Selasa, 20 Januari 2015

JANGAN MERASA TIDAK MAMPU




Suatu kali, seorang anak mengutarakan cita-citanya kepada sang bapak. Cita-cita sang anak itu menurut sang bapak terlalu tinggi dan macam-macam. Karenanya, sang bapak itu segera berkomentar:  “Sudah laah, tidak usah macam-macam, kita ini kan wong cilik, sudah dari sononya nasib kita begini, tidak usah muluk-muluk dalam berangan-angan”.
Lain lagi cerita dalam sebuah pelatihan kepemimpinan.
Dalam pelatihan itu sang tutor dengan penuh semangat menjelaskan kriteria ideal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin muslim.
Disebutlah diantaranya: hafal Al Qur’an minimal 5 juz, hafal hadits minimal 40, mengetahui hukum-hukum fiqih dasar, membaca 7 jam perpekan di luar spesialisasinya, berjiwa orang tua dalam kasih sayang, guru dalam memberi pengetahuan, syekh dalam pendidikan ruhani, panglima dalam ketentaraan, selalu tampil terdepan dalam kebaikan dan lain sebagainya.
Itu semua baru diantaranya.
Maka berkomentarlah salah seorang peserta: “Bila demikian beratnya seorang pemimpin, mendingan dipimpin saja”.
Cerita seperti itu mengingatkan saya kepada kisah yang terjadi pada Bani Israel.
Dulunya, Bani Israel masuk ke Mesir karena “dibawa” oleh nabi Ya’qub (as), bapak dari Bani Israel. Kedatangan mereka sendiri ke Mesir adalah karena posisi dan kedudukan nabi Yusuf putra nabi Ya’qub (as) yang saat itu telah menjadi seorang pejabat tinggi di Mesir (kalau bukan tertinggi). Saat itu di tangan nabi Yusuf-lah urusan perbendaharaan negeri Mesir.
Artinya, saat itu Bani Israel datang ke Mesir adalah sebagai manusia-manusia terhormat, bukan manusia-manusia rendahan.
Akan tetapi, sepeninggal nabi Yusuf (as) mereka diperbudak oleh rezim Fir’aun bertahun-tahun lamanya. Sehingga lahirlah generasi demi generasi dari mereka yang merasa semenjak lahir bahwa kelas mereka adalah kelas para budak. Lebih repotnya lagi, mereka sendiri kemudian “menikmati” keterbudakannya itu.
Karenanya, saat diperintahkan oleh nabi Musa (as) untuk memasuki Baitul Maqdis, mereka mengatakan: “Pergi saja kamu dengan Tuhan-Mu, kita maah duduk-duduk di sini saja” (QS Al Maidah: 20 – 24). Padahal, saat itu, raja Jalut (Galiot) dan bala tentaranya dalam keadaan yang sangat takut, mengingat bahwa Bani Israel adalah bangsa yang dibela Allah swt, dan kehancuran Fir’aun dan bala tentaranya adalah salah satu buktinya. Kalau saja Bani Israel mau memasuki Baitul Maqdis saat itu, pastilah akan dengan mudah memasukinya (QS Al Maidah: 23).
Penyakit kejiwaan Bani Israel ini sedemikian kronisnya, sehingga mereka baru bisa memasuki Baitul Maqdis pada saat mempunyai seorang panglima yang bernama Thalut, satu generasi setelah nabi Musa (as).
Saudara-saudaraku yang dimulyakan Allah …
Tadabbduri dan hayatilah sabda Rasulullah saw berikut ini, cobalah bangun kepribadian anda dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya:
"اَلْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِيْ كُلٍّ خَيْرٌ، اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجِزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنَ قُلْ: قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ؛ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ" (رَوَاهُ مُسْلِمٌ).
Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan pada masing-masing mukmin ada kebaikan. Bersemangatlah pada apa saja yang bermanfaat bagimu, meminta tolonglah kepada Allah dan jangan merasa tidak mampu, jika ada sesuatu menimpamu jangan katakan: “Kalau saja aku melakukan ini dan itu, pastilah begini dan begitu”. Akan tetapi katakanlah: “Allah swt telah mentakdirkan, dan apa yang dikehendakinya akan dijalankan”, sebab jikalau-jikalau (kalau saja-kalau saja) itu membuka kerja setan. (HR Muslim, lihat hadits ke-enam pada bab mujahadah di kitab Riyadhush-Shalihin).
Dalam taujihnya ini Rasulullah saw menekankan beberapa hal:
1.      Sebagai mukmin, kita  harus menjadi mukmin yang kuat, sebab hal ini lebih baik dan lebih dicintai Allah swt. Kekuatan ini tentunya bukan sekedar kekuatan phisik, justru yang terpenting adalah kekuatan ma’nawiyyah (mentalitas), baik pada sisi aqidah ataupun kejiwaan. Termasuk juga kekuatan skill, tsaqafah,  fikriyyah, dan lain-lainnya.
2.      Agar kita menjadi mukmin yang kuat, kita harus bersemangat kepada apa saja yang bermanfaat bagi kita, entah itu manfaat duniawi ataupun ukhrawi, manfaat jasadiyah, aqliyah ataupun ruhiyah, manfaat jangka pendek ataupun jangka panjang.
3.      Jangan merasa tidak mampu, namun juga jangan GR dan merasa pasti mampu. Akan tetapi, meminta tolonglah kepada Allah swt.
4.      Jika segala perhitungan dan kemampuan manusiawi telah kita kerahkan, dan ternyata terjadi sesuatu (musibah) yang menggagalkan semua rencana kita, janganlah kita ratapi musibah itu dengan mengatakan: “kalau saja, kalau saja …”, akan tetapi, katakanlah: “Allah swt telah mentakdirkan, dan apa yang dikehendakinya pasti dilaksanakan”.

5.      Kegagalan bukanlah untuk diratapi, dan di-kalau-kalau-i, akan tetapi untuk dievaluasi dan diambil ibrahnya. Jika kita ber-kalau-kalau ini artinya kita membuka pekerjaan bagi syetan.

0 komentar:

Posting Komentar