Abu Bakar ra tidak mampu membunuh Marhab!


Agama ini harus diperjuangkan secara kolaboratif oleh semua pengikutnya, tanpa berpecahbelah atau saling meremehkan pihak lain! 


Begitulah keadaan kaum Muslimin saat ini seharusnya: Ada banyak pos perjuangan, dan masing-masing dari kita menjaga pos perjuangannya! 


Seorang ibu di rumah adalah penjaga pos perjuangan, karena membentuk anak-anak yang tangguh menjadi tugas yang hebat!  


Guru juga penjaga pos perjuangan di sekolah, karena bangsa yang bodoh pasti dipimpin orang lain dan tidak memimpin! 


Mujahid juga penjaga pos perjuangan yang tidak dapat dijaga oleh imam masjid. Imam masjid juga penjaga pos perjuangan yang tidak dapat dijaga oleh saudagar kaya. 


Sedekah, infak, dan bantuan seorang saudagar kaya kepada masyarakat tidak kalah pentingnya dibandingkan peran seorang mujahid yang mengorbankan darahnya dan seorang imam masjid yang membimbing masyarakat kepada Allah! 


Lihatlah di mana Allah menempatkanmu. Itulah pos perjuanganmu yang harus kamu jaga dan perjuangkan. 


Bila setiap kita telah melakukan bagian kewajibannya, pasti umat ini mampu meraih kembali kejayaannya! 


Istri seorang raja jatuh sakit, lalu para dokter menyarankan agar dia mandi dengan susu setiap hari. Sang raja bertanya-tanya bagaimana caranya mengisi bak mandi dengan susu setiap hari? 


Kemudian menterinya menyarankan agar setiap gembala di kerajaan membawa seember susu pada malam hari dan menuangkannya ke dalam bak mandi. 


Dengan cara itu masalahnya akan terpecahkan! 


Setiap gembala berkata pada dirinya sendiri, jika aku menuangkan seember air, air itu akan hilang di antara ember-ember susu, dan raja tidak akan mengetahuinya. 


Keesokan harinya, sang raja menemukan bak mandi itu penuh air!


Tidak setiap orang memulai dari dirinya sendiri. Mereka menunggu orang lain melakukan bagian mereka. Secara singkat, itulah keadaan kita saat ini! (ars)

Rabu, 13 Agustus 2025

RIJAL, MEREKA YANG MENEPATI JANJI

 



مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ


“Di antara orang-orang beriman itu, ada ‘rijāl’ yang benar-benar menepati janjinya kepada Allah.” (Al-Ahzab: 23)


Ada kata yang tajam namun tak melukai. Ada istilah yang menampar, namun menyadarkan. Salah satunya adalah kata Rijal dalam ayat di atas.


Bukan sekadar bentuk jamak dari “rajul” (laki-laki), “rijāl” dalam ayat ini menyimpan kedalaman makna yang mencengangkan. Bukan hanya menyebut jenis kelamin, tapi lebih dalam: menyebut karakter, keberanian dan kesetiaan.


Kita sampai di zaman di mana suara begitu mudah dicipta, tetapi langkah nyata menjadi langka. Di sinilah Allah menegaskan, di antara para mukmin itu, ada yang benar-benar menepati janjinya.


Mereka bukan yang paling lantang berbicara. Tapi mereka adalah para rijāl:


Mereka yang diam-diam bergerak.

Mereka yang berjalan pelan namun pasti.

Mereka yang tak hanya mengerti, tapi memilih untuk bertindak.


**Rijal: Bukan Sekadar Gender**  

Dalam kajian balaghah, ayat ini begitu indah. Kalimat dibuka dengan “minalmu’minin”—menyiratkan bahwa tidak semua mukmin adalah *rijāl*. Ini adalah penyaringan. *Crême de la crème*. Terbaik di antara yang terbaik.  


Gradasi: manusia → mukmin → *rijāl*.  

Hanya sebagian kecil dari orang beriman yang naik kelas menjadi *rijāl*.  


