Senin, 28 Oktober 2024

Menjauhi Sikap Isti’jal

 




Manusia memiliki akal dan hasrat, sehingga manusia memiliki kecenderungan untuk senantiasa mengikhtiarkan kehidupan yg lebih baik dan kualitas sesuai harapan. Manusia juga berpotensi serakah karena syahwatnya dan berpotensi taat karena akal yg dimilikinya.

Satu tabiat awal sikap syahwati Manusia yaitu sikap tergesa2 (isti’jal). Sikap tergesa2, selalu berbanding lurus dgn dominasi syahwat duniawi di dalam hati. Sikap ketergesaan selalu menghiasi kehidupan kita, tanpa kecuali. Hanya manusia yg sadar dan sabar serta memiliki ilmu dan faham tujuan hidup, yg bisa menikmati peran aktifitas apapun dalam proses ruang kehidupan di dunia ini.

Dalam wujud prilaku hidup, ada maqolah dari ulama besar hadits dan guru besar dari para ulama hadits seperti Imam Abu Daud, Imam An-Nasa’i, Imam Ibnu Abi Hatim (anaknya), Imam Abadah bin Sulaiman al-Marwazi, Imam Ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, Imam Yunus bin Abdul A’la, Imam Muhammad bin ‘Auf ath-Tha’i, Imam Abu Zur’ah ar-Razi, Imam Muhammad bin Harun, Imam Abu ‘Awwanah al-Isfaraini, Imam Ibnu Abi ad-Dunya rahimahumullah. Beliau adalah Al-Imam Al-Hafidhul Kabir An-Naqid Syaikhul Muhaditsin  Muhammad bin Idris bin al-Mundzir bin Daud bin Mihran al-Hanzhali al-Ghathfani Ar-Razi atau Abu Hatim Ar-Razi rahimahullah (240 – 327 H / 811 – 890 M Iran), beliau mengatakan :

“Tergesa2 itu, seseorang mengucapkan sebelum ia mengetahui, menjawab sebelum ia paham, memuji sebelum ia mencoba, mencela setelah dia memuji, bertekad sebelum ia berpikir, dan melakukan sebelum ia punya kemauan.”

Sungguhpun manusia diciptakan dgn sifat fitrah tergesa2, tetapi seorang muslim tetap dihimbau oleh Allah dan Rasul-Nya untuk menghindari sifat ini. Dalam membina hubungan sosial dgn sesama manusia, tali kekang lidah dan tangan mesti sering dikencangkan supaya tidak buru2 menghasilkan perilaku gegabah.

Panjangkan pikiran, sebelum berucap atau berbuat. Dengarkan penjelasan, sebelum menyanggah. Carilah berbagai alasan cantik untuk saudara seiman, sebelum berprasangka buruk. Tahan komentar, sebelum paham duduk perkara suatu masalah. Teliti berita, sebelum menyebarkan. Kumpulkan bukti, sebelum menyimpulkan. Bulatkan tekad dan luruskan niat, sebelum beramal.

Dalam membina hubungan dgn Sang Pencipta pun, ketergesaan juga akan menghasilkan ibadah yg sekedar ritual tanpa arti dan tanpa makna. Lantunan dzikir mengalir di luar kepala. Hafalan Al-quran juga sudah di ujung lidah. Tapi tak berarti apa2 jika semua keluar begitu lekas.

4 Perkara Berakibat Buruk

Mari kita simak maqalah dari Al-Imam Az-Zuhud Al-Wira’i Ash-Shufi Abul Faidh Tsauban Dzun Nun bin Ibrahim Al-Mishri atau Imam Dzun Nun Al-Mishriy rahimahullah (796 – 859 M, Kairo, Mesir) berkata : 

أَرْبَعُ خِلاَلٍ لَهَا ثَمَرَةٌ: الْعَجَلَةُ وَالْعُجْبُ وَاللِّجَاجَةُ وَالشَّرَهُ، فَثَمَرَةُ الْعَجَلَةِ : النَّدَامَةُ، وَثَمَرَةُ الْعُجْبِ : الْبُغْضَةُ، وَثَمَرَةُ اللِّجَاجَةِ : الْحَيْرَةُ، وَثَمَرَةُ الشَّرَهِ : الْفَاقَةُ

“Ada empat perkara yg memiliki buah (akibat buruk): Sikap tergesa2, ujub (bangga diri), perdebatan, dan rakus (tamak). Maka, buah ketergesa2an adalah penyesalan, buah ujub adalah kejengkelan, buah perdebatan adalah keragu2an, dan buah kerakusan adalah kemiskinan”. (Atsar Riwayat Imam Abubakar Ahmad bin Husain bin Ali bin Abdullah al-Baihaqi Asy-Syafi’i atau Imam Al-Baihaqi rahimahullah wafat 994 – 1066 M, Naisabur, Iran, dalam kitab Syu’abul Iman no. 8215).

