Jumat, 13 September 2013

Suluk Tanzhimi Si ‘Pedang Allah’



Jutaan orang tidak dapat melebihi keutamaanmu….
Mereka gagah perkasa tapi tunduk di ujung pedangmu…
Engkau pemberani melebihi Singa Betina…..
Yang sedang mengamuk melindungi anaknya……
Engkau lebih dahsyat dari air bah…..
Yang terjun dari celah bukit curam ke lembah……
Rahmat Allah bagi Abu Sulaiman,
Apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada yang ada di dunia.
Ia hidup terpuji, dan berbahagia setelah mati…..
Untaian syair indah yang dilantunkan Ibunda Khalid saat mengantarkan sang putra ke pemakaman terakhir.

Di penghujung pertempuran menjelang akhir, datang seorang utusan kepada Khalid Bin Walid. Utusan Khalifah yang baru, Umar Bin Khattab ra yang menggantikan Abu Bakar ra yang telah wafat. Surat itu berisi pemberhentian Khalid dari jabatannya sebagai panglima perang dengan Abu Ubaidah ra sebagai pengganti. Dengan tenang Khalid bin Walid membaca surat itu dan meminta kepada kurir untuk tidak memberitahukan isi surat kepada siapapun sampai peperangan berakhir. Pertimbangan Khalid saat itu adalah khawatir instruksi dari Khalifah ini dapat memecah konsentrasi pasukan muslimin. Pertempuran terus berlanjut sampai akhirnya pasukan muslimin dapat mencapai kemenangan.

Usai pertempuran yang melelahkan, saat peluh masih membasah, luka masih belum terobati,  darah masih menetes di ujung pedang. Sang Pedang Allah bergegas menjumpai Abu Ubaidah untuk menyampaikan pesan pengangkatannya sebagai panglima pengganti dirinya.
Pemecatan Khalid oleh Khalifah Umar bukan sama sekali dilandasi ketidaksukaan (like or dislike). Tapi lebih didasarkan atas firasyatul mu’min untuk menyelamatkan aqidah umat dan keimanan Khalid sendiri.

Kemenangan demi kemenangan yang dicapai Khalid dalam pertempuran menjadikan namnya harum semerbak, popularitasnya memuncak. Tapi prestasi spektakulernya ini membawa pada kecenderungan pengkultusan akan dirinya. Khalifah Umar membaca ini dan khawatir umat terperosok, begitu juga Khalid akan mendapatkan fitnah yang besar.

Selanjutnya Khalid kembali berjuang di bawah kendali mantan anak buahnya sebagai jundi al-muthi’ah tanpa memperdulikan statusnya yang “turun pangkat”. Ketika dikonfirmasi tentang pemecatan dirinya, beliau menjawab: “Aku berperang bukan untuk Umar tapi karena Allah swt”.

Subhanallah! Sepenggal kisah yang sarat makna dan penuh hikmah. Tarbiyah qiyadiyyah yang sungguh luar biasa. Penghentian tugas struktural (wazhifah tanzhimiyah) oleh Khalifah terhadap Panglima Perangnya adalah soal ru’yah qiyadiyah, sebuah keputusan yang harus disikapi dengan ketaatan. Sama sekali tidak menghilangkan tugas fungsionalnya (wazhifah mashiriyah) sebagai mujahid yang harus selalu berada di barisan tentara Allah. Inilah inspirasi sekaligus spirit bagi kita di tengah tugas-tugas kita menuntaskan agenda-agenda dakwah ke depan. 

1.   Tidak Panik, Tetap Berada dalam Kesadaran
Bagi orang biasa ‘Pemecatan’ serasa gempa bumi, begitu cepat membuat banyak orang panik. Tapi itu tidak terjadi pada diri Khalid Bin Walid, padahal kejadiannnya ketika pertempuran tengah berkecamuk, yang bisa jadi memicu orang mata gelap, kalap bahkan hilang akal sehat. Kekuatan jiwa kepemimpinannya berhasil mengelola kepanikan yang menimpanya. Baik itu kepanikan anak buah, ataupun dirinya sendiri. Sehingga, seluruh kepanikan yang terjadi dapat diatasi dengan baik, ada strategi dan ada solusi yang cukup realistis. Dengan kata lain, Khalid adalah pemimpin yang menjadi “penenang” dan “pengarah” dalam menghadapi kepanikan, bukan justru menjadi lebih panik daripada anak buahnya sendiri. Dia memiliki arah untuk membawa anak buah ke jalan yang seharusnya, bahkan cenderung rela berkorban untuk keselamatan barisan tentaranya. Sehingga dalam kepanikan, akan terdengar ucapan yang menyejukkan. “Aku berperang bukan untuk Umar tapi karena Allah swt”.

2.   Tidak Kecewa, Tetap Berada dalam Tsiqoh
Bagaimana sikap Khalid membaca surat pemecatan dirinya? Ia menerima pemberhentian tersebut dengan sikap ksatria. Tidak sedikit pun kekecewaan dan emosi terpancar dari wajahnya. Kekecewaan akan menyulut kemarahan, sementara kemarahan hanya akan menenggelamkan seseorang dalam “kuburan” ego yang akan menjerumuskan diri dalam persoalan. Sikap mudah emosi atau temperamental tidak ada pada Khalid Bin Walid. Khalid dapat menguasai naluri kekuasaan yang ada padanya (hubbus siyadah) dan tidak menjadikan dukungan anak buahnya kepadanya sebagai alat untuk mempertahankan dan melanggengkan jabatannya. Bahkan dia tetap berperang di bawah komando baru dan menaati segala perintah Abu Ubaidah yang kini menjadi atasannya.

