Apa itu hasad? Apa saja sebab-sebab terjadinya hasad (iri hati, dengki)? Lalu
bagaimana cara menghadapi orang yang hasad?
PENGERTIAN HASAD
Menurut jumhur ulama, hasad adalah berharap hilangnya nikmat Allah pada orang
lain. Nikmat ini bisa berupa nikmat harta, kedudukan, ilmu, dan lainnya (Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 368).
Diungkapkan oleh Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafizhahullah,
احلَسَدُهُوَتَمَنَِّى زَوَالَالنِِّعْمَةِعَنْصَاحِبِهَا
“Hasad adalah menginginkan hilangnya nikmat yang ada pada orang lain.”
(At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab, hlm. 720)
الْحَسَدَهُوَالْبُغْضُوَالْكَرَاهَةُلِمَا يَرَاهُمِنْحُسْنِحَالِالْمَحْسُودِ,Menurut Ibnu Taimiyah adalah
“Hasad adalah membenci dan tidak suka terhadap keadaan baik yang ada pada
orang yang dihasad.”
(Majmu’ah Al-Fatawa, 10:111).
LARANGAN HASAD
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda,
الَتَحَاسَدُوا، وَالَتَنَاجَشُوا، وَالَتَبَاغَضُوا، وَالَتَدَابَرُوا، وَالَيَبِعْبَعْضُكُمْعَلَى بَيْعِبَعْضٍ، »
دَمُهُوَمَالُهُوَعِرْضُهُالتَِّقْوَى هَاهُنَا -وَيُشِيْرُإِلَى صَدْرِهِثَالَثَمَرَِّاتٍ- بِحَسْبِامْرِىءٍمِنَالشَِّرِِّأَنْيَحْقِرَأَخَاهُوَكُوْنُوا عِبَادَاهللِإِخوَاناً. املُسْلِمُأَخُو املُسْلِمِ، الَيَظْلِمُهُ، وَالَيَخذُلُهُ، وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَايَحْقِرُهُ.
املُسْلِمِحَرَامٌ:
كُلُِّاملُسْلِمِعَلَى
املُسْلِمَ.
“Janganlah kalian saling hasad (mendengki), janganlah saling tanajusy (menyakiti
dalam jual beli), janganlah saling benci, janganlah saling membelakangi (mendiamkan),
dan janganlah menjual di atas jualan saudaranya. Jadilah hamba Allah yang
bersaudara. Seorang muslim adalah saudara untuk muslim lainnya. Karenanya, ia tidak
boleh berbuat zalim, menelantarkan, berdusta, dan menghina yang lain. Takwa itu di
sini–beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali–. Cukuplah seseorang berdosa jika ia
menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya itu haram
darahnya, hartanya, dan kehormatannya.’” (HR. Muslim, no. 2564)
SIFAT MANUSIA SAAT HASAD
Hasad itu sifatnya manusiawi. Setiap orang pasti punya rasa tidak suka jika ada orang
yang setipe dengannya melebihi dirinya dari sisi keutamaan.
Manusia dalam hal hasad ada empat keadaan yaitu:
Pertama: Berusaha menghilangkan nikmat pada orang yang ia hasad. Ia berbuat
melampaui batas dengan perkataan ataupun perbuatan. Inilah hasad yang tercela.
Kedua: Hasad pada orang lain, namun tidak menjalankan konsekuensi dari hasad
tersebut, tidak bersikap melampaui batas dengan ucapan dan perbuatannya. Al-Hasan
Al-Bashri berpandangan bahwa hal ini tidaklah berdosa.
Ketiga: Hasad dan tidak menginginkan nikmat orang lain hilang, bahkan ia berusaha
agar memperoleh kemuliaan semisal. Berharap bisa sama dengan yang punya nikmat
tersebut. Hal ini dirinci menjadi dua, yaitu dalam urusan dunia dan urusan agama.
Jika kemuliaan yang dimaksud hanyalah urusan dunia, tidak ada kebaikan di dalamnya.
يَا لَيْتَلَنَا مِثْلَمَا أُوتِيَقَارُونُ.Contohnya adalah keadaan seseorang yang ingin seperti Qarun
“Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada
Qarun.”
(QS. Al-Qashas: 79)
Jika kemuliaan yang dimaksud adalah urusan agama, inilah yang baik. Inilah yang
disebut ghibthah.
آناءَاللَِّيلِوآناءَالنَِّهارِال حَسَدَإلَِّا على اثنتَنيِ: رجُلٌآتاهُاهللُمالًا، فهو يُنْفِقُمِنهُآناءَاللَِّيلِوآناءَالنَِّهارِ، ورجُلٌ,Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah SAW bersabda
يَقومُبه
آتاهُاهللُالقُرآنَ، فه
Tidak boleh ada hasad kecuali pada dua perkara: ada seseorang yang
dianugerahi harta lalu ia gunakan untuk berinfak pada malam dan siang, juga
ada orang yang dianugerahi Al-Qur’an, lantas ia berdiri dengan membacanya
malam dan siang.”
