Al-Fiqh adalah sekumpulan hukum syar’i yang wajib dipegangi oleh setiap muslim
dalam kehidupan praktisnya. Hukum-hukum ini mencakup urusan pribadi maupun
sosial, meliputi:
1.
Al-Ibadah,
yaitu hukum yang berkaitan dengan shalat, haji dan zakat.
2.
Al-Ahwal
asy-Syahsiyyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan keluarga sejak awal sampai
akhir.
3.
Al-Mu’amalat,
yaitu hukum yang berkaitan dengan hubungan antar manusia satu dengan yang lain
seperti hukum akad, hak kepemilikan, dan lain-lain.
4.
Al-Ahkam
as-Sulthaniyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan hubungan negara dan rakyat.
5.
Ahakmus
silmi wal harbi, yaitu yang mengatur hubungan antar negara.
Sesungguhnya kompleksitas fiqh Islam
terhadap masalah-masalah ini dan sejenisnya menegaskan bahwa Islam adalah jalan
hidup yang tidak hanya mengatur agama, tetapi juga mengatur negara.
Dari Mana Hukum-hukum Syar’i Digali?
Kaum muslimin telah bersepakat bahwa
referensi dasar setiap muslim untuk menggali hukum-hukum Islam adalah
Kitabullah dan Sunnah Rasul. Perbedaan pendapat terjadi pada sumber-sumber
hukum lainnya, yaitu ijam’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan al-urf
(adab kebiasaan).
Kenyataannya sumber-sumber yang
berbeda-beda ini tetap merujuk kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul juga. Dari
itulah dapat dikatakan bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah dua referensi
setiap muslim untuk mengetahui hukum Islam. Hal ini tidak berarti kita menolak
sumber hukum lainnya, karena sumber-sumber hukum yang lain itu pun merujuk
kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Macam-macam Hukum Syar’i
Macam-macam Hukum Syar’i
Hukum Syar’i ada dua macam, yaitu:
1. Qath’iy, yaitu sekumpulan hukum yang
ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan kesimpulan yang qath’iy
(pasti), seperti:
• Kewajiban shalat, dari firman Allah.: وأقيموا الصلاة
• Kewajiban puasa, dari firman Allah: فمن شهد منكم الشهر فليصمه
• Kewajiban zakat, dari firman Allah: وآتوا الزكاة
• Kewajiban haji, dari firman Allah: ولله على الناس حج البيت
• Larangan riba, dari firman Allah: وذروا ما بقي من الربا
• Larangan zina dari firman Allah: ولا تقربوا الزنا
• Larangan khamr, dari firman Allah: فاجتنبوه لعلكم تفلحون
• Kedudukan niat, karena sabda Nabi: إنما الأعمال بالنيات
• Kewajiban puasa, dari firman Allah: فمن شهد منكم الشهر فليصمه
• Kewajiban zakat, dari firman Allah: وآتوا الزكاة
• Kewajiban haji, dari firman Allah: ولله على الناس حج البيت
• Larangan riba, dari firman Allah: وذروا ما بقي من الربا
• Larangan zina dari firman Allah: ولا تقربوا الزنا
• Larangan khamr, dari firman Allah: فاجتنبوه لعلكم تفلحون
• Kedudukan niat, karena sabda Nabi: إنما الأعمال بالنيات
Hukum syar’i yang bersifat qath’iy ini
tidak ada peluang khilaf (beda pendapat) di antara kaum muslimin di level
ulama, madzhab, dan umat secara umum. Sebab, semua itu adalah hukum-hukum agama
yang secara aksiomatis diterima sebagai dharuriyyat (kepastian). Dan jumlahnya
relatif lebih kecil dibandingkan dengan hukum syar’i yang zhanniy.
2.
Zhanny, meliputi, pertama, sekumpulan hukum yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan
as-Sunnah dengan kesimpulan zhanniy (hipotesa); dan kedua, sekumpulan hukum
yang digali oleh para ulama dari sumber-sumber syar’i yang lain dengan
berijtihad.
Di antara contoh bagian pertama adalah:
• Besaran usapan kepala yang wajib
dilakukan dalam berwudhu: seluruh kepala menurut Imam Malik dan Ahmad, cukup
sebagiannya menurut Abu Hanifah dan Asy Syafi’i. Hal ini karena huruf “ba”
dalam firman Allah وامسحوا برؤوسكم dapat
dipahami dengan berbagai pemahaman, dan tidak terbatas pada satu makna.
• Jarak perjalanan musafir yang
memperbolehkan berbuka bagi orang yang berpuasa dan mengqashar shalat. Empat
pos (sekitar 90 km) menurut Madzhab Malikiy, Syafi’iy, dan Hanbali, karena
hadits Al-Bukhari meriwayatkan bahwasannya Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud r.aa
keduanya mengqashar shalat dan berbuka pada jarak empat pos. Menurut Madzhab
Hanafiy jaraknya adalah perjalanan tiga hari (sekitar 82 sampai 85 km) karena hadits
Al-Bukhari yang berbunyi, tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan
hari akhir melakukan perjalanan sejauh tiga hari tanpa disertai mahram.
Dan jelas sekali, bahwa pengambilan
kesimpulan dari hadits di atas bersifat zhanniy (hipotesis).
Sedangkan contoh jenis kedua adalah:
• Isteri orang yang hilang yang tidak
diketahui apakah masih hidup atau sudah mati. Ijtihad Madzhab Hanafi dan
Syafi’i memutuskan bahwa wanita itu menunggu sehingga orang-orang yang sebaya
dengan suaminya itu mati, sehingga dapat menyimpulkan bahwa suaminya sudah
mati, dan ketika itu baru diputuskan berakhirnya status suami-isteri dan
diperbolehkan menikah dengan orang lain. Dalilnya adalah bahwa orang yang
hilang itu semula dalam keadaan hidup. Dan prinsipnya ia masih hidup sehingga
ada dalil kematiannya. Ini adalah dalil ijtihadiy yang bersifat zhanniy.
Sedangkan dalam ijtihad Madzhab Malikiy, dapat diputuskan berakhirnya status
suami-isteri antara suami yang hilang sesuai dengan permintaan isteri setelah
lewat masa empat tahun hilang dalam keadaan damai (bukan perang) dan satu tahun
dalam keadaan perang. Dalilnya adalah menjaga maslahat isteri dan mencegah
hal-hal buruk baginya, menghindari kerugian yang timbul dengan
mempertahankannya dalam keadaan tergantung. Hal ini juga bersifat ijtihadiy dan
zhanniy.
Sejarah Perkembangan Fiqh Islam
1. Di Masa Rasulullah saw.
Rasulullah saw. semasa hidupnya menjadi
referensi setiap muslim untuk mengetahui hukum agamanya. Baik hukum itu diambil
dari Al-Qur’an maupun dari Sunnahnya; yang mencakup perbuatan, ucapan, dan
ketetapannya. Hukum yang Rasulullah perintahkan adalah hukum Allah yang
bersifat qath’iy meskipun berbentuk pemahaman terhadap ayat Al-Qur’an atau
tafsirnya. Karena peran Rasulullah adalah menjelaskan Al-Qur’an. Firman Allah,
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS.
An-Nahl: 44).
