Meminta izin sekilas tampaknya
sepele, padahal sangat penting pengaruhnya bagi kedisiplinan, keteraturan,
kejelasan kabar dan informasi dsb. Hal itu sangat diperlukan dalam kehidupan
berjamaah, agar kegiatan dakwah dapat berjalan dengan lancar, terevaluasi dan
efektif.
Meminta izin dalam Islam
Islam sebagai dien yang
lengkap dan sempurna tentunya tidak akan alpa mengatur sekecil apapun urusan
hidup dan kehidupan manusia. Hal itu telah jelas diatur dan dijamin oleh
pemiliknya, yaitu Allah SWT. Dari urusan yang paling ringan sampai kepada
urusan yang paling berat sekalipun (menurut ukuran manusia), semuanya diatur di
dalam Islam, termasuk juga dalam masalah izin dan perizinan.
Allah SWT di dalam Kitab Nya
yang suci, telah mengatur masalah ini, baik sebagai etika dalam hubungan sosial
kemasyarakatan seperti :
Sampai kepada hal yang terkait
dengan urusan yang sulit, seperti dalam hal peperangan, jihad atau kerja besar
lainnya, QS. at-Taubah : 44-45, 83; an-Nuur : 62-63
"Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan
memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar
kamu (selalu) ingat." QS. 24:27
"Jika kamu tidak menemui seorangpun
didalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika
dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, maka hendaklah kamu kembali. Itu
bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. " QS.
24:28
Bagaimana para sahabat ra. Memberikan contoh
tentang masalah ini?
Dari
Abu Musa ra., ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: "Minta izin itu sampai
tiga kali. Apabila diizinkan, maka masuklah kamu, dan apabila tidak diizinkan,
maka pulanglah kamu"
(HR.
Bukhari-Muslim)
Dari Sahal bin
Sa'ad ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya minta izin
itu dijadikan ketentuan karena untuk menjaga pandangan mata."
(HR. Bukhari-Muslim)
Dari Kildah bin
Hanbal ra., ia berkata: "Saya datang ke rumah Nabi saw. Dan langsung masuk
tanpa mengcapkan salam, kemudian Nabi saw. Bersabda: "Kembalilah, dan
ucapkanlah: "Assalaamu'alaikum, bolehkan saya masuk?"
(HR.Abu Dawud dan Turmudzi, dan dia berkata hadits ini hasan)
Ibnu Ishak meriwayatkan Disebutkan bahwa setelah
orang-orang Quraisy dan sekutu-sekutu mereka (al ahzab) berhimpun dan
menggalang kekuatan di perang Khandaq (parit), dan setelah Rasulullah mendengar
mereka akan melakukan serangan,…atas ide seorang sahabat 'Salman Al Farisi' …
maka Rosulullah menyuruh untuk menggali parit di sekitar Madinah. Rasulullah
pun ikut terlibat langsung dalam penggalian itu untuk memberikan contoh dan
menyemangati kaum mu'minin untuk mendapatkan pahala. Maka orang-orang yang
beriman ikut serta bersama Rasulullah dan berlomba-berlomba.
Namun ada beberapa orang
munafik yang setengah-setengah dan terlambat datang bersama Rasulullah dan kaum
mu'minin dalam membuat parit itu. Mereka hanya ikut terlibat dengan sekedarnya
dan pekerjaan yang sangat kecil/ringan. Kemudian mereka mencari-cari celah
untuk pergi ke rumah-rumah mereka tanpa sepengetahuan Rasulullah dan juga tanpa
izinnya.
Sementara itu orang-orang yang
beriman bila ada hajat yang harus ditunaikan, dia menyebutkan hajat itu di
hadapan Rasulullah dan meminta izin untuk menunaikan hajatnya tersebut. Maka
Rasulullah pun memberikannya izin. Bila dia selsai menunaikan hajatnya, maka
diapun segera kembali menerusakan pekerjaan mengali parit, karena ingin
mendapatkan pahala dan mengharapkan kebaikan. Allah pun menurunkan ayat kepada
orang-orang beriman itu, sebagaiman ditulis pada surat An Nuur : 62.
"Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama
Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak
meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya
orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka itulah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin
kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu
kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Allah berfirman kepada
orang-orang munafik yang mencari-cari celah untuk pergi ke rumah-rumah mereka
tanpa sepengetahuan Rasulullah dan juga tanpa izinnya. Hal ini dapat dilihat
dari ayat 63-nya :
"Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti
panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah
telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan
berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih."
Apapun sebab turunnya
ayat-ayat ini, ia tetap mengandung adab-adab mental yang mengatur komunitas
orang-orang yang beriman dengan pemimpin mereka. Urusan komunitas orang-orang
yang beriman tidak akan pernah beres sebelum adab-adab ini melekat dalam
perasaan-perasaan, kecenderungan-kecenderungan mereka, dan lubuk-lubuk hati
mereka yang paling dalam. Kemudian adab-adab itu juga harus bersemayam dalam
kehidupan komunitas orang-orang yang beriman, sehingga menjadi panutan dan
aturan yang dipatuhi. Bila tidak tercipta, maka yang akan terjadi adlah
kekacauan yang tiada terhingga.