Kata *Rijal* berasal dari akar kata **ر ج ل** (kaki). Balaghah menyiratkan bahwa seorang *Rijal* adalah mereka yang menjadi “**penopang**”. Seperti kaki yang menanggung beban tubuh, mereka menanggung beban risalah dakwah. Mereka berjalan, menapak, bergerak.  


> ***Rijāl*** adalah mereka yang **aktif**, bukan pasif. Yang menopang, bukan yang ditopang. Mereka bukan hanya paham ayat, tapi berusaha keras menjadi bagian dari ayat itu sendiri.  


Tak salah jika dikatakan:  

*“Setiap rijāl pasti mukmin, tapi tidak setiap mukmin adalah rijāl.”*  


Dalam konteks ini, perempuan pun bisa menjadi *rijāl*. Karena ini bukan bicara kelamin, ini bicara **kualitas**.  


> **مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ**  

> *“Di antara orang-orang beriman itu, ada ‘rijāl’ yang benar-benar menepati janjinya kepada Allah.”* (QS. Al-Ahzab: 23)  


Ada kata yang tajam namun tak melukai. Ada istilah yang menampar, namun menyadarkan. Salah satunya adalah kata *Rijal* dalam ayat di atas.  


Bukan sekadar bentuk jamak dari “rajul” (laki-laki), “*rijāl*” dalam ayat ini menyimpan kedalaman makna yang mencengangkan. Bukan hanya menyebut jenis kelamin, tapi lebih dalam: menyebut **karakter, keberanian, dan kesetiaan**.  


Kita sampai di zaman di mana suara begitu mudah dicipta, tetapi langkah nyata menjadi langka. Di sinilah Allah menegaskan: di antara para mukmin itu, ada yang benar-benar menepati janjinya.  


Mereka bukan yang paling lantang berbicara. Tapi mereka adalah para *rijāl*:  

- Mereka yang **diam-diam bergerak**.  

- Mereka yang **berjalan pelan namun pasti**.  

- Mereka yang **tak hanya mengerti, tapi memilih bertindak**.  


Umi Ammarah yang melindungi Nabi dengan pedang saat Uhud adalah *rijāl*. Bunda Khadjiah yang menopang dakwah Rasul dengan harta dan hati adalah *rijāl*. Asma’ binti Abu Bakar yang menyuplai logistik saat hijrah juga termasuk di antaranya.  


---


Golongan Rijal: Syahid dan Istiqomah

Allah menyebutkan dalam ayat:  

> **فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ**  

> *“Di antara mereka ada yang telah menunaikan janjinya (syahid), dan ada pula yang menunggu.”*  


Dua jalur yang sama mulia:  

1. **Yang syahid**:  

   Seperti Anas bin An-Nadhr—sahabat Nabi yang menyesal karena tak ikut Perang Badar, lalu menebusnya di Uhud dengan keberanian luar biasa. Ia berkata:  

   > *“Aku mencium bau surga dari balik bukit Uhud.”*  


   Ia menyerbu sendirian. Tubuhnya ditemukan penuh luka: **80+ sabetan pedang dan tusukan tombak**. Wajahnya tak dikenali—hanya dikenali dari ujung jarinya oleh saudarinya. Itulah ***rijāl***. Menepati janji bukan dengan lisan, tapi dengan nyawa.  


2. **Yang *istiqomah***:  

   Seperti **Anas bin Malik**—sahabat yang panjang umur, hidup dari masa Nabi hingga *Khulafaur Rasyidin*. Ia tak mati syahid, tapi **menjaga janji seumur hidupnya**.  


*Rijāl* tidak selalu berakhir di medan perang. Tapi mereka semua—syahid maupun sabar menanti—punya satu kesamaan: **Mereka setia. Tidak berubah arah. Menepati janji.**  


---


**Tentang Janji itu...**  

Janji kepada Allah bukan sekadar lafaz yang diucapkan sambil meneteskan air mata di pengajian, *daurah*, atau retret rohani.  


