Kamis, 05 September 2013

Sulitnya Membuktikan Dugaan "Jual Beli" Pengaruh Luthfi Hasan



Terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq (tengah) dipeluk Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera Fahri Hamzah (kiri) usai menjalani sidang dengan agenda pembacaan nota keberatan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (1/7/2013). Luthffi diajukan ke pengadilan karena diduga terlibat dalam kasus suap kuota impor daging sapi di Kementrian Pertanian. | TRIBUNNEWS/DANY PERMANA

JAKARTA, KOMPAS.com — Membuktikan suatu perbuatan korupsi politik, khususnya perdagangan alias "jual beli" pengaruh, dinilai bukanlah perkara yang mudah. Dalam kasus dugaan korupsi dan pencucian uang kuota impor daging sapi misalnya, akan menjadi kesulitan tersendiri bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan penerimaan uang Rp 1,3 miliar oleh mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, sementara uang tersebut belum sampai di tangan Luthfi.

"Apakah misalnya uang yang Rp 40 miliar itu sudah ada bukti diterima pada yang disangkakan, ini sulitnya. Karena memang ada janji, tapi kalau dihukum, orang akan menuntut apakah uangnya sudah diterima, buktinya mana?" kata peneliti Centre for Strategic and International Studies J Kristiadi, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (4/9/2013).

Kristiadi mendatangi Gedung KPK untuk mengikuti diskusi terbatas mengenai korupsi politik. Lebih jauh dia mengungkapkan, tidak mudah melibas korupsi politik karena sulit untuk menangkap orang yang melakukan perdagangan pengaruh.

KONTAN/Fransiskus Simbolon Pengamat Politik Dr. J Kristiadi saat berlangsungnya diskusi Penegakan Hukum dan Strategi Nasional di Bumbu Desa, Jakarta, Minggu (13/03/2011).
"Yang sulit itu adalah perbuatannya, aksi mana yang dianggap tindakannya itu memperdagangkan pengaruh kekuasannya ini," kata Kristiadi.

Perdagangan pengaruh, katanya, sulit ditangkap mata karena bedanya tipis dengan lobi-lobi politik. Kristiadi mengungkapkan, lobi politik dihalalkan hingga tahap tertentu. Ketika sudah ada transaksi dengan pihak ketiga untuk mendapatkan keuntungan yang spesifik, maka lobi politik bisa dianggap sebagai perdagangan pengaruh.

"Sebab di politik, lobi tidak diharamkan. Tapi kalau ada transaksi kepentingan pihak ketiga untuk mendapatkan keuntungan spesifik dari lobi itu," ungkap Kristiadi.

Dia juga mengungkapkan, lobi politik bisa menjadi perkara korupsi ketika otoritas kekuasaan yang diemban sang penyelenggara negara/pejabat digunakan untuk kepentingan pribadinya atau kepentingan pihak ketiga dan bukan untuk kepentingan umum.

Dalam kasus dugaan korupsi dan kuota impor daging sapi, Luthfi diduga melakukan perdagangan pengaruh terkait kewenangannya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat sekaligus Presiden PKS.

Luthfi diduga mengintervensi pejabat Kementerian Pertanian agar menyetujui permohonan tambahan kuota impor daging sapi yang diajukan PT Indoguna Utama. Direktur PT Indoguna Maria Elizabeth Liman diduga memberikan uang Rp 1,3 miliar kepada Luthfi dan orang dekatnya, Ahmad Fathanah. Pemberian uang dilakukan karena Luthfi dianggap dapat memengaruhi Kementan yang dipimpin kader PKS, Suswono.

Kini, Luthfi dan Fathanah masih menjalani proses persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Sejauh ini, fakta persidangan yang terungkap, uang Rp 1,3 miliar dari PT Indoguna tersebut memang belum sampai ke tangan Luthfi. Saat Fathanah menerima uang itu, penyidik KPK langsung menangkapnya. Namun, Fathanah sempat melaporkan kepada Luthfi mengenai penerimaan uang itu sebelum dia tertangkap.

0 komentar:

Posting Komentar