Tata cara shalat íed di rumah
Firanda Andirja Abidin
Sebelum shalat íed
Pertama : Mandi terlebih dahulu. Disukai untuk mandi
setelah terbit fajar karena hari íed dimulai sejak terbit fajar,
namun sebagian ulama membolehkan untuk mandi sebelum
fajar karena tujuannya adalah bersih-bersih, dan hal itu sudah
tercapai meski mandi sebelum fajar(1)
. Meskipun tidak ada
dalil khusus yang shahih tentang hal ini akan tetapi para
ulama mengqiaskan dengan shalat jum’at, padahal shalat ‘ied
adalah perkumpulan yang lebih besar dan agung daripada
shalat jum’at, demikian juga hari raya ‘ied lebih agung dari
hari raya pekanan hari jum’at. Oleh karenanya para ahli fikih
sepakat akan dianjurkannya mandi untuk shalat ‘ied. Dan
telah datang dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu bahwasanya
beliau mandi untuk shalat ‘ied(2)
.
Kedua : Memakan kurma dalam jumlah ganjil. Anas bin Malik
berkata : “Adalah Rasulullah shallallahu álaihi wasallam tidaklah
berangkat (dari rumah) pada hari íedul Fithr hingga beliau
makan beberapa butir kurma…dan beliau memakannya
dalam jumlah ganjil” (3)
Disunnahkan untuk memakan kurma sebelum berangkat
untuk menunjukan bahwa hari tersebut sudah tidak berpuasa
lagi, dan dianjurkan untuk segera menunjukan ketaatan
kepada Allah yang memerintahkan untuk berbuka pada hari
itu. Selain itu disunnahkan makan kurma karena kebiasaan
Nabi shallallahu álaihi wasallam berbuka puasa dengan
kurma(4). Jika tidak ada kurma maka selain kurma juga tidak
mengapa, dan sebagian ulama memandang makanan
tersebut yang manis-manis(5)
.
Berkaitan dengan shalat íed di rumah
Pertama : Jumhur úlama berpendapat disyariátkannya shalat
íed bagi wanita, budak, orang sakit, dan musafir meskipun
sendirian dan di rumah(6)
.
Al-Imam Al-Bukhari berkata : : Jika seseorang terluput dari shalat íed maka ia shalat
dua rakaát, demikian juga para wanita, dan orang-orang yang
ada di rumah-rumah dan juga di kampung-kampung. Hal ini
berdasarkan sabda Nabi shallallahu álaihi wasallam, “Ini
adalah adalah íed (hari raya) kita kaum muslimin” (7). Anas bin
Malik memerintahkan budaknya Ibnu Abi Útbah di Az-Zawiyah(8), maka beliaupun mengumpulkan keluarganya dan
anak-anaknya dan shalat seperti shalat orang-orang di kota
dan sesuai dengan takbir mereka” (9). Íkrimah berkata,
“Penduduk pelosok (demikian juga para petani) berkumpul
tatkala íed, lalu mereka shalat dua rakaát sebagaimana yang
dilakukan oleh penguasa (yang shalat íed di kota)”. Áthoo
berkata, “Jika seseorang luput dari shalat íed maka ia shalat
dua rakaát” (10)
Atsar Anas bin Malik di atas, dan juga atsar-atsar para
tabiín dijadikan dalil oleh Jumhur (mayoritas) ulama
bahwasanya barang siapa yang terluput dari shalat íed, maka
hendaknya ia mengqodho’nya. Yaitu ia mengqodho’ nya
dengan shalat dua rakaát dan bertakbir sebagaimana shalat
íed biasanya.
Kedua : Waktu pelaksanaan shalat íed adalah setelah hilang
waktu terlarang shalat sunnah, yaitu kurang lebih 15 menit
setelah sunrise (matahari terbit), yaitu awal waktu shalat
dhuha ketika warna merah di langit telah hilang. Waktu shalat
íed berakhir sebelum waktu terlarang shalat sunnah berikutnya yaitu menjelang waktu dzuhur. Ini adalah hal yang
disepakati oleh para ulama(11)
.