(HR. Bukhari, no. 5025, 7529 dan Muslim, no. 815)
Keempat: Jika dapati diri hasad, ia berusaha untuk menghapusnya, bahkan ia ingin
berbuat baik pada orang yang ia hasad. Ia mendoakan kebaikan untuknya. Ia pun
menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Ia ganti sifat hasad itu dengan rasa cinta. Ia
katakan bahwa saudaranya itu lebih baik dan lebih mulia.
Bentuk keempat inilah tingkatan paling tinggi dalam iman. Yang memilikinya itulah
yang memiliki iman yang sempurna, di mana ia mencintai saudaranya sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri.
(Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:260-263).
TINGKATAN HASAD
1. Berkeinginan nikmat yang ada pada orang lain hilang meski tidak berpindah
padanya. Orang yang hasad lebih punya keinginan besar nikmat orang lain itu
hilang, bukan bermaksud nikmat tersebut berpindah padanya.
Seharusnya setiap orang memperhatikan bahwa setiap nikmat sudah pas diberikan
oleh Allah pada setiap makhluknya sehingga tak perlu iri dan hasad.
فَضَِّلَاللَِّهُبِهِوَلَا تَتَمَنَِّوْا مَا عَلَى بَعْضَكُمْبَعْضٍلِلرِِّجَالِنَصِيبٌمِمَِّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِِّسَاءِنَصِيبٌ,Allah Ta’ala berfirman
مِمَِّا اكْتَسَبْنَاللَِّهَمِنْفَضْلِهِإِنَِّاللَِّهَكَانَبِكُلِِّشَيْءٍوَاسْأَلُوا عَلِيمًا
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang
laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para
wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah
kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.”
(QS. An-Nisaa’: 32)
2. Berkeinginan nikmat yang ada pada orang lain hilang, lalu berkeinginan nikmat
tersebut berpindah padanya. Misalnya, ada wanita cantik yang sudah menjadi istri orang lain, ia punya hasad seandainya suaminya mati atau ia ditalak, lalu ingin
menikahinya. Atau bisa jadi pula ada yang punya kekuasaan atau pemerintahan
yang besar, ia sangat berharap seandainya raja atau penguasa tersebut mati saja
biar kekuasaan tersebut berpindah padanya.
Tingkatan hasad kedua ini sama haramnya, tetapi lebih ringan dari yang pertama.
3. Tidak punya maksud pada nikmat orang lain, tetapi ia ingin orang lain tetap
dalam keadaannya yang miskin dan bodoh. Hasad seperti ini membuat
seseorang akan mudah merendahkan dan meremehkan orang lain.
4. Tidak menginginkan nikmat orang lain hilang, tetap ia ingin orang lain tetap
sama dengannya. Jika keadaan orang lain lebih dari dirinya, barulah ia hasad
dengan menginginkan nikmat orang lain hilang sehingga tetap sama
dengannya. Yang tercela adalah keadaan kedua ketika menginginkan nikmat
saudaranya itu hilang.
5. Menginginkan sama dengan orang lain tanpa menginginkan nikmat orang
lain hilang. Inilah yang disebut dengan ghib-thah sebagaimana terdapat dalam
hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah SAW
الَحَسَدَإِالَِّفِى اثْنَتَيْنِرَجُلٌآتَاهُاللَِّهُمَاالًفَسُلِِّطَعَلَى هَلَكَتِهِفِى الْحَقِِّ، وَرَجُلٌآتَاهُاللَِّهُ,bersabda
فَهْوَيَقْضِى بِهَا وَيُعَلِِّمُهَا
الْحِكْمَةَ،
“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah
anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang
yang Allah beri karunia ilmu (Al-Qur’an dan As-Sunnah), ia menunaikan dan
mengajarkannya.”
(HR. Bukhari, no. 73 dan Muslim, no. 816)
وَفِي ذَلِكَفَلْيَتَنَافَسِالْمُتَنَافِسُونَ,Inilah maksud berlomba-lomba dalam kebaikan
“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.”
(QS. Al-Muthaffifin: 26)
Ini adalah ringkasan dari Fiqh Al-Hasad karya Syaikh Musthafa Al-
‘Adawi hafizhahullah.
MENGHADAPI DAMPAK BURUK ORANG YANG HASAD
Pertama: Bertawakal kepada Allah.
وَمَنْيَتَوَكَِّلْعَلَى اللَِّهِفَهُوَحَسْبُهُ,Allah Ta’ala berfirman
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)
Kedua: Bertakwa kepada Allah.
يَضُرَُّكُمْك يْدُهُمْشَيْئًاۗ إِنََّالل َّهَبِمَا يَعْمَلُونَمُحِيطٌ,Allah Ta’ala berfirman
وَإِنْتَصْبِرُوا وَتَتََّقُوا ل ا
“Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sediki tpun tidak
mendatangkan kemudaratan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui
segala apa yang mereka kerjakan.”
(QS. Ali ‘Imran: 120)
Ketiga: Meminta perlindungan kepada Allah dari kejahatan orang yang hasad.
