Selasa, 01 Oktober 2013

Ma’iyatullah dan Optimisme Kader Da’wah




السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله، الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه ووالاه، أما بعد:

Dengan asma Allah SWT semua alam ini diciptakan. Dengan asma-Nya kita selaku manusia mengetahui sesuatu serta dapat membaca dan menulis, lalu kepada-Nya kita akan kembali. Bagi manusia yang dikaruniai Allah SWT kesadaran, proses itu tidak boleh hanya terjadi secara fisik dan alami belaka.

Apalagi bagi kita yang telah dikaruniai keimanan. Dengan penuh kesadaran imani kita harus memulai setiap aktivitas dalam hidup ini dengan asma Allah SWT, kita menjalani keseharian dengan syariah Allah SWT dan mengarahkan keseluruhan hidup ini kepada husnul khatimah dan mardhatillah.

Bila suatu saat kita lupa terhadap Allah SWT, menjalankan suatu kegiatan atau program dengan nama selain Allah SWT, tidak memastikan bahwa apa yang kita kerjakan telah sesuai dengan syariat-Nya, tidak menajamkan perspektif bahwa kerja kita insya Allah diridhai-Nya. Dalam situasi demikian kita tidak lebih baik dari posisi seorang anak yang melupakan orang tuanya. Atau, seorang mandataris suatu Negara yang lupa terhadap rakyatnya selaku pemberi mandat. Atau, sebuah benda yang jatuh lalu hancur karena lepas dari porosnya.

Nisyanullah, yakni lupa terhadap Allah mengakibatkan lupa diri. Lupa bahwa dirinya adalah seorang mukmin, seorang kader dakwah, bahkan seorang murabbi, lupa bahwa dirinya adalah seorang suami dan seorang bapak dari sejumlah anak yang mendambakan sentuhan kehalusan dan kasih sayang. Kemudian melakukan pelbagai penyimpangan (kefasikan) yang berakhir dengan kerugian dan kehancuran.

Allah SWT mengingatkan agar manusia jangan pernah sesaat pun lepas dari-Nya dan lupa terhadap-Nya karena akibatnya akan fatal.


“Dan janganlah kamu sekalian seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah sehingga karenanya mereka lupa terhadap diri mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (Q.S 59/Al-Hasyr: 19).

Di saat manusia lupa diri akibat lupa terhadap Allah tapi Allah tetap mengontrol dan menatapnya di manapun dan kapan saja.


“Dan Dia tetap bersamamu (mengawasimu) dimanapun kamu berada dan Allah Maha menatap apa yang kamu kerjakan” (Q.S 57/Al Hadid: 4)

Ikhwah dan akhwat fillah,
Jika kita selalu bersama Allah menghadirkan-Nya saat kita berpikir, berkarsa, dan berkarya, bahkan waktu kita marah sekalipun. Maka Dia niscaya menyertai kita dengan bimbingan-Nya, lindungan-Nya, pertolongan-Nya, rahmat-Nya, dan ampunan-Nya saat kita salah.

Ma’iyatullah telah diberikan kepada Rasul-Nya SAW dalam situasi yang sulit. Tetapi bukan secara gratis tanpa investasi ‘amal jihadi’. Adalah Siti Khadijah RA sebagai saksi atas kepatutan ma’iyatullah untuk Rasul-Nya. Sebagaimana penuturannya,

“Demi Allah, Dia tidak akan pernah menyia-nyiakan engkau. Sebab engkau gemar bersilaturahim, suka menolong orang lemah, membela orang yang dizhalimi, menyantuni orang tak punya, serta tampil membela kebenaran”.