Ketiga : Takbir 7 kali di rakaát pertama dan 5 takbir pada
rakaát kedua menurut mayoritas ulama (kecuali madzhab
Hanafi(12)). Hal ini berdasarkan hadits : “Bahwasanya Rasulullah shallallahu álaihi wasallam bertakbir
ketika íed 12 kali takbir, 7 kali di rakaát pertama dan 5 kali di
rakaát kedua” (13)
Dan juga atsar dari Abu Hurairah. Naafi’ maula Ibnu Úmar
berkata :“Aku menghadiri shalat íed al-Adhaa dan íed al-Fithr bersama
Abu Hurairah, maka beliau bertakbir di rakaát pertama 7
takbir sebelum al-qiroah (sebelum membaca al-Fatihah) dan
di rakaát kedua beliau bertakbir 5 takbir sebelum al-qiroáh”
(14)
Untuk takbir pada rakaát kedua maka para ulama sepakat
bahwa takbiratul intiqool (takbir perpindahan dari rukun yang
satu ke rukun berikutnya, seperti dari berdiri ke ruku, atau
dari sujud ke berdiri) tidak masuk hitungan. Adapun untuk 7
takbir pada rakaát pertama maka para ulama berselisih
apakah takbiratul ihram termasuk dalam 7 takbir tersebut
atau tidak termasuk hitungan?. Madzhab Maliki dan Hanbali
berpendapat bahwa takbir-takbir tersebut termasuk
takbiratul ihram (15). Berbeda dengan madzhab syafií yang tidak memasukan takbiratul ihram dalam hitungan, sehingga
menurut madzhab Syafi’i total takbir di raka’at pertama 8
takbir (1 takbiratul ihram ditambah 7 takbir
zawaid(16)/tambahan)
(17)
.
Keempat : Kapankah bertakbir dengan takbir zawaid? Jumhur ulama (madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) (18)
berpendapat bahwa takbir zawaid tersebut dibaca setelah
doa istiftah. Adapun madzhab Imam Maliki berpendapat
bahwa di awal shalat langsung bertakbir dengan 7 takbir, baru
setelah itu membaca istiftah(19). Penulis lebih condong kepada
pendapat Imam Malik, terlebih lagi Imam Malik (Imamnya
kota Madinah) berdalil dengan atsar Abu Hurairah yang
tinggal di Madinah sehingga Imam Malik berdalil praktik para
penduduk Madinah tentang hal ini. Wallahu a’lam.
Kelima : Hendaknya ketujuh takbir tersebut dikerjakan
berurutan namun diberi jeda sedikit agar bisa diikuti oleh
makmum(20). Namun para ulama berselisih apakah diantara
takbir-takbir tersebut ada sesuatu yang dibaca? Madzhab Maliki(21) dan Hanafi(22) berpendapat tidak ada yang
dibaca karena tidak ada dalil yang menunjukan akan hal
tersebut dan inilah pendapat yang lebih kuat. Sementara
madzhab Syafií(23) dan Hanbali(24) berpendapat ada yang
dibaca yaitu tahlil, takbir, dan tahmid(25)
Keenam : Mengangkat tangan setiap kali bertakbir, dan ini
pendapat mayoritas ulama(26). Tidak ada hadits yang sharih
(jelas) tentang hal ini, akan tetapi sebagian ulama berdalil
dengan qias terhadap atsar Ibnu Umar yang ketika shalat
janazah beliau mengangkat setiap kali takbir. Sisi
pengqiasannya yaitu sama-sama takbir yang berulang dalam
posisi berdiri.
Ketujuh : Jika lupa takbir zawaid dan baru ingat ketika sedang
membaca al-Fatihah?
Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak perlu sujud sahwi
jika meninggalkan takbir zawaid, apakah dengan sengaja
ataukah karena lupa(27). Jika ingatnya ketika sedang membaca
al-Fatihah maka apa yang dilakukan?.Sebaiknya ia
melanjutkan bacaannya dan tidak perlu mengulangi takbir
zawaidnya, hal ini karena takbir tersebut hukumnya
sunnah(28)
Kedelapan : Setelah membaca al-Fatihah maka disunnahkan
membaca pada rakaat pertama surah al-A’la dan pada rakaát kedua surah al-Ghosyiah(29), atau rakaát pertama membaca
surah Qoof dan pada rakaát kedua surah al-Qomar(30)
Kesembilan : Tidak perlu khutbah setelah shalat. (31)
_________________________________________________________
(1) Lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah 2/275
(2) Lihat al-Majmu’, An-Nawawi 5/7. An-Nawawi menjelaskan telah datang
hadits-hadits bahwa Nabi shallallahu álaihi wasallam mandi untuk shalat íed
akan tetapi sanadnya lemah.
(3) HR al-Bukhari no 953
(4) Lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah 2/275
(5) Lihat Hasyiah Ibni Ábidin al-Hanafi 2/168
(6) Madzhab Maliki tidak mengapa untuk shalat sendirian atau berjamaáh jika
tidak hadir di lapangan untuk shalat íed. Dan wanita yang tidak menghadiri
shalat íed maka dianjurkan untuk shalat íed di rumah (Lihat At-Taaj wal Ikliil,
al-Mawwaaq 2/580)
(7) Maksud al-Imam Al-Bukhari berdalil dengan hadits ini adalah bahwasanya
íed adalah hari raya semua kaum muslimin, karenanya mereka semua berhak
untuk beríed sehingga mereka semua (baik wanita, budak, dll) semuanya juga
berhak untuk shalat íed (lihat Fathul Baari 2/475)
(8) Az-Zawiyah adalah nama lokasi dekat Bashroh, di situ dahulu ada qoshr
(rumah) nya Anas bin Malik (lihat Fathul Baari 2/475)
(9) Atsar ini disambung oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf (no 5803).