Namun para sahabat tidak selalu dekat
dengan Rasulullah –karena di antara para sahabat ada yang musafir atau mukim di
negeri yang jauh– sehingga tidak setiap saat bisa bertanya tentang hukum agama
yang muncul. Lantas, apa yang bisa mereka lakukan jika ada masalah? Para
sahabat berijtihad sebatas kemampuan dan pengetahuan mereka tentang hukum-hukum
Islam dari prinsip-prinsip Islam yang bersifat umum. Sehingga ketika berjumpa
dengan Rasulullah saw, mereka bertanya tentang apa yang dihadapi. Kemungkinan
Rasulullah mengiyakan ijtihad mereka, atau meluruskan jika ada kesalahan.
Tetapi Rasulullah tidak pernah sekalipun menolak prinsip ijtihad mereka.
Contohnya seperti yang dialami oleh Ammar
bin Yasir. Ammar bin Yasir r.a. berkata, “Rasulullah mengutusku melaksanakan
satu tugas, lalu saya junub dan tidak menemukan air. Kemudian aku berguling-guling
di tanah seperti hewan. Kemudian aku menemui Nabi dan aku ceritakan hal ini,
lalu Nabi bersabda: Sesungguhnya sudah cukup bagimu dengan kedua tanganmu. Lalu
Nabi memukulkan tangannya ke tanah dengan sekali tepukan, kemudian mengusapkan
yang kiri pada tangan kanan, punggung tangan dan wajahnya.” (HR. Asy-Syaikhani
dengan redaksi Muslim).
Kadang sekelompok sahabat berbeda
ijtihadnya sehinggga ketika masalah itu disampaikan kepada Rasulullah saw.,
Beliau menetapkan ijtihad yang benar dan menjelaskan kesalahan yang salah.
Pernah juga Rasulullah saw. menerima dua ijtihad yang bertentangan, yaitu
ketika Nabi memerintahkan kaum muslimin untuk berangkat ke Bani Quraidhah
dengan sabda, “Janganlah ada seseorang yang shalat ashar kecuali di Bani
Quraidhah.” (Selengkapnya hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhariy dalam
Kitabul Maghaziy).
Kaum muslimin segera berangkat, dan waktu
ashar hampir habis sebelum mereka sampai di Bani Quraidhah. Ada sebagian yang
berijtihad dan shalat di jalan sehingga tidak ketinggalan waktu ashar. Mereka
mengatakan bahwa Rasulullah saw. tidak menghendaki kita untuk mengakhirkan
shalat ashar lewat waktunya. Dan yang lainnya berijtihad dengan tidak shalat
ashar sehingga sampai di Bani Quraidhah sesuai dengan perintah Nabi, sehingga
mereka shalat ashar setelah isya’. Maka ketika hal ini sampai kepada Nabi, Nabi
tidak mengingkari kedua kelompok ini. Ini menunjukkan kemungkinan multi
kebenaran hukum syar’i untuk satu masalah hukum.
2. Sejak Wafat Nabi Sampai Wafatnya Empat Imam
Madzhab
Setelah Rasulullah saw. wafat dan wilayah-wilayah baru Islam sangat luas, mulailah kebutuhan ijtihad para sahabat meningkat tajam. Hal ini disebabkan oleh dua hal:
Setelah Rasulullah saw. wafat dan wilayah-wilayah baru Islam sangat luas, mulailah kebutuhan ijtihad para sahabat meningkat tajam. Hal ini disebabkan oleh dua hal:
1. Masuknya Islam ke masyarakat baru
membuat Islam berhadapan dengan problema yang tidak pernah terjadi di masa
Rasulullah saw., tidak ada wahyu yang turun, dan terdapat keharusan untuk
mengetahui hukum agama dan penjelasannya.
2. Seorang sahabat Nabi tidak mengetahui
keseluruhan sunnah Nabi. Karena Rasulullah saw. menyampaikan atau mempraktekkan
satu hukum syar’i di hadapan sebagian sahabat, atau bahkan di hadapan satu
orang sahabat saja, tidak diliput oleh keseluruhan sahabat. Hal ini mendorong
sebagian sahabat berijtihad dalam masalah yang tidak diketahuinya dari
Rasulullah saw., pada saat yang sama mungkin sahabat lain menerima langsung
hukum syar’i itu dari Rasulullah saw.
Jarak antara para sahabat yang berjauhan
setelah wafatnya Umar bin Al Khaththab r.a., terbukalah ruang tampilnya dua
madrasah (sekolah) yang berbeda dalam menggali fiqh:
1. Madrasatul Hadits di Hijaz, disebut
demikian karena kebanyakan mereka berpegang kepada riwayat hadits. Hijaz adalah
lahan Islam pertama. Setiap penduduknya kadang memiliki satu hadits atau lebih.
Sebagaimana tabiat dan problem masyarakat yang tidak mengalami banyak
perubahan, sehingga tidak memerlukan ijtihad.
2. Madrasatur-ra’yi di Kufah. Disebut
demikian karena banyak menggunakan akal dalam mengenali hukum-hukum syar’i. Hal
ini terpulang kepada sedikitnya hadits akibat sedikitnya sahabat di sana, dan
karena banyaknya problema baru dalam masyarakat baru yang tidak ada dasarnya
sama sekali.
Pada awalnya perbedaan antara dua
madrasah itu sangat tajam. Hanya saja kemudian semakin menyempit bersamaan
dengan perkembangan waktu, khususnya setelah hadits-hadits ditulis dan
terbitkan dalam bentuk buku (pembukuan buku-buku hadits). Ditambah oleh
keseriusan para ulama untuk menyaring dan menjelaskan mana yang shahih, dhaif
(lemah), dan palsu, sehingga tidak banyak membutuhkan pendapat kecuali ketika
tidak ada nash untuk satu masalah yang timbul. Adapun berijtihad dalam alur
nash itu sendiri sudah ada di Madrasatul Hadits sebagaimana terdapat di
Madrasatur-ra’yi.
Pada fase inilah terjadi perkembangan
fiqh yang sangat besar dan menjadi satu ilmu tersendiri dengan menampilkan
ulama-ulama besar yang terkenal. Mereka adalah ulama empat madzhab, yaitu:
1. Abu Hanifah, An-Nu’man bin Tsabit
(80-150 H) dikenal dengan sebutan Al-Imam Al-A’zham (ulama besar), berasal dari
Persia. Pemegang kepemimpinan ahlur-ra’yi, pencetus pemikiran istihsan
(menganggap baik sesuatu), dan menjadikannya sebagai salah satu sumber hukum
Islam. Kepadanyalah Madzhab Hanafi dinisbatkan.
2. Malik bin Anas Al-Ashbahi (93-179 H).
Dialah Imam Ahli Madinah yang menggabungkan antara hadits dan pemikiran dalam fiqihnya.
Dialah pencetus istilah al-mashalih al-mursalah (kebaikan yang tidak disebutkan
dalam teks) dan menjadikannya sebagai sumber hukum Islam. Kepadanyalah Madzhab
Maliki dinisbatkan.
3. Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i
Al-Qurasyi (150-204 H). Madzhabnya lebih dekat kepada ahlul hadits, meskipun ia
banyak mengambil ilmu dari pengikut Abu Hanifah dan Malik bin Anas.
Kepadanyalah Madzhab Syafi’iy dinisbatkan.
4. Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibaniy
(164-241 H). Dia adalah murid Imam Syafi’i, dan madzhabnya lebih dekat kepada
ahlul hadits.