Janji kepada Allah adalah **kontrak spiritual yang mengikat**. Dimulai sejak syahadat pertama: *“Asyhadu alla ilaha illallah...”*  


Setiap janji akan diuji. Allah tidak meminta sempurna, tapi menuntut **kesetiaan**. Sayangnya, banyak yang lupa. Banyak yang menjadikan panjang umur sebagai *kelonggaran*, bukan *peluang*.  


> Padahal siapa tahu: **panjang umur itu ujian lanjutan**, karena kita belum lulus ujian sebelumnya.  

>  

> Jangan sampai kita hidup lama, tapi jadi **beban dakwah**, bukan penopangnya.  


---


Dua Takdir: Balasan Rijal dan Munafik

Ayat ini dilanjutkan dengan kontras tajam:  

> Allah menjanjikan pahala besar bagi yang jujur menepati janji. Sebaliknya, orang munafik bisa Dia azab jika Ia kehendaki.  


Dua ujung jalan ini:  

1. Mereka yang **jujur**,  

2. Mereka yang **munafik**.  


Yang menarik, ayat ini tidak menyebut “fasiq”, “kāfir”, atau “zālim”, tapi **“munafiq”**.  


> Sebab kemunafikan adalah **lawan kejujuran dalam janji**. Bukan tentang keyakinan di luar, tapi **pengkhianatan di dalam**.  


---


**Janji itu Berat**  

> *“Barangsiapa tidak pernah bercita-cita mati syahid, ia mati dalam cabang kemunafikan.”* (HR. Muslim)  


Bukan berarti semua harus jadi *syuhada*. Tapi setiap mukmin harus punya **tekad itu**. Harus ada kerinduan menepati janji, meski menuntut jiwa.  


> **Lebih buruk dari gagal menepati janji adalah tidak peduli padanya.**  

>  

> Di zaman yang "memiskinkan tindakan", para *rijāl* justru menjadikan janji pada Allah sebagai **misi seumur hidup**.  


---


**Menjadi Rijal di Zaman Ini**  

Medan tempur kita kini bukan Uhud atau Khandaq. Tapi kita tetap dalam perang: melawan **kesombongan, ketidakpedulian, kemalasan, kebodohan, godaan dunia, dan pengabaian dakwah**.  


Kita bisa jadi ***rijāl*** dengan:  

- ***Istiqomah*** di jalan dakwah.  

- Sabar membina keluarga.  

- Jujur dalam bekerja.  

- Sungguh-sungguh memperjuangkan kebenaran.  


> ***Rijāl*** bukan selalu tokoh besar. Ia bisa:  

> - Ayah yang **tetap shalat meski lelah**.  

> - Ibu yang **tak lelah mendidik anak**.  

> - Aktivis yang **tak berhenti menulis kebenaran**.  

>  

> **Bukan seberapa keras kita teriak, tapi seberapa teguh kita menapak.**  


---


**Satu Jalur dengan Para Rijal**  

Kita bukan Abu Bakar atau Umar. Tapi kita bisa berada di **jalur yang sama**:  

> Jalur para penepati janji.  

> Jalur ***rijāl***.  

> Jalur mereka yang hidup **bukan untuk diri sendiri, tapi untuk amanah Islam**.  


> Kalaupun tak bisa syahid, setidaknya kita **sabar**.  

> Kalaupun tak bisa tampil di depan, setidaknya **kita dukung dari belakang**.  

> Jadilah seperti **kaki**—tak banyak bicara, tapi **menopang perjuangan**.  


---


 **Jangan Hanya Jadi Penonton Zaman**  

Setiap zaman punya ***rijāl***-nya.  

Pertanyaannya: **apakah kita termasuk di antaranya?**  


> Jangan hanya hidup. **Tegakkan hidup.**  

> Jangan hanya bernapas. **Hembuskan ruh penggerak.**  

> Jangan hanya tahu ayat. **Jadilah bagian dari ayat itu.**  

>  

> Kelak, yang dikenang bukan yang paling keras bersuara, tapi yang paling **jujur menapak lalu melangkah**.