Dalam ayat 62 tadi dikatakan
bahwa, bukanlah orang beriman, orang-orang yang hanya berkata dengan mulut
mereka, namun tidak membuktikannya dengan tanda-tanda kesejatian perkataan
mereka dan mereka tidak taat kepada Allah dan Rasulullah.
"…
apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang
memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta
izin kepadanya…"
Urusan bersama adlah urusan yang sangat
penting, yang membutuhkan keikutsertaan semua komponen dalam jamaah, untuk
mengatasi sebuah pandangan atau peperangan atau pekerjaan umum yang dilakukan
bersama-sama. Orang-orang yang beriman tidak akan pergi meninggalkannya sampai
mereka meminta izin kepada pemimpin mereka. Sehingga urusan tidak menjadi kacau
tanpa kestabilan dan keorganisasian.
Orang-orang yang beriman dengan iman seperti
ini dan berperilaku dengan adab seperti ini, tidak akan pernah minta izin
kecuali untuk sebuah urusan yang sangat darurat dan penting. Mereka memiliki
daya selektivitas dan pencegahan dari iman dan adab mereka yang menjaga mereka
dari bersikap berpaling dari urusan bersama itu yang telah mengusik hati semua
jamaah dan mengharuskan mereka sepakat atas semua keputusan bersama. Bersama
dengan ini, alqur'an tetap meletakkan hak memberi izin atau tidak, kepada pendapat
Rasulullah sebagai pemimpin jamaah. Hal
itu dianugerahkan kepada Rasulullah setelah setiap individu diberi hak yang
sama dalam meminta izin.
"… maka
apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin
kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka…"
(Rasulullah telah disalahkan
oleh Allah karena memberi izin kepada orang-orang munafik sebelumnya, maka
Allah berfirman kepada beliau dalam surah at-Taubah ayat 43,
"Semoga Allah mema'afkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka
(untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar
(dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?"
Allah memberikan hak penuh
kepada pandangan Rasulullah. Bila beliau ingin mengizinkan, maka hak beliau untuk
mengizinkannya. Dan, bila beliau tidak ingin memberikan izin, juga merupakan
hak hak beliau. Allah menghilangkan perasaan bersalah dari Rasulullah karena
tidak memberikan, walaupun kadangkala di sana
ada kebutuhan yang sangat mendesak. Jadi kebebasan sepenuhnya diberikan kepada
pemimpin dalam menimbang antara maslahat orang tetap berada di tempat tugasnya
dan maslahat bila dia pergi meninggalkannya. Seorang pemimpin diberikan
keleluasaan untuk menentukan keputusan dalam masalah kepemimpinan ini sesuai dengan
pandangannya.
Dari sini tersirat bahwa
keputusan untuk meninggalkan kepentingan darurat itu; dan tidak pergi
meninggalkan tugas itulah yang paling utama. Meminta izin dan pergi
meninggalkan tugas dalam kondisi itu merupakan kesalahan yang kemudian membuat
nabi SAW harus memohon ampunan bagi orang-orang yang memiliki uzur.
"…dan mohonkanlah ampunan untuk
mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha
Penyayang."
Dengan permohonan ampunan itu,
ia mengikat hati orang-orang yang beriman. Sehingga, mereka tidak berusaha
meminta izin walaupun punya pilihan untuk itu, karena mereka mampu menguasai
uzur yang mendorongnya untuk meminta izin.
Kemudian Allah memperingatkan
orang-orang munafik dari sikap mencari-cari celah dan pergi meninggalkan Rasulullahtanpa
izin, dengan berlindung kepada sebagian teman mereka yang lain dan saling
menyembunyikan diri. Mereka harus yakin bahwa mata Allah selalu mengintai
mereka, walaupun mata Rasulullah tidak melihat mereka.
"…Sesungguhnya Allah telah mengetahui
orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan berlindung
(kepada kawannya)…"
Ungkapan itu menggambarkan
tentang upaya melepaskan diri dan mencari-cari celah dari perhatian majelis. Di
situ jelas tergambar ketakutan mereka untuk berhadapan, serta kehinaan gerakan
dan perasaan yang menimpa jiwa-jiwa mereka.
"…maka hendaklah orang-orang yang
menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang
pedih."
Jadi, ternyata meminta izin
adalah simbol komunikasi yang efektif, sementara komunikasi adalah alat yang
penting dalam bekerja secara kelompok. Kelompok yang membiasakan minta izin
terlebih dahulu, menunjukan pribadi dan kelompok yang solid dan memiliki aturan
main.
Adab minta izin ini sangat
terkait dengan disiplin, sistem, dan aturan jamaah serta ketaatan kepada
pemimpin. Jika kita menyepelekan hal 'meminta izin' ini, maka keinginan menjadi
jamaah yang solid, sulit untuk diwujudkan.
Wallahu a'lam.
0 komentar:
Posting Komentar