Dan kenyataannya sebelum munculnya para
imam ini, bersama dan sesudah mereka itu, terdapat ulama-ulama besar yang tidak
kalah perannya, terutama ulama di kalangan sahabat, seperti Abdullah ibn
Mas’ud, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Umar, dan Zaid bin Tsabit. Demikian
juga ulama di masa tabi’in seperti Said bin Musayyib, Atha’ bin Abi Rabah,
Ibrahim an-Nakha’iy, Al-Hasan Al-Bashriy, Mak-hul, dan Thawus. Kemudian para
gurunya empat imam madzhab itu, dan ulama semasanya seperti Imam Ja’far
Ash-Shadiq, Al-Auza’iy, Ibnu Syubrumah, Al-Laits bin Sa’d, dan lain-lain.
Akan tetapi empat Imam Madzhab itu
memiliki para pengikut yang merangkum pendapatnya, merapikannya,
menjelaskannya, atau meringkasnya untuk disajikan dengan mudah kepada kaum
muslimin. Sehingga, kaum muslimin dapat memperoleh apa saja yang membantunya
memahami hukum Islam dengan tersusun rapi. Kemudian diajarkan di masjid-masjid
beberapa tahun. Demikianlah sehingga menjadi pondasi bagi kehidupan kaum
muslimin, membuatnya sudah cukup sehingga mereka tidak perlu merujuk kepada
buku-buku tafsir, atau hadits untuk mengetahui hukum Islam karena telah
disajikan dengan methode madzhab fiqh yang instant.
3. Sejak Wafatnya Empat Imam Madzhab Sampai
Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah
Kaum muslimin menerima empat madzhab
dengan talaqqi, dan menjadikannya sebagai pegangan fiqh Islam. Para ulama
mempelajari dan mengajarkannya. Mulailah fiqh menyebar luas dari terapi masalah
sampai pada analisis kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Kajian-kajian
fiqh tersebar luas, dan mulai muncul fanatik madzhab yang menjadikan pengikut
suatu madzhab menganggap dirinyalah yang Islam, dari yang semula hanya
merupakan hukum dan pendapat yang berkembang dalam batas-batas ajaran Islam
yang luas. Kemudian para ulama empat madzhab itu mengeluarkan fatwa tentang
tertutupnya pintu ijtihad, sehingga orang-orang yang tidak berkompeten tidak
masuk ke wilayah ini, lalu diikuti oleh orang-orang awam sehingga umat Islam
berada dalam gelombang ketidakpastian yang menghapus apa yang sudah dibangun
oleh para ulama besar sebelumnya.
Demikianlah sehingga berubah kepada
taqlid. Para ulama mengarahkan usahanya untuk mencari dalil atas
pendapat-pendapat madzhab, berijtihad di dalam madzhab, mentarjih antara
pendapat yang berbeda-beda dalam satu madzhab. Jadilah fiqh berputar dalam
dirinya sendiri. Seorang ulama fiqh mensyarah (menjelaskan) kitab fiqh imam
sebelumnya dengan penjelasan rinci berjilid-jilid besar, lalu datang ulama
berikutnya yang meringkasnya, kemudian ada yang memberikan ta’liq (catatan)
atas ringkasan itu untuk menguraikan sebagian ketidakjelasan, lalu ada yang
menulis hasyiyah (catatan pinggir)-nya, kemudian ada yang kembali
menguraikannya dengan detail.
Demikianlah fiqh mengalami kejumudan
untuk menguraikan realitas yang ada. Terjadi pembengkakan kajian masalah ibadah
sementara masalah-masalah politik Islam, masalah mu’amalat. Sehingga ketika
terjadi serangan Barat terhadap negeri Islam pada akhir abad sembilan belas
ditemukan banyak sekali orang-orang yang sudah kalah jiwanya, lalu menerima
banyak sekali pikiran Barat yang bertentangan dengan syari’at Islam dan
menanggalkan atribut ke-Islam-an. Sehingga ada seorang tokoh yang berfatwa
memperbolehkan uang riba untuk memberi makan anak-anak yatim, mengesahkan
aturan yang menyamakan hak laki-laki dan wanita dalam memperoleh harta warisan.
Buah dari fanatik madzhab adalah
kejumudan fiqh yang melatarbelakangi runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Pada masa
itu memang ada ulama yang menyerukan untuk menolak taqlid. Banyak juga di
antara ulama madzhab yang berijtihad dan berbeda dengan pendapat madzhabnya,
dengan mentarjih pendapat madzhab lainnya. Tetapi terpaku dengan satu madzhab
fiqh menjadi cirri menonjol mayoritas umat Islam saat itu, terutama ketika ada
suara dari sebagian pengikut madzhab yang fanatik melarang pindah ke madzhab
lain.
4. Sejak Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah Sampai Hari
Ini
Fase ini ditandai dengan semakin luasnya
perbedaan antara dua madrasah fiqh:
1.
Al-Madrasah
Al-Madzhabiyyah, yaitu madrasah pengikut empat madzhab yang menganggap telah
tertutupnya pintu ijtihad, dan keharusan seorang muslim untuk konsisten dengan
salah satu dari empat madzhab.
2.
Al-Madrasah
As-Salafiyah, yaitu madrasah yang menghendaki kembali langsung kepada Al-Qur’an
dan As-Sunnah, melarang seorang muslim taqlid dalam masalah furu’,
mewajibkannya berijtihad, mengkaji, dan mengambil langsung dari teks Al-Qur’an
dan Sunnah.
Memang pertarungan ini sudak ada sejak
fase sebelumnya, namun pada fase ini pertarungan itu semakin tajam dan meluas;
dan menjadi tema penting dalam diskusi-diskusi antara para ulama dan pencari
ilmu, bahkan di kalangan awam. Pendukung masing-masing madrasah menulis buku,
menyebarkan artikel untuk mendukung pandangannya.
Luasnya ruang dialog berdampak luas bagi mundurnya
masing-masing pendukung madrasah itu dari sikap sektariannya, dan dapat
mempersempit ruang perbedaan, dan bahkan terjadi pencairan, kalau saja tidak
ada orang-orang yang ta’ashshub (fanatik) terhadap masing-masing madrasah, yang
terus mempertahankan sikap sektariannya yang mengundang reaksi pihak lainnya.
Di sini kita akan mengambil batas-batas
kaidah syar’i yang memungkinkan dua madrasah itu bertemu, dan jauh dari sikap
sektarian dan fanatik, yaitu:
a. Masyru’iyyah (disyari’atkannya) Taqlid
Taqlid artinya mengikuti pendapat seorang
ulama tanpa mengatahui dalil kebenaran pendapat itu. Hal ini disyari’atkan bagi
kaum muslimin yang awam dalam masalah-masalah fiqh. Dalilnya antara lain:
1.
Firman
Allah, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43). Perintah Allah ini pada orang yang tidak
mengetahui hukum agama untuk bertanya kepada ahludz dzikr, yaitu orang-orang
yang mengetahuinya. Dan yang terendah dalam perintah ini adalah al-ibahah (boleh).
Kesimpulannya, diperbolehkan bagi orang awam untuk bertanya kepada ulama dan
mengikuti pendapatnya.
2.
Firman
Allah, “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122). Ayat ini dengan
tegas menjelaskan bahwa tidak mungkin seluruh kaum muslimin mempelajari fiqh,
akan tetapi ada sekelompok orang yang fokus, kemudian mengajarkannya kepada
saudara-saudaranya. Jika memungkinkan atau semua umat Islam disuruh mendalami
fiqh dalam setiap masalah furu’iyah, maka Allah tidak memberikan larangan di
atas.