Kedudukan Tarbiyah Di Jalan Dakwah

 


Syaikh Musthafa Masyhur Rahimahullah berkata:


لقد أثبتت الأحداث والأيام أنه بقدر الاهتمام بالتربية تتحقق الأصالة للحركة، واستمراريتها ونموها، ويكون التلاحم بين الأفراد ووحدة الصف، وعكس ذلك إذا أهمل جانب التربية أو حدث تقصير فيه ؛ يظهر الضعف والخلخلة في الصف، ويبرز الخلاف والفرقة، ويتضائل التعاون ويقل الإنتاج.


_“Peristiwa-peristiwa dan hari-hari telah membuktikan bahwa sejauh mana perhatian terhadap tarbiyah, maka akan terwujud orisinalitas dalam gerakan, keberlanjutannya, dan pertumbuhannya. Juga akan tercipta keterpaduan di antara individu serta kesatuan barisan. Sebaliknya, apabila aspek tarbiyah diabaikan atau terjadi kelalaian di dalamnya, maka akan tampak kelemahan dan keretakan dalam barisan, muncul perpecahan dan perselisihan, semangat kerja sama melemah, dan produktivitas menurun.”_


*(Al Ustadz Musthafa Masyhur, _Al Qudwah 'Ala Thariqid Da'wah_ -Zaadus Saairiin)*



Minggu, 10 Agustus 2025

Riba .... Dikenal Untuk Dijauhi

 




‘Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu berkata:


من اتجر قبل أن يتفقه ارتطم في الربا ثم ارتطم ثم ارتطم


_Barang siapa yang berbisnis namun belum memahami ilmunya, maka dia akan terjerumus kepada riba, terjerumus, dan terus terjerumus._ *(Imam Muhammad Khathib Asy Syarbini, Mughni Muhtaj, 2/22)*


*I.  Definisi*


*A.  Secara Bahasa:*


Riba diambil dari kata rabaa – ربا, tertulis dalam kitab Lisanul ‘Arab:


( ربا ) رَبا الشيءُ يَرْبُو رُبُوّاً ورِباءً زاد ونما وأَرْبَيْته نَمَّيته


_Raba asy-sya’yu yarbu rubuwan wa riba’an_: bertambah dan berkembang.


_Wa arbaituhu:_ aku menumbuhkannya / membuatnya berkembang. *(Syaikh Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 3/1572. Darul Ma’arif)*


  Allah  ﷻ  berfirman:


ويُرْبي الصدَقات


_Dan Dia (Allah) menyuburkan sedekah ..._ (QS. Al Baqarah: 276)


*B.  Secara Syariat:*


Secara syariat definisinya tergantung jenis ribanya. Secara umum ada tiga jenis riba.


*1. Riba Qardh*, riba pada pinjaman, yaitu akad adanya tambahan pada pengembali utang. Contohnya: bunga pada pinjol, bank keliling, dan pada pinjaman pada bank konvensional.


Syaikh Ali Ash Shabuni mengatakan:


زيادة على أصل المال يأخذها الدائن من المدين


_Tambahan atas harta pokok yang diambil oleh pemberi utang (pinjaman) kepada yang berutang._ *(Shafwatut Tafasir, 1/143)*


Syaikh Wahbah az Zuhaili dalam kitab Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu , Beliau membuat Sub Bab khusus berjudul Fawaidul Mashaarif (Bunga Bank), Beliau menyatakan:


وإن مضار الربا في فوائد البنوك متحققة تماماً، وهي حرام حرام حرام كالربا وإثمها كإثمه


_Bahaya riba pada bunga bank adalah sangat jelas, dan itu HARAM, HARAM, HARAM, sebagaimana riba, dan dosanya pun dosa riba._ (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 5/3745)


Fatwa serupa juga dari lembaga keulamaan seperti MUI, Majma' Fiqih Al Islami, Lajnah Daimah, Darul Ifta' Jordan,  dll. 



*2. Riba Fadhl*, yaitu pertukaran barang atau uang dengan yang sejenisnya, dengan nilai yang berbeda dan dilakukan di waktu yang bersamaan.