Makna Isti’jal

Tergesa2 adalah satu akhlak tercela yg ada di muka bumi ini, yg telah diperingatkan oleh suri teladan umat Islam, Rasulullah  shallallahu alaihi wasallam. Tergesa2 dalam bahasa Arab disebut isti’jal, kata isti’jal, i’jal, dan ta’ajul memiliki satu arti, yaitu : menuntut sesuatu dikerjakan atau diselesaikan dengan cepat atau segera. Termasuk ‘ajalah dan tasarru’. Yang keseluruhannya memiliki makna yg sama. Dan lawan kata dari isti’jal adalah anaah dan  tatsabbut. Yang artinya adalah pelan2, dan tidak terburu2. Secara istilah, isti’jal berarti keinginan untuk merubah suatu keadaan dalam waktu singkat, tanpa memperhatikan efek buruk yg ditimbulkan, serta tidak disertai persiapan yg matang dan tanpa alur proses yg direncanakan.

Tergesa2 adalah salah satu sifat yg dilarang dalam Islam. Bahkan, tergesa2 dan terburu2 dalam berbuat kebaikan dan melaksanakan ibadah, dapat menjauhkan kita dari tujuan yg hendak dicapai. Juga bisa berpotensi, menjerumuskan kita kepada tindak kemaksiatan, ketidakikhlasan dan kelupaan terhadap persembahan aktifitas terbaik untuk Allah subhanahu wa ta’ala.

Zaman Serba Cepat

Zaman kini adalah zaman serba cepat, cepat saji, cepat selesai, cepat hasil dan lain lainnya, sehingga orang tidak mengutamakan lagi suatu proses apalagi menikmatinya, termasuk dalam mencari ilmu dan beribadah. Kalau ditilik dari sifat ketergesaan tsb, tentu sudah diperingatkan oleh Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Hadits dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu (612 M, Madinah –  709 M, Basra, Irak), yg diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi rahimahullah, bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda :

التَّأَنِّى مِنَ اللَّهِ وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ

“Sikap pelan2 itu dari Allah, dan sikap tergesa2 itu dari setan.”

Abu Abdullah Syamsuddin Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’d al-Zar’i Ad–Dimasyqi Al-Hambali atau Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah (28 Januari 1292 M – 15 September 1350, M di Damaskus, Suriah), dalam kitab Ar-Ruuh berkata, “Sifat tergesa2 adalah dari setan. Sejatinya sifat tergesa2 juga merupakan sikap gegabah, kurang berpikir dan berhati2 dalam bertindak. Yang mana sifat ini menghalangi pelakunya dari ketenangan dan kewibawaan. Dan menjadikan pelakunya memiliki sifat menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Dan mendekatkan pelakunya kepada berbagai macam keburukan, dan menjauhkann12ya dari berbagai macam kebaikan. Dia adalah temannya penyesalan. Dan katakanlah, bahwa siapa saja yang tergesa2 maka dia akan menyesal”.

Tergesa2 itu melakukan sesuatu sebelum datang waktu yg seharusnya. Muhammad ‘Abdur Ra’uf ibn Tajul ‘Arifin ibn ‘Ali ibn Zainal ‘Abidin al-Haddadi al-Manawi  /al-Munawi Al-Qahiri Al-Mishri Asy-Syafi’i atau Imam Al Munawi rahimahullah (1545 – 1621 M di Kairo, Mesir) menjelaskan dalam kitab Faidhul Qadir Syarah Jamius Shaghir (6/72) sbg berikut :

العجلة فعل الشيء قبيل مجيء وقته

“Tergesa2 itu, melakukan sesuatu sebelum datang waktu yg seharusnya “

Tabiat Manusia

Jadi, jika melakukan apapun dgn tergesa2 berarti melakukan sesuatu tanpa berpikir dan tanpa memperhatikan dgn seksama terlebih dahulu. Sebetulnya Islam sendiri, memandang sifat tergesa2 tsb adalah bagian dari watak dasar manusia. Dan ini sudah diterangkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala bahwa manusia itu adalah makhluk yg memiliki tabiat tergesa2. Sebagaimana  dalam firman-Nya :