Realitas sahabat r.a. yang merupakan
generasi terbaik, hanya terdapat sedikit fuqaha, dan mayoritas mereka merujuk
kepada para fuqaha yang minoritas itu untuk mendapatkan fatwa masalah-masalah
agamanya. Menerima fatwanya tanpa menanyakan apa dalilnya, kecuali dalam
kondisi tertentu.
Rasulullah saw mengutus seorang ulama,
atau qari’ (pembaca Al-Qur’an) dari kalangan sahabat ke satu kabilah untuk
mengajarkan Islam dan Al-Qur’an. Kabilah itu menerima saja dari sahabat itu
tanpa menanyakan apa dalilnya.
Demikianlah ijma’ (kesepakatan) sahabat
tentang diperbolehkannya orang awam mengikuti seorang mujtahid (Lihat Kitab
Al-Ahkam, Al-Amidiy dan Al-Mushtashfa, Al Ghazali).
Logis dan riilnya, apa yang bisa
dilakukan oleh seorang muslim yang awam dan tersibukkan dengan urusan
pekerjaan? Apa yang bisa dilakukan seorang arsitek, dokter, dan yang lainnya
jika menghadapi masalah agama? Apakan kita mengharuskan mereka untuk mengkaji
buku-buku tafsir, dan hadits untuk mendapatkan nash atau tidak? Lalu jika tidak
menemukan, maka harus merujuk kepada buku-buku bahasa agar memahaminya. Jika
menemukan lebih dari satu nash, maka harus mentarjih salah satunya. Dan ini
tidak akan terjadi kecuali setelah melakukan kajian panjang, mengetahui
nasakh-mansukh, dan lain-lain. Jika tidak menemukan nash, kita haruskan
berijtihad. Sementara seseorang tidak akan bisa berijtihad jika tidak memilki
kemampuan ijtihad.
Dan ketika kita perketat syarat ijtihad,
maka kebanyakan orang tak akan mampu, sebagaimana yang terjadi sekarang ini;
atau akan terjadi ijtihad tanpa batasan syar’iy, tanpa ilmu. Dan ini lebih
berbahaya daripada mengembalikan mereka kepada ulama yang telah menfokuskan
diri untuk menggali hukum.
Realitas madrasah salafiyah sendiri
–sudah tidak rahasia lagi– bahwa ulama madrasah ini banyak berbeda pendapat
satu dengan yang lainnya dalam masalah hukum Islam, bisa karena perbedaan
penafsiran, atau mentashih hadits, atau dalam menggali hukum, dan setiap ulama
itu memiliki pengikut pendapatnya.
Ada yang mengatakan bahwa hal ini bukan
taqlid tetapi ittiba’ karena pengikut itu mengetahui dalilnya dan menerimanya.
Kami katakan, mengapa para ulama itu tidak mengenali dalil ulama lain dan
menerimanya? Apakah ketika seseorang menerima dalil salah seorang ulama
dianggap tidak ada nilainya karena berbeda dengan ulama lainnya? Apa bedanya
hal ini dengan para pengikut yang menerima dalil yang tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip yang benar, dengan para pengikut taqlid tanpa bertanya tentang
dalilnya, karena dia menyadari ketidakmampuannya untuk menerima atau menolak
dalil?
Terakhir, telah berlangsung ijma’ tentang
diperbolehkannya taqlid sejak abad pertama, meskipun ada sebagian sektarian
pengikut madrasah salafiyah yang berbeda pendapat. Pada kenyataannya mereka
menerima taqlid itu dengan bentuk lain.
b. Taqlid bukanlah kewajiban
Di antara kesalahan umum pada fase
fanatik madzhab adalah terbaginya kaum muslimin pada mujtahid dan muqallid.
Lalu tertutupnya pintu ijtihad. Sehingga setiap orang menjadi muqallid,
termasuk para ulama dan pencari ilmu. Karena itulah melemah atau hilang semangat
untuk mengkaji, berdiskusi, dan melakukan pendalaman. Obsesi para ulama
muqallid hanya terbatas pada pembelaan pendapat madzhabnya –meskipun dengan
dalil yang lemah, meskipun mereka tidak berhak karena statusnya sebagai
muqallid– untuk berbeda dengan madzhab. Al-Iz ibn Abdussalam dalam kitabnya
“Qawa’idul Ahkam” mengkritik para fuqaha yang menyikapi kelemahan dalil
imamnya, lalu berusaha mencari pembenarannya, dan tidak menemukan pembelaan
kelemahannya, tetapi masih saja mengikutinya dengan meninggalkan Al-Kitab,
As-Sunnah, dan qiyas yang shahih, karena mempertahankan kejumudan taqlid
imamnya.
Kalimat itu tidak bermaksudkan untuk
membuka pintu ijtihad yang bisa dimasuki siapa saja tanpa kemampuan yang cukup.
Tapi hanya bertujuan untuk mengatakan bahwa taqlid dan urgensinya adalah dalam
batas mubah dan boleh, tidak akan berubah menjadi wajib, kecuali pada orang
awam yang sama sekali tidak memiliki kemampuan pengkajian dan penelitian.
Sedangkan bagi orang yang mampu
mempelajari dan meneliti, atau mumpuni untuk berpindah dari taqlid (mengikuti
pendapat ulama tanpa mengetahui dalilnya) kepada ittiba’ (mengikuti pendapat
ulama setelah mengetahui dalilnya), mengetahui dalil dan menerimanya tidak
berarti melegitimasinya menjadi ahli ijtihad. Hanya memperbolehkannya. Bisa
jadi dalam satu masalah ketika mempelajari dalil-dalil madzhabnya kemudian
menemukan kelemahan dalil itu, mengharuskannya untuk mengambil pendapat madzhab
lain yang lebih kuat. Posisi ini dapat disebut “Level mengkaji hukum agama”
atau level orang yang mampu mengkaji hukum-hukum agama, memahaminya, mengenali
dalilnya, dan merujuk kepada sumber utama untuk menilainya.
c. Taqlid tidak terbatas pada empat Madzhab
Masalah umum yang ada di masa fanatik
madzhab adalah pembatasan taqlid pada empat madzhab saja. Hal ini tidak
berdasar pada dalil syar’i yang melarang taqlid ulama lainnya.
Dasarnya hanyalah bahwa madzhab empat itu
telah lengkap pembukuan dan penjelasannya, dapat diperoleh dengan berurutan,
terbagi menurut bab yang rapi, dan tersedia para ulama yang mengajarkan,
sehingga bisa dengan mudah meyakinkan dan menisbatkan pendapat itu kepada
aslinya, imamnya atau madzhabnya.
Sedangkan madzhab yang lain, sangat sulit
untuk menemukan nisbat pendapat itu kepada yang berhak. Kalau toh bisa
ditemukan nisbatnya, pendapat-pendapat itu tidak didukung oleh para pengikut
madzhab yang menjelaskannya ketika kita membutuhkan penjelasan.
Atas dasar sebab-sebab teknis di atas
itulah kemudian para ulama membatasi taqlid hanya pada empat madzhab saja.
Namun sekarang ini, ketika buku-buku
klasik Islam telah dicetak dan telah berada di tangan kaum muslimin, dan
pendapat para sahabat dan tabiin serta para mujtahid –baik fase sebelum era
empat madzhab, atau yang semasa mereka, atau sesudahnya– telah tersebar dan
sangat mudah untuk menisbatkan kepada pemilik aslinya, maka tidak ada lagi
halangan untuk bertaqlid kepada mereka dalam satu masalah atau yang lainnya,
jika kita berkemampuan untuk mengkaji dalil-dalilnya. Apalagi jika ditemukan
bahwa dalil-dalil mereka lebih kuat dari dalil yang sedang kita amalkan
sekarang ini.