Syaikh Sayyid Sabiq menjelaskan:



وربا الفضل وهو بيع النقود بالنقود أو الطعام بالطعام مع الزيادة وهو محرم بالسنة والاجماع



_Riba Fadhl adalah jual beli uang dengan uang, atau makanan dengan makanan dibarengi dengan TAMBAHAN, hal itu diharamkan berdasarkan As Sunnah dan Ijma’._ *(Fiqhus Sunnah, 3/163, Mausu’ah al Fiqh al Islami, 3/472)*



Syaikh Muhammad bin Ibrahim at Tuwaijiri mengatakan:




وهو بيع المال الربوي بجنسه متفاضلاً كأن يبيعه جراماً من الذهب بجرامين منه مع التسليم في الحال



_Jual beli harta ribawi yang sejenis dengan memberikan kelebihan, misalnya jual antara 1 gram emas dengan 2 gram, yang diterimanya saat itu juga._ *(Mausu’ah al Fiqh al Islami, 3/480)*


*3. Riba Nasi'ah*


Syaikh Sa’diy Abu Habib berkata tentang riba nasi’ah:


هو الزيادة المشروطة التي يأخذها الدائن من المدين نظير التأجيل.


_Yaitu tambahan yang disyaratkan (diakadkan) dan diambil oleh si pemberi utang kepada yang berutang jika terjadi penundaan pembayaran._  *(Al Qamus Al Fiqhiy, Hal. 144)*


Syaikh Abdurrahman Al Juzairiy berkata: 


لا خلاف بين أئمة المسلمين في تحريم ربا النسيئة فهو كبيرة من الكبائر بلا نزاع وقد ثبت ذلك بكتاب الله تعالى وسنة رسوله وإجماع المسلمين


_Tidak ada perbedaan pendapat diantara para imam kaum muslimin dalam haramnya riba nasi’ah. Itu adalah di antara dosa besar, tanpa ada perdebatan. Hal itu telah ditegaskan dalam Al Quran dan As Sunnah dan ijma’ kaum muslimin._  *( _Al Fiqhu ‘Alal Madzahib Al Arba’ah_, 2/172)*


*II.  Hukumnya*


Hukum riba adalah haram berdasarkan Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’.


*A.  Dalam Al Quran:*


Allah ﷻ berfirman:


وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا


_Dan Allah telah halalkan jual beli dan mengharamkan riba._ (QS. Al Baqarah: 275)


Ayat lainnya:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ


_“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”_ (QS. Al Baqarah: 278)


Ayat lainnya:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا


_“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba…”_ (QS. Ali ‘Imran: 130)


*B.  Dalam As sunnah*


Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:


اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا هُنَّ قَالَ  ... وَأَكْلُ الرِّبَا ... 


_“Jauhilah oleh kalian tujuh hal yang membinasakan.” Mereka bertanya: “Apa saja itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: (Salah satunya) .. memakan riba .._ *(HR. Al Bukhari No. 2766, Muslim No. 89)*


  Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:


لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه وقال هم سواء


  Rasulullah ﷺ melaknat pemakan riba, yang memberinya, pencatatnya, dan dua  saksinya. Beliau berkata: semua sama. (HR. Muslim No. 1598)


  Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:


هذا تصريح بتحريم كتابة المبايعة بين المترابيين والشهادة عليهما وفيه تحريم الاعانة على الباطل والله أعلم 


_Ini merupakan penjelasan keharaman penulisan transaksi antara para pelaku riba, juga menjadi saksinya, dan dalam hadits ini terdapat pengharaman pertolongan terhadap kebatilan. Wallahu A’lam._ (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 11/26)



*III. Kecaman Terhadap Riba dan Pelakunya*


*A. Seperti Orang kerasukan syetan*


Allah ﷻ berfirman:


الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ


_Orang-orang yang makan (mengambil) riba  tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila._ (QS. Al Baqarah : 275)


Kondisi yang digambarkan dalam ayat ini, menurut para mufassir seperti Abdullah bin Mas’ud, Muqatil bin Hayyan, dan lainnya, adalah gambaran di hari kiamat nanti. *(Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/708)*


Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan:


آكل الربا يبعث يوم القيامة مجنونا يُخْنَق


_Para pemakan riba dibangkitkan pada hari kiamat nanti dalam keadaan gila dan tercekik._ *(Ibid)*