Sebuah Hadits Qudsi riwayat Syaikhani menyebutkan bahwa Allah berfirman, “Tidak ada amal hamba-Ku yang lebih Aku sukai kecuali menjalankan apa-apa yang telah aku perintahkan. Dan ketika hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan amalan sunnat sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku sudah mencintainya maka Aku yang menjadi (menjaga) telinganya yang dengan telinga itu ia mendengar, Aku menjadi matanya yang dengan mata itu ia melihat, Aku menjadi tangannya yang dengannya ia memukul dan Aku menjadi kakinya yang dengannya ia melangkah. Jika hamba-Ku mendekat kepada-Ku sejengkal niscaya Aku mendekat kepadanya sehasta, jika ia mendekat lagi kepada-Ku sehasta niscaya Aku mendekat kepadanya sedepa dan jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan maka Aku akan datang kepadanya sambil berlari”.

Tidak ada imajinasi yang paling baik dan indah daripada memikirkan ciptaan Allah SWT dan ayat-ayatnya. Tidak ada kata yang lebih indah dari menyebut asma Allah SWT, laa ilaaha illallah, subhanallah atau astaghfirullah. Tidak ada nama yang lebih baik dari Abdullah. Tidak ada sumber kekuatan dan energi yang lebih dahsyat daripada laa haula wala quwwata illa billah.

Ikhwah dan akhwat fillah,
Kesertaan (ma’iyyah) Allah SWT menuntut kita terlebih dulu memposisikan diri secara tepat. Bukan semata-mata sebagai makhluk Allah SWT, tetapi sebagai hamba bahkan junud (prajurit-Nya) yang bersiap dan sigap untuk melaksanakan setiap perintah-Nya dalam kerangka mewujudkan Islam kaaffah dalam kehidupan pribadi, keluarga, kemasyarakatan, kebangsaan dan antarbangsa.

Jika bukan sebagai prajurit Allah SWT maka posisi manusia –disadari atau tidak- adalah sebagai prajurit iblis (junudu iblis). Kita harus memposisikan diri sebagai prajurit Allah SWT di setiap lini kehidupan dan setiap jengkal dari bumi Allah ini. Insya Allah Dia akan menyerahkannya kepada hamba-hamba-Nya yang shalih sebagai bagian dari hasil perjuangan, melalui istikhlaf dan tamkin sebagai mekanisme legal dalam agama Allah. Kita harus memastikan bahwa komunitas kita adalah hizbullah. Sebab, hanya komunitas inilah yang pantas diberikan kemenangan sejati oleh-Nya.

Al-Imam As-Syahid pernah mengajukan suatu pertanyaan besar, “Apa modal kita untuk meraih kemenangan agama ini? Jawabannya adalah modal dan bekal yang sama yang pernah dimiliki as-salafus shalih di bawah pimpinan Muhammad SAW, Yaitu lima segi keimanan yang meliputi:
Pertama, kemenangan itu akan diraih sebagai hadiah dari Allah SWT dengan all out membela agama-Nya.
Kedua, kemenangan itu dapat diraih melalui keampuhan minhaj Islam yang kita anut.
Ketiga, kemenangan itu dapat diraih dengan kekuatan ukhuwwah yang kita kuduskan.
Keempat, kemenangan itu merupakan buah keyakinan kita akan besarnya imbalan serta pahala perjuangan di jalan Allah.
Kelima, keimanan bahwa kita telah memilih jama’ah yang tepat sesuai kodratnya untuk menyelamatkan dunia.

Kita kokohkan keimanan tentang kelima prinsip tersebut dengan kesabaran dalam berjama’ah yang berusaha merealisasikan minhajun nubuwwah, jalan yang ditempuh Rasulullah SAW dan sahabat beliau dalam kesolidan ukhuwah demi membela dienullah. Kita pun harus berbuat yang ihsan dalam kerangka ‘amal jama’I, bukan asal berbuat apalagi saling mengandalkan. Sesudah itu, kita bertawakkal kepada Allah SWT dan menyerahkan kepadaNya untuk menentukan saat dan bentuk hasil perjuangan yang akan dicapai/diberikan. Sebab, Allah SWT beserta orang-orang yang sabar. Dia bersama orang-orang yang berbuat ihsan. Dan mencintai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahil hamd.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ - والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

0 komentar:

Posting Komentar