Al-Izz bin Abdussalam berkata, “Maka
ketika ada madzhab yang menurutnya lebih kuat, maka bagi orang yang taqlid itu
diperbolehkan mengikutinya meskipun di luar empat madzhab.”
d. Diperbolehkan iltizam (konsisten) dengan satu
madzhab bagi orang awam
Di antara kesalahan yang menyebar di
kalangan kaum muslimin pada masa ta’ashshub madzhab adalah kewajiban iltizam
dengan satu madzhab saja, dan haram intiqal (berpindah) ke madzhab lainnya. Dan
jawaban dari pandangan yang sektarian ini adalah larangan iltizam dengan satu
madzhab. Kedua pendapat ini tanpa dalil.
Kewajiban iltizam dengan satu madzhab dan
larangan intiqal madzhab lain baik secara umum maupun dalam masalah tertentu,
baik sebelum atau sesudah mengamalkannya, tidak ada dalil syar’inya. Sebab yang
wajib adalah yang diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu iltizam dengan
hukum syar’iy. Dan kita diperbolehkan jika tidak mengetahuinya langsung dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk bertanya kepada ahludz-dzikri tanpa ada
pambatasan satu persatunya.
Para sahabat bertanya kepada para
fuqaha’nya, dan fuqaha menjawab pertanyaan mereka. Tidak seorangpun dari
sahabat yang ditanya itu mewajibkannya untuk tidak bertanya lagi kepada yang
lain baik dalam masalah yang sama maupun masalah yang lainnya. Demikianlah kaum
muslimin di sepanjang masa, sampai di masa empat imam madzhab itu sendiri.
Tidak ada seorangpun dari mereka yang melarang muridnya mengambil pendapat
ulama lain. Tidak pernah ada pemikiran yang mewajibkan iltizam dan melarang
intiqal, kecuali pada masa belakangan saja.
Demikian juga pendapat yang mengharamkan
iltizam dengan satu madzhab dan menganggapnya sebagai syirik. Ini juga tidak
ada dalilnya. Jika ada seseorang yang merasa cocok dengan salah satu ulama karena
ketakwaannya, dan selalu lebih ia sukai fatwanya, maka dalam Islam juga tidak
ada dalil yang melarangnya, baik ulama itu dari kalangan empat madzhab atau
selainnya. Yang tidak boleh adalah meyakini bahwa iltizam itu hukumnya wajib
syar’i. Kemudian jika suatu saat ingin intiqal ke madzhab lain, maka tidak ada
yang menghalanginya.
e. Kewajiban mengikuti dalil bagi pengikut yang
mampu mengkaji
Sedangkan seorang muslim pengikut madzhab
yang sudah mampu mempelajari hukum syar’i, maka kewajibannya adalah mencari
dalil setiap masalah yang dikajinya, mendalaminya, memahami pendapat yang
berbeda dan dalil-dalilnya, kemudian memilih yang paling dekat dengan
Kitabullah dan As-Sunnah. Meskipun sikap ini membuatnya mengambil madzhab ini
dan itu. Bahkan jika mengharuskannya untuk berijtihad sendiri dalam
masalah-masalah baru yan belum dibahas oleh ulama sebelumnya.
Walau demikian, tidak ada larangan syar’i
bagi seorang muslim pengikut madzhab untuk mengikuti satu madzhab sehingga dia
mampu mempelajari seluruh masalah dengan keharusan mengikuti dalil yang lebih
kuat dan bertahan pada dasar madzhab pilihannya dalam masalah lain. Karena
Allah tidak pernah memberikan taklif kepada seseorang kecuali sebatas
kemampuannya. Terkadang seorang muslim harus berbulan-bulan tafarrugh
(menfokuskan diri) untuk mempelajari satu masalah sehingga dapat menemukan
dalil yang lebih kuat yang memuaskannya. Maka tidak salah kalau dia masih
menjadi muqallid (taqlid) dengan salah satu imam, sehingga ia mampu mempelajari
masalah. Lalu ketika telah menemukan dalilnya masih bersama dengan imam yang
diikutinya, ia bisa bertahan di situ. Dan jika mendapatkan dalil yang kuat ada
pada imam lain, maka ia akan pindah ke pendapat lain.
f. Diperbolehkan Talfiq
Talfiq artinya mengambil dari berbagai
madzhab untuk satu masalah dan sampai kepada cara madzhab itu berpendapat.
Secara ringkas talfiq adalah seperti penjelasan berikut ini.
Mengambil satu masalah dari satu madzhab
dan mengambil masalah lain dari madzhab lain yang tidak berhubungan dengan
masalah pertama, diperbolehkan menurut jumhurul ulama yang tidak mewajibkan
iltizam dengan satu madzhab dan memperbolehkan intiqal ke madzhab lain. Seperti
seorang muslim yang shalat dengan Madzhab Syafi’i, kemudian zakatnya dengan
Madzhab Hanafi, atau puasa dengan Madzhab Maliki.
Iltizam tentang satu masalah syar’i
dengan satu madzhab, lalu intiqal ke madzhab lain dalam masalah yang sama.
Seperti shalat zhuhur dengan satu madzhab kemudian shalat ashar dengan madzhab
lain, hal ini juga diperbolehkan oleh jumhurul ulama yang tidak mewajibkan
iltizam dengan satu madzhab.
Bentuk talfiq yang diperselisihkan boleh
tidaknya adalah talfiq dalam satu masalah saja. Seperti seorang muslim berwudhu
mengusap sebagian kepala sesuai dengan Madzhab Syafi’i, kemudian menyentuh wanita
dan merasa tidak batal karena taqlid kepada Imam Abu Hanifah dan Imam Malik
yang menganggap bersentuhan dengan wanita tidak membatalkan wudhu, kemudian ia
shalat. Para ulama madzhab belakangan mengatakan, wudhu ini sudah batal karena
telah bersentuhan dengan wanita, dan tidak sah menurut Abu Hanifah karena
mengusap kepalanya tidak sampai seperempat, tidak sah menurut Imam Malik karena
tidak mengusap seluruh kepala. Talfiq di sini menyeret kepada cara yang tidak
diajarkan oleh madzhab manapun. Inilah yang tidak diperbolehkan.
1. Sesungguhnya talfiq jika dilakukan
dengan dalil yang kuat dari orang yang mampu mengkaji dalil-dalil hukum syar’i,
diperbolehkan. Karena kewajiban seorang muslim adalah berijtihad untuk dirinya
sendiri. Dan ini bukan sisi yang diperselisihkan.
2. Sedangkan talfiq yang dilakukan orang
awam, diperbolehkan juga, karena madzhabnya orang awam adalah mengikuti fatwa
muftinya. Dan orang awam tidak ditugaskan untuk mengkaji madzhab dan melihat
sudut-sudut perbedaan. Sebab, jika dia mampu melakukan hal ini tentu dia
menjadi muqallid, bukan awam. Para sahabat r.a. ketika bertanya tentang satu
masalah tidak menanyakan kepada seluruh orang yang mengetahuinya, dan yang
ditanya juga tidak mensyaratkan jika sudah mengambil pendapatnya dalam masalah
ini agar tidak bertanya kepada orang lain dalam masalah yang sama. Ini artinya
bahwa generasi terbaik telah melakukan talfiq ketika madzhab dan pendapat para
sahabat belum dikumpulkan dan dibukukan. Setiap muslim dapat bertanya kepada
siapa saja sahabat yang ditemui, lalu bertanya ke sahabat lainnya, tanpa
meneliti apakah dua pertanyaan itu berkaitan atau tidak.