وَكَانَ ٱلْإِنسَٰنُ عَجُولًا

“Dan adalah manusia bersifat tergesa2.” (Surat Al-Isra Ayat 11)

خُلِقَ ٱلْإِنسَٰنُ مِنْ عَجَلٍ

“Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa2.” (Surat Al-Anbiya Ayat 37)

Sebaliknya, jika hanya bermodalkan semangat dan dorongan jiwa yg belum memungkinkan, maka di sinilah isti’jal merupakan sebuah ‘penyakit’. Sebab, sifat tergesa2 dalam ibadah dan kebaikan (isti’jal) dapat menimbulkan penyakit, salah satunya adalah akan menyebabkan seseorang melemah dan putus asa karenanya, lalu berhenti bermujahadah. Akibatnya, ia gagal atau tidak faham bagaimana mendapatkan kedudukan tinggi yg hendak ia capai.

Sebaliknya juga begitu, jika ia berlebih2an dalam bersungguh2 dan memberatkan jiwanya, ia tidak akan pernah sampai ke tujuan yg diinginkan. Maka, ia berada di antara sikap yang terlalu longgar dan berlebihan. Dan keduanya adalah akibat dari sikap tergesa2.

Ada ungkapan seorang penyair yg mengatakan : “Orang yg bersikap tenang, sering mendapat apa yg diinginkan, sedangkan orang yg terburu2 bisa tergelincir.”

Pembentuk Isti’jal

Terdapat banyak faktor yg ikut membentuk sikap isti’jal pada seseorang, diantaranya adalah :

Pertama, faktor psikologis. Isti’jal (tergesa2 / terburu2), sebagaimana disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam dua ayat diatas, adalah salah satu tabi’at yg melekat pada fitrah manusia.

Jika seseorang tidak dapat mengendalikan sikap isti’jal tsb, dgn penggunaan fungsi kendali “akal” dan pemahaman, atau meredamnya, maka tidak ayal lagi naluri tsb akan mendorongnya untuk melakukan tindakan yg tergesa2, yg akan merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Banyak yg lupa untuk membina dan mengarahkan nalurinya, kepada sikap dan tindakan yg terarah dan terprogram secara baik tidak hanya memperturutkan emosi semata.

Kedua, karena semangat keimanan yg tidak dibarengi oleh penguasaan ilmu dan caranya, maka pasti akan melahirkan tindakan tergesa2. Sehingga, terjadilah pemborosan potensi keimanannya. Karena dis-alokasi potensi yg salah inilah, banyak yg beribadah dgn nafsunya, bukan dgn ilmunya.

Ketiga, Watak dan tabiat zaman, dimana kita hidup sekarang ini. Keberadaan kita di abad teknologi dan informasi yg serba cepat dan canggih ini l, memberi kemungkinan memiliki andil dalam membentuk dan melahirkan sikap isti’jal tsb. Sehingga, para muslim pun ikut terbawa ingin cepat selesai dan ia lupa bahwa makhluk yg bernama manusia itu, tidak sama dgn teknologi informasi yg dapat dipercepat proses pematangannya dan kecanggihannya.

Dampak Buruk Sikap Tergesa2 

Karena sifat ini banyak berakibat buruk pada pelakunya maka pasti tergolong sifat yg dibenci dalam Islam. Diantara dampak buruk sifat tergesa2 adalah: “mengakibatkan kelesuan berkepanjangan (futur).” Banyak orang, yg ingin menyelesaikan suatu pekerjaan dalam waktu sesingkat mungkin, tanpa menyadari kapasitas fisik yg dimiliki. Sehingga, begitu ia menyadari kelemahan dan keterbatasannya, sedang rasa lelah dan letih mulai menyerang, maka ia pun mendadak lemas dan tak bersemangat lagi. Inilah barangkali alasan mengapa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam begitu bijak memandu kita, dalam melakukan amalan2 ibadah.  

Dampak yg lain, adalah bisa mengantarkan para pelakunya pada hasil akhir yg buruk, atau tidak sesuai dgn harapan. Sikap ini, masuk dalam potensi buruk yg bersemayam dalam jiwa manusia, yg membutuhkan pengarahan agar tidak berujung petaka. Siapa pun merasa tak sanggup mengarahkannya dgn baik akan menuai hasil negatif darinya. 