Maksudnya yaitu Anas mengumpulkan keluarganya dan memerintahkan
budaknya untuk menjadi imam, dan mereka shalat dua rakaát sebagaimana
shalatnya imam kaum muslimin.
(10) Shahih al-Bukhari 2/22-23
(11) Lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah al-Hanbali 2/280, at-Taaj wa al-Ikliil, alMawwaaq al-Maliki 2/569, Hasyiah Ibni Ábidin al-Hanafi 2/171
(12) Ada dua perbedaan mendasar Madzhab Hanafi dibandingkan madzhab
jumhur ulama :
Pertama : Madzhab Hanafi berpendapat baik rakaát pertama maupun rakaát
kedua bertakbir 3 kali takbir zawaid (takbir tambahan, selain takbiratul ihram
dan selain takbir al-intiqool), karena inilah yang dipraktikan oleh Ibnu Masúd.
(Lihat Hasyiah Ibni Ábidin 2/172)
Kedua : Pada rakaát kedua tidak bertakbir dulu, tapi takbil al-intiqol lalu
membaca al-Fatihah dan surah, lalu baru bertakbir 3 kali (dengan takbir
zawaid) lalu takbir yang ke 4 untuk ruku’. (Lihat Badaaí as-Shanaaí, al-Kasani
1/277)
(13) HR Abu Daud no 1151, Ibnu Majah no 1278, Ahmad no 6688, dan
dihasankan oleh Al-Albani di Shahih Ibnu Majah dan juga oleh Ahmad Syakir
dan para pentahqiq al-Musnad (cetakan ar-Risalah)
(14) Atsar riwayat Malik di al-Muwattho’ no 619 dengan sanad yang shahih,
yaitu dari Malik, dari Nafi’
(15) Madzhab Maliki : 7 takbir (termasuk di dalamnya takbiratul ihram) adapun
5 takbir tidak termasuk takbir al-intiqol (Lihat Syarh Mukhtashor Kholil, alKhurosyi 2/100 dan At-Taaj wal Ikliil, al-Mawwaaq 2/572)
Madzhab Hanbali : ada beberapa riwayat, ada yang mengatakan bahwa 7
takbir terlebih dahulu lalu baru membaca doa istiftah, ada juga yang
mengatakan setelah istiftah baru bertakbir 6 kali, dan ada yang mengatakan
setelah taáwwudz baru bertakbir 6 kali. Ada yang berpendapat 4 takbir
setelah istiftah atau setelah taáwwudz. Dan diriwayatkan dari Imam Ahmad
memilih diantara pendapat-pendapat tersebut. Dalam hal pendapat
madzhab Hambali mirip dengan pendapat Madzhab Maliki yang menganggap
takbiratul ihram termasuk dalam 7 takbir. (Lihat al-Inshoof, al-Mardawi
2/427)
(16) Yang dimaksud dengan
دُ
ِ
ائ
َ
زو
ُت الَّ
ا
َ
ِيرْ
َّ ْكب
الت” Takbir-takbir tambahan” adalah
takbir-takbir selain takbiratul ihram dan selain takbir al-intiqool (takbir
perpindahan dari rukun shalat ke rukun berikutnya)
(17) Lihat penjelasan imam Asy-Syafi’i di al-Umm 1/270
Dalil keduanya adalah sama akan tetapi berbeda dalam memahami dalil.
Imam Malik memahami atsar Abu Hurairah bahwa takbiratul ihram termasuk
dari 7 takbir dengan amal (praktik) yang beliau dapatkan dari penduduk kota
Madinah. (Lihat Bidayatul Mujtahid 1/228). Adapun menurut Asy-Syafi’i
bahwa para perawi yang meriwayatkan tentang jumlah takbir shalat ‘ied
mereka sedang menghikayatkan tentang takbir yang berbeda dari shalatshalat biasanya, sehingga tidak termasuk takbiratul ihram (karena ini ada
pada semua shalat) sebagaimana tidak termasuk takbiratul intiqol pada
raka’at kedua (karena ini ada pada semua shalat) (Lihat al-Umm, Asy-Syafi’i
1/272).
(18) Menurut imam Asy-Syafi’i setelah takbiratul ihram membaca terlebih
dahulu doa istiftah lalu setelah itu baru bertakbir dengan 7 takbir zawaid,
baru membaca ta’awwudz dan al-Fatihah (Lihat al-Umm, Asy-Syafi’i 1/270).