3. Contoh tentang wudhu di atas, dapat
kami jelaskan bahwa wudhu itu telah benar menurut madzhab Syafi’i, sudah benar
menurut pandangan syar’i, karena Madzhab Syafi’i bukan syari’at yang berdiri
sendiri, tetapi pintu yang dipergunakan seorang muslim untuk sampai kepada
syari’ah Allah. Ketika sudah masuk ke madzhab itu ia sudah berada di ruang
syari’ah, wudhunya benar dalam pandangan syari’ah. Jika dia menyentuh wanita
dengan mengikuti madzhab Hanafi, maka wudhunya tetap sah sesuai dengan madzhab
itu, artinya sesuai dengan syari’at Islam karena Madzhab hanafi juga bagian
dari syari’at Islam.
4. Kemudian talfiq yang dilakukan dengan
dalil yang kuat, oleh orang yang mumpuni, dan larangan bagi orang awam, akan
berkonotasi bahwa ada satu masalah yang haram atas seorang muslim dan halal
bagi muslim lainnya. Hal ini tidak bisa diterima dalam hukum Islam yang di
antara karakteristiknya adalah menyeluruh. Yang telah halal dalam syari’ah,
halal untuk semua; dan yang haram untuk dalam syari’ah, haram untuk semua.
5. Syeikh Ath-Tharsusiy, Al-Allamah Abus
Su’ud, Al-Allamah Ibnu Nujaim, Al-Allamah Ibnu Arafah Al-Malikiy, Al-Allamah
Al-Adawiy, dan lain-lain, telah menfatwakan diperbolehkannya hukum murakkab
atau talfiq (lihat Kitab Ushul Fiqh Al Islamiy DR. Wahbah Az Zuhailiy).
Tatabbu’urrukhash Dalam Talfiq
Ada sebagian orang awam yang memilih
tatabbu’urrukhas dan pendapat-pendapat yang aneh dalam madzhab-madzhab atau ulama
dengan semangat talahhiy (main-main), tasyahhiy (senang-senang), atau mencari
yang paling gampang. Ini boleh atau tidak?
Mayoritas ulama melarang talfiq yang
demikian karena sudah berubah menjadi mengikuti selera. Syari’at Islam melarang
kita mengikuti nafsu. Ibnu Abdul Barr menyebutkan ijma’ larangan ini.
Sebagian ulama membolehkannya dalam
beberapa madzhab, karena tidak ada larangan dalam syari’at yang melarangnya.
Al-Kamal bin Al Hammam berkata dalam kitab At-Tahrir, “Sesungguhnya seorang
muqallid dipersilakan mengikuti yang dia kehendaki, meskipun seorang awam
mengambil setiap masalah dengan ucapan mujtahid yang lebih ringan baginya, saya
tidak tahu apa yang melarangnya secara naqli dan aqli. Keberadaan manusia yang
mencari apa yang lebih ringan baginya dari pendapat para mujtahid yang ahli
berijtihad, saya tidak mengetahui celaannya dalam syari’at Islam. Dan adalah
Rasulullah saw. menyukai apa saja yang meringankan umatnya.”
Benar, bahwa tidak ada perbedaan hukum
syar’i antara rukhshah dan azimah, selama masih hukum syar’i yang memiliki
dalil sahih. Jika diperbolehkan talfiq dalam masalah pokok, maka tidak ada sisi
larangan untuk memilih yang mudah-mudah selama rukhshah itu memiliki dalil
syar’i. Tidak bisa dikatakan bahwa hukumnya makruh jika tidak ada dharurat atau
udzur, dan diperbolehkan tanpa maakruh jika ada kondisi dharurat atau udzur.
Rasulullah saw. “tidak pernah diberi pilihan dua hal, kecuali memilih yang
paling mudah selama tidak ada dosa” (muatan hadits ini dengan redaksi yang
berbeda-beda dalam shahih Bukhari Muslim, Muwaththa’ Malik, Musnad Imam Ahmad
dan Sunan Ad Darimiy). Prinsipnya setiap muslim diberi kebebasan memilih antara
pendapat-pendapat produk ijtihadiyah yang berbeda-beda, dan insya Allah
pendapat-pendapat itu tidak ada dosa.
Perlu diingatkan bahwa talfiq hanya
berlaku dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang zhanniy (hipotesis). Sedangkan
untuk masalah-masalah yang bersifat qath’iy tidak ada ruang untuk memilih
rukhshah atau talfiq di sana. Sebagaimana jika talfiq atau mencari rukhshah itu
menyeret kepada pelanggaran agama, maka hukumnya haram seperti jika dengan
talfiq itu menyebabkan khamr, zina, dan perbuatan haram lainnya yang qath’iy
menjadi mubah. Hal ini tidak mungkin menjadi halal, baik dengan talfiq maupun
dengan cara lain.
Aktivis Islam Dan Ilmu Fiqh
Setelah runtuhnya khilafah Utsmaniyah pada awal abad 20, maka secara alami para da’i dan ulama bergerak untuk mengembalikan pemerintahan yang Islami dalam kehidupan umat Islam, maka lahirlah pergerakan-pergerakan dan partai, muncul lembaga-lembaga, dan tampil para ulama yang semua bergerak untuk tujuan itu dengan menganggapnya sebagai kewajiban agama.
Setelah runtuhnya khilafah Utsmaniyah pada awal abad 20, maka secara alami para da’i dan ulama bergerak untuk mengembalikan pemerintahan yang Islami dalam kehidupan umat Islam, maka lahirlah pergerakan-pergerakan dan partai, muncul lembaga-lembaga, dan tampil para ulama yang semua bergerak untuk tujuan itu dengan menganggapnya sebagai kewajiban agama.
Kebangkitan Islam yang dikumandangkan di
masa sekarang ini, mengcover ruang yang sangat luas dalam masyarakat muslim,
pemerintahan, dan partai; sangat membutuhkan upaya untuk menaikkan syi’ar
(benderanya) melipatgandakan gelombangnya, disadari atau tidak.
Gelombang kebangkitan ini dalam banyak
sisi masih berupa semangat dan perasaan yang masih sangat membutuhkan pemahaman
sehingga mampu memainkan perannya dengan signifikan. Al-wa’yu (keterjagaan)
yang bersih hanya bisa dibangun lewat tafaqquh (pemahaman) yang benar terhadap
madzhab-madzhab yang ada di zaman sekarang ini yang sesuai dengan situasi amal
Islami kontemporer. Di antara kontribusi positif dalam penyadaran pemahaman
yang bersih, berikut ini beberapa masalah penting, yaitu:
1. Belajar dan Pengajaran Fiqh
Belajar dan mengajarkan fiqh Islam adalah
kebutuhan setiap orang yang melakukan amal Islami. Sesungguhnya setiap orang
yang mengajak kepada Islam, orang yang memulai hidup Islami, harus dimulai dari
diri sendiri dan belajar bagaimana menjadi pribadi yang hidup Islami, komitmen
dengan masalah halal dan haram dalam ibadah maupun muamalah, dan bahkan setiap
sisi hidupnya. Ini semua tidak akan terwujud tanpa belajar fiqh.
Dari itulah kami nyatakan bahwa apapun
harakah (gerakan) Islamiyah yang dilakukan dengan serius mengharuskannya untuk
mempelajari fiqh, kemudian mengajarkannya kepada kaum muslimin. Karena
mengetahui hukum agama adalah langkah pertama untuk iltizam dengan agama itu.