Dari hadits Mu’adz bin ‘Abdillah bin Khubaib dari bapaknya, ia berkata, “Kami pernah
keluar pada malam yang hujan dan sangat gelap. Kami meminta Rasulullah SAW agar
mau mendoakan kebaikan untuk kami. Kami pun mendapati beliau. Beliau berkata,
‘Ucapkanlah’. Aku tidak mengucapkan apa pun. Beliau berkata lagi, ‘Ucapkanlah’. Aku
pun tidak mengucapkan apa pun. Beliau berkata lagi, ‘Ucapkanlah’. Aku lantas
قُلْ)هُوَاللَِّهُأَحَدٌ( وَالْمُعَوِِّذَتَيْنِحِنيَتُمْسِى وَتُصْبِحُثَالَثَمَرَِّاتٍتَكْفِيكَمِنْكُلِِّشَىْءٍ,bertanya, “Apa yang mesti aku ucapkan?’ Beliau menjawab
‘Bacalah: surah Al-Ikhlas, lalu surah al-mu’awwidzatain (surah Al-Falaq dan AnNaas) ketika petang dan pagi sebanyak tiga kali, maka itu akan mencukupimu
dari segala sesuatu.’”
(HR. Tirmidzi, 3575. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan sanad hadits ini hasan).
Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafizhahullah mengatakan, “Benteng yang paling kuat
untuk melindungi diri dari kejahatan orang yang hasad adalah dengan berpegang
pada Al-Qur’an dan ajaran Nabi Muhammad SAW, lalu meminta perlindungan kepada
Allah Rabb semesta alam.”
Allah Ta’ala berfirman
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan
cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang
baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai
keuntungan yang besar. Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu
gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah
yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Fussilat: 34-36).
أُولَۚ ئِكَيُؤْتَوْنَأَجْرَهُمْمَرَِّتَيْنِبِمَا صَبَرُوا وَيَدْرَءُونَبِالْحَسَنَةِالسَِّيِِّئَةَوَمِمَِّا رَزَقْنَاهُمْيُنْفِقُونَ,Juga dalam ayat
“Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka
menolak kejahatan dengan kebaikan, dan sebagian dari apa yang telah Kami
rezekikan kepada mereka, mereka nafkahkan.”
(QS. Al-Qasas: 54)
Bagaimana sikap para nabi ketika mereka disakiti dan dizalimi oleh kaumnya?
فَإِنَِّهُمْالَيَعْلَمُونَ,Nabi SAW sendiri saat perang Uhud malah berdoa
اللَِّهُمَِّاغْفِرْلِقَوْمِى
“Ya Allah ampunilah kaumku karena mereka sejatinya tidak mengetahui.”
(HR. Bukhari, no. 3477 dan Muslim, no. 1792).
Doa ini mengandung pelajaran bagaimanakah keburukan dibalas dengan kebaikan
اِسْتِعْطَافُهُلَهُمْبِإِضَافَتِهِمْإِلَيْهِأَحَدُهَا عَفْوُهُعَنْهُمْوَالثَِّانِي اِسْتِغْفَارُهُلَهُمْالثَِّالِثُاِعْتِذَارُهُعَنْهُمْبِأَنَِّهُمْالَيَعْلَمُوْنَالرَِّابِعُ:dalam empat bentuk
1. Memaafkan.
2. Memintakan ampun untuk yang berbuat zalim.
3. Memberikan uzur pada mereka karena mereka tidak tahu.
4. Para nabi itu begitu sayang dan simpati pada kaumnya sendiri karena mereka
tetap menyatakan itu kaumnya.
Empat hal di atas disampaikan oleh Ibnul Qayyim dalam Badai’ Al-Fawaid.
Kesembilan: Segera bertaubat atas dosa.
Kesepuluh: Orang yang hasad itu mandi dan airnya disiramkan pada orang yang kena
hasad.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah SAW bersabda,
الْقَدَرَسَبَقَتْهُسَابَقَشَىْءٌالْعَيْنُكَانَوَلَوْحَقٌِّالْعَيْنُوَإِذَا اسْتُغْسِلْتُمْفَاغْسِلُوا
“‘Ain itu benar adanya. Segala sesuatu terjadi dengan takdir, termasuk pula ‘ain terjadi
dengan takdir. Apabila kalian diminta untuk mandi (karena memberi dampak ‘ain),
maka mandilah.” (HR. Muslim, no. 2188. Lihat Syarh Shahih Muslim tentang hadits ini).
Kesebelas: Lakukan ruqyah syariyyah.
Kedua belas: Memiliki iman dan tauhid yang kuat.
Cara menghadapi hasad ini diringkas dari kitab karya Syaikh Musthafa Al-‘Adawi
yaitu At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab, hlm. 723-740.
SEBAB TERJADINYA HASAD
1. Permusuhan dan kebencian.
2. Cinta dunia terutama terkait dengan kekuasaan dan kepemimpinan.
3. Pelit membagi kebaikan pada orang lain.
4. Lemahnya iman.
5. Kesombongan.
6. Tidak ingin dikalahkan yang lain.
7. Takut disaingi.
8. Takut diejek orang lain.
0 komentar:
Posting Komentar