Demikian pula pendapat madzhab Hanbali bahwa takbir zawaid dibaca
setelah doa istiftah, dan sebagian mereka berpendapat setelah istiftah dan
ta’awwudz. bahwasanya tidak langsung membaca takbir zawaid (Lihat alInshoof, al-Mardawi 2/427), dan inilah (takbir zawaid dibaca setelah istiftah
dan ta’awwudz) yang dipilih oleh madzhab Hanafi (Badai’ as-Shonaai’, alKasani 1/277)
(19) Lihat at-Taaj wal ikliil 2/570
(20) Sebagaimana yang dijelaskan oleh madzhab Maliki (Lihat At-Taaj wal Ikliil,
al-Mawwaaq al-Maliki 2/572). Adapun madzhab Hanafi berpendapat je(21) Lihat Syarh Mukhtashor Kholil, al-Khurosyi 2/100
(22) Lihat Badai’ as-Shonai’ 1/277
(23) Lihat al-Umm, asy-Syafií 1/270 dan al-Majmu’, An-Nawawi 5/21
(24) Lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah 2/283
(25) seperti membaca : Atau membaca dzikir-dzikir yang lainnya. (Lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah
2/283)
(26) Lihat : Badaí as-Shonaí, al-Kasani al-Hanafi 1/277, al-Majmu’, an-Nawawi
asy-Syafií 5/21, al-Mughni, Ibnu Qudamah al-Hanbali 2/283. Adapun Imam
Malik berpendapat tidak disunnahkan mengangkat kedua tangan ketika
takbir zawaid, karena menurut beliau ini seperti takbir di tengah-tengah
shalat seperti takbir hendak sujud.da
tersebut seukuran membaca 3 tasbih (Lihat Badaai’ as-Shonaa’i, al-Kasani
1/277)
(27) Ini adalah pendapat madzhab Asy-Syafií (Lihat al-Umm, Asy-Syafi’i 1/272)
dan madzhab Hanbali (Lihat al-Inshoof, al-Mardawi 2/431).
Adapun madzhab Maliki maka disyariátkan sujud sahwi dengan perincian
berikut: Jika lupa bertakbir 7 kali, maka (1) Jika ingat setelah baca dan
sebelum ruku’, maka kembali bertakbir lalu membaca dan sujud sahwi
setelah salam, (2) jika ingat setelah ruku’ maka ia lanjutkan shalatnya dan
sujud sahwi sebelum salam.
Namun ini hanya berlaku bagi imam atau yang shalat sendirian, adapun
makmum maka tidak perlu sujud sahwi jika lupa (Lihat Syarh Mukhtashor
Kholil, Al-Khurosyi 2/101 dan At-Taaj wal Ikliil, al-Mawwaaq 2/572)
(28) Jika seseorang sudah terlanjur baca al-Fatihah lalu ingat bahwa ia belum
bertakbir zawaid maka tidak mengapa jika ia memutuskan bacaannya lalu
kembali bertakbir lagi lalu membaca ulang, namun tidak perlu sujud sahwi.
Jika dia lanjutkan bacaannya dan tidak kembali bertakbir juga tidak mengapa
dan tidak perlu sujud sahwi (Lihat al-Umm, Asy-Syafi’i 1/272).
(29) an-Nu’man bin Basyiir berkata : “Adalah Rasulullah shallallahu álaihi wasallam dalam shalat íed al-Fithr, íed
al-Adha, dan juga shalat Jumát membaca
(30) Abu Waqid al-Laitsi berkata “Nabi shallallahu álaihi wasallam pada shalat íedul Fithr dan íedul Adha
membaca surah Qof dan surah al-Qomar” (HR Muslim no 891)
(31) Lihat Fataawa al-Lajnah ad-Daaimah 8/306, hal ini karena ketika Anas bin
Malik shalat íed di rumah maka tanpa disertai khutbah. Namun sebagian
ulama memandang jika memungkinkan maka boleh untuk berkhutbah. Ibnu
Qosim (Maliki) berkata tentang penduduk pedalaman yang tidak wajib
menghadiri shalat íed, “Tidak mengapa mereka berkumpul dan shalat (íed) tanpa khutbah, dan jika
khutbah maka bagus” (Lihat At-Taaj wal Ikliil, al-Mawwaaq 2/580)
Demikian juga pendapat madzhab hambali bahwa penduduk pedalaman
shalat 4 rakaát (jika tidak ikut shalat íed) kecuali ada seseorang yang
berkhutbah maka mereka shalat 2 rakaát (Lihat al-Inshoof, al-Mardawi
2/428).
0 komentar:
Posting Komentar