Iltizam seseorang secara individu terhadap hukum-hukum ini adalah juga langkah
yang harus dilakukan untuk mengantarkan umat Islam seluruhnya iltizam dengan
syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupannya.
Ada sebagian orang yang menyalah-pahami
pandangan Sayyid Quthb –yang mengatakan bahwa “tidak menyetujui penggunaan
fatwa Islam dalam setiap persoalan masyarakat modern yang menolak berhukum
dengan Islam sejak awal”; “Usaha untuk mengembangkan fiqh Islam untuk
menghadapai situasi dan kebutuhan yang ada dalam masyarakat modern adalah upaya
menabur benih di udara.”; “Usaha yang menyadarkan masyarakat ini untuk tunduk
kepada hukum Allah, kemudian setelah itu fiqh akan berkembang untuk menjawab
kebutuhan yang ada secara nyata, dan mencari solusinya” (cuplikan dari
buku”Al-Islam wa Musykilatul-hadharah”, Sayyid Quthb)—dengan menyimpulkan bahwa
Sayyid Quthb menyerukan untuk meninggalkan fiqh.
Orang yang membaca pernyataan Sayyid
Quthb ini dengan obyektif akan berkesimpulan bahwa yang dimaksudkan adalah
upaya pembaharuan dan pengembangannya, bukan kekayaan fiqh yang telah
diwariskan oleh para Ulama dan para Imam, yang di dalamnya telah diuraikan
halal dan haram, peninggalan yang sangat besar yang selalu bersandar kepada
Al-Kitab dan As-Sunnah, berangkat dari keduanya, meskipun sering diwarnai oleh
warna zaman fiqh itu ditulis. Tidak mungkin ada seorang muslim yang tidak
membutuhkan kekayaan fiqh ini. Sayyid Quthb mengharapkan usaha pemahaman dan
komitmen dengan hukum-hukum syar’i itu. Inilah yang ditulis Sayyid Quthb,
“Tinggallah kewajiban untuk komitmen dengan hukum-hukum Islam itu yang harus
ditegakkan di setiap pundak kaum muslimin yang berada dalam tatanan masyarkat
jahiliyah, dan bergerak menghadapi jahiliyah itu untuk menegakkan sistem yang
Islami.…”(Fi Zhilal Al-Qur’an juz 13 halaman 21).
Jika iltizam dengan hukum syar’i
menjadikan kewajiban, maka mempelajari, memperhatian, dan mengajarkannya
menjadi kewajiban yang aksiomatik. Ini juga menjadi konsekuensi logis dalam
upaya penegakan masyarakat Islami dan mengembalikan hukum Allah di muka bumi.
Tidak ada yang bertentangan.
2. Metode Belajar dan Pengajaran Fiqh
Tidak diragukan lagi bahwa terdapat
perbedaan serius dalam mempelajari dan mengajarkan fiqih antara metode madzhab
dengan metode salaf. Kita menyadari bahwa perbedaan itu telah mengalami
penggelembungan yang jauh dari kenyataannya oleh sebagian kelompok sektarian di
sana-sini, sehingga menyebabkan sikap mengkafirkan atau menganggap sesat
kelompok lain yang berbeda pandangan. Kita menyadari bahwa wajah dan peran
fiqih dalam kehidupan umat Islam tidak akan terwujud dengan baik kecuali dalam
payung negara yang Islami. Maka, bekerja untuk menegakkan negeri yang Islami
adalah problem utama umat Islam, sedang perbedaan pengajaran fiqh antara
madrasah para madzhab dan madrasah salaf harus dipertahankan dalam batas dialog
yang dipenuhi rasa ukhuwwah untuk mencapai yang paling afdhal.
Sedang sikap sebagian umat Islam yang
membiarkan musuh-musuh Islam merekayasa untuk mencerabut hukum-hukum Islam yang
ada, dan menyibukkan umat dengan perang saudara yang menghabiskan banyak energi
tanpa ada hasilnya, tidak akan pernah memberikan kebaikan bagi Islam atau bagi
dua madarasah fiqh itu. Sebab jika ada yang merasa meraih kemenangan semu, maka
tidak akan pernah ditemukan dalam kemenangan itu dampak positif, setelah hukum
dan fiqh Islam telah tercerabut dari realitas umat Islam dan digantikan dengan
hukum produk yang lain.
Kita lihat bahwa kedua metode fiqh itu
diajarkan Islam, dapat diterima dan bermanfaat, dengan syarat para pembawa
madrasah fiqh madzhab menyadari bahwa fiqh madzhab bukanlah pengganti dari fiqh
Al-Qur’an dan As-Sunnah, tetapi menyadarinya sebagai rincian dan pencabangan
dari kedua sumber itu. Sehingga yang baku hanyalah Kitabullah dan Sunnah Rasul.
Sebagaimana para pengusung madrasah fiqh salaf untuk menyadari bahwa khilaf
(perbedaan) memahami Al-Kitab dan As-Sunnah adalah realitas syar’i, dan tidak
mungkin mengumpulkan seluruh umat manusia dengan satu pemahaman saja.
Sebagaimana tidak meungkin menjadikan kemampuan seluruh manusia dengan satu
standar pemahaman. Dan bahwa orang yang tidak mampu memahami teks Al-Qur’an dan
As-Sunnah sendiri, maka diperbolehkan untuk merujuk kepada para ulama dan para
imam yang membantunya memahami agama, khususnya empat imam madzhab yang
madzhabnya telah diterima oleh umat Islam, juga imam-imam lain, termasuk ahul
bait Nabi, ulamanya para sahabat Nabi, dan Tabi’in jika dapat memperoleh
pendapat mereka yang sahih dan valid.
Kita seyogyanya berpendapat bahwa ruang
lingkup amal Islami harus mencakup dua madrasah itu, karena kewajiban syar’i
menghendaki keduanya. Suasana tsiqah (saling percaya) dan mahabbah (cinta)
harus merata kepada seluruh umat sehingga mereka dapat bersama-sama menghadapi
perang besar melawan musuh-musuh Islam. Karena itu:
a. Mempelajari dan mengajarkan fiqh
sesuai dengan salah satu madzhab empat imam adalah masyru’, tetapi disarankan
untuk mencari rujukan pendapt para madzhab itu kepada sumber utamanya, yaitu Al
Kitab dan As Sunnah. Dan hendaklah orang yang mempelajarinya menengok pendapat
masdzhab lain, jika memungkinkan. Dijelaskan kepadanya juga bahwa
pendapat-pendapat yang lain itu juga benar, dan sangat boleh baginya untuk
berpindah mengikuti pendapt itu jika merasa lebih cocok –jika memiliki cukup
alasan syar’i, atau ketika dalam kondisi darurat. Seorang da’i yang bisa
mengkaji perbedaan pendapat dalam satu masalah akan menjadikannya lebih lunak
bersama dengan orang lain, tidak kecewa kepada mereka, karena satu pendapat
lalu menuduhnya sesat, karena ada pendapat lain, membuka perang horizontal
tanpa ada alasan yang membenarkan.
b. Mempelajari dan mengajarkan fiqh
langsung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah juga masyru’, dan merupakan dasar kajian.