Bisa juga, hal ini sbg rasa yg tidakak sanggup memikul beban berat, dalam waktu yg lama. Maunya instan. Tidak ada kesadaran yg menancap dlm hati dan pikiran, bahwa setiap suatu pencapaian dalam hal aktifitas apapun, selalu membutuhkan jalan yg panjang dan sarat rintangan dan persyaratan. Mereka yg tak mampu memikul beban dan rintangan dalam waktu lama, tentunya akan berusaha menyelesaikan apa yg direncanakan dalam waktu sesingkat mungkin, agar segera terhindar dari rintangan dan beban itu.

Dari keterangan di atas, sikap ketergesaan tsb tidak berarti apa2 bahkan akan membuka pintu masuk bagi syetan, sehingga berbagai penyakit hati akan sangat mudah muncul diantaranya yaitu orang yg tergesa2 lemah dalam komitmen ketaatan, mudah putus asa menjalani ketaatan, hilang kepekaan karena kurang memiliki ilmu dan tiada tujuan, lupa mensyukuri nikmat ketenangan, muncul sikap keidaksabaran sehingga hasilnya amburadul tidak sesuai harapan, atau gagal total, tidak membekas sama sekali dalam prasasti kebaikan. 

Sikap Tergesa-gesa Yang Boleh

Ada sikap tergesa2 yg diperkecualikan atau dianjurkan, sebagaimana keterangan Al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah Asy-Syaukani Ash-Shan’ani Al-Yamani atau Imam Ash-Shan’ani rahimahullah (1759–1834 M di Shana’a Yaman), dalam kitab Subulus Salam syarhu Bulughil Maram min Jam’i Adillatil Ahkam (4/201) berkata :

العجلة هي السرعة في الشيء وهي مذمومة فيما كان المطلوب فيه الأناة محمودة فيم يطلب تعجيله من المسارعة إلى الخيرات ونحوها

“Tergesa2, maknanya adalah cepat (terburu2) dalam melakukan suatu perkara, dan ini tercela jika yg dituntut dalam perkara tsb adalah pelan2, namun terpuji jika dalam perkara yg dituntut untuk disegerakan, yaitu dari bentuk berlomba2 dalam kebaikan dan yg semisalnya.”

Menukil dari Kitab Hilyatul Auliya’ Wa Thabaqatul Asfiya’ karya Al-Imam Al-Hafidh Ahmad ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Ishaq ibn Musa ibn Mahran al-Mihrani al-Asbahani al-Ahwal Asy-Syafi’i Al-Asy’ari atau Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani rahimahullah (wafat hari Ahad 20 Muharram 430 H / Ahad, 28 Oktober 1038 M di Isfahan, Iran) menyebutkan perkataan berikut ini dari Abu Abdirrahman Hatim ibn Alwan al-Asham atau Hatim Al-Asham rahimahullah (wafat 234 H / 851 M di Khurasyan) : 

وَقَالَ حَاتِمٌ : ” كَانَ يُقَالُ الْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ إِلا فِي خَمْسٍ : إِطْعَامُ الطَّعَامِ إِذَا حَضَرَ الضَّيْفُ ، وَتَجْهِيزُ الْمَيِّتِ إِذَا مَاتَ , وَتَزْوِيجُ الْبِكْرِ إِذَا أَدْرَكَتْ , وَقَضَاءُ الدَّيْنِ إِذَا وَجَبَ , وَالتَّوْبَةُ مِنَ الذَّنْبِ إِذَا أَذْنَبَ ” .

Ketergesa2an biasa dikatakan dari setan kecuali dalam lima perkara: (1) menyajikan makanan ketika ada tamu (2) mengurus mayit ketika ia mati (3) menikahkan seorang gadis jika sudah bertemu jodohnya (4) melunasi utang ketika sudah jatuh tempo (5) segera bertaubat jika berbuat dosa.”

Lima hal diatas juga termaktub dalam kitab Nashaihul Ibad fi Bayan al Alfadz Munabbihat ala al-Isti’dad li Yaum al-Ma’ad, karya As-Sayyid al-‘Ulama al-Hijaz Asy-Syaikh Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar At-Tanara Al-Bantani Al-Jawi Al-Makki Asy-Syafi’i atau Syaikh Nawawi al-Bantani rahimahullah (1813 -1897 M, Jannatul Mualla Mekkah).

Wallahu A’lam. Semoga bermanfaat !!

0 komentar:

Posting Komentar