*B. Neraka Tempatnya Bagi Yang  Terus-Menerus Mengambil Riba*


Allah ﷻ berfirman:


وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ


_Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya._ (QS. Al Baqarah: 275)


*C. Allah ﷻ dan Rasulullah ﷺ Proklamirkan Perang Kepada Pelaku Riba*


Allah ﷻ berfirman:


فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ


_Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya._ (QS. Al Baqarah: 279)


Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berkata:


يقال يوم القيامة لآكل الربا: خذ سلاحك للحرب


_Dikatakan kepada pemakan riba pada hari kiamat nanti: “Ambil senjatamu untuk berperang.”_ *(Ibid)*


 Ar Rabi’ bin Anas berkata:

أوعد الآكلَ الرّبا بالقتل


_Allah telah mengancam  pemakan riba dengan peperangan._ *(Tafsir Ath Thabari, 6/26)*


*D. Dosanya Melebihi 36 kali zina*


Dari Abdullah bin Hanzhalah Radhilallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:


دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ ، أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً


_Satu Dirham yang dimakan seseorang dan dia tahu itu adalah riba, itu lebih besar dosanya dibanding 36 kali zina._ *(HR. Ahmad No. 21957)*


 Para ulama berbeda tentang keshahihan hadits ini. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: dhaif, yang benar adalah ini ucapan Ka’ab Al Ahbar, bukan ucapan Nabi ﷺ. *(Selengkapnya lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 21956)*


Sementara Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam beberapa kitabnya. *(Lihat Ghayatul Maram No. 172, Shahih At Targhib wat Tarhib No. 1855, Misykah Al Mashabih No. 2825)*


*E. Dosa minimal seperti menikahi/menzinai  ibunya sendiri*


Dari Abdullah bin Mas’d Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:


الرِّبَا ثَلَاثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ، وَإِنَّ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ


_Riba adalah salah satu 73 pintu dosa, dan paling ringan adalah seperti menikahi ibunya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah seorang muslim yang menciderai kehormatan saudaranya._  *(HR. Al Baihaqi, Syu’abul Iman No. 5131. Imam Al Baihaqi berkata: isnadnya shahih. Al Hakim berkata: shahih sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim. Lihat Al Mustadrak No. 2259)*


*F. Riba Penyebab Turunnya Bencana*


Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi ﷺ bersabda:


 إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ حَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ كِتَابَ اللهِ


_Jika zina dan riba sudah muncul di sebuah negeri maka mereka telah menghalalkan siksa Allah ﷻ._  *(HR. Al Baihaqi, Syu’abul Iman No. 5416. Al Hakim, Al Mustadrak No. 2261, kata Al Hakim: shahihul isnad. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 679)*


Demikian. Wallahu A'lam 


Wa Shalallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam




KEPEMIMPINAN YANG HADIR


Oleh: Aunur Rafiq Saleh


  ۚ وَقَا لَ  مُوْسٰى  لِاَ خِيْهِ  هٰرُوْنَ  اخْلُفْنِيْ  فِيْ  قَوْمِيْ  وَاَ صْلِحْ  وَلَا  تَتَّبِعْ  سَبِيْلَ  الْمُفْسِدِيْنَ


"Dan Musa berkata kepada saudaranya (yaitu) Harun, Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah (dirimu dan kaummu), dan janganlah engkau mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al-A'raf: 142)



Ayat ini mengajarkan betapa pentingnya kehadiran pemimpin dan kepemimpinan yang hadir.


Kehadiran pemimpin secara fisik di tengah masyarakat yang dipimpinnya sangat penting. Saking pentingnyanya bila berhalangan hadir atau bepergian maka ia harus menunjuk wakilnya agar kehadirannya tetap dirasakan. Kehadirannya atau kehadiran wakilnya menandakan kepemimpinan tidak mengalami kekosongan. Karena kekosongan kepemimpinan sangat berbahaya, bisa mengundang reaksi dan kesan negatif. Ketika Nabi saw wafat, para sahabat tidak segera menguburkan jenazahnya yang mulia, tetapi mengutamakan pemilihan pengganti (khalifah)-nya terlebih dahulu. Ini menunjukkan pentingnya kehadiran kepemimpinan dan tidak boleh kosong walau sesaat.