Namun melihat pandangan para ulama dan madzhab-madzhab yang ada merupakan
dharuriyah (kaharusan) untuk memahami teks dengan baik. Hal ini sangat
dibutuhkan oleh para da’i yang berinteraksi dengan kaum muslimin secara luas
yang menjadi pengikut salah satu madzhab. Masalah fundamental bagi para da’i
bukan mengeluarkan jumhurul ummat dari pandangan satu imam kepada imam lainnya
dalam masalah furu’iyah, akantetapi agenda utamanya adalah mengentaskan
jumhurul ummat ini dari hukum jahiliyah buatan manusia untuk menegakkan syari’at
Allah. Dari itu tidak ada gunanya menyuruh orang meninggalkan madzhab yang
telah dipilih, untuk mengikuti ijtihad sang da’i, dengan dalil bahwa itu
bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Harus diketahui bahwa mayoritas
pendapat yang dinisbatkan kepada nash sesungguhnya hanyalah sekedar pemahaman
terhadap nash itu, dan tidak ada yang bisa menghalangi keberadaan pemahaman
lain. Dan bahwasannya pendapat para imam madzhab minimal adalah pemahaman yang
lain yang memiliki dalil.
c. Kita sangat mengharapkan kalau para
aktivis Islam dan para da’i adalah orang-orang yang mampu mengkaji hukum-hukum
agama beserta dalilnya. Dapat diselenggarakan bagi mereka itu forum-forum
diskusi dari waktu ke waktu seputar masalah-masalah yang diperselisihkan dalam
suasan penuh mahabbah dan penuh tsiqah. Forum-forum itu akan memperluas
pandangan dan wawasan kita. Barangkali ada titik temu antara mereka itu dalam
satu pandangan, meskipun titik temu itu tidak akan pernah menjadi satu-satunya
pandangan bagi seluruh umat Islam.
3. Fiqh amal Islami atau Fiqh Perubahan
Sesungguhnya amal Islami sekarang ini
bertujuan untuk membangun masyarakat Islami dan negara yang Islami. Hal ini
harus menjadi agenda utama dalam kehidupan setiap muslim, karena itu merupakan
perintah agama yang sangat penting yang jika diwujudkan maka seluruh perintah
agama lainnya akan terlaksana. Dan jika belum terealisasikan, maka seluruh
ajaran agama yang lain akan tersembunyi dan terkontaminasi.
Sesungguhnya usaha kaum muslimin, dalam
level ulama, pergerakan, dan golongan untuk menegakkan hukum Islam, harus
dipandu juga dengan fiqh syar’i, baik dalam pembatasan marhalah (level), atau
metodenya dan segala yang berhubungan dengannya. Fiqh jenis ini tidak pernah
dibahas oleh para ulama kita di masa lalu, karena mereka memang tidak
membutuhkannya. Fiqih inilah yang disebut oleh Sayyid Quthb dengan “Fiqhul
Harakah” sebagai bandingan dari “Fiqhul Auraq (kertas)” yang tidak dapat
mewakili keseluruhan fiqhut-turats, tetapi hanya bermuatan sebagian sisi fiqh
yang masih merupakan ungkapan di atas kertas dan belum terealisir. Sedangkan
fiqhul-halal wal haram yang diterapkan secara pribadi, maka tidak disebut
Sayyid Quthb sebagai fiqhul-auraq. Fiqh inilah yang diserukan untuk ditekuni
dan diamalkan dengan sepenuh hati.
Fiqh yang harus dipelajari setiap aktivis
Islam hari ini adalah pendalaman hukum-hukum yang mengharuskan amal Islami
modern ini, baik dari sisi pentahapan amal, metode amal, hubungan dengan orang
lain yang muslim maupun non-muslim, dengan seluruh muatan hubungan ini mulai
dari perdamaian, gencatan senjata, koalisi, peperangan, dan lain-lain sehingga
perjalanan para aktivis itu dipandu oleh bukti dan petunjuk yang jelas. Fiqh
semacam ini tidak untuk menggantikan fiqhul-ibadat dan muamalah serta bab fiqh
lainnya. Fiqh ini hanya sebagian dari fiqh itu. Para ulama telah mengkajinya
sesuai dengan suasana saat itu, dan sekarang membutuhkan pengkajian ulang dalam
ruang lingkup kondisi sekarang.
Dua fiqh ini (fiqhut-turats dan fiqhul
harakat) sangat dibutuhkan dan menjadi kewajiban, sedangkan fiqhul-auraq adalah
fiqh yang ditolak meskipun bagian dari peninggalan klasik. Itulah fiqh yang
mengada-ada masalah yang pernah ditolak oleh para imam di masa lalu. Mereka
berkata kepada penanya masalah yang mengada-ada itu dengan pernyataan, “Biarkan
sampai ada dahulu.” Itulah cara mereka ketika hukum Islam telah tegak berdiri,
apakah pantas di zaman sekarang ini untuk kita mengurusi masalah-masalah yang
tidak terjadi, dengan melupakan problematika umat Islam yang lebih besar dan
serius?
4. Diantara Keistimewaan Fiqh Islam adalah Lengkap dan Realistis
4. Diantara Keistimewaan Fiqh Islam adalah Lengkap dan Realistis
Sesungguhnya fiqh Islam yang
komprehensif, dan perhatiannya terhadap seluruh problema umat Islam dalam skala
personal dan komunal, adalah sesuatu yang aksiomatik, karena fiqh itu merupakan
produk dari ajaran Islam yang komprehensif. Fiqh yang tidak melarang untuk
memberikan perhatian lebih pada salah satu sisi fqih daripada sisi lainnya,
jika memang kebutuhan kepadanya lebih besar. Yang dilarang oleh fiqh Islam
adalah mengabaikan salah satu sisi fiqh dengan pengabaian total, dan
membengkakkan perhatian pada fiqh lainnya. Jika fiqh ibadah telah mendapatkan
porsi besar dalam sejarah Islam karena situasi yang telah kita ketahui semua,
maka hal ini tidak boleh membuat kita meninggalkan sisi fiqh lainnya. Sangat
mungkin menjadi kewajiban atau yang lebih bermanfaat bagi umat kita hari ini
adalah pendalaman dan pengorisinilan fiqhul harakah agar serasi dengan fiqhul
ibadah.
Fiqh Islam adalah fiqh yang riil.
Definisi fiqh seperti yang tersebut di atas adalah sekumpulan hukum Islam yang
wajib ditaati setiap muslim dalam kahidupan praktisnya. Dengan demikian, fiqh
Islam bukan fiqh yang mengada-ada. Realitas fiqh Islam mengharuskan perhatian
fiqh itu untuk menjelaskan hukum-hukum syar’i dalam setiap masalah yang
terjadi. Dan masalah terpenting yang dihadapi kaum muslimin hari ini adalah
usaha untuk mengembalikan kejayaan hukum Islam. Maka fiqh Islam harus pula
menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan usaha ini.
Kelengkapan dan relitas fiqh Islam pada
zaman sekarang ini mengharuskan kita untuk memberikan perhatian utuh kepada
fiqhut-turats dan fiqhul harakah sehingga keduanya saling melengkapi. Kita
tidak boleh sekalipun menjadikan dua fiqh ini saling berhadap-hadapan (diadu).
Seorang da’i tanpa fiqh seperti orang yang berjalan di padang pasir tanpa
bekal; dan ahli fiqh yang tidak terlibat dengan aktivitas saudaranya dalam
memikul beban berat usaha mengembalikan kekuasaan Islam –sedangkan ia orang
yang pertama kali mengetahui hukum wajibnya atas setiap muslim– ia tidak akan
pernah menjadi contoh kebaikan sebagai seorang ulama yang mengamalkan ilmunya.