Bagi orang biasa tentu sudah sakit hati bila berada pada posisi yang sama seperti dialami oleh Khalid Bin Walid. Kekecewaan akan membuat seseorang mudah diprovokasi dan ujung-ujungnya ia akan bertindak sembrono sehingga akan membodohi diri sendiri. Oleh karena itu, kemarahan yang disulut karena kekecewaan biasanya hanya akan “terjebak” dalam kubangan yang mencelakakan.

Sesungguhnya apapun yang kita miliki, harta, anak atau jabatan, prinsipnya adalah ‘laysa maalikan ashilaan’ kita bukanlah pemilik aslinya. Jabatan itu sifatnya mandatory, secara hirarkis amanah jabatan diberikan kepada seseorang. Tidak bisa dituntut, direkayasa apalagi dengan melakukan ‘gerakan-gerakan’ illegal mendukung atau membendungnya.

3.   Tidak Membalelo, Tetap Berada dalam Tansik
Tentu akan lain situasinya andaikan Khalid protes atas pemberhentian dirinya sebagai Panglima dan kemudian memobilisasi pendukungnya demi jabatan itu, seperti yang sering dan banyak terjadi saat ini, pasti akan terjadi kekacauan dan umat akan terpecah belah, sehingga terjadi perkelahian dan pertempuran didalam barisan dan tentunya musuh akan dengan mudah menghantam mereka, dan penaklukan Romawi pun mungkin hanya akan ada dalam angan-angan. Sungguh luar biasa, kebesaran jiwa Khalid.

Tidak mudah bagi seseorang menerima kenyataan yang menimpa dirinya. Pemecatan terkadang diartikan sebagai ketidakpercayaan terhadap dirinya. Siapa pun kita, pasti ingin dicintai, mencintai, dipercayai, dan mempercayai orang lain. Tetapi, ketika sakit hati tiba, sulit rasanya untuk kembali memaafkan dan mempercayai orang yang melakukannya. Bahkan mungkin merasa sulit untuk membuka hati dan perasaan kepada orang lain yang tidak tahu apa-apa. Ini adalah dilema yang harus dihadapi. Akhirnya, terserah kita, memilih untuk berjalan sendiri atau melanjutkan hubungan setelah apa yang terjadi. Satu hal yang pasti, roda dakwah akan terus berputar dengan atau tanpa sakit hati.

Tetap disiplin pada ketentuan dan kendali struktur.  Ketentuan tersebut menjadi aksioma yang mengikat kader-kader yang berhimpun didalamnya. Dengan begitu seluruh sikap kader  senantiasa atas arahan yang menjadi kebijakan struktur (Tansik al a’mal). Tidak ‘menyempal’ sendirian. Karena sikap semacam itu akan berakibat  bagi yang lainnya dan tanzhim secara langsung. Karenanya mereka yang melakukan perbuatan semisal itu dikategorikan sebagai sikap indisipliner. Hal itu ditunjukkan walaupun sudah bukan menjadi mas’ul wilayah tertentu. Seseorang tidak berhak memobilisasi mantan anak buahnya tanpa berkordinasi dengan shahibul wilayah yang baru. Inilah kesalihan berorganisasi yang ada pada diri Khalid ra.

4.   Tidak ‘Diam’ Tetap Berada dalam Amal.
Seorang panglima perang terbaik di zamannya, sedang berada di puncak karir. Harus mundur di tengah masa jabatan atas permintaan atasannya. Oleh suatu alasan yang tidak dapat didefinisikan secara teks hukum dimasa kini.  Lalu apakah ia kemudian marah dan kemudian mangkir dari perang setelah tidak menjabat lagi sebagai panglima? Atau memperkarakan atsannya ke meja hijau? Ternyata tidak, iapun kembali ikut berperang sebagai prajurit biasa tanpa ada rasa malu atau sakit hati. Betapa bahagianya Khalid bin Walid. Lihatlah, betapa mudahnya ia menyerahkan jabatan kepada anak buahnya. Orientasi perjuangannya adalah Allah, bukan jabatan, ketenaran dan kepuasan nafsunya.

Sungguh pribadi yang memiliki loyalitas kuat (Quwwatul Intima'i). Hal ini sebagai sikap yang amat prinsipil. Lantaran dari situlah prestise keimanan terbentuk menjadi bangunan yang kuat dalam sanubari seorang mukmin. Bila demikian halnya kader dakwah mampu mengemban amanah yang diserahkan pada dirinya. Kemudian melaksanakannya dengan segera, berpikir, bersikap dengan langkah tidak keliru. Agar dalam waktu yang cepat dapat segera mengambil posisi untuk musyarakah da'awiyah (partisipasi dakwah).

Seorang ulama dakwah bergumam lantang pada dirinya. ‘Wahai fulan bin fulan, duhai teman hari ini semua tempat telah jelas untuk siapa? Tiada tempat yang kosong. Semua sibuk mencarinya namun tak seorangpun yang berani berada pada posisi duduknya yang berbahaya. Aku inginkan diriku yang menempatinya. Siapkan kalian mengikuti ku untuk mengambil posisi suci?. “Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (Q.S. Yusuf: 108). 

Marilah kita terus mengevaluasi diri. Boleh jadi kita sibuk beramal, namun sebaik-baik amal adalah dalam konteks jihad fi sabilillah. Dan sebaik-baik jihad fi sabilillah adalah yang selalu dalam bingkai nizhamiyatut thaat. Wallahu a’lam

0 komentar:

Posting Komentar