Tentu bukan hanya kehadiran fisik seorang pemimpin yang dinantikan, tetapi yang lebih penting lagi adalah kehadiran kepemimpinannya yang tidak berkaitan dengan fisik. Karena itu, Nabi Musa as berpesan kepada Nabi Harun as yang sedang menggantikan kepemimpinannya, "dan perbaikilah (dirimu dan kaummu), dan janganlah engkau mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan". 


Pesan "dan perbaikilah" mendapat perhatian utama agar pemimpin yang baru menggantikan tetap melanjutkan missi ishlah (reformatif), rekonsiliatif dan tidak terjebak pada kebijakan yang justru menghentikan proses ishlah (perbaikan) dan rekonsiliasi. 


Kehadiran kepemimpinan bisa diwujudkan melalui khithab qiyadi (pesan-pesan pemimpin) yang disampaikan secara rutin sehingga kehadirannya secara fikri senantiasa dirasakan.


Kehadiran kepemimpinan yang sangat penting, jika bukan yang paling penting, adalah kehadiran keteladanannya di tengah masyarakat. Karena keteladanan ini sangat kuat pengaruhnya ketimbang omong kosong yang hanya berupa angin surga tetapi tidak ada kenyataannya. Pemimpin yang bisa menghadirkan keteladanan yang kuat pasti dicintai dan dirindukan oleh orang-orang yang dipimpinnya. Contoh utamanya adalah Nabi saw. Karena keteladanannya yang sangat kuat, Nabi saw menjadi pemimpin yang paling dicintai umatnya di sepanjang masa. Firman Allah:


لَقَدْ  كَا نَ  لَكُمْ  فِيْ  رَسُوْلِ  اللّٰهِ  اُسْوَةٌ  حَسَنَةٌ  لِّمَنْ كَا نَ  يَرْجُوا  اللّٰهَ  وَا لْيَوْمَ  الْاٰ خِرَ  وَذَكَرَ  اللّٰهَ  كَثِيْرًا 


"Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah." (QS. Al-Ahzab: 21)


Kepemimpinan spiritual juga sangat penting untuk dihadirkan karena sangat besar pengaruh dan daya tariknya. Sekalipun berbagai ibadah shalat, tilawah, dzikir, wirid, taubat dan lainnya dilakukan di tempat yang tidak dilihat orang tetapi pancaran dan aura kekuatan spiritualnya pasti dirasakan oleh umat. Pemimpin yang tidak shalat dan tidak punya kekuatan spiritual pasti lemah kepemimpinannya. Kalau pun dipatuhi pasti karena ditakuti kejahatannya. Orang seperti ini menjadi seburuk-buruk manusia. Sabda Nabi saw:


إنَّ من شرِّ النَّاسِ من تركهُ النَّاسُ أو ودعهُ النَّاسُ اتِّقاءَ فُحشِهِ


"Sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah orang yang dtinggalkan dan dijauhi manusia karena untuk menghindari kekejiannya." (Muslim)


Semoga Allah senantiasa menghadirkan pemimpin yang punya integritas tinggi dan dicintai rakyatnya.

Jumat, 08 Agustus 2025

JEMBATAN PERLINTASAN



Satu hari nanti

Kita akan sampai

Saat hari itu datang

Kita adalah Pemenang

Bukan karena tak pernah jatuh

Tapi karena bangkit selalu bersama Allah di hati

Karena dunia jembatan

Karena dunia sementara

Karena dunia bukanlah tempat 

Membangun istana untuk menetap

Karena dunia itu perlintasan

Karena kita pernah melewatinya

Dengan penuh kesabaran tentunya 

Kesabaran yang indah...


Ingat lah salah satu pesan mulia : 

"Bekal kita hanya dua ya ikhwati *Hubungan yang baik dengan Allah; dan akhlak yang baik dengan manusia*"